Saturday, January 24, 2009

TELEKOMUNIKASI, INDUSTRI KREATIF, DAN TANTANGANNYA



Oleh: Eddy Satriya
Asdep Telematika dan Utilitas, Kantor Menko Perekonomian. Pendapat pribadi. 

Edited version yang telah diterbitkan  di harian Media Indonesia 23 Januari 2009 halaman 18
       Berlangsungnya proses konvergensi yang sangat cepat antara telekomunikasi, teknologi informasi (TI), dan penyiaran (broadcasting), telah memacu kompetisi yang semakin ketat dan terbuka di sektor telekomunikasi itu sendiri. Kondisi tersebut tidak bisa lagi dihindarkan, baik oleh operator incumbent ataupun pendatang baru. Dengan kata lain, konvergensi telah menggiring terjadinya perubahan pada pola bisnis, tingkat kompetisi, dan penyiapan regulasi. Bagi operator, akhirnya mutu dan jenis layananlah yang menjadi faktor penentu keberhasilan mereka. Sementara itu,  konvergensi ternyata memberikan tantangan yang tidak mudah pula bagi pemerintah dalam mengatur bisnis telekomunikasi. 
   Sejak diberlakukannya UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi, berbagai kemajuan telah dicapai dan hasilnya telah dirasakan langsung pengguna jasa. Sektor telekomunikasi, khususnya telekomunikasi seluler,  merupakan satu-satunya sektor jasa yang mampu memberikan pelayanan dengan harga yang makin terjangkau masyarakat.
 Dijelang krisis ekonomi finansial yang dampaknya mulai terasa di dalam negeri, sektor telekomunikasi masih mampu bertahan untuk memberikan pelayanan terbaik dengan tarif yang kompetitif. Besarnya peluang usaha telah membuka jalan bagi investasi asing, khususnya dalam bentuk kepemilikan operator seluler. Meskipun demikian, perkembangan telekomunikasi di Indonesia juga diwarnai oleh beberapa persoalan yang membutuhkan penyelesaian menyeluruh seperti kesenjangan digital antardaerah, kejelasan tentang menara telekomunikasi bersama, tertundanya pelaksanaan USO Telekomunikasi, dan ketidaksinkronan regulasi dengan pemerintah daerah.
Kinerja Sektor Telekomunikasi
Pertumbuhan sektor telekomunikasi Indonesia pasca UU 36/1999 tidak dapat dilepaskan dari pesatnya pertumbuhan jaringan bergerak nirkabel (wireless). Jumlah pengguna telepon nirkabel di Indonesia pada tahun 2004 mencapai 32 juta. Angka ini kemudian tumbuh menjadi 130 juta pada Juli 2008. Laju pertumbuhannya sebesar 52 pengguna/menit. Sebaliknya, jumlah sambungan telepon tetap (PSTN) justru berkurang sejak tahun 2005. Meskipun belum ada angka resmi, hingga akhir 2008 jumlah total sambungan telepon di Indonesia diperkirakan mencapai 150 juta satuan sambungan.
Liberalisasi perdagangan jasa turut pula mewarnai perkembangan telekomunikasi di Indonesia. Pasar telekomunikasi yang sebelumnya monopolistik mengalami transformasi menuju pasar bebas berbasis kompetisi. Saat ini terdapat sebelas operator layanan telekomunikasi, sepuluh di antaranya bergerak dalam pasar layanan telekomunikasi nirkabel. Sejak besaran tarif interkoneksi diturunkan oleh pemerintah pada tahun 2007, tiga operator seluler terbesar telah menurunkan tarifnya sebesar 44%-70% yang memberikan kenaikan volume percakapan rata-rata pelanggan sebanyak 35%-280%.
