Sunday, November 06, 2011

Just Leave Home Without It!


Pelajaran berharga terkadang dibayar harus cukup mahal, bukan hanya dengan uang tapi juga dengan rasa malu. 

Mendengarkan azan Isya tadi malam, malam ini, di malam takbiran Idul Adha saya bergegas ke mesjid di Komplek. Biasanya saya tidak pernah membawa HP. Suatu ketika saya melihat ada kawan membawa HP, yg membuat saya tadi entah kenapa ingin pula membawa HP. Mungkin bermanfaat, karena biasanya malam Minggu atau hari MInggu ada pengajian di Mesjid Al-Ikhlas yang sekarang makin tampil mentereng setelah direnovasi oleh pengurus DKM baru. Dari pengajian biasanya sempat saya catat ke dalam notes. Ini biasa saya lakukan jika mendengar kotbah Jumat.

Rakat kesatu dan kedua berlalu.

Setelah bangkit dari duduk menuju rakaat ketiga. Terdengar lagu cukup kencang "Doremi" yang cukup heboh iramanya dari kantong saku saya. Astagafirullah! HP yang sudah saya silent kok masih bernyanyi. Saya kehabisan darah, tersirap, terkesiap dan malu. Mana bunyinya cukup nyaring. Mungkin karena terjepit dicelana ketika duduk dan bangkit shalat, beberapa tombol mungkin On, sehingga muncul lagu yang seingat saya dulu memang pernah saya download. Tapi saya sempat berpikir, rasanya dulu saya lakukan di laptop untuk blog saya, bukan di HP. Namun karena sedang shalat saya sudah tidak bisa lagi berpikir panjang. Yang pasti keadaan menjadi kacau.

Seketika konsentrasi dan kekhusyukan shalat Isya saya buyar. Karena HP nya bersarung, saya coba memencet2 ketika orang sujud. gagal. Sementara suara Budi dengan lirik lagu cukup kocak terus berkumandang yang saya yakin mengganggu juga jamaah sekeliling saya, paling tidak radius 3 meter mereka pasti mendengar. Agak sedikit panik, saya coba kempit HP di kantong dengan lengan saya. Lumayan seketika suaranya agak berkurang.

Konsentrasi saya buyar, menanggung malu. APalagi saya juga berniat sebenarnya menghayati ritual ibadah Isya dan malam takbiran menjelang Idul Adha. Apalagi saya ingin menghayati jejak jejak dan prosesi ibadah haji yang baru tahun lalu saya laksanakan. Dan apalagi lainnya.

Saya mendapat cobaan berat pikir saya. Saya yang dari pagi sudah merasa haru dan tersentuh setiap melihat layar kaca yang menayangkan perjuangan para jemaah yang sedang wukuf. Hari yang indah saya jalani dirumah seharian, kok menjadi seperti bencana justru di dalam rumah Allah yang mulia ini.

Sempat saya ingin merogoh kantong celana pendek, tapi harus membuka gulungan sarung. pasti akan repot. saya memilih diam, tapi penuh rasa gelisah. betapa tidak, malu pun makin  menggunung.

Suara Budi dengan Doremi nya makin terasa kencang berkumandang. Karena orang sudah mulai diam dalam kekhusukan duduk pada bagian akhir shalat. Orang tinggal menanti salam dari Imam, pak Ujang tetangga kami. Sementara Budi suaranya malah makin kencang. Bukannya habis lalu berhenti.

" (do) doakan ku harus pergi 
 D
(re) relakan aku di sini
Em
(mi) misalnya aku kan pulang 
C
(fa) fastikan kau tetap menunggu

G
(sol) soal cinta luar biasa 
D
(la) lama-lama bisa gila
Em
(si) siapa yang tahu pasti 
C           D
(do) doakan aku di sini".

Bisa anda bayangkan malunya saya yang ingin "memperingati" setahun berhaji di keheningan malam takbiran tiba-tiba justru harus menanggung malu yang tidak terbayangkan. 
Jelas suatu kesalahan fatal yang sulit dimaafkan dan sulit dibayangkan akal sehat bisa terjadi pada saya. Pak Haji malah lalai mematikan HP nya sendiri. Mana orang melek IT lagi. Begitu pikir saya. 

Saya sudah pasrah. Setelah tadi saya coba memencet dari luar tidak bisa. HP nye memang terbungkus saring kulit cukup tebal. Saya memilih ikut diam saja menunggu salam dari Imam. Sementara suara Budi penyanyi "doremi" ini makin kencang.

