Friday, May 05, 2006

"Call Center" Jadi Pusat Informasi

DIterbitkan di KOmpas 10 Oktober 2005

Eddy Satriya

Kemajuan teknologi telah menyediakan fasilitas berkomunikasi yang semakin canggih dan beragam. Dalam rangka memanfaatkan kemajuan telekomunikasi dan teknologi informasi (telematika), belum lama ini sebuah maskapai penerbangan nasional meluncurkan nomor telepon elok 0-807-1-807XYZ sebagai call center yang menjadi pusat informasi sekaligus pusat pelayanan.

Meski bukan suatu hal yang sama sekali baru, peluncuran call center yang dicanangkan sebagai sebuah hasil inovasi baru itu dilakukan secara gencar dan mendapat liputan yang cukup meriah dari berbagai media. Langkah ini kemudian ternyata juga diikuti oleh beberapa perusahaan, baik swasta nasional maupun asing. Betulkah langkah itu tergolong inovasi yang memberikan terobosan kepada pengguna jasanya?

Bagi orang awam, nomor telepon 0-807-1-807XYZ itu mungkin suatu hal yang biasa dan tidak terlalu menarik perhatian. Namun, jika mengacu kepada praktik bisnis baku, nomor itu sangat perlu dicermati.

Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, dan beberapa negara Eropa, berdasarkan aturan Badan Telekomunikasi Internasional (ITU) dikenal toll-free number dengan kode area ”800” yang jika dihubungi, maka biaya telepon akan dibebankan kepada perusahaan pemilik nomor bersangkutan.

Nomor ”800” ini sangat populer karena, selain bebas pulsa, juga memiliki keunikan tersendiri. Biasanya nomor dipilih sedemikian rupa hingga menjadi ”cantik” karena berkorespondensi dengan huruf yang ada di tombol telepon sehingga menjadi mudah dihafalkan dan digunakan.

Sebagai contoh, nomor telepon 1-800-CALLATT (2255288) dan 1-800-COLLECT (2655328) digunakan oleh dua operator telekomunikasi terkenal untuk memberikan beragam pelayanan otomatis maupun melalui operator yang bisa diakses dari semua jenis telepon.

Ada pula nomor bebas pulsa sebuah organisasi yang mudah dihafal, seperti 1-800-HABITAT. Saking populernya nomor toll-free ini, operator telekomunikasi juga menyediakan nomor sejenis untuk pelanggan pribadi atau perumahan dengan kode area ”900” yang bertarif sedikit lebih murah. Namun, penelepon nomor ini dikenai biaya tambahan berdasarkan pemakaian per menit.

Meski tidak sepopuler di AS, dalam beberapa tahun terakhir telepon bebas pulsa dengan kode area ”800” ini juga telah banyak digunakan di Indonesia. Nomor 0-800-1821XYZ, misalnya, telah digunakan oleh sebuah perusahaan susu guna menampung keluhan dan informasi penting dari pelanggannya.

Begitu pula dengan beberapa perusahaan farmasi dan produksi makanan bayi yang sangat memerhatikan konsumennya, nomor bebas pulsa sejenis juga telah digunakan.

Kejanggalan

Kejanggalan call center 0-807-1-807XYZ yang diluncurkan dan diiklankan secara besar-besaran itu menjadi semakin terasa. Betapa tidak, meski menggunakan kode area ”8XY”, ia sebenarnya bukan tergolong toll- free number karena tidak bebas pulsa bagi penelepon.

Sebaliknya, penelepon akan dikenai pulsa lokal seperti diiklankan dengan tulisan yang lebih kecil. Alhasil, pengguna telepon yang telah terbiasa dengan nomor bebas pulsa di luar negeri berpotensi untuk terkecoh.

Konyolnya lagi, call center itu juga tidak bisa dihubungi dari semua jenis telepon. Telepon umum koin tentu akan tulalit jika digunakan menghubunginya karena Anda harus memencet ”0” terlebih dahulu, yang merupakan nomor awal (prefix) untuk melakukan panggilan jarak jauh.

Alih-alih memperoleh pelayanan yang lebih baik, proses permintaan layanan via mesin pandu otomatis yang biasanya memakan waktu lama secara lambat dan pasti akan menambah kerut di dahi Anda ketika membaca tagihan telepon di akhir bulan.

Teman saya yang sudah menyerah mengasuh rubrik good governance di sebuah koran besar di Ibu Kota, bukan berbahasa saja kiranya yang dapat menunjukkan bangsa.

Keberadaan sebuah nomor telepon yang disesumbarkan sebagai inovasi baru hasil kolaborasi dengan perusahaan telekomunikasi besar pun bisa menyiratkan tabiat dan budaya suatu bangsa, yaitu budaya memimik, cerdik menjurus licik, koruptif namun permisif.

Semestinya telematika yang didengungkan mampu untuk memulai budaya good governance dijauhkan dari hal-hal yang justru membodohi rakyat dan bangsa yang sedang tertatih berjuang keluar dari sirkuit multikemelut.