Namun demikian, tingginya okupasi jaringan yang didorong oleh perang tarif telekomunikasi telah berpengaruh terhadap turunnya mutu layanan (service level) karena keterbatasan kapasitas jaringan. Bentuk penurunan mutu layanan yang banyak dialami adalah tingkat successful call ratio (SCR) yang rendah, tingginya delay untuk melakukan panggilan, dropped call di tengah pembicaraan, sinyal yang tiba-tiba melemah, hingga kualitas sambungan yang kurang bagus.
Tantangan ke Depan dan Industri Kreatif
Peningkatan kebutuhan akan ketersediaan jaringan, pertumbuhan konten (aplikasi) yang membutuhkan koneksi jaringan yang lebih stabil, dan kebutuhan investasi dalam menghadapi era konvergensi merupakan faktor pendorong bagi operator untuk menaikkan kapasitas jaringannya. Pada era transisi, layanan data diprediksi akan tumbuh dengan lebih pesat dibanding layanan suara.
Pertumbuhan konten multimedia masa depan juga akan menimbulkan pergeseran makna digital divide. Kesenjangan digital antara daerah maju, berkembang, dan terbelakang, serta antar daerah perkotaan dan pedesaan, perlahan-lahan akan mengecil pada layanan teleponi dan Internet. Namun kesenjangan menjadi semakin nyata pada layanan broadband. Dengan kata lain, fokus layanan dan kesenjangan digital yang saat ini berada seputar kuantitas, cakupan, dan akses akan bergeser menjadi kesenjangan dalam hal kualitas dan kapasitas.
Dengan demikian menjadi tantangan pula untuk meningkatkan kerjasama antara penyedia konten (content provider) dengan operator. Ke depan, jika kita menginginkan fasilitas eksisting telekomunikasi untuk meningkatkan produktifitas, sangat diperlukan terciptanya pola kerjasama (pembagian hasil) yang baik antara operator dengan penyedia konten sebagaimana praktik di banyak negara maju.
Dicanangkannya tahun 2009 sebagai tahun Industri Kreatif Indonesia oleh Presiden, jelas memberikan tantangan tambahan dalam pengelolaan industri telekomunikasi nasional karena industri kreatif merupakan aplikasi telematika yang sangat mengandalkan ketersediaan infrastruktur.
Lepasnya berbagai tender pelaksanaan proyek animasi internasional dari penggiat animasi di dalam negeri sering kali disebabkan oleh terbatasnya ketersediaan infrastruktur broadband jika dibandingkan dengan ketersediaan pekerja seni yang andal. Namun patut juga dicatat bahwa saat ini sudah semakin banyak pelaku industri TI kita yang memperoleh berbagai pekerjaan lepas dari beberapa industri besar di luar negeri.
Menyatukan potensi yang berserakan dalam bidang aplikasi ini serta merangkul para IT profesional tentu juga menjadi tantangan yang tidak mudah bagi pemerintah dan pengusaha kita. Karena itu, disamping mendorong peningkatan di sisi aplikasi telematika seperti e-commerce, e-government dan industri kreatif, maka institusi terkait  sebaiknya juga segera menyelesaikan beberapa pekerjaan rumahnya. Sebut saja menyelesaikan cetak biru industri Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) nasional, menyiapkan RUU TIK yang lebih komprehensif, menyelesaikan kekisruhan soal menara dan retribusi dengan pemerintah daerah, serta menyempurnakan bentuk dan fungsi badan regulasi telekomunikasi.
Sebagai penutup, kejelian aparat pemerintah untuk memenuhi permintaan dan kebutuhan yang berkembang dimasyarakat juga tidak bisa diabaikan. Jutaan fasilitas telekomunikasi yang tersedia saat ini kiranya bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan nasional seperti halnya sosialisasi Pemilu yang masih dirasakan kurang.
Memang sudah saatnya bersama TIK kita bisa!
______