Alhamdulillah, Sang Imam mengucap salam, pertanda akhir salat. Saya memilih segera berdiri, dan sambil mengucap maaf kepada jemaah sekeliling saya memegang kantong celana agar bunyi musik berkurang. Namun saya heran ketika saya tutup dengan tangan, suara lagu "Doremi" yang kocak itu bukan nya makin pelan. Justru bertambah kencang.

Ternyata, Budi bernyanyi "Doremi" bukan dari HP saya. Rasa kaget bercampur senang dan kesel menyeruak ketika saya menoleh kebelakang dan melihat jamaah disebelah kanan saya dengan tenang merogoh HPnya. Sambil mematikan HP nya ia berucap,"Maaf pak, saya lupa mematikan HP saya"  ujarnya.

Saya kehabisan kata-kata. Alhamdulillah saya tidak marah. Mungkin karena beban berat dipundak saya ikut hilang. Saya bersyukur sambil menepuk-nepuk punggungya dan geleng2 kepala. 

Saya tidak perhatikan lagi jemaah itu. Saya lanjut dengan doa mengikuti ajakan Imam dan bersalam-salaman. Pak Slamet tetangga saya tersenyum dan geleng2 kepala sambil menyebutkan ada orang yang hp nya berkicau tadi. Dia tahu, bukan HP saya. Tapi pak Teddy bertanya " jadi HP siapa itu pak Eddy? ". Saya jelaskan HP orang disebelah saya.

Namun tentu saja jamaah di belakang saya tidak semua bisa tahu persis kejadiannya, dan ketika melihat saya buru2 berdiri sehabis salat, bisa saja mereka mengira saya biang keladi kekacauan salat Isya di malam takbiran yang syahdu ini.

Apa boleh buat, resiko membawa HP ke mesjid harus saya tanggung dengan penuh rasa malu, meski batal. Tapi juga kehilangan kekhusukan shalat Isya di malam takbiran Idul Adha.

Semoga jika memang bisa, pastikan "Just leave home without it!"

---
Sawangan, Malam Takbiran Idul Adha 2011.

Tuesday, August 09, 2011

E-Budget Telat, Korupsi Anggaran Melesat!

