Tuesday, August 16, 2005

LAMPU KUNING

Oleh: Eddy Satriya*)

Catatan: Telah diterbitkan dalam Majalah Simpul Perencana No. 5/Juni-Agustus 2005

Meski Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI) di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, sesungguhnya masyarakat Indonesia tidaklah terlalu bodoh atau miskin ilmu. Hal ini tercermin antara lain dari kemampuan para ahli maupun masyarakat awam dalam membaca gelagat alam seperti gempa, tsunami, dan tanah longsor. Masalah hasil penelitian dan pendapat mereka diperhatikan atau diabaikan begitu saja, adalah hal lain lagi.

Ketika terjadi longsor besar di kabupaten Garut beberapa tahun silam, pada umumnya masyarakat di sekitar lokasi maupun para wisatawan yang pernah mengunjungi Garut dan sekitarnya tidaklah terlalu kaget. Pasalnya, daerah itu secara alamiah memang harus mengalami longsor karena hutan yang ada dilereng bukit telah dihabisi sekelompok masyarakat dan tanah gemburnya diubah menjadi lahan pertanian, antara lain untuk tanaman kentang. Hutan pinus yang dulu rimbun nyaris musnah. Kalaupun ada pinus yang tersisa, hanyalah karena masih dibutuhkan untuk menyangga saung tempat berteduh para penggarap lahan lereng tersebut. Singkat kata bencana tanah longsor pasti datang, hanya masalah waktu.

Karena itu saya justru terperanjat menyaksikan reaksi sebagian besar masyarakat Indonesia yang begitu sulit percaya ketika mengetahui seorang dosen kriminologi Universitas Indonesia (UI) Mulyana Wira Kusumah (MWK), yang juga aktivis dan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), tertangkap tangan ketika diduga hendak menyuap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada awal April lalu. Begitu pula ketika mengetahui Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin (NS) harus masuk bui setelah berpamitan di kantornya pada Jum’at (20/5/05) siang sebagaimana diulas panjang lebar oleh Tempo (23-29/5/05).

Sebagaimana halnya bencana tanah longsor di Garut, maka terjerembabnya para dosen, peneliti atau aktivis sekaliber MWK dan NS oleh berbagai dugaan kasus korupsi di KPU hanyalah persoalan waktu saja. Mengapa demikian? Ada tiga alasan utama.

Pertama, besarnya ruang lingkup pekerjaan KPU yang harus melayani aktivitas Pemilu hingga ke tingkat desa berbanding lurus dengan besarnya biaya yang harus dikelola. Tantangan pengelolaan keuangan yang meliputi masalah perencanaan, penganggaran, pelaksanaan hingga pengendalian program menjadi semakin besar manakala waktu yang tersedia sedemikian sempitnya. Keterbatasan waktu pelaksanaan dan besarnya jumlah dana yang harus dikelola ini kemudian berkomplikasi dengan ketatnya tata cara lelang barang dan jasa pemerintah seperti diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) 80/2003 yang ketika itu baru terbit menggantikan Keppres 18/2000. Di sisi lain, kewenangan yang diberikan UU Pemilu No 12/2003 kepada KPU sangatlah luas. Kesemuanya itu jelas mengundang berbagai potensi penyimpangan dari berbagai pihak. Pengalaman menunjukkan bahwa pengelola proyek biasanya memang harus “berakrobat” jika ingin proyeknya suskses.

Kedua, rangkap jabatan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalankan. Apalagi untuk jenis pekerjaan yang sangat menuntut jam terbang dan berskala besar seperti di KPU. Sebagaimana pernah saya uraikan dalam artikel berjudul “Rangkap Jabatan: Benarkah Sebuah Dilema?” di Portal Alumni ITB pada bulan September 2003 yang lalu, para anggota KPU bukanlah “superman” yang bisa bolak balik dengan kecepatan cahaya dari Depok, Surabaya, Bandung, Makasar, dan Papua ke kantor KPU di Jalan Imam Bonjol, Jakarta (http://www.geocities.com/satriyaeddy/JABATAN_RANGKAP_x_final_ai_itb_complete.pdf ).

Sekedar menyegarkan ingatan kita, dari sebelas orang anggota KPU yang diangkat, hanya Anas Urbaningrum saja yang bukan berprofesi dosen. Ketika UU Pemilu diterbitkan, yang antara lain melarang jabatan rangkap dan menuntut kerja penuh waktu (pasal 18), maka hanya Imam Prasojo dan Muji Sutrisno yang memilih mundur dari KPU. Sedangkan anggota KPU lainnya dengan alasan masing-masing tetap “nekat” menantang bahaya.

Ketiga, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau KKN masih berjalan lambat dan lebih sering tertinggal dibandingkan dengan berbagai varian KKN yang semakin canggih. Sementara itu tuntutan pemberantasan KKN dalam program Kabinet Indonesia Bersatu semakin mengemuka. Karena itu tidaklah mengejutkan jika tuntutan tersebut kemudian berujung kepada institusi KPU yang sejak pelaksanaan Pemilu tak henti-hentinya menjadi sorotan publik.

