Friday, May 29, 2009

PERSAHABATAN BAGAI KEPOMPONG (To all the friends I've loved before...!)

[di dahului dengan permohonan maaf, tulisan ini bukan mengenai sara, tapi adalah tentang persahabatan dan pergaulan di Minangkabau, silakan di komentari dan diberitahu saya mana yang boleh mana yang gak untuk disampaikan. Juga mohon ditambahkan nama2 teman lain yang saya sudah lupa. Selamat bernostalgia]

Jam gadang itu, tak ada 4 nya!

SMP ku..dimana aku dipanggil pak Katua oleh Toni si "bandel" karena
hobbynya memang jadi ketua kelas melulu


Adalah Lo Kok An yang membuat gue penasaran...(maaf ..saya tidak pakai bahasa Indonesia yang benar kali ini..saya pakai lu-lu-gue-gue). Betapa tidak dia sudah berganti nama menjadi Andi Leo, bukan hanya di fesbuk, tetapi tadi di telpon katanya juga dalam keseharian ketika diharus kan oleh peraturan kewarganegaraan.

Nah mumpung fesbuk masih bisa diakses, gue ingin menuliskan semacam kenang2an gue untuk lu lu teman gue mulai dari TK Kuntum Mekar, SD Francsiscus, SMP Xaverius, dan SMAN 1 di kota kelahiran gue..kota Bukittinggi tercinta.

Mungkin tidak banyak yang tahu, betapa sebalnya gue ketika zaman GUsdur diberikan semacam "keleluasaan" bagi warga keturunan Tiong Hoa (maaf kalau istilah keturunan sudah tidak dianjurkan..) tapi gue terpaksa pakai sebagai bagian keprihatinan itu. Gue sebal bukan diberikannya kesempatan lebih atau dijadikannya hari libur Imlek sebagai libur nasional. Bukan pula karena setiap Imlek selalu disinggung masalah kebebasan WNI keturunan atau bukan.

Yang gue paling sebal adalah ketika membaca tulisan-tulisan yang menyatakan bahwa warga keturunan sekarang sudah sama dengan WNI asli. Hati-hati, sekali lagi, bagi gue dari dulu itu sudah tidak masalah karena di Bukittinggi dari kecil hingga besar gue gak pernah merasa ada perbedaan. Sungguh, bagi gue tulisan atau komentar itu terlalu dibesar2kan. Karena dari dulu di Bukittinggi semua orang akrab. Tidak pernah ada orang minang bentrok atau ribut dengan orang Cina (maaf gue pakai istilah itu aja ya..) silakan nanti dikomentari sebaiknya pakai istilah apa. Karena setahu saya sejak kecil orang Cina Minang dan orang Minang asli selalu berdampingan. Mulai dari pasar bawah, pasar atas, dikampung cina sendiri, atau dijalan Komidi (apa sih nama jalannya sekarang) hingga ke pasar banto dan ruko2 dimanapun. SIngkat kata setahu saya..orang cina dan minang yang sama-sama pedagang selalu tenteram dan tidak pernah ribut seperti di daerah lain atau juga negara lain.

Mau contoh yang gue alami?

MAsih ingat pasti semua kita warga Bukittinggi ketika pasar atas terbakar pertama kali tahun 1972. Ketika itu mungking kita baru kelas 2 atau 3 SD Fransiskus. Gaek atau kakek gue punya toko besi termasuk terbesar di pasar atas. Ketika ganasnya api pertama kali membuka mata gue, masih sangat ingat gue lihat dari simpang mandiangin (anak air) betapa api berkobar. Nenek gue almarhum Mardiana sempat shock, begitu pula Mama Gue Emma Heaven (nama aslinya sangat indah yaitu Emmahaven-artinya pelabuhan teluk bayur)..ikut sedih. Juga Bapak gue dengan Om gue Harmen segera berlari ke pasar atas menyelamatkan barang2 dagangan di toko alat2 besi yang tentu saja sangat berat dan susah diselamatkan. SIngkat kata kami semua sedih karena toko Gaek Marah Sutan Mudo habis dilalap api seisi-isinya, sebagaimana toko toko lainnya.

Gue masih ingat betapa setiap pulang sekolah sering mampir ke toko Gaek dan duduk ikut menunggu toko itu dan mulai ikur membantu berdagang. Yah itu baru ketika gue kelas 2 atau 3 SD. Gue ingat banyak orang datang membeli cangkul, pisau buatan Sei Puar yang sangat bagus, bajak sawah, tapak kaki kuda, dengan paku besi nya yang lucu, tajam persegi melancip dengan kepala paku besar, biar tapaknya tidak lepas. Juga ada sterikaan arang batu bara, juga ada uang-uang logam kuno bernama benggo atau lain2 nya. seingat gue, pulang sekolah jam 10an...jalankaki ke tri arga dan duduk sebentar di jam gadang. Biasa juga ke tri arga kita menjajal musuh-musuh kita dan berantem. Ada yang bergulat (katuak2an) ada yang sportif hanya dengan tinju ada pula gaya bebas boleh pakai kaki dan apa saja., Dengan catatan, jika ada yang kalau, harus segera dipisah dan permusuhan dihentikan.....ha ha..lucu ya. tapi itu jauh lebih hebat dan terhormat dibandung anak sekarang tawuran dan lempar batu sembunyi tangan.

Lanjut ke cerita toko Gaek gue. DI toko itupulalah Eddy kecil selalu membuka berkilo-kilo koran baru dari Malaysia dan SIngapore (Strait Times) setiap pulang sekolah. Di toko besi yang besar itu pulalah ( 4 toko atau kios jadi satu di hoek)..Eddy kecil membuka dan mencoba membaca koran bahasa Inggris itu setiap hari mampir disana. Gue hanya berhenti membuka dan membaca koran itu (meski hanya mengerti sebagian) ketika diajak makan siang. Bisa ke simpang raya atau rumah makan di sekitar bubur kampiun sianok. kadang makan soto haji minah. tapi karena gue sangat senang makan kacang ijo dan gue sangat di sayang Om Gue harmen, maka pastilah bubur kacang ijo dulu kita namakan "kacang padi" di buffet sianok itu menjadi langganan di sore hari.