http://hukum.kompasiana.com/2011/07/26/e-budget-telat-korupsi-anggaran-melesat/


Masih ingat dengan Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional atau disingkat DeTIKnas? DeTIKnas dibentuk melalui Keppres 20/2006 pada tanggal 13 November 2006. Ia diluncurkan secara resmi langsung dari Istana Kebun Raya, Bogor, Jawa Barat dengan tujuan antara lain untuk menyiapkan menyiapkan bangsa kita menjadi bangsa maju yang salah satu pilarnya adalah TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) atau dikenal juga dengan Information and Communication Technology yang disingkat dengan ICT.
Salah satu flagship programnya dulu adalah E-Budget, yang bertujuan untuk memperlancar proses pelaksanaan APBN dan mengikis praktek KKN yang mungkin menyertai mulai dari proses usulan, perencanaan, pembahasanan, penetapan alokasi dan pelaksanaan APBN itu sendiri. APBN yang menjadi salah satu komponen utama untuk menggerakan ekonomi nasional, khususnya ekonomi riil memang harus dijauhkan dari praktek KKN yang sudah terkenal jahat dan merugikan rakyat.
Sebagai ilustrasi, ada baiknya kami uraikan kembali sekilas praktek-praktek KKN yang sering terjadi seputar APBN. Berkaca ke masa lalu, yaitu ke era orde baru, tidak bisa dimungkiri lagi bahwa dalam mata rantai usulan suatu proyek hingga ke pelaksanaannya, bahkan pada tahap revisi - jika memang proyek memerlukan- memang terjadi proses KKN. KKN yang merupakan singkatan dari Kolusi, Kolusi, dan Nepotisme memang sudah menjadi praktek sehari-hari ketika itu.
Suatu proyek ketika itu dimulai dengan adanya usulan pembangunannya dari satu unit terkecil, bisa di daerah bisa di pusat. Untuk proyek milik atau yang dikerjakan dan berlokasi di daerah, maka unit terkecil katakanlah Bagian X di suatu Dinas Y di Provinsi Z yang akan melaksanakan harus bekerja ekstra keras. Dari awal hingga akhir. Bagian X itu harus beradu argumentasi dengan proyek-proyek lain yang jumlahnya bisa ratusan di dalam suatu kabupaten/kota, lalu ditingkat provinsi. Karena itu, untuk mengawal usulan proyek itu diperlukan dana dan upaya tersendiri.
Biasanya dana yang diperlukan untuk mengawal itu bisa merupakan uang kas pelaksana proyek yang sudah disiapkan dari proses “persiapan” anggaran tahun sebelumnya. Namun kerap terjadi dana untuk menggolkan proyek itu merupakan dana “talangan” dari calon kontraktor atau konsultan yang nantinya akan direkayasa memenangkan tender.
Dana untuk mengawal itu biasanya akan keluar untuk berbagai tempat atau pos, yang  jumlahnya sangat banyak dan berjenjang. Jika usulan proyek, dulu disebut DUP (Daftar Usulan Proyek) dimaksud bisa lolos untuk tingkat kabupaten/kota, maka tiba saatnya DUP itu bersaing lagi dengan proyek2 lain di dalam suatu sektor tertentu yang melibatkan Bappeda dan Sektor dimaksud. Kemudian usulan yang lolos ditingkat provinsi, harus diadu lagi dengan ribuan DUP lain di dalam sektor yang sama. Proses ini biasanya dibahas di tingkat Biro Perencanaan sektor terkait, yang kemudian ditetapkan oleh Sekjen Kementerian atau Departemen di zaman lalu.
Menariknya, proses penetapan usulan di tingkat eselon 1 Kementerian tersebut, biasanya ditetapkan oleh Sekjen, juga sangat ketat. Hanya Pimpro -sekarang di kenal dengan Pejabat Pembuat Komitmen (P2K)- yang benar2 menguasai medan dan rimba peranggaran inilah yang akan mampu menggolkan usulan itu untuk tingkat yang lebih tinggi nantinya. Dulu dibahas dan diusulkan lagi ke Bappenas dan Depkeu (Kemkeu). Setelah disetujui oleh Keuangan dan Bappenas, maka masing2 proyek yang sudah menjadi bagian terkecil untuk di eksekusi, masih harus melalui proses pembahasan yang terkadang“intelectually harrasing” di Kantor Ditjen Anggaran. Dulu pembahasan ini melibatkan pejabat Bappenas dan Depkeu, sekarang peran Bappenas telah digantikan oleh DPR, sementara Depkeu tetap menjalankan fungsi mereka dalam pembahasan dan penetapan nilai akhir proyek.