Thursday, January 22, 2009

Commentary: President of the United States, made in Indonesia

Endy M. Bayuni ,  The Jakarta Post ,  Jakarta   |  Wed, 01/21/2009 8:25 AM  |  Headlines

http://www.thejakartapost.com/news/2009/01/21/commentary-president-united-states-made-indonesia.html
 
How much of Indonesia is there in Barack Hussein Obama, the man who became the 44th president of the United States on Tuesday? More than many people may care to admit.

Obama may not have any Indonesian blood in him, but he spent his first four school years in Indonesia, going to a local rather than an international school, speaking  Indonesian and learning the local cultures. In short, he grew up in part as an Indonesian between 1967 and 1971.

The time children spend in primary school are crucial formative years as they get their first taste of social interaction beyond their immediate family. They acquire some core values and develop aspects of personal character that will be refined in time as they grow up to become the men and women they are destined to be.

In Obama’s case, that means being chosen to serve as president of the United States.

Most articles only mention in passing the four years Obama, born to a Kenyan father and a mother from Kansas, spent as a child in Indonesia. At most, these casual reference note Obama was exposed to the extensive poverty this country was grappling with during those years.

His election campaign managers downplayed his years in predominantly Muslim Indonesia.
During the race for the Democratic Party nomination, the camp of Hillary Clinton – now his choice for Secretary of State but then his chief rival – claimed Obama had attended a madrasah and been schooled in Islamic radicalism.

This allegation set off a US media blitz about Indonesia. To the chagrin of their bosses back home, journalists had to report Obama had gone to first a Catholic school and then a state school in Jakarta. No story there – come home, boys.

If Obama had actually gone to a madrasah, the media would have stayed and gone out of their way to root out what radical teachings he had picked up. But they could not justify digging deeper into what little Obama might have absorbed at a regular Indonesian public school.

They have no idea the story they missed. Time and place do make a man, and they would have understood their new president better if they had lingered a while.

When little Obama arrived in Jakarta in 1967 with his mother, Stanley Ann Dunham, Indonesia was just emerging from a major political crisis and a severe economic recession.

General Soeharto had come to power a year earlier, having crushed the communist movement that claimed – by conservative estimates – more than half a million people. His American-trained economic team was just restoring stability after  runaway inflation of more than 600 percent had done considerable damage in 1966.

While his American peers grew up witnessing the civil rights movement, little Obama grew up thousands of miles away in a country that was barely out of the tumultuous situation aptly described in the 1982 Hollywood film The Year of Living Dangerously.

Obama was not poor by Indonesian standards, but his family did not lead a life of luxury either. They did not live in Jakarta’s exclusive Menteng area where most American expatriates resided then and his parents did not send him to an international school or to Singapore, as most other American parents would have done.

Obama wrote in his 1995 biography Dreams of My Father that he had attended Indonesian schools and played with neighborhood kids: flying kites, roaming the streets and peddling odd stuff for pocket money.

What he did not say in that book was that, in spite of his appearance, the African-American was in large part accepted both at school and in his neighborhood. He could have been mistaken for an Indonesian from Maluku, though he would have been taller, making his adaptation to living like Indonesians easier.

Jakarta then was already a microcosm of Indonesia, where people of different races, ethnicities, cultures and languages mix. Little Obama, or Barry as his friends called him, was exposed to the multicultural life that Jakarta had to offer early in his life.

This is probably one of the main Indonesian take-aways, along with the exposure to poverty around him, which prepared Obama for his return in 1971 to the United States, a country still very much divided by race. And this week, that same man broke the racial barrier to become the first elected African-American president.

Obama would have developed into a completely different person had he gone to an international school in Jakarta or been sent to school in Kenya with his father. His life path – or personal legend, to use Paulo Coelho’s expression – would have been different and may not have led him to the American presidency.

Granted, we should not make too much of a meal from his years in Indonesia. At the end of the day, it was his mother, with her Midwestern values, who had the greatest influence upon him. But we should also not play down how the years he spent growing up in Indonesia may have shaped the new US president.

Sure, he left in 1971 before he could complete his Indonesian schooling. Bill Gates never finished his Harvard degree either, returning to Cambridge anyway to collect his diploma after becoming successful and wealthy.

Barry, next time you come to Jakarta, we’ll be sure to give you that diploma. You don’t need to attend classes again, just brush up your Indonesian a little.
See you in the not-too-distant future.      

