Monday, December 06, 2004

Mendesak, Reformasi Birokrasi

Suara Karya , Des 2004

Oleh Eddy Satriya

Saat ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang telah dipilih rakyat secara langsung dan demokratis sedang gencar menyusun program yang hendak direalisasikan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) dalam 100 hari mendatang. Program prioritas, saya lebih suka menyebut demikian, pada masa-masa awal kerja KIB itu dipersiapkan oleh semua Kantor Kementerian yang membawahi Departemen dan Kementerian Negara. Singkat kata, seluruh mesin birokrasi bekerja keras untuk menyusun program yang sangat diharapkan dapat memulai langkah terobosan perbaikan kondisi negara yang memang sangat terpuruk dalam 6 tahun terakhir ini.

Memburuknya kondisi saat ini dan rendahnya daya saing bangsa dalam berbagai kancah internasional sungguh sulit untuk ditampik. Beberapa kondisi itu, antara lain terlihat dari: belum bergesernya negara kita dari kelompok miskin (lower income country); tingginya angka pengangguran; minimnya infrastruktur ekonomi seperti memburuknya kondisi jalan dan krisis listrik di luar Jawa; rendahnya mutu pelayanan sosial seperti kesehatan dan pendidikan yang tercermin dari rendahnya nilai Human Development Index (HDI); masih adanya ancaman disintegrasi bangsa; bertahannya posisi Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia; serta semakin parahnya tingkat kerusakan lingkungan.

Di sisi lain, berbagai peluang dan momentum yang ada juga gagal dimanfaatkan sebaik-baiknya, seperti: menurunnya produksi minyak mentah justru pada saat harga minyak dunia terus mencapai rekor tertinggi; terseoknya pelaksanaan desentralisasi; serta gagalnya pemahaman dan pemanfaatan teknologi maju seperti telematika untuk hal-hal produktif dalam era new economy yang berbasiskan informasi dan ilmu pengetahuan.

Menjadi pertanyaan sekarang, mengapa proses pemburukan dan ketidakmampuan memanfaatkan momentum yang sangat berharga bagi kehidupan berbangsa itu terus terjadi? Akankah berbagai prestasi tingkat dunia yang telah sukses diukir, seperti berjalannya proses Pemilu langsung Presiden dan Wakil Presiden juga akan terbuang percuma?

Terus terang, jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas akan sangat beragam, tergantung sudut pandang dan ketertarikan (interest) yang dimiliki seseorang. Saya memberanikan diri untuk menyatakan bahwa kondisi tersebut -- terjadinya pemburukan dan kegagalan memanfaatkan berbagai momentum perbaikan -- utamanya disebabkan oleh tidakberjalannya mesin birokrasi pemerintahan secara maksimal.

Dalam kurun waktu enam tahun dilanda krisis, dana pembangunan dan belanja rutin pemerintahan tidak pernah turun jumlahnya. Artinya, pembangunan terus dilaksanakan di segala bidang. Pinjaman luar negeri juga belum sepenuhnya ditinggalkan. Berbagai instansi atau badan baru dan komisi yang membutuhkan dana operasional cukup besar terus dibentuk memenuhi tuntutan pasar dan semangat reformasi tanpa skenario yang jelas. Alhasil, jumlah jabatan bukannya diciutkan untuk menuju efisiensi, malah bertambah jumlahnya. Ini terjadi di pusat maupun di daerah. Akibatnya, pengeluaran pemerintah untuk berbagai kegiatan non-fisik semakin membesar. Kesemuanya itu membuat berbagai pengeluaran pemerintah (government spending) untuk belanja barang dan jasa tidak mampu memberikan rangsangan yang berarti untuk sektor riil serta tidak optimal perannya untuk meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat.