Jika dalam pelaksanaannya, proyek mengalami masalah dan atau mengalami perubahan, maka harus pula dilakukan revisi proyek yang melibatkan 3 pihak tadi, Sektor, Kemkeu (dulu Depkeu) dan DPR.  Demikian seterusnya, suatu siklus yang tidak mudah memang. Sangat melelahkan dan akhirnya sering  ”dibereskan” dan “dipercepat” dengan fulus berupa uang suap. Uang ini sering dibungkus dengan berbagai istilah, seperti uang transport - kalau kecil- dan tentu saja suap dalam jumlah besar jika membutuhkan pembelokan sasaran, jumlah atau ruang lingkup, dan lokasi.
Sekali lagi, siklus ini sangat panjang dan di setiap tingkatan berpotensi untuk diselewengkan.
****
Kembali ke E-Budget, maka proyek E-Budget yang menjadi tanggung jawab Kemkeu telah ditetapkan menjadi salah satu flagship program dari DeTIKnas. Diharapkan pelaksanaan E-Budget di setiap sektor atau Kementrian dan puluhan kantor pemerintah lainnya, termasuk komisi-komisi dan badan-badan yang dibentuk untuk menjalankan roda pembangun akan dapat memangkas praktek KKN tadi.
Ketika program E-Budget itu dicanangkan dan disiapkan, maka Kemkeu yang bertanggung jawab ketika itu masih harus membereskan sistem anggaran mereka terlebih dahulu. Namun setelah ditunggu hingga tahun 2009 -ketika itu masih dibawah Menkeu Ibu Sri Mulyani Indrawati (SMI), hingga kini program E-Budget ini belum berhasil direalisasikan oleh Kemkeu.
Kita bukan mau berandai-andai. Namun kenyataan yang kita hadapi memang memilukan. Ketiadaan E-Budget telah mempercepat dan mempermarak terjadinya jual beli proyek. Bukan hanya berbagai kasus yang terakhir melibatkan Bendahara Umum Partai Demokrat Moh. Nazaruddin, namun ratusan kasus yang bermuara dari penyelewengan anggaran untuk proyek APBN, telah menjadi berita sehari-hari. Ada gubernur, bupati, anggota DPR dan DPRD yang harus mendekam dipenjara atau menjadi buron.  Seandainya E-Budget telah konsisten dilakukan oleh Kemkeu, tentulah peluang dan ratusan kejadian dan kasus seputar APBN ini bisa dicegah.
APBN bukan hanya meliputi rupiah murni yang menjadi sumber investasi dan pembiayaan proyek pembangunan. Ia juga meliputi bantuan/pinjaman/maupun hibah dari negara donor. Biasanya total dana yang melibatkan pinjaman atau bantuan asing skala nya lebih gigantic. Dan inilah yang menyeret banyak Pimpro atau P2K ataupun pimpinan Kementerian masuk penjara. Kita menyaksikan mulai dari profesor doktor di Kementerian Kesehatan hingga petinggi partai politik dan pejabat biasa setingkat Dirjen atau Deputi. Termasuk mantan pejabat tinggi di lembaga lembaga tambahan yang baru dibentuk seperti KPPU, hingga purnawirawan yang seharusnya sudah bisa hidup tenang di usia pensiun mereka.
Sayangnya penyelewengan APBN ini bukannya berkurang, malah makin menggejala dan menggila. Namun ada hikmah besar yang tidak boleh kita lupakan. Jika program E-Budget dapat dilaksanakan dan dikombinasikan dengan e-procurement yang sudah dijalankan oleh LKPP yang dulu menjadi bagian Bappenas, maka jelas lah bahwa pada tahun 2030 nanti kita memang akan bisa menjadi The Best Ten Economy in the World. Tidak perlu menunggu hingga Republik ini berusia seratus tahun hingga tahun 2045. Paling tidak itulah hasil salah satu report terbaru Standard Chartered Bank. Mereka meramalkan India berada di posisi ketiga, dan Indonesia pada posisi ke 6, melampaui German, UK, Mexico dan Perancis. Kita hanya kalah dari CHina, US, Brazil, India dan Jepang.
Jika seorang Nazaruddin bisa memanfaatkan berbagai produk ICT, mulai dari SMS, Black Berry Mesanger, TElepon Interview via Media, hingga conference via Skype, maka sudah selayaknya pemerintah juga menegaskan kembali pentingnya E-Budget, dan melaksanakannya secepat mungkin baik via DeTIKnas ataupun tidak.
Pilihan ada pada kita, jadi buat apa menunda-nunda lagi. Only time will tell.
______

