Thursday, November 11, 2004

MEMBANGUN TELEMATIKA DALAM KABINET BARU


Oleh: Eddy Satriya *)
satriyaeddy@yahoo.com

Telah diterbitkan dalam Majalah Biskom Edisi November 2004

Harapan saya, anda, sebahagian besar praktisi dan masyarakat telematika untuk menyaksikan kemajuan pembangunan telematika dalam Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009) kelihatannya masih akan terkendala. Teka teki bentuk dan struktur instansi pemerintah yang mengurusi telematika terjawab sudah. Nyaris tidak ada perubahan. Dengan kata lain, masukan yang telah diberikan oleh berbagai kelompok stakeholder telematika baik sebelum maupun pasca Pemilu Presiden masih belum mampu merubah pendekatan dan cara pandang elite pimpinan bangsa terhadap peranan telematika dalam pembangunan nasional.

Sementara itu, dari hari ke hari, berbagai masalah telematika banyak yang belum terjawab. Pembangunan telepon tetap masih stagnan. Perkembangan dan peningkatan layanan telekomunikasi kepada masayarakat di daerah terpencil dan di Kawasan Timur Indonesia juga terasa lamban karena berbagai alasan. Penyediaan alternatif infrastruktur untuk dapat ber-Internet dengan harga murah dan terjangkau masih susah direalisasikan. Singkat kata, kesenjangan digital (digital divide) kelihatannya masih belum bisa diatasi secara lebih berarti.

Layanan telepon bergerak memang telah memperlihatkan kemajuan. Namun ironisnya, ditengah semarak pertumbuhan bisnis telekomunikasi bergerak seluler yang sudah hampir mencapai 25 juta pelanggan, ternyata industri telekomunikasi kita seakan “menghitung hari” menuju kebangkrutan. Negara kita terbukti kembali hanya menjadi pasar barang-barang import. Begitu pula jasa konsultasi nasional di bidang telematika mengalami penurunan jika dibandingkan dengan masa-masa sebelum krisis. Beberapa program pembangunan yang telah dicanangkan dan dilaksanakan pemerintah seperti electronic government (e-gov), pengenalan komputer ke sekolah-sekolah (OSOL), dan e-learning baru berjalan pada tahap dasar dan belum memberikan nilai tambah yang diinginkan.

Dengan masih terpisahnya pengelolaan telekomunikasi yang berada di bawah Kementerian Perhubungan dan pengelolaan Teknologi Informasi (IT) yang lebih banyak di garap Kantor Kementrian Komunikasi dan Informasi (Menneg Kominfo), maka diperkirakan tantangan untuk mensinergikan keduanya masih tetap besar. Di sisi lain, bergesernya paradigma pembangunan dari ekonomi industri kepada ekonomi informasi (information economy) dan ekonomi berbasiskan ilmu pengetahuan (knowledge based economy) semakin membutuhkan pendekatan yang lebih peka terhadap kemajuan teknologi telematika.

Memperhatikan pidato pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setelah pelantikan Presiden tanggal 20 Oktober lalu, terlihat bahwa prioritas pembangunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) masih akan terfokus kepada masalah ekonomi termasuk pengangguran dan utang, penyelesaian daerah konflik, dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Walaupun struktur kabinet tidak ada pembaharuan, pembangunan telematika diperkirakan masih dapat dipercepat dan ditingkatkan jika saja stakeholder terkait mampu dengan jeli memanfaatkan segala potensi yang ada dan menyusun prioritas pembangunan yang akan ditargetkan oleh pemerintahan baru. Terbatasnya dana pembangunan yang tersedia memaksa kita untuk membuat pendekatan pembangunan yang berbeda dengan kabinet sebelumnya. Selayaknyalah agenda pembangunan telematika diselaraskan dengan fokus pembangunan yang disampaikan dalam pidato Presiden SBY serta disesuaikan untuk prioritas jangka menengah.

Menjadi pertanyaan sekarang, apa yang sebaiknya diperbuat untuk memajukan telematika nasional? Berikut ini adalah beberapa usulan fokus kegiatan yang sebaiknya menjadi bagian agenda pembangunan telematika nasional dalam KIB.