Kembali dulu kecerita kebakaran. Singkat cerita, meski kami sekeluarga sedih dan Gaek menjadi sakit, begitu pula Nenek, karena punya darah tinggi, sebenarnya kami sangat beruntung. Ternayata barang dagangan kakek nyaris selamat semua. Kok bisa? nah inilah pangkal cerita tentang orang CIna Minang kawan2 ku tercinta itu. Bapak saya ternyata dulu itu jagoan pingpong di kampung cina, Om saya Harmen ikut group body building di tempat groupnya bapak dan keluarga Armen SUtiono (dimana dia sekarang tuh?). Ternyata barang-barang dagangan kakek gue telah diselamatkan oleh teman2 nya termasuk para CIna Minang itu. mereka dengan sigap secara beranting membantu membawa barang dagangan itu ketempat aman. Sudah menjadi biasa seingat saya jika kios sebelah adalah milik orang cina, sementara disebelahnya lagi milik orang minang. Saya ingat kios piring teman gue (SMA 3 Sofni Zein) yang manis di pasar atas, diapit oleh toko orang CIna Minang.

Alhasil, meski sebagian barang hilang, dengan bantuan para teman2 om saya yang sterek karena mereka body building dan kuat2, barang dagangan kakek nyaris bisa kembali seperti sediakala seperti sebelum kebakaran ketika untuk sementara pedagang berjualan dikios sementara. Mau tahukan anda kemana para pedagang dipindah sementara? Mereka dipindah persih memenuhi seluruh jalan AYani dari simpang rumahnya Giap (yang jualan pisang goren) hingga ke dekat Jam Gadang. Artinya, kembali kampung cina menjadi tempat berjualan sementara semua pedagang yang kena musibah. Wow..what an harmony progessio..dizaman lamo yah?

Nah..dengan kekerabatan yang sedemikian erat itu, rasanya tidaklah perlu ikut latah para warga Bukittinggin meniru apa yang terjadi di daerah lain. Saya ingat setiap imlek sebagian teman2 Tionghoa (sorry kadang bosan dengan istilah cina) membawa kue imlek dan kami memakannya di sekolah, begitu pula saya sering kerumah Pak Beng (dulu pernah ketemu di jakarta), Cici Mui, dan Bu Giok yang bbrp tahun lalu pernah saya datangi ke rumah nya di daerah tembok ke arah bukit ambacang. Singkat kata, warga Minang dan CIna di Bukittinggi dari dulu sebenarnya satu. Meski terjadi masalah menyangkut status kewarganegaraan dulu, namun dalam keseharian hal itu tidak pernah dirasa.

Karena itu sekedar mengenang teman2 ku, mungkin masih hidup semua atau sudah ada yang mendahului kita, tulisan ini aku persembahkan. Biar kerukunan kita yang sudah dari dulu terbentuk dapat terus berlanjut hingga ke anak cucu dan anak cucu berikutnya.

Gue beruntung, karen ketika di SMP dulu sering jadi ketua kelas..maka akan gue sebutkan nama dan kenangan satu persatu. Urutannya acak dan tidak menyiratkan prioritas. Lo Kok An yang sekarang berganti naman katanya dengan Andi Leo..nah lu tu ye..dari dulu tukang lawak dan pemain harmonika. Boleh lah kalau kita jumpa lu nyanyiin lagu minang dengan harmonika lu. Anggi atau Iskandar,kami ketemu terakhir ketika melayat ayah Anggi yang meninggal di rumah duka di St Carolus, tahun lalu barang kali ya. Anggi ini juga anak pintar, selalu saingan dengan gue terutama matematik. Ia juga keterima di ITB jurusan Fisika TEknik, tapi tidak diambilnya. Ia lebih memilih arsitek di Unpar, Bandung. Terus ada THio Chin Teng atau Tarsisius THio..gue ingat lu teman gue yang baik juga gak banyak kurenah (he he tingkah)..agak tinggi dan tentu saja rambutnya lurus. Ada juga Oei Bian Cin yang membantu ortu jualan onderdil motor mobil di bawah janjang 40 dekat Sate Mak Tuah dulu. Juga SIlviani Tanoto (ini dari dulu namanya demikian). SIl selalu saingan ama gue di kelas jadi juara satu dan dua bergantian ya Sil. Nah saya salut sekali ketika tahu SIl memilih mengambil IKIP di PEkan baru. Kemaren gue kehabisan waktu mencari dia belum hasil. Ortu Silviani berjualan kerupuk balado yang enak dan gurih, dibungkus khusus dengan kertas putih berbentuk segitiga. Tinggal di dekat tanjakan mau naik ke benteng.

Ada juga Tan Sian Lie dipanggil Sian yang manis dan besar badannya. orangnya riang dan lucu. Namanya kalau tidak salah berganti jadi Yanti Gunaawan yang menawan. Tak kulupa si manis Kwe Sin Liu yang pakai nama Theresia. Juga Lie Kim Ai...yang selalu heboh.,riang dan gak bisa diam. Nah siapa lagi ya..? oh ya Pek Tek SIong (yang agak kecil dan dekil he he..) tapi dia jagoan basket juga dan sepaktakraw. Armen Sutiono sudah disebut tadi di depan yang sering gue kalahkan main catur dan pingpong he he. Juga ada si TEnok Welly Kasna di simpang tembok yang berjualan limun. Sayang limun kota atau lokal sudah habis dibabat coca cola dan teh botol. Tenok sama dengan saya masuk PP II di IPB angkatan 19. tapi ia tetap d IPB, saya berlabuh lagi ke ITB karena terlalu stres dan tidak kerasan dengan suasana belajar di IPB.

Masih banyak beberapa teman kita lagi yang keturunan. nanti akan saya sambung. Juga ketika gue pindah setahun ke payakumbuh sangat banyak teman cina disana. Salah satunya ada si ENg yang manis dan baik sama gue. Reno Dewi mungkin masih ingat karena kami sempat sekelas di Payakumbuh. Yang bareng dengan Lo Kok An juga adalah Johan Irwan, sang jago basket smp xaverius kami. Saya gak tahu nama asli Johan karena sudah pakai nama itu dari dulunya. Ada juga Hendri Utama yang dari dulu suka berantem dan gangguin anak perempuan...hehe. Sorry Hendri Utama kalau gak salah teman gue ketika di SD Pius Payakumbuah.

