Showing posts with label notes in FB. Show all posts
Showing posts with label notes in FB. Show all posts

Tuesday, September 01, 2009

"Rumahku Sorgaku": Ringkasan kutbah Jumat di Mesjid ABdul Gani Padang, 28 aug 09

"Rumahku SUrgaku" hanya mungkin tercapai apabila beberapa syarat berikut dipenuhi:

1. Dihuni oleh suami isteri yang saleh dan salehah

2. DImana akan terlahirlah anak2 yang saleh/salehah.

Karena itulah disyaratkan bahwa yang bisa meringankan ortu di akhirat nanti adalah doa dari mulut dan hati ana2 yang saleh/salehah tadi, bukan doa anak yang bekerja sebagai Menteri, Dirjen, atau manager di Bank Mandiri dsb. Dari anak2 yang saleh tersebut diharapkan bisa mendahulukan Imtag, sebelum iptek.
Sesuai kondisi sekarang, jangan dibiarkan anak2 di perbudak teknologi, misalnya gadget seperti HP yang hanya " memperbesar jarinya, tetapi otaknya kecil."

3. Pergaulan dan lingkungan yang baik.

Seperti disampaikan uztadz terkenal Muh Iqbal (khotib tidak menjelaskan siapa beliau lebih detail). Seperti halnya kulit sapi akan senang kalau dia berteman dengan Alquran (maksudnya) kulit sapi untuk melapisi atau membungkus Alquran. KAlau si empunya mencium alquran, si kulit juga ikut dicium. Sebaliknya jika kulit sapi jadi berteman dengan drum atau rangka beduk, ia akan dipukul orang terus menerus. Ada seorang teman yang cukup terpandang dan kaya, memilih tinggal di pelosok sebuah sudut di jabodetabek yang jalan masuknya susah dan akses berliku. Namun ia dan keluarganya merasa tentram dan nyaman karena lingkungan. Ia membeli lingkungan, bukan hanya sebuah rumah tempat berteduh.

4. Sumber penghasilan yang halal.

---

Bagaimana hubungan ortu dengan anak2? kiranya pantas kita renungkan doa nabi Ibrahim (surat Ibrahim 37) yang memohon

" Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian turunanku di lembah yg tidak mempunyai tanaman di dekat rumah Engkau (BAitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah2an, mudah2an mereka bersyukur!"

Doa yang kemudian dilanjutkan dalam ayat2 berikutnya yang menyatakan betapa bersyukurnya Ibrahim akan diberikan anak yang sangat patuh dan baik di hari tuanya.

Sebagai penutup diceritakan bagaimana sekarang hubungan anak dan ortu yang sudah semakin renggang karena kesibukan. Si anak semakin mendahulukan dunianya sendiri dan melupakan ortu yang semakin tua semakin haus akan perhatian dan kasih sayang anak2nya.

Suatu ketika anak2 yang sudah semakin tergilas roda kesibukan akhirnya memutuskan mengirimkan ibu mereka ke panti jompo. Dengan berbagai bujuk rayu manis anak2 berhasil meyakinkan sang ibu bahwa mereka akan memperlakukan sang ibu tetap dengan penuh cinta. Mereka berjanji akan tetap mengunjungi sang ibu bergantian setiap minggu nya. Dengan mengelus dada pun akhirnya sang ibu memenuhi keinginan anaknya untuk tinggal di panti jompo yang memiliki penjaga dan perawat profesional.

Namun karena kesibukan, anak2 yang tadinya datang tiap minggu akhirnya mulai jarang. Berkurang menjadi 2 kali saja dalam sebulan, lalu satu kali, lalu kemudian kadang2 saja. Kadang bisa, kadang mereka sibuk dengan kehidupan dan melupakan sang ibu.