Pertama, segera merealisasikan sistem informasi dan database yang terintegrasi untuk kependudukan yang mampu menggabungkan beberapa keperluan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), identitas untuk urusan pajak, keimigrasian dan jaminan sosial. Di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, sistem ini dikenal juga dengan Social Security Number (SSN) yang berfungsi untuk identitas penduduk namun menjadi referensi untuk berbagai urusan seperti surat izin mengemudi (SIM), pajak, pasport, jaminan kesehatan dan keperluan pendidikan, termasuk pelanggaran hukum dan lalu lintas.
Kedua, melanjutkan pembangunan infrastruktur telematika baik telepon tetap, telepon seluler termasuk fixed wireless, maupun penambahan kecepatan dan bandwidth untuk penyelenggaraan Internet diseluruh wilayah Indonesia. Hal ini hendaklah dilakukan secara lebih serius mengingat infrastruktur selama ini telah menjadi hambatan utama pengembangan telematika, baik di kota besar, kota kecil, maupun perdesaan. Cobalah anda mendatangi beberapa daerah kabupaten atau kota baik di pulau Jawa apalagi diluar Jawa, niscaya akan sangat sulit menemukan Warung Internet. Sementara sambungan Internet melalui jasa layanan yang ditawarkan operator seperti Telkomnet Instan dari rumah atau hotel, kualitasnya masih belum memuaskan.
Selanjutnya, memprioritaskan aplikasi telematika yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki kondisi investasi seperti e-banking, e-commerce, e-procurement, maupun berbagai usaha telematika yang dapat memberdayakan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) maupun kalangan ekonomi lemah. Sebaiknya pula aplikasi yang dipilih diselaraskan dengan kemampuan industri telematika dan konsultansi nasional.
Keempat, meneruskan pelaksanaan program e-government ke tingkat yang lebih tinggi sehingga terjadi kesinambungan program untuk berbagai jenis pelayanan masyarakat di seluruh wilayah nusantara. Pelayanan publik menggunakan jasa telematika seperti yang telah dilaksanakan di Takalar, Kebumen dan beberapa kota lain di Indonesia sangat menunjang pelaksanaan pemerintahan yang bersih dari nuansa KKN.
Kelima, adalah penyusunan Undang-Undang (UU) baru dan penyempurnaan berbagai kebijakan dan regulasi yang terkait dengan telematika. Antara lain adalah penyempurnaan Cetak Biru Telekomunikasi dan UU Telekomunikasi No. 36/1999 yang dirasakan sudah mulai ketinggalan dengan perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat. Penyelesaian Rancangan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan berbagai UU lain yang dapat mendorong pertumbuhan aplikasi IT sangatlah diharapkan dapat direalisasikan dalam waktu dekat. Termasuk dalam kerangka regulasi ini adalah mempercepat terlaksananya proses kompetisi yang sebenar-benarnya dalam penyediaan jasa telekomunikasi sehingga dapat memberikan perbaikan kondisi layanan, kemudahan bagi pengguna jasa, serta harga yang ekonomis.
Terakhir, dengan masih terpisahnya pengelolaan telematika dalam KIB membuktikan bahwa telematika masih perlu disosialisasikan secara lebih intensif kepada semua lapisan masyarakat tanpa kecuali. Karena itu program-program yang bertujuan untuk meningkatkan awareness masyarakat dan pemimpin bangsa akan peran telematika dalam perekonomian nasional, regional dan internasional haruslah diutamakan. Program ini kelihatannya sepele dan tidak begitu menarik dilakukan, tapi justru disinilah salah satu kunci keberhasilan pembangunan telematika di sebuah negara berkembang seperti Indonesia.

Sebenarnya keenam fokus kegiatan jangka pendek dan menengah dalam industri telematika di atas bukanlah merupakan program baru. Keenam program tersebut sudah pernah digagas dalam berbagai pertemuan dan sebagian sudah pernah ditindaklanjuti. Sayangnya ketidakseriusan dan ketidaksinambungan program telah menyebabkan terbengkalainya pelaksanaan beberapa kegiatan terkait secara utuh. Disamping keenam fokus di atas, masih ada beberapa hal lain yang tidak bisa diabaikan seperti peningkatan kapasitas (capacity building), penyusunan kurikulum telematika di sekolah-sekolah, penyempurnaan kebijakan tentang Kewajiban Pelayanan Universal (USO), promosi industri telematika, pembukaan kawasan pusat teknologi telematika, serta penyempurnaan badan regulasi independen.

Sekarang bukan saatnya pula untuk muluk-muluk dan membuat banyak program. Diharapkan dengan memulai keenam fokus kegiatan tersebut maka tantangan pembangunan telematika dalam jangka pendek dan menengah dapat dipenuhi. Dan yang lebih penting tidak terjadi kemubaziran. Semoga!