Disamping keturunan cina, gue juga gak lupa bbrp teman yang keturunan India dan lucu2..yaitu Mimi (Jailani) dan Pupa (ZUlfa..saja namanya) yang tadi bereuni SMA3 Bkt.

Ondeh Mandeh..maaf kawan. Juga ada teman2 kita dari Medan dan kabupaten2 di Sumut. Masih ingat Burhan Simare-mare yang kalau sekolah harus bertongkat kalau tidak salah karena memang ada kekurangan. Ada pula Sampe Sinaga dari pelosok serta Albert Situngkir (Malantong). Ini ada cerita, ketika bahasa Indonesia si Albert ini dapat giliran mengisi titik-titik dari pada kata kerja aktifitas atau sifat sebuah kata yang mendahuluinya. Contoh: Kambing mengembik, Sapi melenguh, nah..giliran dia harus mengisi dan membacakan jawaban kata depan yang muncul pas gilirannya adalah Balon. Jelas kami kesulitan, apalagi dia yang baru pindah dari SUmut (maaf kota nya saya gak tahu). Kelas hening sejenak. Nah dari pada diam dan bisu, saya yang duduk bersama dia SMP Xaverius kelas 2 mebisikkan kata "Malantong" sebagai ganti kata "Meletus". Mendengar jawaban mantap dari Albert dengan logat Medan yang kental tentu saja seiisi kelaspun meledak tertawa. Termasuk guru bahasa Indonesia pengganti Ibu Kartini itupun terdiam, tapi tidak bisa marah.

Sejak itu kami panggillah Albert ini dengan marga baru "MAlantong" yang artinya adalah meledak atau meletus dalam bahasa Minang yang kental. Dimana dikau sekarang teman2 ku? SAya mengerti engkau tentu harus menjalani hidup yang sulit pada masa itu karena dikirim dari SUmut untuk juga "mengabdi" di gereja di Bukittinggi yang sebagai imbalan dapat bersekolah. SUngguh suatu kenangan berbagi yang indah bagi gue..(sorry gue lagi neh biar konsisten).

Demikian kawan2 gue persembahkan note ini sekedar mengingat kenangan lama gue ketika menghabis kan masa2 kecil SD, SMP, dan SMA di Bukittinggi tercinta. Sekali lagi, kami dari dulu bersaudara dan merasakan pertemanan yang lain dari kebiasaan orang sekarang.

Jika anda ribut2 menyuruh kerukunan dilaksanakan, kami di Bukittinggi telah menikmatinya. Sekali lagi, kami telah menikmatinya. Sungguh suatu pelajaran dan perjalan hidup yang kemudian memberi bekal ketika harus hidup di Jawa dan juga di negeri orang, jauh di seberang dunia dengan adat, agama, dan kebiasaan berbeda. Alhamdulillah ya Allah..kau beri kami teman dari berbagai macam suku bangsa dan semoga persahabatan kami memang seperti kempompong, merubah yang tak mudah menjadi indah serta mampu maklumi teman hadapi perbedaan (lirik "kepompong" nya Sindentosca)!

Amin, Ya Rabbil alamin.

-------------
Catatan: Pasar atas dalam perjalanannya kemudian " terbakar" lagi beberapa kali sejak tahun 1972 yang tentu saja menyisakan duka dan kesengsaraan bagi sebagian besar keluarga pedagang di Bukittinggi. Hingga sekarang mestinya pasar itu harus di cek lagi kekuatan strukturnya.



Evitriyeti, Anggi, Tan Sian Lie (Yanti Gunawan), dan Siti Mariah isteriku,
ketika di rumah duka St Carolous, jakarta.

Tuesday, May 26, 2009

Donat Pemberian yang jadi Penyelamat

Facebook | Your Notes


Bagi yang sering berpergian dengan pesawat udara, tentulah terminal 2 Bandara Soekarno Hatta sudah menjadi keseharian. Ketika akan berangkat hari Jumat lalu menuju Pekan Baru, setelah Checked-In, sayapun menuju ke ruangan terminal. Karena waktu masih tersisa sekitar 40menit sebelum jadwal keberangkatan saya pun menjadi ragu. Mau masuk lounge perasaan masih kenyang karena sebelum berangkat sudah sempat makan siang di rumah. Langsung ke ruang tunggu juga "ngapain?", begitu kata hati saya.

Meski gak mantap, saya mengikuti saja kaki melangkah kearah lounge yang bisa dibayar dengan Rp 1 saja dari kartu kredit saya. Maaf, kartu kredit hari gini bagi PNS kiranya mutlak, karena uang SPPD sering telat turun, sementara kita sudah harus berangkat untuk menghadiri rapat atau seminar di luar kota. Dalam seloroh, sering kami "plintir" bahwa kita terpaksa ngutangin negara (maaf bapak dan ibu menteri serta pimpinan..gak enak kedengarannya, tapi itulah kenyataannya..kami sering talangin dulu itu hotel atau biaya perjalanan..baru pulang dibayar oleh pimpro atau P2K).

Sebelum sampai ke lounge yang saya tuju, persis di depan cafe, setelah toko buku Periplus (terminal 2), saya ditahan seorang anak muda yang memberikan donat dibungkus kertas yang sudah agak berminyak. Sedikit lengket, donat polos berlapis gula itu saya terima dengan ragu. "Promosi pak" sergap si anak muda. "nanti mampir ya pak!" lanjutnya lagi ketika saya mengangguk dan mengambil donat itu. Saya juga meragu. Saya mau ke lounge tadinya mau minum yang ada sodanya untuk membuang kembung saya. Memegang donat, saya berpikir, "masak bawa donat ke lounge yang juga banyak makanan disana?" Ah cukup merepotkan. Terlintas untuk membuang saja karena alasan praktis dan saya juga udah jauh dari si anak tadi, tak perlu malu, pikir saya. Namun untuk membuang makanan, sungguh beban berat bagi saya. Di bawa merepotkan karena ada minyak di kertasnya dan lengket gulanya juga terasa di tangan.

Akhirnya resleting back pack saya buka, bagian depannya. Dengan bismillah saya masukkan donat itu sambil mewanti2 diri sendiri agar jangan lupa karena akan bersemut dan tambah repot. Sekilas terlihat tempat sampah. Setan kembali mengganggu saya..buang, tidak, buang, tidak. TOh di lounge banyak makanan. Alhamdulillah saya sementara menang (untung bukan R4ni..ha ha). Akhirnya sang donat "menginap" di tas saya.