Sang ibu yang kesepian di hari tuanya ternyata dengan cepat menjadi pikun sehingga mulai tidak bisa lagi mengenal siapa yang datang. Tua dan pikun menyelimuti dirinya. Bertepatan dengan itu, salah seorang anak yang paling ia sayang merasa terpanggil dan menyadari bahwa ia sudah lama tidak menengok sang ibu yang ia kemudian rasakan sangat ia rindukan dan cintai. Karena itu, ia pun ingat betapa dulu ketika ia kecil sangat senang ketika dibelikan sang ibu es krim. Tidak jarang es krim itu juga tumpah atau jatuh ketika sang ibu yang baru turunan dari bendi buru-buru ditubruk si anak karena kegirangan. Kenangan indah sewaktu kecil yang sangat berkesan itu menggiring ia untuk menengok sang ibu ke panti jompo. Dengan tekad bulat ia akan mengajak sang ibu kembali bersama mereka berkumpul dirumahnya dengan cucu2nya.

MAka ketika ia datang lagi ke panti itu, ia sangat senang betapa ibunya masih sehat. Dan segera saja ia berikan eskrim yang ia beli ditempat favorit sang ibu ketika membelikan es sewaktu ia kecil dulu. SI ibu yang menerima eskrim dengan lahapnya memakan es itu sampai habis. Sang anak bertanya dan mengingatkan bahwa eskrim itu adalah es kesukaannya yang dulu sering dibelikan sang ibu. NAmun sang Ibu yang sudah pikun itu menjawab "Ya, es itu enak sekali dan saya menyukainya. Tapi sayang engkau bukan anakku!" Sang ibu yang pikun itupun terus meracau, asyik dengan dunianya, berbicara sediri dan tidak menghiraukan si anak yang ketika itu pula meraung dalam hatinya menyadari kekeliruannya selama ini. Diam2 si anak yang sudah sadar itu pergi menjauh menenangkan batinnya dan berusaha menyembunyikan kegundahannya. Sekilas ia lihat si ibu masuk lagi ke kamarnya ketika ia pergi ke kamar kecil membereskan dandanannya.

Sang anak yang sadar itupun berhasil menenangkan batinnya dan bertekad akan bisa menyadarkan ibunya untuk dibawa pulang. setumpuk rasa bersalah telah ia susun dan akan disampaikan dengan baik sehingga mampu membawa ibunya untuk kembali berkumpul di rumah.

Ia pun masuk ke kamar sang ibu yang dihuni oleh 2 orang tua lainnya. Ia lihat ibunya merebahkan diri di dipan yang bersih. Ia pun mendekat, merangkul dan mengelus tangan ibunya yang membelakangi. Berbagai rayuan dan maaf telah disiapkan. Namun permohonan maaf dan keinginan membawa ibunya pulang itu tercekat ditenggorokannya ketika ia merasakan betapa dinginnya tangan sang ibu yang memang telah pergi selama-lamanya. Tidak berapa lama setelah menikmati es krim kesukaan mereka yang dibawakan si anak !

(Diceritakan kembali berdasarkan ringkasan catatan di HP papamu, EIko, Putty dan Haniyfa yang papa dan mama cintai dari dulu, sekarang maupun nanti. Ya ALlah jadikan lah anak2 kami anak yang saleh dan salehah sehingga mampu berjalan di jalanMu. AMin)

Friday, May 29, 2009

PERSAHABATAN BAGAI KEPOMPONG (To all the friends I've loved before...!)

[di dahului dengan permohonan maaf, tulisan ini bukan mengenai sara, tapi adalah tentang persahabatan dan pergaulan di Minangkabau, silakan di komentari dan diberitahu saya mana yang boleh mana yang gak untuk disampaikan. Juga mohon ditambahkan nama2 teman lain yang saya sudah lupa. Selamat bernostalgia]

Jam gadang itu, tak ada 4 nya!

SMP ku..dimana aku dipanggil pak Katua oleh Toni si "bandel" karena
hobbynya memang jadi ketua kelas melulu


Adalah Lo Kok An yang membuat gue penasaran...(maaf ..saya tidak pakai bahasa Indonesia yang benar kali ini..saya pakai lu-lu-gue-gue). Betapa tidak dia sudah berganti nama menjadi Andi Leo, bukan hanya di fesbuk, tetapi tadi di telpon katanya juga dalam keseharian ketika diharus kan oleh peraturan kewarganegaraan.