Mungkinkah Kita Punya Satu Saluran Darurat (911)?

http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/14/mungkinkah-kita-punya-satu-saluran-darurat-911/


Pagi itu saya baru menghabiskan satu putaran jogging di komplek perumahan. Ketika lewat di depan rumah, saya dengar anak bungsu saya berteriak-teriak memanggil Mamanya. Tidak ada sahutan, ia terus berteriak dan semakin kencang serta histeris. Segera saya bergegas masuk rumah, masih dengan sepatu terpasang.  Di kamar kami, isteri saya terkapar tidak sadarkan diri. Ada busa keluar dari mulutnya. Panik! Itulah yang saya rasakan meski saya sempat menenangkan diri sejurus lamanya. Mau telepon? ke siapa dan nomor berapa? Kalau kejadiannya waktu kami sekolah dulu di salah satu negara bagian di Amerika Serikat sana, pastilah saya otomatis sudah menyuruh pembantu atau anakku itu menelpon 911. Sungguh, itu jelas suatu prosedur darurat yang rutin dan harus dilakukan, sementara saya tentu akan bisa leluasa membantu memberikan P3K/First Aid terhadap korban.
Selintas, saya memang ingat ada satu nomor untuk polisi di Indonesia kalau tidak salah 112, juga ada nomor lain untuk ambulance. Namun ketika kejadian itu terus terang saya tidak yakin dan tidak tahu harus menelpon siapa, dan nomor berapa. Sayapun memutuskan segera membawa isteri yang sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri ke unit gawat darurat sebuah rumah sakit yang  terdekat dari rumah. Sambil menjaga kesadaran isteri bisa pulih, sayapun mengoleskan wewangian di hidungnya.
Alhamdulillah, dalam perjalanan ke Rumah Sakit, isteri saya mulai siuman dan segera dimasukkan ke instalasi gawat darurat. Setelah pernafasannya dibantu dengan oksigen, perlahan isteri saya sudah siuman dan kemudian istirahat sambil diperiksa dan diberikan tindakan medis lebih lanjut oleh dokter jaga.
***
Sekelumit cerita di atas memberikan gambaran dan kepastian bagi saya bahwa bangsa kita belum siap dan memang masih tertinggal dalam hal melayani warganya untuk kondisi-kondisi darurat. Apakah itu terkait kesehatan seperti yang saya alami, terkait kejahatan dengan kekerasan atau maling biasa, terkait terorisme ataupun kebakaran dan bencana alam lainnya. Kemajuan dunia telekomunikasi nasional yang sudah cukup baik, belum diikuti oleh aplikasi layanan berstandar nasional ataupun dunia yang sebenarnya logis dan tidak mengada-ada. Meski saat ini Indonesia sudah berada di atas rata-rata dalam hal penyediaan fasilitas telekomunikasi seluler, integrasi layanan yang menguntungkan bagi masyarakat masih sulit diwujudkan karena kelihatannya masih sangat tergantung kepada interest berbagai pihak seperti operator dan kantor2 tertentu sesuai layanan yang harus diberikan.
Pernah kah anda bayangkan ketika suatu saat anda mengalami musibah, katakan kebakaran atau ada kompor meledak, rumah tersambar petir ataupun di suatu malam anda memergoki maling sedang menyatroni rumah atau mobil tetangga? Siapakah yang akan anda hubungi dan di nomor berapa? Memang sekarang sudah ada info terkait dengan mengirimkan sms kalau tidak salah ke nomor 7070, atau saluran dan sambungan lain. Namun bagi saya tetap saja masih membingungkan, karena setiap jenis layanan memiliki nomor berbeda.
Ambil saja contoh berikut. Kota Lahat di Sumatera Selatan mencantum kan No 113 untuk Pemadam Kebakaran, 112 untuk Polisi, dan 123 untuk gangguan listrik (PLN), sementara kota Magelang memiliki no 113 untuk Pemadam Kebakaran, 118 untuk Ambulance, 110 untuk Polisi, 362019 untuk PLN. Surabaya memisahkan Ambulance dengan Ambulance kecelakaan menggunakan dua nomor berbeda pula dan seterusnya. Berbeda kota atau pulau berbeda pula prosedurnya. Padahal semuanya berujung kepada urusan nyawa dan harta benda yang tidak bisa dipisahk2kan seperti penomoran tersebut.
Karena itu sudah seharusnya pemerintah pusat atau kementerian terkait segera mengatur merapikah hal ini. Terserah instansi mana yang harus mengomandani, harus jelas penunjukkannya sehingga tanggung jawabnya masing2 menjadi jelas, sebagai apa dan mengerjakan apa. (Who does what).
Sudah semestinya berbagai nomor yang terlibat untuk kondisi darurat tersebut dapat diintegrasikan menjadi satu nomor saja, lalu dari pengelola nomor tersebut lah semua tanggung jawab diberikan secara terpisah. Kita tidak usah malu meniru sesuatu yang baik. Katakanlah kita berhasil menetapkan nomor 911 sebagai nomor utama pengaduan kondisi darurat, maka operator 911 kemudian bertugas meneruskan permintaan layanan darurat tersebut kepada institusi terkait. Operator harus mampu mengidentifikasi layanan apa yang dibutuhkan korban atau pelapor lalu meneruskannya kepada Ambulance, Pemadam Kebakaran, Polisi, Layanan darurat medis, atau layanan lainnya.
Sesungguhnya ini bukanlah hal yang sulit dan bukanlah sebuah mimpi besar, tetapi sesuatu yang seharusnya sudah tersedia beberapa tahun lalu untuk bangsa sebesar Indonesia ini.
Jadi, janganlah tunggu kepanikan itu datang lagi kepada anda tanpa anda sendiri mengerti harus menghubungi satu nomor “sakti” yang sangat berguna di tengah kepanikan yang terjadi.
Pertanyaannya sekarang, mau kah kita? Atau anda merasa perlu terlebih dahulu mengalami peristiwa panik yang tidak anda inginkan itu datang? Semoga tidak. Amin!
_____
Catatan: Tulisan ini terinspirasi dari hasil diskusi dengan seorang rekan wartawan Media Indonesia, Jakarta.