Sesampai di Pekan Baru dan setelah kembali ke hotel dari tempat seminar pada Sabtu siang keeseokan harinya, saya memilih istirahat dan tidur siang karena tadi malamnya berkumpul dengan teman2 alumni SMA1 Bukittinggi di Pekan baru. Kangenan membuat kami mengobrol sampai tengah malam lewat. Benar saja, karena masih merasa kenyang kembali dari hotel, saya melewatkan makan siang. Ketika terbangun sekitar pukul 15.00, perut sayapun berontak minta diisi. Lapar sekali. saya cepat buat teh manis. mau pesan makan di hotel..ah pasti begitu2 saja, nasi goreng, mie goreng, bubur dan soto ayam atau sop buntut. Sementara saya pengen sekali mencari sate padang, karena tadi siang ketika kembali kehotel belum ada yang buka.

Singkat cerita, ditengah kebingungan dan kelaparan..saya juga meragukan kalau tidak makan lalu jalan kaki keluar ke arah perpustakaan provinsi yang ingin saya tuju cukup jauh. Ah..saya terpaksa mengalah..dan memutuskan untuk pesan ke kamar saja. Namun alhamdulillah sebelum room service saya dial, teringatlah donat yang kemaren saya masukkan ke dalam bac pack saya. Sungguh tiada kata yang dapat saya ucapkan selain bersyukur. Donat itu telah menyelamatkan saya pada saat yang saya butuhkan. Karena pesan makan hotel jam 15.00 juga gak biasa dilakukan, nanggung.

Di temani secangkir teh yang sudah saya seduh, dalam sekejap donat pun lenyap dalam syukur dan nikmat. Sungguh petuah ortu untuk tidak membuang makanan dan ajaran yang menyebutkan "Berbuat mubazir itu adalah perbuatan syaitan" benar-benar nayata adanya dan wajib diamalkan.

Sungguh donat pemberian si anak muda yang berpromosi (baru sekali itu ia saya lihat disana)..sangat mujarab dan pas dengan kebutuhan saya. Disamping menyelamatkan kantong saya bbrp puluh ribu jika memesan makanan yang saya tidakbenar2 pengen.

Setelah shalat dan menghabiskan teh manis buatan sendiri itu, saya pun dengan mantap meluncur kearah perpustakaan yang berbentuk rehal itu dijantung kota Pekan Baru. Lalu dibelakangnya barulah saya dapat menyantap sate padang dengan segelas air tebu giling murni yang juga tidak kalah nikmat. Ya Allah dengan nikmatmu aku bersyukur..mudahkanlah segala urusan ku. AMin!

hm ada sate eunak juga...nambah 2x, soalnya lapar..belum makan siang

minumannya sari tebu tanpa gula dan es...murni oui!

Wednesday, May 20, 2009

They Screwed up Everything

Facebook | Your Notes

Pak Budiono dilepas dari Kantor Menko Perekonomian oleh para Menteri Ekonomi.
Persis satu tahun sebelum dinobatkan sebagai Cawapres.Pertengahan Mei 08 - Mei 09.


Judul posting di atas adalah jawaban yang diberikan seorang profesor saya ketika kami berdisksusi di salah satu pojok Homer Babbidge Library, University of Connecticut, CT, USA (1995-97). Ketika itu sedang hangat-hangatnya pemilu presiden yang akhirnya dimenangkan kembali oleh Presiden Clinton.

Judul itu pulalah yang kiranya pas, untuk menjawab pertanyaan yang saya ajukan dalam artikel saya dibawah ini. Artikel yang saya tulis lebih dari 6 tahun lalu itu telah menjadi salah satu "master piece" saya yang sangat saya sukai dan paling sering saya forward ke teman2 yang sering meminta artikel baru saya. namun ketika artikel baru saya lagi seret, maka sekedar obat rindu teman2 yang jauh dirantau orang biasanya saya kirimkan artikel lawas itu.

Meski pak Budiono bukanlah termasuk tipikal dosen seperti yang saya maksud dalam tulisan, namun dengan "tidak kuasanya" beliau menolak pinangan dari Presiden SBY, saya merasa berkewajiban untuk menguakkan kembali hubungan antara dosen (profesor), peneliti, dan birokrat. Untuk seterusnya menjadi politisi. Ada dua alasan utama saya menuliskan ini. Pertama adalah untuk mengingatkan mantan bos saya di Bappenas dan di Menko Perekonomian ini agar memikirkan ulang lagi langkah beliau, dalam arti memantapkan lagi tekad beliau untuk masuk ke ranah politik, yang dari dulu sudah sangat terkenal jauh dari bersih dan bebas dari intrik. Kedua adalah, untuk memberikan pemikiran agar beliau tidak sekalipun nanti mengucapkan kata "menyesal" dengan pilihannya menjadi Cawapres. Bagaimanapun juga pak Budiono juga sudah tidak muda lagi. Waktu beliau sebenarnya lebih baik untuk cucu-cucu beliau seperti pernah disampaikan ketika masih menjabat sebagai Menko.

Pilihan sulit itu sudah diambil beliau. Saya hanya tinggal mendoakan agar niat baik beliau untuk turut memperbaiki kondisi bangsa yang semakin carut marut ini bisa terlaksana.

Selamat ber politik pak Bud! Sukses selalu untuk Bapak, Ibu, dan seluruh keluarga. AMin



==============================================

Dosen, Peneliti, dan Birokrat (SInar Harapan 11 jan 2003)

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0301/11/opi01.html

Oleh Eddy Satriya

Menarik sekali menyimak pernyataan Rektor Universitas Indonesia (UI) Usman Chatib Warsa tentang minimnya kehadiran dosen utama dalam program kuliah Strata Satu (S-1) di universitas terkemuka tersebut. Dosen utama yang dimaksudkan adalah dosen berpengalaman yang memiliki tambahan gelar akademik S-2 dan S-3, termasuk para guru besar.
Sang Rektor menyatakan bahwa masalah ekonomi, yaitu kurangnya gaji yang diterima dosen dari pemerintah merupakan penyebab utama, di samping masih belum seimbangnya rasio dosen dan mahasiswa.