Sebut saja ribut-ribut pengadaan mobil dinas pada Januari 2004 justru terjadi manakala masyarakat sedang menunggu kinerja KPU. Rasa percaya diri berlebihan yang menjurus arogan memang sering diperlihatkan pejabat KPU dalam menangani berbagai permasalahan. Masyarakat tentu sulit melupakan begitu saja beberapa kasus yang melibatkan nama-nama seperti Presiden Gusdur yang sampai menuntut KPU ke pengadilan. Atau sebut pula “perang urat syaraf” antara anggota KPU Chusnul Mar’yah dengan pengamat telematika Roy Suryo dari Yogya. Akademisi UI Effendi Gozali pernah pula melukiskan situasi tersebut dalam artikel berjudul “KPU Can Do No Wrong” (Kompas, 7/7/04). Tidak terhitung pula Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik di pusat maupun di daerah yang telah melaporkan berbagai dugaan penyimpangan kepada KPK.
Singkat kata, pencidukan MWK dan NS oleh aparat KPK sesungguhnya bukanlah hal yang sangat luar biasa.
***

Menjadi pertanyaan kemudian, sampai kapankah masyarakat terus dibiarkan untuk membiarkan kaum intelektual atau dosen itu melanjutkan multi peran di birokrasi? Tidak adakah usaha-usaha untuk menguranginya? Sementara di sisi lain, TNI (dulu ABRI) sudah mulai mereposisi diri dan menjauhkan diri dari dwifungsi. Jelas semua hikmah yang ada harus dipetik untuk dipelajari. Bukan semata-mata dari sisi pemberantasan korupsi, dugaan penyelewengan ataupun jebakan oleh tim KPK, tetapi juga dari sisi mulianya fungsi, peran dan tugas profesi dosen yang sangat ditunggu rakyat untuk memperbaiki citra pendidikan yang terus terpuruk di Indonesia.
Jabatan rangkap dan tantangan besar yang harus dihadapi seorang dosen dalam birokrasi pernah pula penulis ulas dalam artikel berjudul “Dosen, Peneliti, dan Birokrat” (Sinar Harapan/11/01/03). Pada intinya, mengurus keproyekan adalah salah satu tantangan yang cukup berat bagi perangkap jabatan di birokrasi. Sebagai contoh adalah pembahasan proyek di Departemen Keuangan. Terkadang pekerjaan ini bisa dikategorikan sebagai intellectually harassing activities. Kemuliaan intelektual yang begitu tinggi dan idealisme yang dimiliki di kampus atau lembaga penelitian harus berhadapan dengan permainan ”mark up”, ”kongkalingkong”, nepotisme dan seterusnya.

Transisi demi transisi memang membutuhkan penanganan yang cepat. Namun menyerahkan berbagai urusan kepada komisi-komisi yang didominasi intelektual, dosen atau peneliti yang belum mempunyai jam terbang di birokrasi juga bisa menjadi bumerang. Dalam masalah KPU ini, maka terbukti rasa percaya diri yang tinggi dan bekal ilmu pengetahuan yang di atas rata-rata akhirnya membawa sang dosen kepada kondisi yang sangat sulit dikontrol pihak luar.

Ironisnya lagi, praktek rangkap jabatan di birokrasi ini malah makin meningkat di era reformasi. Padahal, jutaan dollar hasil pinjaman atau utang luar negeri telah dihabiskan untuk menyekolahkan ribuan PNS untuk meraih gelar Doktor maupun Master di dalam maupun di luar negeri. Kelihatannya gejala ini makin menggila tatkala muncul “lampu hijau” dari Kantor Meneg PAN yang akan membolehkan Presiden atau Menteri untuk mengangkat staf khusus. Laksana sebuah sinetron, kisah “birokrasi keranjang sampah” di zaman Presiden Megawati sedang memasuki episode lanjutan yang lebih seru lagi.

Kita memahami bahwa masih banyak kaum intelektual dan dosen yang tetap setia mengajar dan meneliti. Di sisi lain, kita memaklumi para Menteri adalah pejabat negara yang berhak mengangkat siapapun menjadi stafnya. Namun membayangkan seorang intelektual, peneliti, dan aktivis sekaliber MWK dan NS yang sudah menghabiskan puluhan tahun karirnya dan waktunya untuk masyarakat, lalu mendadak sontak harus meringkuk di sel sempit penjara bersama narapidana lain adalah sesuatu memang yang sangat memilukan.

Bisakah semua ini diartikan sebagai sebuah lampu kuning untuk para intelektual dan dosen? Tentu bisa. Cuma masalahnya di Indonesia lampu kuning memiliki dua makna. Untuk berhati-hati lalu berhenti, atau malah siap-siap tancap gas ketika menunggu lampu hijau. Mau pilih yang mana?

________

*)PNS di Bappenas, menetap di Sawangan-Depok.