Nah mumpung fesbuk masih bisa diakses, gue ingin menuliskan semacam kenang2an gue untuk lu lu teman gue mulai dari TK Kuntum Mekar, SD Francsiscus, SMP Xaverius, dan SMAN 1 di kota kelahiran gue..kota Bukittinggi tercinta.

Mungkin tidak banyak yang tahu, betapa sebalnya gue ketika zaman GUsdur diberikan semacam "keleluasaan" bagi warga keturunan Tiong Hoa (maaf kalau istilah keturunan sudah tidak dianjurkan..) tapi gue terpaksa pakai sebagai bagian keprihatinan itu. Gue sebal bukan diberikannya kesempatan lebih atau dijadikannya hari libur Imlek sebagai libur nasional. Bukan pula karena setiap Imlek selalu disinggung masalah kebebasan WNI keturunan atau bukan.

Yang gue paling sebal adalah ketika membaca tulisan-tulisan yang menyatakan bahwa warga keturunan sekarang sudah sama dengan WNI asli. Hati-hati, sekali lagi, bagi gue dari dulu itu sudah tidak masalah karena di Bukittinggi dari kecil hingga besar gue gak pernah merasa ada perbedaan. Sungguh, bagi gue tulisan atau komentar itu terlalu dibesar2kan. Karena dari dulu di Bukittinggi semua orang akrab. Tidak pernah ada orang minang bentrok atau ribut dengan orang Cina (maaf gue pakai istilah itu aja ya..) silakan nanti dikomentari sebaiknya pakai istilah apa. Karena setahu saya sejak kecil orang Cina Minang dan orang Minang asli selalu berdampingan. Mulai dari pasar bawah, pasar atas, dikampung cina sendiri, atau dijalan Komidi (apa sih nama jalannya sekarang) hingga ke pasar banto dan ruko2 dimanapun. SIngkat kata setahu saya..orang cina dan minang yang sama-sama pedagang selalu tenteram dan tidak pernah ribut seperti di daerah lain atau juga negara lain.

Mau contoh yang gue alami?

MAsih ingat pasti semua kita warga Bukittinggi ketika pasar atas terbakar pertama kali tahun 1972. Ketika itu mungking kita baru kelas 2 atau 3 SD Fransiskus. Gaek atau kakek gue punya toko besi termasuk terbesar di pasar atas. Ketika ganasnya api pertama kali membuka mata gue, masih sangat ingat gue lihat dari simpang mandiangin (anak air) betapa api berkobar. Nenek gue almarhum Mardiana sempat shock, begitu pula Mama Gue Emma Heaven (nama aslinya sangat indah yaitu Emmahaven-artinya pelabuhan teluk bayur)..ikut sedih. Juga Bapak gue dengan Om gue Harmen segera berlari ke pasar atas menyelamatkan barang2 dagangan di toko alat2 besi yang tentu saja sangat berat dan susah diselamatkan. SIngkat kata kami semua sedih karena toko Gaek Marah Sutan Mudo habis dilalap api seisi-isinya, sebagaimana toko toko lainnya.

Gue masih ingat betapa setiap pulang sekolah sering mampir ke toko Gaek dan duduk ikut menunggu toko itu dan mulai ikur membantu berdagang. Yah itu baru ketika gue kelas 2 atau 3 SD. Gue ingat banyak orang datang membeli cangkul, pisau buatan Sei Puar yang sangat bagus, bajak sawah, tapak kaki kuda, dengan paku besi nya yang lucu, tajam persegi melancip dengan kepala paku besar, biar tapaknya tidak lepas. Juga ada sterikaan arang batu bara, juga ada uang-uang logam kuno bernama benggo atau lain2 nya. seingat gue, pulang sekolah jam 10an...jalankaki ke tri arga dan duduk sebentar di jam gadang. Biasa juga ke tri arga kita menjajal musuh-musuh kita dan berantem. Ada yang bergulat (katuak2an) ada yang sportif hanya dengan tinju ada pula gaya bebas boleh pakai kaki dan apa saja., Dengan catatan, jika ada yang kalau, harus segera dipisah dan permusuhan dihentikan.....ha ha..lucu ya. tapi itu jauh lebih hebat dan terhormat dibandung anak sekarang tawuran dan lempar batu sembunyi tangan.