_________
*) Penulis adalah Senior Infrastructure Economist, bekerja di Bappenas.

Tuesday, November 02, 2004

BAU YANG PALING BERBAHAYA

==========seri tulisan reformasi===========

Oleh: Eddy Satriya *)
satriyaeddy@yahoo.com

Catatan: Tulisan ini telah diterbitkan di Majalah "Forum Keadilan" No 28/7
November 2004


Ketika pertanyaan "Bau apa yang paling berbahaya?" diajukan kepada beberapa
orang, bisa diperkirakan bahwa jawaban yang diperoleh akan beragam. Seorang
bupati dari sebuah kabupaten yang bertetangga dengan DKI Jakarta mungkin
akan menjawab bahwa bau yang paling berbahaya baginya adalah bau sampah yang
dikirim penduduk Jakarta. Bagi Sang Bupati, bau berjuta kubik sampah yang
tidak tertangani dengan baik dapat membahayakan kedudukannya. Sementara itu,
seorang mahasiswi kedokteran tingkat pertama mungkin menjawab bau yang
paling berbahaya adalah amisnya darah. Ketidakmampuan beradaptasi dengan
amis darah bisa menyebabkan ia drop-out dan menyia-nyiakan masa depan serta
puluhan juta yang telah disetorkan ke fakultas.

Jika pertanyaan itu mendadak diajukan kepada seorang dokter gigi yang sangat
higienis mungkin akan menjawab bau yang paling berbahaya bagi Sang Dokter
adalah bau mulut seorang lelaki perokok. Karena bau yang tidak bisa
ditangkalnya dengan "masker" dapat mengganggu mutu kerja dan merusak
citranya. Sedangkan untuk seorang Kiyai atau Buya yang disegani dari sebuah
pondok pesantren atau surau, mungkin jawabannya adalah bau kentut yang
sangat mengganggu ditengah berlangsungnya pengajian. Sang Buya bisa saja
tidak terlalu terganggu dengan bau kentut, tetapi justru lebih sewot dan
sangat marah ketika tidak ada santri yang mengaku dan meminta maaf. Bagi
Sang Buya berlaku pepatah "tangan mencincang, bahu memikul" yang perlu
dihayati para santri.
***

Membahas perihal bau yang paling berbahaya ini, ada baiknya kita menyimak
Andrew Tobias, seorang pakar internasional dibidang investasi. Tobias,
penulis buku-buku terkenal seputar "Invesment Guide" menuliskan "There is no
smell more dangerous or costly than the new car smell". Bau mobil baru
ternyata yang paling berbahaya baginya. Pernyataan tersebut secara tersirat
menghimbau untuk tetap hidup sederhana dan cerdik berinvestasi. Paham yang
sama juga dianut oleh Robert W. Bly, seorang pengajar marketing dan writing
di New York University yang berhasil menjadi millionaire pada usia 30 tahun.
Ia tetap memilih mengendarai mobil Chevrolet Chevette-nya yang telah berumur
11 tahun dan dibelinya hanya dengan beberapa US$ ribu pada tahun 1984.

Sejalan dengan globalisasi, sindrom mobil-mewah sebagai simbol status memang
telah menjalar ke seluruh penjuru dunia. Perilaku orang-orang yang
menjadikan mobil sebagai simbol statusnya dengan menarik telah dikupas
Thomas J. Stanley dan Willian D. Danko dalam buku "The Millioniaire Next
Door". Stanley dan William juga mengungkapkan bahwa orang-orang yang berasal
dari rakyat biasa dan berhasil memiliki banyak harta, justru cenderung lebih
memilih hidup sederhana, mampu mengalokasikan waktu, energi dan uangnya
secara lebih efisien, dan berpendapat bahwa "financial independence" jauh
lebih penting dibandingkan dengan memamerkan status sosial yang tinggi.
Sindrome mobil-mewah juga tidak luput melanda Indonesia yang masih tergolong
negara miskin. Nafsu tinggi masyarakat lapisan atas Indonesia memamerkan
mobil mewah juga terlihat jelas setiap pagi dan petang di jalanan ibukota
yang macet. Seliweran Mercedes Benz, Lexus, Infiniti, BMW, Land Rover,
Jaguar, dan Audi seri terbaru telah menjadi pemandangan biasa di sepanjang
jalan tol dan protokol.