Monday, January 19, 2009

Memanfaatkan Infrastruktur Eksisting TIK dalam Menyongsong Knowledge Based Government

Sabtu, 27 Desember 2008 06:00 Wartaegov.com

Kiranya memang sangat pantas penulis dan penyair Thomas Sterns Eliot, kelahiran St. Louis, Missouri, Amerika Serikat, memenangkan hadiah Nobel bidang literatur pada 1948. Jauh-jauh hari melalui salah satu kumpulan puisinya, ia telah mengingatkan kita semua akan pentingnya rangkaian hubungan informasi (information), ilmu pengetahuan (knowledge), dan menjadi bijak (wisdom).

Karya lawas TS Eliot ini terasa semakin kontekstual dan relevan dalam proses pembangunan suatu bangsa, termasuk Indonesia, yang saat ini terus berupaya meningkatkan perannya di kancah internasional.

Karena itu, badai krisis finansial global yang terjadi akhir-akhir ini sudah selayaknya dijadikan sebagai “wake up call” yang dapat membangkitkan semangat kita mencari terobosan dalam melaksanakan pembangunan di berbagai bidang. Di samping itu, krisis tersebut seyogyanya dapat menambah keyakinan kita bahwa pada akhirnya Indonesia harus mampu “berdiri di atas kaki sendiri” karena sebagai sebuah bangsa yang besar, kita memang memiliki potensi sekaligus pasar yang besar pula.

Setelah berjuang dalam berbagai tahapan pembangunan sejak Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, hingga Orde Reformasi yang memberikan titik berat pembangunan kepada bidang yang berbeda-beda, maka sekarang sudah waktunya pula untuk mencari terobosan baru. Salah satu terobosan yang saat ini patut dicoba adalah pemanfaatan berbagai “gadget” atau fasilitas elektronika telekomunikasi yang sudah ada di sekitar kita. Khususnya pemanfaatan berbagai sarana dan prasarana yang telah kita miliki di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Tidak banyak yang menyadari betapa telah meningkatnya kapasitas telekomunikasi terpasang saat ini. Jika dibandingkan dengan kondisi akhir Pelita VI pada 1988/89, dimana kita baru memiliki kapasitas terpasang sekitar 8,5 juta satuan sambungan (ss), maka diperkirakan 10 tahun kemudian pada 2008 ini kita akan memiliki tidak kurang dari 110 juta ss sebagai kombinasi dari telepon tetap, telepon bergerak (GSM), dan fixed wireless access (FWA). Jelas ini suatu peningkatan signifikan yang memberikan penetrasi tidak kurang dari 50% jumlah penduduk Indonesia sendiri. Demikian pula dengan aksesibilitas internet yang mulai menyebar dengan harga yang lebih terjangkau.

Memperhatikan ketersediaan layanan telekomunikasi dan internet tersebut, yang kemudian juga didukung oleh terbitnya UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta berbagai kemajuan aplikasi TIK yang telah dicapai pihak swasta, maka sudah selayakya potensi yang tersedia di sektor TIK ini segera diberdayakan.

Menjadi pertanyaan sekarang, untuk apa sebaiknya dimanfaatkan? Pihak pro-ekonomi, tentulah lebih cenderung mengutamakan pemanfaatan fasilitas itu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Beberapa indikator TIK seperti kepadatan telepon dari dulu memang telah dipercaya mempunyai korelasi yang erat dengan pertumbuhan PDB suatu negara (Jipp, 1963).

Saat ini Indonesia telah memasuki era transisi dari ekonomi pertanian dan industri menuju ekonomi informasi dan pengetahuan. Meski memiliki keterbatasan dalam penguasaan teknologi secara umum, namun dalam hal pemanfaatan TIK untuk kegiatan ekonomi kita sesungguhnya tidaklah tertinggal jauh.