Kekurangan gaji akhirnya ditutupi dengan mengajar atau bahkan juga terlibat dalam pelaksanaan proyek di berbagai perguruan tinggi lain. Padatnya jadwal tambahan mengakibatkan dosen bersangkutan mengalami kesulitan dalam membagi waktunya untuk mahasiswa UI sendiri.
Walaupun minimnya kehadiran dosen utama tidak terjadi pada seluruh fakultas, pengakuan jujur oleh rektor yang baru terpilih ini tentu saja mencuatkan keprihatinan yang mendalam bagi kita semua.

Keprihatinan yang patut dan wajar karena kondisi ini ternyata masih saja berlangsung di saat berbagai krisis masih bercokol di bumi Indonesia. Sementara era globalisasi dan perubahan tatanan ekonomi baru dunia dewasa ini semakin menuntut sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang berdaya saing tinggi.
Bagi sebagian rakyat Indonesia yang pernah beruntung mendapat kesempatan sekolah ataupun menjalani pelatihan di luar negeri, terutama di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), tentulah dapat merasakan perbedaan dosen di sana dengan dosen di Tanah Air dalam menjalankan tugasnya.

Mereka memang lebih mampu membagi waktunya untuk tugas mengajar, menghadiri konferensi, tugas administrasi, tugas penelitian serta tugas-tugas lain di negara bagian dimana universitas tersebut berada. Sudah menjadi kebiasaan dosen di AS untuk memampangkan sebuah board yang berisikan informasi tentang telepon dan e-mail dosen bersangkutan guna kemudahan komunikasi serta informasi jam kerja atau office hour di pintu kamarnya.

Jam kerja tersebut tidak saja memuat jadwal kuliah dan praktikum untuk semester berjalan, tetapi juga memuat slot waktunya yang disediakan untuk mahasiswanya. Di atas segalanya, jadwal atau janji yang sudah disepakati biasanya ditepati sang dosen dengan kehadiran kadang-kadang di atas 100 persen.
Jika sang dosen berhalangan, biasanya ia akan berusaha memberitahukan jauh-jauh hari. Tidak jarang mahasiswa menerima telepon bernada minta maaf dari seorang dosen yang karena berhalangan mendadak terpaksa harus membatalkan janji. Saya pribadi pernah mengalami hal tersebut.

Membicarakan perbedaan antara dosen di AS dengan koleganya di Indonesia pada saat-saat sekarang ini untuk sebagian orang mungkin tidak relevan, tidak populer atau bisa dianggap mengada-ada. Namun pengakuan jujur dari rektor baru UI itu dalam upaya memajukan universitasnya dan mewujudkan misi akademiknya di era otonomi kampus, tentu saja merupakan suatu moment yang sangat penting dan perlu ditindaklanjuti. Ada beberapa alasan untuk itu.
Pertama, permasalahan mangkirnya dosen utama dari tugasnya jarang ditindaklanjuti secara nyata. Kasus ini bukanlah masalah UI semata, tapi juga terjadi di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka.

Dengan menyebutkan alasan ekonomi, secara implisit Rektor UI telah mengakui terjadinya penyalahgunaan waktu oleh oknum dosen utama atau dosen senior untuk menutupi kekurangan gajinya.
Jika tidak ditangani secara serius dan bertahap tentulah hal ini akan dapat menghambat program reformasi di perguruan tinggi.
Kedua, dosen senior dengan jam terbang tinggi biasanya mahir menyampaikan informasi yang sangat dibutuhkan untuk membuka wawasan mahasiswa yang kadang-kadang menjadi lebih penting ketimbang bahan kuliah semata.

Seorang teman dekat saya yang lulusan Planologi ITB, pernah menyatakan kekagumannya kepada salah seorang profesornya. Sedikit berlebihan, ia berkomentar bahwa dengan sekali saja menghadiri kuliah sang profesor tersebut, ia merasa sudah mendapatkan pengetahuan luas yang bisa merangkum berbagai bahan kuliah yang diperoleh selama dua sampai tiga tahun di ITB.

Pengalaman saya menjadi dosen tamu di UI dan beberapa PTS di Jakarta menunjukkan bahwa mahasiswa kita memang sebaiknya dibekali dengan berbagai perkembangan aktual yang terjadi di masyarakat dan dunia usaha. Selain itu, sudah selayaknya universitas memberikan perkuliahan yang berkualitas dan tertib administrasi, mengingat mahasiswa di era reformasi ini membayar biaya pendidikan relatif lebih mahal dibandingkan zaman Orde Baru.

Terlebih lagi berbagai insentif, fasilitas dan tunjangan untuk mahasiswa seperti bea siswa, keringanan biaya kuliah (SPP), asrama yang bersubsidi, tunjangan percepatan kelulusan dan kredit mahasiswa (KMI) sudah semakin berkurang. Fasilitas tertentu malah telah dihilangkan karena alasan yang kadang-kadang tidak masuk akal.

Terakhir, proses seleksi mahasiswa baru khususnya untuk program S-1 yang konsisten dilaksanakan sejak tahun 1970-an melalui SKALU, PP I, Sipenmaru dan lain-lain, harus diakui telah mampu manjaring calon-calon mahasiswa terbaik di republik ini. Alangkah sia-sianya jika bibit yang bagus tertanam di tanah yang gersang.

Sebenarnya disamping alasan untuk mencukupi kekurangan gaji dan belum optimalnya rasio dosen-mahasiswa, tentu masih ada beberapa alasan lain yang menjadi penyebab mangkirnya oknum dosen senior dari ruang kuliah. Salah satunya adalah menjadi birokrat pada waktu yang bersamaan.
Tatkala sudah memasuki zona birokrasi di negeri yang berperingkat ”sangat meyakinkan” dalam hal korupsi, masalah ini tentu menjadi semakin serius dan memprihatinkan. Sayangnya kondisi ini terlupakan seiring hiruk pikuk berbagai persoalan bangsa terutama sejak memasuki era reformasi dan sejak dimulainya tahap inisiasi pelaksanaan otonomi daerah. Padahal mantan Presiden Abdurrahman Wahid secara gamblang sudah mengingatkan bahwa, ”Banyak Profesor dan Doktor Menjadi Maling.”