Reformasi Syarat2 Pendaftaran Ketua KPK untuk Menjaring Calon Terbaik.

http://hukum.kompasiana.com/2011/06/13/reformasi-syarat2-pendaftaran-ketua-kpk-untuk-menjaring-calon-terbaik/


Ditengah kesibukan, saya masih sempat mengikuti sekelumit berita tentang pemilihan atau tepatnya pendaftaran calon Ketua KPK yang akan habis masa jabatannya. Berita itu menguak kembali memori saya ke tahun lalu dan beberapa tahun silam ketika KPK mencari Ketuanya yang baru dan Ketua pengganti Antasari Azhar yang sekarang menjalani hukuman.
Penasaran, saya mencoba membuka situs www.depkumham.go.id yang memuat syarat2 pendaftaran untuk menjaring calon Ketua KPK yang baru. Setelah membaca dengan seksama, saya kembali lemas dan resah. Karena syarat2 yang ada saya rasakan masih sangat jauh dari syarat ideal untuk menjaring calon terbaik. Di antara syarat2 itu, kembali terpampang bahwa untuk pendafatar, masih saja harus: (a) menyerahkan Fotokopi Ijazah yang dilegalisir oleh perguruan tinggi yang bersangkutan/instansi yang berwenang baik S1, S2, maupun S3; (b) Surat Keterangan Catatan Kepolisian asli dan masih berlaku. Meski tidak perlu lagi menyampaikan SUrat Keterangan Bebas Terpidana dari Pengadilan Tinggi setempat seperti syarat pendaftar beberapa tahun lalu, dua syarat (a) dan (b) di atas bagi PNS dan Karyawan BUMN jelas masih belum reformatif.
Mengapa demikian?
Jika seorang PNS atau pegawai BUMN yang setiap tahun menjalani penilaian dari pimpinannya dengan berbagai perangkat birokrasi yang ada, maka memintakan Surat Keterangan Catatan Kepolisian jelas kurang tepat dan memboroskan waktu dan biaya. Tahun lalu saya pernah mencoba mengurus ke kantor Polisi di daerah domisili, maka saya tidak bisa serta merta mendapatkan SUrat dimaksud, tanpa harus mendatangi dan secara berjenjang meminta surat keterangan terlebih dahulu ke RT, RW, hingga Kelurahan, sebelum sampai di Polres atau Polda. Jelas ini memboroskan waktu dan biaya, karena seperti pengakuan salah seorang mantan Ketua KPK dulu, ia memang terpaksa harus memberikan sekedar Rp 80 ribu untuk mempercepat pengurusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian, meski dengan menyuruh supir katanya. Belum lagi dulu harus membayar hingga beberapa Ratus Ribu Rupiah untuk Keterangan Bebas Terpidana yang sekarang sudah ditiadakan.
Sedangkan untuk menyerahkan legalisir ijasah, tentu saja ini juga memboroskan waktu pengurusan dan memakan biaya. Saya pernah berargumentasi dengan Panitia Pendaftaran tahun lalu di Kemkumham di Kantor mereka di Kuningan. Saya berargumentasi, kalau saya harus melegalisir lagi, misalnya ke luar kota seperti ke Bandung, maka saya harus minta izin atau cuti untuk mengurusnya, karena biasanya tidak bisa diwakilkan. Kalau pun mau tidak datang sendiri atau “cincai2″, artinya kita kembali harus melakukan “salam tempel” atau baca penyuapan untuk justru menjadi Ketua KPK yang salah satu tugasnya adalah mencegah atau menumpas penyuapan.
Tahun lalu di depan panitia pendaftaran saya beradu argumentasi, sekedar memberikan pandangan bahwa tidaklah perlu menyerahkan fotocopy ijasah yang masih berlaku/legalisir. Cukup foto copy biasa saja. Nanti setelah diproses dan lolos berbagai tahapan, panitia bisa saja mencek ulang keaslian ijasah tersebut. Begitu pula saya pernah “adu urat syaraf” dengan panitia bahwa tidaklah berguna bagi PNS dan karyawan BUMN meminta SUrat Keterangan Kepolisian. Bukankah mereka sudah tercata rekam jejaknya setiap tahun. Untuk pegawai swasta atau pensiunan bolehlah karena ada tenure mereka tidak lagi memiliki atasan dan rekam jejak untuk jangka waktu tertentu.
Seperti sudah diduga, argumentasi-argumentasi di atas ditepis kan begitu saja oleh panitia. Atau kalaupun diproses, sayapun tidak lulus seleksi administrasi. Tidak apa-apa, karena saya mendaftar bukan untuk menjadi Ketua KPK, tetapi untuk memperbaiki proses rekrutmen guna menjaring calon2 terbaik, bukan hanya dari masyarakat biasa, tetapi juga dari PNS dan karyawan BUMN.
Kondisi yang mungkin tidak pernah menjadi “concern” pimpinan KPK ataupun petinggi di Kemkumham itu sudah seharusnya diakhiri, biar terjaring calon2 yang bersih, beratitude bagus dan berdedikasi tinggi. Bukan untuk memperoleh orang2 yang hanya menjadi “kutu loncat” ataupun masuk KPK dengan motivasi yang tidak sejalan dengan visi dan misi pemberantasan KKN di Republik ini.
Tulisan ini hanyalah untuk menggugah para pendekar hukum di Republik ini agar benar2 bisa berpikiran dan bertindak reformatif, bukan “keukeuh bertahan” dengan pakem2 lama yang sudah sangat tidak sejalan dengan tuntutan jaman.
_______
Lampiran 1: Syarat2 Pendaftaran Calon Ketua KPK saat ini