Bahkan sebagian masyarakat di kota besar tergolong lebih maju dan “melek” dengan teknologi dan “gadget” TIK. Sebagai contoh, pada 1997 masyarakat kita sudah terbiasa menggunakan e-Banking untuk berbagai keperluan seperti pembayaran kartu kredit, tagihan listrik dan telepon. Padahal ketika itu masyarakat di Amerika Serikat dan Eropa masih repot menuliskan check untuk tujuan yang sama.

Sedangkan keinginan untuk memanfaatakan TIK dalam proses demokrasi kelihatannya masih harus ditunda karena terbukti di bidang politik, giliran bangsa kita yang belum bisa mengubah budaya pemilihan manual ke pemilihan online atau e-Democracy.

Memperhatikan berbagai proses birokrasi dan ketatanegaraan yang terjadi sejak turunnya Presiden Suharto pada 1998, penulis cenderung mengoptimalkan pemanfaatan prasarana dan sarana TIK yang ada saat ini untuk melakukan terobosan dalam reformasi birokrasi. Dengan kata lain, kita harus segera memulai era Knowledge Based Government atau KBG. Karena sangat jelas terlihat bahwa setelah lebih dari 10 tahun melakukan reformasi, kualitas birokrasi dan mutu pelayanan publik kita semakin menurun.

Hal ini terbukti dengan makin banyaknya institusi ataupun pejabat yang masih terus melakukan pelanggaran birokrasi seperti melakukan praktek KKN yang tercela itu. Berbagai rentetan panjang praktek KKN terus berlangsung dan tidak terbendung seperti di Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2004 lalu; suap menyuap di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Kejaksaan; penyelewengan dana APBN di Departemen Kelautan dan Perikanan serta Depdagri; hingga terbongkarnya dugaan praktek penyelewengan dana Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Dephukham yang ironisnya, justru memanfaatkan fasilitas TIK melalui situs online www.sisminbakum.com.

Di samping penyelewengan, tercatat pula beberapa kali dana APBN tidak mampu dimanfaatkan dengan baik untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat di berbagai layanan publik. Fasilitas TIK masih sangat minim digunakan untuk melayani penyediaan informasi bagi petani dan nelayan, untuk pendidikan jarak jauh, hingga pelayanan kesehatan. Meski sudah mulai digunakan, prasarana TIK masih belum dimaksimalkan untuk suatu proses e-Budget, pelayanan KTP, dan paspor secara online. Masih tertutupnya pengelolaan sektor migas yang belum memanfaatkan web-based management system, telah mendorong terbitnya hak angket. Memang sebagian besar aktivitas birokrasi dan fungsi pelayanan pemerintah masih bersandarkan kepada cara-cara manual yang tidak efisien dan efektif dan rawan praktek KKN.

Jika kita memang ingin membuat terobosan dan lompatan yang ditunggu-tunggu rakyat sejak lama, maka sudah selayaknya berbagai langkah pemanfaatan konvergensi TIK untuk pelaksanaan kegiatan kepemerintahan (Knowledge Based Government) harus segera dirancang dan dilaksanakan.

“Dengan TIK kita bisa!”

Oleh: Eddy Satriya (Asdep Telematika dan Utilitas di Menko Perekonomian)

Thursday, January 08, 2009

Dua-Dua (sudahkah anda berbuat baik hari ini?)

Agak dingin, begitulah kondisi udara di pagi hari tanggal 7 Januari 2009. Paling tidak selama perjalanan saya dari Cinangka (Sawangan) ke kantor di lapangan Banteng. Seperti biasa, minum banyak air putih di tambah jus, telah membuat saya harus menepikan kendaraan. Jika memilih jalur arteri Pondok Indah, maka SPBU dekat bank permata adalah sasaran "tembak" untuk buang air kecil (BAK). Sedangkan jika lewat Blok A, maka SPBU sebelum pasar Blok A adalah pemberhentian alternatif saya.

Tadi pagi, meski perjalanan tidak terlalu macet, saya kembali harus mampir di SPBU arteri Pondok Indah. Ketika masuk sudah tercium gelagat tidak baik. Dua mobil berbaris sudah terparkir, begitu pula beberapa motor. "Celaka nih" pikir saya. "Pasti antri".