Pada tahun ini kegilaan masyarakat Indonesia akan mobil mewah untungnya
luput dari pemberitaan pers karena tersaput berita ledakan bom mobil
Kuningan di depan Kedutaan Besar Australia 9 September 2004 yang lalu. Saya
sebut kegilaan karena pada posisi tanggal yang sama dalam Jakarta Motor Show
2004 di Senayan, sudah belasan orang tercatat sebagai pembeli mobil super
mewah Bentley dengan harga satuan sekitar Rp 5 Milyar! Belum terhitung mobil
mewah dengan kelas dibawahnya yang berharga dari Rp 1 hingga Rp 3 milyar.
Kegilaan, karena mobil seharga Rp 5 milyar tidaklah mungkin akan sepuluh
kali lipat lebih baik dari mobil seharga Rp 500 juta dari sisi kenyamanan
dan kinerja. Selisih harganya yang mencapai Rp 4,5 Miliar hanyalah untuk
mencerminkan status mengendarai mobil mewah.
***

Namun perilaku sebagian masyarakat Indonesia untuk memenuhi garasinya dengan
mobil mewah atau bahkan terkadang malah ada yang saya saksikan menumpang
parkir di rumah orang lain, diperkirakan akan terkendala. Pasalnya,
kematangan pemikiran, kesederhanaan gaya hidup atau mungkin juga pemahaman
tentang tentang berbahayanya bau mobil mewah dan mobil baru, telah mendorong
pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menolak menggunakan
sedan Volvo sebagai kendaraan dinas mereka. Hidayat Nur Wahid yang terpilih
secara demokratis menjadi Ketua MPR periode 2004-2009 telah memberikan
teladan dengan menyampaikan niatnya serta pimpinan MPR lainnya untuk menolak
Volvo pada tanggal 13 Oktober lalu di Gedung DPR/PMR Senayan (Detikcom,
14/10/04).

Walaupun beberapa pejabat tinggi negara lainnya ada yang skeptis dan tidak
melihat penolakan mobil mewah sebagai penghematan yang berarti, sikap Ketua
MPR itu telah membuat angin segar perubahan bertiup ditengah masyarakat
Indonesia. Sungguh suatu hal yang menyejukkan hati melihat salah satu
pimpinan lembaga tinggi negara mampu memulai langkah teladan yang sudah
sangat lama ditunggu-tunggu rakyat Indonesia.

Menjadi pertanyaan sekarang, seberapa jauhkah langkah yang telah dimulai
pimpinan MPR ini dapat ditiru para pejabat lainnya? Kita optimis, perubahan
demi perubahan akan terus terjadi. Dalam pelantikan Kabinet Indonesia
Bersatu pada tanggal 21 Oktober lalu terlihat bahwa banyak Menteri yang
datang dan pergi dari istana dengan kendaraan yang tidak tergolong mewah.
Hal ini terus berlanjut dan terlihat ketika menghadiri Sidang Kabinet
pertama esok harinya.

Jika dilihat kebelakang, masuknya mobil mewah dengan cc besar memang
memuncak pada pemerintahan setelah Presiden Suharto meletakkan jabatan.
Justru di dalam masa orde reformasilah impor mobil mewah secara built-up
makin menjadi-jadi setelah diizinkan Deperindag waktu itu. Akibatnya, bau
mobil mewah ini bukan hanya mewabah di Jakarta dan kota-kota besar, tetapi
juga sampai ketingkat kabupaten dan kota sejalan dengan semaraknya otonomi
daerah. Tidak hanya mobil mewah yang baru, ratusan mobil mewah bekas pun
masuk menyerbu ke berbagai pelosok negeri, baik secara legal ataupun melalui
usaha penyelundupan.
***

Pemahaman akan berbahayanya bau mobil baru nan mewah memang baru diangkat
lagi ke permukaan. Kita memahami adalah hak asasi setiap orang untuk bebas
membelanjakan hartanya. Agak terlalu dini menilai apakah gerakan ini akan
bisa ditularkan kepada berbagai lapisan pejabat maupun masyarakat. Namun
sudah selayaknya kita optimis, serta terus mendorong bergulirnya gerakan
untuk menyadari bahwa negara ini lebih memerlukan investasi yang efektif dan
efisien, membutuhkan pemasyarakatan pola hidup sederhana, dan tidak
menjadikan pembelian durable goods seperti mobil sebagai cara berinvestasi
yang dapat memancing kecemburuan sosial ditengah masyarakat yang tengah
dililit krisis multidimensi.

Terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memimpin negara ini
tentu saja diikuti berbagai harapan untuk memperbaiki kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat. Karena itu tidaklah salah rasanya Presiden SBY
juga diandalkan untuk mendukung pola hidup sederhana dan menjauhi penggunaan
mobil mewah bagi aparat pemerintah, termasuk militer. Sudah menjadi rahasia
umum, bahwa selain para profesional, pengacara, dan pejabat sipil, maka
sebagian pejabat militer juga sangat dimanjakan dengan fasilitas mobil dinas
yang tergolong mewah. Sekali lagi, "There is no smell more dangerous or
costly than the new car smell". Semoga harapan ini tidak salah tempat dan
sia-sia.
_________
*)Pemerhati Reformasi, menetap di Sawangan-Depok..