* * *
Keinginan memperbaiki kondisi birokrasi secara nyata sebenarnya bukanlah tidak ada. Pada masa awal pemerintahannya, Gus Dur telah memperlihatkan pemahaman yang sangat mendasar akan keharusan untuk memperbaiki kondisi birokrasi. Beliau telah memulainya dengan langkah nyata, yaitu meningkatkan besarnya tunjangan jabatan bagi PNS yang menduduki jabatan tertentu. Namun kenaikan tunjangan yang dapat merangsang sekitar 4 juta PNS (pegawai negeri sipil) untuk bekerja lebih baik itu, setelah berjalan dua bulan kemudian diturunkan lagi ke tingkat yang hanya cukup mengejar tingkat inflasi dalam satu tahun. Setelah itu nyaris tidak pernah ada lagi perbaikan berarti untuk kalangan birokrat, kecuali edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) yang menghimbau penghematan kertas dan stationary lain serta larangan pejabat memakai jas dan berbagai larangan lain yang tidak terlalu prinsipil.

Memburuknya kondisi birokrasi setelah 32 tahun di bawah bayang-bayang kaku kekuasaan dan dilanjutkan enam tahun berikutnya tanpa perbaikan berarti, harus segera diakhiri jika memang menginginkan berjalannya program perbaikan bangsa. Berbagai langkah reformasi birokrasi dapat dilaksanakan secara bertahap. Langkah-langkah itu bisa berupa penyesuaian kompetensi dengan jabatan, rasionalisasi jumlah PNS, perbaikan tingkat gaji dan tunjangan jabatan yang diiringi dengan sanksi tegas bagi pelanggar aturan, penonaktifkan pejabat yang pernah atau diduga sedang terlibat KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), pergantian pejabat yang memang tidak berprestasi dan lebih memikirkan kepentingan pribadi/golongan, dan sebagainya.

Pemerintahan SBY bisa saja sukses menyusun program-program pembangunan terbaik untuk diimplementasikan, namun kondisi birokrasi yang tidak sehat akan menggerogotinya dengan seribu satu cara sehingga menjadi mubazir. Dari draft Program 100 Hari KIB yang telah dibahas dalam Sidang Kabinet tanggal 28 Oktober lalu memang dicantumkan program kerja untuk memperbaiki kondisi birokrasi guna menjalankan good governance, tetapi tidak terlihat rincian mendasar yang berkaitan dengan permasalahan utama birokrasi saat ini.

Di atas segalanya, penyehatan kondisi birokrat sangat diperlukan mengingat mereka bukanlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) biasa dengan tingkat pendidikan yang rendah atau pas-pasan. Bahkan ribuan PNS saat ini sudah mengenyam pendidikan hingga tingkat pasca sarjana (Graduate School), baik Doktoral atau Master di universitas-universitas terkenal di AS, Inggris, Australia, Jepang dan negara-negara maju lainnya. Sepatutnya pula pemerintahan baru SBY-JK mulai memperbaiki "birokrasi ala keranjang sampah", seperti pernah dikeluhkan oleh mantan Presiden Megawati Soekarnoputri di masa awal pemerintahannya.
* * *
Jika menyusun program prioritas 100 hari diibaratkan dengan mempersiapkan diri untuk berkendaraan pulang mudik lebaran, maka reformasi dan penyehatan birokrasi adalah upaya yang harus terlebih dulu dilakukan seperti tune-up mesin, pergantian oli, pemeriksaan kondisi aki, dan juga pergantian ban yang sudah gundul. Sungguh sulit membayangkan suatu perjalanan mudik yang penuh tanjakan, turunan, tikungan tajam, bahkan terkadang dibayangi kemacetan, akan dapat berjalan mulus tanpa persiapan total termasuk menyiapkan kondisi mobil dalam keadaan prima. Analogi yang sama kiranya berlaku pula untuk kesuksesan KIB.
Semoga tulisan ini dapat memberikan pandangan lain kepada Presiden SBY tentang betapa birokrasi yang selama ini banyak dituding sebagai penyebab berbagai kegagalan, juga menuntut perhatian Sang Presiden terpilih. Bukan hanya perhatian, tetapi juga mulai melaksanakan langkah-langkah perbaikan yang mendasar dan prinsipil secara nyata. Sungguh, betapapun profesionalnya Pembantu Presiden yang ditunjuk, mereka diperkirakan akan sulit berjaya jika mesin birokrasinya tidak tokcer. ***

(Penulis adalah Deputy Director for Energy Bappenas --National Development Planning Agency).

SUara Karya