Benar saja, setelah memarkir mobil di tempat yang agak kosong dekat tempat pengisian, saya mendapati sudah 3 orang berjaket, dan ada juga yang masih memakai helm dikepalanya, berbaris. Antri BAK, mungkin juga BAB. Ada yang agak tenang, tapi ada pula yang sudah mulai bergoyang. Tidak jelas memang goyangnya. Karena memang gak ada musik. Asyiikkk, ada yang mulai geram karena yang sedang didalam kelihatannya tidak ingat kalau 4 orang sudah antri. Tidak jelas yang digumamkannya. Tapi jelas dia mengomel.

Pas giliran saya antri paling depan, datang lagi 3 orang "peserta lomba" yang kedinginan. membuka jaket dan helm dua diantaranya juga mulai bergoyang. Jika goyang mendengarkan music jazz mungkin lebih teratur dan "smooth", goyangan mereka juga demikian. Tapi lucu. Goyangannya tidak horizontal atau meliukan badan ke kanan dan kekiri, tapi goyangannya turun naik (maaf bukan goyangan orang lagi "gituan") tetapi persis kayak teman saya yang sering ikut nimbrung joget 17 agustusan. Kedua tangan dikepal, disimpan di dada. Lalu pantatnya turun naik diikuti gerak badan yang lain menyesuaikan.

"Duh cepetan dong!" begitu keluhan orang kedua setelah saya yang mulai tidak sabar. Saya juga udah konsentrasi tinggi untuk bertahan. Takut gak tahan BAK, barabe kan. Orang di belakang saya mulai gak sabaran, ia pun mengetok pintu alumunium standard WC SPBU Pertamina. Saya kalah cepat mencegahnya, takut juga karena BAK bisa berantem nih sama orang-orang pengguna jalan. Persis pengalaman saya ketika ke Bogor beberapa tahun lalu. Ceritanya, terjadi perang mulut setelah orang di dalam kakus keluar karena di gedor oleh yang nunggu. Maka carut bungkang pun keluar karena gedorannya ternyata "menghentikan" laju fluida si orang tersebut. Alhasil, saya hanya senyum simpul menyaksikan dua orang akhirnya berantem. Yang satu sudah gak bisa tahan, sedangkan satunya jadi tidak bisa mendorong 'fluida"nya keluar gara-gara gedoran. Bisa jadi pikir saya, kalaupun saya di gedor orang lagi BAB atau BAK, mungkin juga mengalami harl serupa.

Kembali ke cerita tadi pagi, pas giliran saya, spontantly saya menawarkan kalau ada yang mau "menemani" saya masuk ke dalam. Dengan satu syarat. BAK, bukan BAB. Kontan banyak yang ngacung, tapi tentu saja saya pilih yang pas dibelakang saya. Saya tawarkan karena hafal SPBU nya yang punya dua lobang. Satu di kloset yang tentu menjadi hak prerogatif saya, satunya lagi di lobang air dekat pintu keluar.

ALhasil jadilah pagi itu menjadi hari pertama -seumur-umur setelah dewasa - saya di temani orang lain BAK. Untuk keluar, saya harus setia menunggu karena terhalang dipintu. Soalnya "partner' saya punya kandungan yang lebih banyak atau mungkin debitnya kecil.

Alhamdulillah, saya keluar dengan lega. Juga mendapat terima kasih dari "partner" yang tidak sempat saya kenal. Senyum simpul menghiasi bibir saya ketika kembali ke mobil. Dan saya tidak kuat lagi menahan senyum itu untuk menjadi sebuah derai ketawa yang menyegarkan ketika saya lirik, setelah saya, mereka juga masuk berombongan. Dua-Dua.

Untung tadi yang antri lelaki semua.

===

Menjelang magrib, lapangan banteng, jakarta pusat.
Dipublish juga di FB Eddy Satriya


Dua dah masuk, dua tinggal diluar. Ada yang gulung celana -siap-siap- ada yang goyang pantat..susah emang nahan pipis ya..Mas