Pentingnya Hidup Hemat dalam Krisis dan Era Globalisasi

Disampaikan dalam Ceramah Ramadhan Ruang SS4, Bappenas, tanggal 18 Oktober 2005.

Assalammualaikum Wm WB,

Berhemat dalam menghadapi deraan krisis multi dimensi, terutama krisis ekonomi, mungkin bisa menjadi salah satu cara yang dapat dilakukan oleh siapa pun tanpa kecuali. Kita menyadari berbagai keputusan politik dan ekonomi yang diambil pemerintah dewasa ini tidaklah secara otomatis bisa menjawab berbagai permasalahan berbangsa dan bernegara. Menyalahkan pemerintah semata juga bukanlah suatu langkah bijak. Karena itu berbagai alternatif yang bisa mengurangi penderitaan rakyat, termasuk beratnya kehidupan yang kita alami sendiri haruslah terus dicari. Hal ini semakin penting manakala sebagai intelektual kita juga mengetahui berbagai kemungkinan dugaan kombinasi “konspirasi” internasional di era globalisasi juga tidak bisa diabaikan begitu saja.

Hidup hemat mestinya bukanlah suatu hal berat untuk dilaksanakan. Hemat bukanlah hal yang kompleks, tapi suatu yang sangat sederhana. Hemat berarti tidak boros. Dalam Islam secara tegas Allah Swt melarang kita untuk hidup boros. Allah Swt secara tegas melarang, bukan menghimbau, kita menghambur-hamburkan harta seperti ditegaskanNya dalam surat Al-Isra (17) ayat 26-27.

(tulisan arab)

Ayat 26: “ Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga dekat akan haknya, kepada orang-orang miskin dan yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu dengan boros”


(tulisan arab)


Ayat 27: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan, dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada TuhanNya”

Ayat pertama menegaskan, betapa disamping perintah memberikan sebagian harta yang kita miliki kepada orang lain, termasuk saudara sendiri, dan kita juga diperintahkan untuk berhemat. Dengan kata lain dilarang memboroskan harta. Betapa indahnya ayat tersebut yang menggabungkan perintah untuk membagi harta untuk orang lain dengan perintah untuk berhemat. Betapa Allah memberikan perasaan percaya diri kepada kita terlebih dulu sebelum memerintahkan kita untuk berhemat. Kita diingatkan terlebih dahulu untuk membantu orang lain. Sungguh hanya mereka yang mau berpikir dan berniat baik sajalah yang bisa mengambil manfaat dari perintah tersebut.

Sementara ayat kedua secara lebih jelas menggambarkan akibat jika kita manusia melalaikan perintah tersebut. Allah dengan tegas menggolongkan kita sebagai sekutu dari syaitan yang sudah jelas-jelas akan mendapat sanksi setimpal seperti dijanjikan Allah.

Kedua ayat tersebut sebenarnya sudah cukup menggiring kita untuk melakukan introspeksi diri. Bagaimanakah kita selama ini? Sudahkan tergolong hemat? Atau justru kita sedang asyik masyuk dengan berbagai gelimang kemewahan yang tanpa disadari telah menghambur-hamburkan harta dengan boros? Atau mungkin kita termasuk orang yang sudah kenyang dengan semua kemewahan dan baru mulai menata diri, insyaf, dan menyesal karena selama ini terlalu sedikit harta yang kita gunakan membantu orang lain (yang sebenarnya itulah harta “tabungan” kita di akherat nanti)? Marilah kita renungkan. Hanya anda dan Allah yang tahu.

Selain kedua ayat di atas, masih banyak ayat-ayat lain yang memerintahkan kita untuk tidak boros. Antara lain disampaikan pula dalam surat Ar-Raf (7) ayat 31 dan surat Al An’am (6) ayat 141.

***

Tidak bisa dimungkiri, bahwa sekarang kita belum lepas dari krisis, multi krisis. Juga, sekarang kita sedang berada dalam era globalisasi yang menawarkan berbagai tantangan sekaligus ujian kepada siapapun tanpa kecuali. Globalisasi disamping membawa berbagai manfaat dalam pembangunan manusia dan bangsa, juga menggiring umat yang tidak “alert” kepada hal-hal yang mudarat dan menyedot harta, tabungan dan kekayaan yang dimiliki dengan berbagai modus. Lebih berat lagi, globalisasi terkadang mampu membuat orang bingung, kehilangan pegangan sehingga seolah-olah tidak tahu lagi apa yang akan dan harus dilakukan. Bukan hanya rakyat jelata, golongan menengah, atau PNS seperti kita, tapi juga para pemimpin bangsa tanpa kecuali. Kita saksikan rakyat di satu sisi terpaksa kehilangan nyawa karena dorongan untuk mengambil haknya di loket pembayaran Subsidi Langsung Tunai (SLT), tanpa mempedulikan usia. Kita saksikan pula betapa pemimpin nya masih dengan “congkaknya” mengatakan bahwa sebenarnya sudah ada aturan bisa menggunakan surat kuasa atau menggunakan loket khusus bagi kelompok lansia, tanpa memperdulikan kondisi riil di lapangan. Ada pula kaum cendekia termasuk ulama sudah mulai bingung berlogika. Jika rakyat didera krisis ekonomi, sebagian pemimpin dan cendekiawannya ternyata didera krisis nurani.