Jika dilihat kembali ke masa awal orde baru berkuasa, memang banyak dosen utama yang diminta membantu pelaksanaan tugas pemerintah. Hal ini bisa dipahami karena pada masa itu jumlah SDM dengan kemampuan akademik dan intelektual yang memadai memang masih terbatas.
Ada nama-nama besar seperti Sumitro Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, Sumarlin, dan Emil Salim yang pernah menduduki berbagai jabatan penting terutama di bidang ekonomi seperti Menteri Keuangan, Kepala Bappenas dan Menko Ekuin.

Namun jika diamati lebih saksama di masa-masa akhir berkuasanya Presiden Suharto, jumlah dosen, termasuk yang belum senior, yang menduduki jabatan di birokrasi pemerintah masih relatif besar. Para dosen ini bukan saja menduduki jabatan politis menjadi pejabat negara seperti Menteri,

Gubernur, dan pimpinan di berbagai Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) tetapi juga menduduki jabatan-jabatan struktural yang seyogianya diperuntukan bagi pejabat karier.
Jumlah ini hanya mungkin dapat disaingi oleh aparat militer yang berdwifungsi dan menduduki jabatan serupa di birokrasi. Ironisnya hal ini terus berlangsung sampai sekarang, malah semakin menjadi-jadi seiring dengan banyaknya tambahan Departemen dan LPND baru. Sementara TNI, di sisi lain, sudah mulai mereposisi diri.

Tentu wajar saja kalau timbul pertanyaan. Apakah SDM di Departemen dan LPND saat ini memang tidak berkualitas dan sama kondisinya dengan 30 tahun lalu? Atau bahkan lebih buruk? Presiden Megawati pernah menyebut birokrasinya sebagai birokrasi ”keranjang sampah”.

Patut kiranya menjadi pengetahuan kita bahwa sejak 1980-an telah cukup banyak dana yang digunakan untuk membiayai pengiriman pegawai negeri sipil (PNS) melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu S-2 dan S-3, baik di dalam maupun di luar negeri.
Biaya tersebut umumnya berasal dari pinjaman luar negeri yang jika dijumlahkan dari berbagai sumber bisa mencapai ratusan juta dollar. Tidak terhitung pula PNS yang memperoleh beasiswa dari berbagai lembaga atau foundation internasional lainnya. Perlu pula diingat bahwa biasanya selama bersekolah, gaji PNS tetap dibayarkan oleh negara.

Apakah mereka memang tidak berkualitas atau tidak memperoleh kesempatan sehingga pantas mengisi birokrasi ”keranjang sampah”? Wallahualam. Yang pasti hampir 90 % dari mereka yang disekolahkan tersebut adalah putera puteri bangsa terpilih yang lulus saringan SKALU, PP I dan Sipenmaru.

Dosen yang memasuki birokrasi biasanya akan mengalami ”cultural shock”. Pengalaman yang diperoleh selama mengerjakan proyek-proyek pemerintah di berbagai lembaga penelitian dan konsultan di kampus tidak pernah cukup untuk menghadapi masalah dan tantangan birokrasi yang luar biasa kompleksnya.
Di samping substansi dan teknis, pejabat sehari-harinya juga harus memikirkan masalah manajemen, keuangan, administrasi, kepegawaian, organisasi dan keproyekan. Tugas berat ini tentu saja menuntut dedikasi dan jam terbang tinggi mengingat pelaksanaan reinventing government masih jauh dari memuaskan. Sayangnya hal ini sering dipungkiri dan terkadang di anggap sepele.

Hal terberat akan dihadapi manakala sang dosen berurusan dengan keproyekan. Inilah yang menjadi pusat keprihatinan kita. Pekerjaan management proyek yang meliputi proses penyusunan Daftar Usulan Proyek (DUP), Satuan-2, Satuan-3, pembahasan Daftar Isian Proyek (DIP), revisi serta monitoring pelaksanaannya sangatlah kompleks.

Terkadang pekerjaan ini, khususnya pembahasan DIP di Departemen Keuangan, untuk sebagian orang bisa dikategorikan intellectually harassing. Kemuliaan intelektual yang begitu tinggi dan idealisme yang dimiliki di kampus harus berhadapan dengan permainan ”mark up”, ”kongkalingkong”, nepotisme, intrik dan berbagai bentuk praktik suap menyuap yang sering disingkat dengan KKN yang terkenal itu.
Idealisme tinggi yang biasanya masih terpelihara dan mengkristal dalam sanubari sang dosen pelan-pelan akan ikut lebur, meleleh, mencair dan menguap setelah masuk ”sarang penyamun”.

Tekanan keproyekan kadang bukan hanya datang dari bawah dan samping, tetapi juga dari atas. Baik dalam suatu kantor, maupun dari kantor pemerintah lainnya. Hal yang memang kerap terjadi di masa Presiden Gus Dur dan Megawati yang sarat dengan muatan politik partai.
Seiring dengan jabatan di pemerintahan, berbagai jabatan susulan juga akan bermunculan. Yang paling sering adalah tawaran menjadi komisaris di puluhan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan swasta. Menjadi komisaris, biasanya sang dosen akan terbuai dengan berbagai fasilitas yang memang ”enak tenan” yang bisa melupakan mahasiswa atau rencana untuk menerbitkan buku teks kuliah. Terkadang jabatan komisaris terasa dipaksakan.

Sebagai contoh, seorang profesor ahli pertanian yang menduduki jabatan setingkat direktur atau direktur jenderal bisa saja menduduki jabatan komisaris suatu perusahaan di bidang jasa yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan dengan pertanian. Jam terbang? Itu bisa diatur.
Di zaman orde baru, di saat proses privatisasi dan restrukturisasi yang dimotori Bank Dunia melanda banyak BUMN vital, banyak pula direksi BUMN secara cerdik berhasil ”mendudukkan” sang dosen, yang juga pejabat yang berwenang di sektor terkait, menjadi komisaris BUMN yang dipimpinnya. Taktis memang, karena akan memuluskan urusan direksi disatu sisi, tapi biasanya meninggalkan banyak pemasalahan dengan bawahan sang komisaris di sisi lain.

Sebenarnya ada pekerjaan lain yang berpotensi menyita waktu dosen dan membuatnya mangkir dari tugas. Antara lain sebagai peneliti yang mengerjakan proyek di lembaga penelitian yang ada dilingkungan universitas maupun di luar, dan yang sekarang sedang ”naik daun” adalah menjadi presenter dan pembicara di berbagai acara talk show.