PENGUMUMAN PENDAFTARAN
SELEKSI CALON PIMPINAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
NOMOR: 01/PANSEL-KPK/V/2011
Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Mengundang Warga Negara Republik Indonesia yang terbaik untuk menjadi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, sesuai dengan Pasal 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus memenuhi syarat:
a.    Warga Negara Republik Indonesia;
b.    Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.    Sehat jasmani dan rohani;
d.    Berijazah Sarjana Hukum atau Sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan atau perbankan;
e.    Berumur  sekurang-sekurangnya  40  (empat puluh)  tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan;
f.    Tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g.    Cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
h.    Tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
i.    Melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
j.    Tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan
k.    Mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendaftaran Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi diselenggarakan mulai tanggal 30 Mei 2011 s/d 20 Juni 2011 pada jam 09.00 WIB s/d 16.00 WIB (hari kerja). Berkas pendaftaran hanya dapat diajukan oleh yang bersangkutan dan ditujukan kepada Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dibuat di atas kertas bermeterai cukup (Rp. 6.000,-).
Permohonan pendaftaran harus sudah diterima oleh Panitia selambat-lambatnya tanggal 20 Juni 2011 jam 16.00 WIB dengan melampirkan:
a.    Daftar Riwayat Hidup;
b.    Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan Fotokopi NPWP, dengan membawa aslinya;
c.    Fotokopi Ijazah yang dilegalisir oleh perguruan tinggi yang bersangkutan/instansi yang berwenang baik S1, S2, maupun S3;
d.    Surat Keterangan pengalaman kerja dari instansi tempat bekerja;
e.    Pas foto terbaru 3 (tiga) lembar ukuran (4×6) dengan latar belakang berwarna merah;
f.    Surat Keterangan sehat jasmani dan rohani dari dokter pada Rumah Sakit;
g.    Surat Keterangan Catatan Kepolisian asli dan masih berlaku;
h.    Surat Pernyataan di atas kertas bermeterai Rp. 6.000,- dan bertanggal yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
i.    Surat Pernyataan di atas kertas bermeterai Rp. 6.000,- dan bertanggal, bahwa apabila terpilih menjadi anggota Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersedia:
1)    Melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya;
2)    Tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota komisi;
3)    Melaporkan harta kekayaannya.
Surat Pendaftaran dapat disampaikan langsung kepada Sekretariat Panitia Seleksi atau dikirimkan melalui pos tercatat, dengan alamat:
Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
d/a. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Jl. HR Rasuna Said Kav. 6-7 Kuningan Jakarta Selatan. Telp/fax. (021) 5274887.
Pendaftaran Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dipungut biaya.
Jakarta, 28 Mei 2011
Ketua Panitia Seleksi
ttd
PATRIALIS AKBAR, SH, MH.
Lampiran 2: Artikel “Sapu Campur Debu” (Majalah Forum, 11 Juli 2004)
Ditulis oleh Eddy Satriya
“Mohon maaf, Bapak menyogok berapa untuk menjadi anggota KPK?”. Demikian pertanyaan saya kepada salah seorang anggota Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang hadir sebagai pembicara dalam sebuah diskusi tanggal 1 Juni 2004 lalu. Pertanyaan tersebut sudah ada dibenak saya dan terus bergelayutan selama hampir 9 bulan. Persisnya sejak membaca iklan Pengumuman Pendaftaran Calon Pimpinan KPK di berbagai media cetak bulan Oktober tahun lalu. Oleh karena itu saya merasa beruntung mendapat undangan dan berkesempatan hadir dalam diskusi bertemakan Pegawasan Anggaran dan Pemberantasan Korupsi Pasca Pemilu Legislatif yang diadakan di sebuah hotel di kawasan Jakarta Selatan itu. Selain pembicara dari KPK, hadir pula mantan Menteri zaman Orba yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), rekan pengamat politik yang sedang pulang kampung dari tugas belajarnya, dan wakil pimpinan dari Partai Keadilan Sejahtera.