Seperti saya sampaikan di awal tadi, kita bisa menghabiskan berlembar-lembar kertas menuliskan “kebingungan” demi “kebingungan” tersebut. Namun apa gunanya kita menyalahkan pemimpin semata. Tidak, tidak ada manfaatnya, malahan mungkin menambah dosa kita sendiri. Lalu apa yang harus kita lakukan?

Tidak lain, mulailah dari diri sendiri. Karena dikala orang lain tidak memulainya, maka dengan memulai dari diri sendiri dan kelompok, demi kelompok, terus membesar dan disebarkan dengan berbagai cara, kita harus yakin bahwa perbaikan insyaAllah akan tiba. Dan salah satu cara yang bisa dilakukan adalah berhemat atau tidak boros. Perintah dan anjuran untuk berhemat ini sangat cocok dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini yang sedang didera terutama oleh krisis energi, khususnya BBM.

Saya mengusulkan cara-cara konvensional untuk berhemat. Pertama, setiap kita umat Islam hendaklah punya rencana pendapatan dan belanja untuk diri dan keluarga sendiri. Dalam pelaksanaannya hendaklah dipegang pepatah “jangan lebih besar pasak dari pada tiang”. Langkah ini insyaAllah akan membawa kita kepada situasi yang lebih tenang dan terukur serta tidak mudah terpancing untuk mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak direncanakan.

Kedua, kembali menggalakkan gerakan menabung baik menyimpan harta di Bank, menggunakan celengan atau membeli emas yang lebih tahan berbagai goncangan akibat berbagai perubahan kebijakan moneter dan lain-lain. Hal ini perlu terus disosialisasikan kepada semua anggota keluarga, termasuk anak-anak. Bukankah rajin menabung secara langsung mencegah kita untuk tidak boros? Bukankah rajin menabung pangkal kaya?

Ketiga, secara sadar dan sedini mungkin melaksanakan penghematan atau mengirit pengeluaran. Hal ini bisa dilakukan dengan memilah-milah dan menganalisa satu persatu pos-pos pengeluaran kita di rumah tangga. Sesungguhnya, untuk masalah energi, ini juga berarti kita telah membantu kebingunan pemerintah dari sisi permintaan (demand side management). Langkah ini bisa dimulai dari lingkungan sendiri. Misalnya, apakah kita masih memerlukan dua atau tiga mobil mendiami garasi? Bisa juga dengan mengganti bola lampu dengan watt yang lebih kecil. Memeriksa cara penggunaan sterika oleh pembantu. Atau, mungkin tidak lagi menggunakan “magic jar” 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Menghentikan penggunaan air yang berlebihan untuk mencuci mobil. Atau bisa juga melarang anak-anak mengendarai motor sore hari yang menghabiskan bensin hanya untuk “berparade” di komplek perumahan.

Globalisasi juga menyedot isi kantong anda. Apakah anda terlalu sering menggunakan SMS atau telepon untuk hal yang tidak urgent? Menghentikan hobi yang sering mengikuti undian berhadiah yang sangat meriah di berbagai radio dan TV nasional. Dan, masih banyak kegiatan-kegiatan lain yang bisa anda hemat. Sungguh tidaklah bermanfaat menghambur-hamburkan harta dengan cara demikian.

Dengan ketiga langkah sederhana di atas, jika dilaksanakan dengan konsisten dan konsekuen oleh satu keluarga, satu RT, satu RW, satu Kelurahan, satu Desa hingga Kecamatan dan seterusnya, tentulah akan memberikan kontribusi yang cukup besar untuk kemajuan bangsa. Juga menjadi lebih penting lagi, dengan berhemat, kita juga terpacu untuk menggunakan teknologi, baik yang tepat guna atau teknologi tinggi, dalam membelanjakan harta dan bekerja secara lebih efisien. Selayaknya krisis demi krisis bukan hanya menyulitkan kehidupan, tetapi juga menjadi pemicu suatu penemuan-penemuan baru oleh pemuda-pemudi Indonesia dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Apakah berhemat itu berat? Sebenarnya, insyaAllah, menjadi lebih mudah, terlebih-lebih jika mulai merealisasikan semangat berhemat itu di bulan Ramadhan. Bukankah berpuasa itu hakikatnya mengendalikan diri sendiri, bukan hanya dari rasa lapar, haus dan dahaga, tetapi juga mengendalikan berbagai hasrat yang pada akhirnya akan menggiring kita menjauh dari tujuan hidup kita, yaitu jadi umatNya yang bertaqwa.
Sungguh nyata perintah Allah untuk berhemat dan tidak memboroskan harta. Merugilah kita jika tidak mengindahkannya.

Wassalammualaikum Wm WB.

________