Namun dibandingkan dengan menjadi birokrat, pekerjaan jenis ini tidak terlalu berpotensi KKN dan terkadang memang diperlukan untuk kematangan diri. Namun ketatnya jadwal atau buruknya time management terkadang membuat mereka kurang konsentrasi dan terpaksa mangkir dari tugasnya.
Dengan berbagai kesibukan sang dosen di luar kampus, tidak heran banyak mahasiswa saat ini terlihat bolak balik ke kantor pemerintah untuk berkonsultasi. Bahkan tidak jarang pula mahasiswa terpaksa kuliah di kantor pemerintah tempat sang dosen menjabat. Di pihak lain, dosen utama atau profesor yang berhasil menulis buku atau menerbitkan artikel di jurnal tingkat nasional apalagi internasional selama menjabat di birokrasi, bisa dihitung jari.

Keprihatinan Rektor UI tentang minimnya kehadiran dosen utama di universitasnya tentu juga menjadi keprihatinan rektor-rektor PTN dan PTS lainnya di seluruh Indonesia serta keprihatinan kita semua yang sangat ingin pendidikan tinggi di Indonesia maju secara lebih berarti.
Tulisan ini bertujuan hanyalah untuk menggugah rasa keprihatinan itu untuk kemudian ditindaklanjutinya secara bijak. Tidak lebih tidak kurang.

Mengharapkan regulasi maupun aturan tertulis dari PTN dan berbagai instansi terkait dalam situasi sekarang ini, tentulah akan memakan waktu dan menunda proses perbaikan bangsa. Karenanya menjadi penting sekali mewujudkan kesadaran di dalam hati kita untuk bertindak profesional di dalam tugas, memulai budaya malu KKN dalam arti sebenarnya serta tepo seliro terhadap 40-an juta penganggur terdidik dan tidak terdidik yang juga harus menghidupi keluarganya. Namun, kita tentulah tidak melupakan bahwa masih banyak dosen utama yang sangat menjunjung tinggi profesinya. Salut untuk mereka.

Sebagai penutup, tidak ada salahnya kita simak pertanyaan dari salah seorang profesor ITB yang saya jumpai dalam satu seminar di Bandung beberapa tahun lalu. Beliau menanyakan tentang perbedaan profesor (dosen), peneliti dan birokrat.
Seperti biasa, profesor yang sudah cukup sepuh tidak akan sabar untuk menasihati kita dan tidak perlu menunggu jawaban. Pertanyaan itupun dijawabnya sendiri. Pelan meluncur dari bibirnya, ”Dalam tugasnya, profesor tidak boleh salah dan tidak boleh bohong. Peneliti boleh salah, tetapi tetap tidak boleh bohong. Sedangkan birokrat, boleh salah, boleh bohong!”.

Astaga! Nah, bagaimana jika guru besar menjadi politisi?

Penulis adalah dosen tamu Program Magister Teknologi Informasi di Fasilkom-UI,
tinggal di Sawangan, Depok.

PKSku sayang, PKSku (tidak) malang.

Public Blog Kompasiana» Blog Archive » PKSku sayang, PKSku (tidak) malang.

Sehari, setengah hari, serta dalam hitungan jam menjelang deklarasi pasangan Capres-Cawapres SBY Berbudi pada tanggal 15 Mei 2009 yang lalu, sebagian besar umat Islam, anggota dan kader PKS, termasuk simpatisan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) seperti saya, masih menantikan sepak terjang dan jurus pamungkas pimpinan PKS. Semua menantikan bagaimana “ending” hubungan antara Partai Demokrat (PD) dengan PKS, sehubungan dengan “hanya di sms” nya pimpinan PKS oleh pihak PD terkait dengan rencana penetapan Pak Budiono sebagai Cawapres bagi Susilo Bambang Yudhoyono yang telah lebih dulu diajuka sebagai Capres dari PD.

“Antiklimaks…..!”

Begitulah berbagai komentar akhirnya berdatangan dan beterbangan di berbagai media. Media cetak dan elektronik menggambarkan kekecewaan, hujatan, dan makian yang sangat menyakitkan dialamatkan kepada kubu PKS. Dari sekedar menyebutkan sebagai gertak sambal, tidak konsisten, tidak ada apa-apanya, hingga ungkapan sangat memalukan bisa kita baca dan dengarkan secara langsung. Demikian pula, berbagai hujatan dan nada ketidakpuasan kader atau masyarakat luas benar2 tumpah di berbagai blog, mailing list, maupun di jejaring sosial seperti Facebook.

Betapa tidak, berbagai kader PKS sebelumnya masih menyatakan ketersinggungan harga diri partai mereka diperlakukan secara “feodal” oleh penguasa. Mereka mencaci maki secara langsung ataupun tidak langsung sikap penguasa yang tidak mau menggunakan jalur komunikasi saling menghargai. Banyak teman saya simpatisan PKS yang sampai detik terakhir masih yakin bahwa pimpinan mereka akan bersikap tegas terhadap SBY. Namun apa mau dikata. Fakta yang ada di layar kaca ketika pencanangan “SBY Berbudi” jelas memperlihatkan bahwa “PKS akhirnya menyerah kepada Yudhoyono” sebagaimana headline Media Indonesia keesokan harinya. Presiden PKS yang beberapa jam sebelumnya

Tidak dapat saya bayangkan harga diri para kader yang dari dulu berusaha konsisten, harus diletakkan dimana setelah kejadian di Sabuga, Bandung itu. Memang politik tetaplah politik. Terus terang karena politik bukanlah ranah yang familiar buat saya, saya tidak ingin mengomentari lebih jauh tentang keterpurukan PKS akibat inkonsistensi para elite mereka ketika harus bersikap menghadapi incumbent.

“Mabuk Kemenangan dan Tidak Mau Dikritik”

Sejak menuai hasil yang diatas rata-rata partai lain dan tergolong memuaskan dalam Pemilu 2004 lalu, saya mengamati bagaimana senangnya para elite dan kader PKS. Tokoh mereka menjadi Ketua MPR, dan beberapa lainnya masuk ke jajaran Kabinet Indonesia Bersatu, meski belum memegang posisi kunci. Dari berbagai kejadian dan “event” yang digelar, kader PKS juga memperlihatkan dominansi mereka dalam berorasi, turun kejalan dan dalam melakukan berbagai aksi damai. Seperti halnya penomena AA Gym ketika jaya dulu, jangan kan orang muslim, kaum non muslim Indonesia saja merasa nyaman dengan kehadiran PKS yang meski mengusung Islam sebagai ideologi partai, namun tetap memperhatikan kemajemukan serta “tepo seliro” dengan penganut agama lain.