Pertanyaan - mungkin lebih tepat unek-unek - tersebut cukup mengganggu saya. Betapa tidak, ditengah hingar-bingar berbagai slogan dan program pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah maupun himbauan berbagai komponen masyarakat, tidak terlihat terobosan yang dapat diandalkan. Malah sebaliknya korupsi yang diperkuat oleh dua komponen jangkar lainnya, kolusi dan nepotisme, telah menjelma menjadi sebuah trio KKN yang semakin “ngetop” dan mewabah di tengah masyarakat. Sifat permisif, ketidakpedulian, tingkat upah yang tidak sepadan, lemahnya penegakan hukum, pelecehan terhadap jam terbang, serta rangkap jabatan untuk peran yang sesungguhnya menjadi hak orang lain, telah semakin memperburuk keadaan.
Pertanyaan yang menggangu itu muncul tatkala membaca berbagai persyaratan yang diharuskan oleh Panitia Seleksi yang dibentuk Ditjen Peraturan Perundang-Undangan, Departemen Kehakiman dan HAM. Salah satu syarat yang mengusik saya adalah butir No. 7, yaitu keharusan pemohon melampirkan Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) dari Kepolisian. Disamping mengusik nalar, persyaratan tersebut terasa menggelikan. Kentara sekali persyaratan itu diambil begitu saja dari persyaratan administrasi yang telah menjadi standar keharusan di masa lalu. Tidak tersentuh reformasi, meski iklan seleksi tersebut ditandatangani oleh nama-nama yang disegani dalam percaturan hukum di Indonesia.
Dengan membuang jauh-jauh a priori bahwa berurusan dengan kepolisian sebaiknya dihindari, maka rasa keingintahuan saya jadi semakin memuncak. Saya jadi ingin tahu bagaimana calon-calon pimpinan KPK menghadapi dan memenuhi persyaratan tersebut. Apakah mereka mampu bertahan untuk tidak menyogok ketika harus menjadi pemberantas sogok-menyogok? Juga, apakah mereka mau menghindari jalan pintas ketika berhadapan dengan kerumitan birokrasi untuk selembar surat? Walaupun bisa menduga apa yang akan terjadi, tetap saja pikiran saya baru akan lega setelah mendengar jawaban langsung dari anggota KPK terpilih tersebut.
Pertanyaan di atas, selain diawali dengan permohonan maaf juga saya dahului dengan pertanyaan untuk memastikan bahwa pembicara tidak sedang menderita penyakit jantung. Setelah memberikan penjelasan, akhirnya pertanyaan itu pun dijawab dengan jujur oleh anggota KPK tersebut.
“Ya, tapi saya suruh supir saya!”, ujarnya menjelaskan bahwa ia memang memberikan bayaran lebih untuk mendapatkan SKKB. Ditambahkannya pula bahwa uang pelicin untuk SKKB tersebut relatif kecil dibandingkan dengan surat lain yang harus dimintanya dari sebuah kantor sesuai wilayah domisili. Untuk surat keterangan asli yang tidak diuraikan lebih rinci, ia harus membayar sekitar Rp 200 ribuan ditambah Rp 50 ribu untuk setiap rangkap yang dilegalisir. Segera saya ungkapkan rasa terima kasih yang dalam atas keterbukaannya.
Sore itu pikiran saya terasa lega karena pertanyaan yang terus membayangi selama sembilan bulan itu terjawab sudah. Setelah beramah tamah dengan pembicara dan peserta lain, sayapun segera mencari taksi dan kembali ke kantor menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tadi saya bengkalaikan. Kemacetan dan kepulan asap knalpot di kawasan Pasar Rumput, Manggarai mengingatkan saya kepada karya sastra “Deru Campur Debu” yang pernah saya baca ketika di SMA dulu. Hari ini saya meminjam judulnya dan menuliskan “Sapu Campur Debu!”
***
Argo taksi menunjukkan angka Rp 12 ribuan. Namun ketika menunggu kembalian uang Rp 20 ribuan yang saya berikan, sang supir dengan datar menjawab bahwa ia tidak punya uang receh. Sayapun segera bergegas turun. Padahal, sekelebatan terlihat uang lima ribuan tersembul di bawah bungkus rokok di dekat asbak mobil.
Mengambang dalam lift kantor membuat pikiran saya melayang. Sekarang gantian, kalau tadi pikiran saya dipenuhi pertanyaan, maka tiba giliran potongan lirik lagu pop yang dinyanyikan Utha Likumahua ditahun 1980-an yang terus mengiang, menyesaki dada dan pikiran saya. “Kita kan hidup di Indonesia, bukan disana……!”