Dari berbagai keberhasilan tersebut, kelihatannya mereka terlena. SIkap egaliter yang dibiaskan oleh sebagian kader partai yang berasal dari Sumatera lama-lama dilupakan. Pelan-pelan sikap feodal yang dulu mereka dobrak kembali bersemi dalam keseharian mereka. Sesuatu yang alami sebenarnya. Namun Seperti pernah saya alami sendiri ketika mau beranjang sana ke salah satu tokoh PKS yang kebetulan menjadi pejabat negara di salah satu kota. Keinginan saya untuk bersilaturahmi sebagai warga kota itu dan membawa tokoh masyarakat setempat setelah waktu magrib yang syahdu, ditampik begitu saja. Setelah diterima dirumah sang tokoh, saya ditanya oleh “Ring-3″ mereka tentang keperluan apa dan maksud tujuan lainnya untuk bertemu.

Meski sedikit kesal karena sudah menelpon sebelumnya (nomor telepon rumah saya dapatkan dari tokoh PKS lainnya yang menjadi sahabat saya di DPD) saya berusaha tetap tenang. Berbagai pertanyaan diajukan kepada saya tentang maksud dan tujuan. Saya pun menceritakan tujuan saya beranjang sana dan bersilaturahmi. Namun setelah beberapa pertanyaan lain diajukan, dan saya jawab, tetap saja akhirnya kami diminta datang di hari lain. Singkat kata, meskipun sang Pejabat tokoh PKS itu ada di rumah, kami tidak layak untuk ditemui berdasarkan kriteria para “punggawa” di RIng 2 atau 3.

Kakak ipar saya sedikit angot. Iya juga tidak menduga seperti itu. Ia kecewa. Segera ia meminta saya untuk memberikan saja kartu nama kantor saya yang mempunyai logo Burung Garuda. Saya sabarkan ia. Saya datang kesini sebagai penduduk warga kota sang Pejabat kita, bukan sebagai pejabat dari kantor saya.

Dengan langkah gontai kami pun pulang kembali. Perjalanan saya yang menempuh waktu kurang lebih 1,5 jam dari Sawangan pun sia-sia. Kakak ipar saya masih saja mengomel dan mengungkapkan kekecewaaannya. Besoknya setelah ditolak bertemu dengan sang tokoh PKS yang sebelumnya sudah pernah berkenalan di Mesjid Komplek Perumahan kami di Sawangan, saya menyampaikan kejadian itu kepada tokoh lainnya agar di ambil langkah2 perbaikan. Karena bagaimanapun sikap feodal yang telah berupaya diruntuhkan oleh pendiri PKS dengan kombinasi sikap egaliter dan ketaatan beragama bagi para kadernya sebaiknya tetap dikikis habis.

Kejadian itu sekitar pertengahan tahun 2006. Ternyata saya dan kakak ipar saya saat ini tidak sendiri. Mungkin belasan juta atau puluhan juta mungkin simpatisan PKS merasakannya saat ini. PKS menjadi partai tak berdaya dihadapan PD. Tokoh-tokoh PKS tidak ada bedanya dengan partai lain. Politik memperlihatkan “nature of business” nya dengan jelas.

Mudah-mudahan para elite PKS cepat sadar dan mampu mengoreksi diri. Baik ketika harus tegas berhadapan dengan penguasa, ataupun mampu lebih merakyat dan mengayomi ketika mengurus rakyatnya.

Semoga ini bukan akhir segala nya bagi PKS. Bagaimanapun PKS masih menjadi andalan umat Islam untuk menjaga tegaknya ajaran AL Quran dan Sunat Rasulnya di bumi Indonesia. InsyaAllah.

Monday, May 11, 2009

DOSEN, PENELITI, DAN BIROKRAT (My Audio Book/Article)


Ditulis dan dibacakan langsung oleh Eddy Satriya
Telah diterbitkan di Harian Sore Sinar Harapan 11 Januari 2003

.......Hal terberat akan dihadapi manakala sang dosen berurusan dengan keproyekan. Inilah yang menjadi pusat keprihatinan kita. Pekerjaan management proyek yang meliputi proses penyusunan Daftar Usulan Proyek (DUP), Satuan-2, Satuan-3, pembahasan Daftar Isian Proyek (DIP), revisi serta monitoring pelaksanaannya sangatlah kompleks. Terkadang pekerjaan ini, khususnya pembahasan DIP di Departemen Keuangan, untuk sebagian orang bisa dikategorikan intellectually harassing. Kemuliaan intelektual yang begitu tinggi dan idealisme yang dimiliki di kampus harus berhadapan dengan permainan “mark up”, “kongkalingkong”, nepotisme, intrik dan berbagai bentuk praktek suap menyuap yang sering disingkat dengan KKN yang terkenal itu. Idealisme tinggi yang biasanya masih terpelihara dan mengkristal dalam sanubari sang dosen pelan-pelan akan ikut lebur, meleleh, mencair dan menguap setelah masuk sarang-sarang penyamun. .........



Sunday, May 10, 2009

Titik Noda Reformasi (Audio Article)

Oleh: Eddy Satriya

Telah diterbitkan di Majalah Forum Keadilan 18 Mei 2003


.......Mungkin disinilah awal terjadinya titik noda pada proses reformasi. Nafsu untuk melengserkan seorang Suharto terlalu menggebu dan sangat besar, sehingga mengalahkan nalar. Kebiasaan lama yang tidak memperdulikan perasaan orang lain muncul kembali tanpa disadari. Kemenangan yang dicapai ternyata mengaburkan mata dan hati. Seorang Suharto saja dengan orde barunya masih memberikan tempat yang sama-sama layak kepada jenderal dan pembantunya. Namun sebuah orde yang menyandang nama besar reformasi ternyata membedakan mahasiswa, pesuruh dan makhluk Tuhan lainnya yang masih sama-sama berkaki dua. Pemimpin dan pers sama terlenanya.........

Untuk selengkapnya silakan klik icon play dibawah, selamat menikmati..!