Lanjut ke cerita toko Gaek gue. DI toko itupulalah Eddy kecil selalu membuka berkilo-kilo koran baru dari Malaysia dan SIngapore (Strait Times) setiap pulang sekolah. Di toko besi yang besar itu pulalah ( 4 toko atau kios jadi satu di hoek)..Eddy kecil membuka dan mencoba membaca koran bahasa Inggris itu setiap hari mampir disana. Gue hanya berhenti membuka dan membaca koran itu (meski hanya mengerti sebagian) ketika diajak makan siang. Bisa ke simpang raya atau rumah makan di sekitar bubur kampiun sianok. kadang makan soto haji minah. tapi karena gue sangat senang makan kacang ijo dan gue sangat di sayang Om Gue harmen, maka pastilah bubur kacang ijo dulu kita namakan "kacang padi" di buffet sianok itu menjadi langganan di sore hari.

Kembali dulu kecerita kebakaran. Singkat cerita, meski kami sekeluarga sedih dan Gaek menjadi sakit, begitu pula Nenek, karena punya darah tinggi, sebenarnya kami sangat beruntung. Ternayata barang dagangan kakek nyaris selamat semua. Kok bisa? nah inilah pangkal cerita tentang orang CIna Minang kawan2 ku tercinta itu. Bapak saya ternyata dulu itu jagoan pingpong di kampung cina, Om saya Harmen ikut group body building di tempat groupnya bapak dan keluarga Armen SUtiono (dimana dia sekarang tuh?). Ternyata barang-barang dagangan kakek gue telah diselamatkan oleh teman2 nya termasuk para CIna Minang itu. mereka dengan sigap secara beranting membantu membawa barang dagangan itu ketempat aman. Sudah menjadi biasa seingat saya jika kios sebelah adalah milik orang cina, sementara disebelahnya lagi milik orang minang. Saya ingat kios piring teman gue (SMA 3 Sofni Zein) yang manis di pasar atas, diapit oleh toko orang CIna Minang.

Alhasil, meski sebagian barang hilang, dengan bantuan para teman2 om saya yang sterek karena mereka body building dan kuat2, barang dagangan kakek nyaris bisa kembali seperti sediakala seperti sebelum kebakaran ketika untuk sementara pedagang berjualan dikios sementara. Mau tahukan anda kemana para pedagang dipindah sementara? Mereka dipindah persih memenuhi seluruh jalan AYani dari simpang rumahnya Giap (yang jualan pisang goren) hingga ke dekat Jam Gadang. Artinya, kembali kampung cina menjadi tempat berjualan sementara semua pedagang yang kena musibah. Wow..what an harmony progessio..dizaman lamo yah?

Nah..dengan kekerabatan yang sedemikian erat itu, rasanya tidaklah perlu ikut latah para warga Bukittinggin meniru apa yang terjadi di daerah lain. Saya ingat setiap imlek sebagian teman2 Tionghoa (sorry kadang bosan dengan istilah cina) membawa kue imlek dan kami memakannya di sekolah, begitu pula saya sering kerumah Pak Beng (dulu pernah ketemu di jakarta), Cici Mui, dan Bu Giok yang bbrp tahun lalu pernah saya datangi ke rumah nya di daerah tembok ke arah bukit ambacang. Singkat kata, warga Minang dan CIna di Bukittinggi dari dulu sebenarnya satu. Meski terjadi masalah menyangkut status kewarganegaraan dulu, namun dalam keseharian hal itu tidak pernah dirasa.

Karena itu sekedar mengenang teman2 ku, mungkin masih hidup semua atau sudah ada yang mendahului kita, tulisan ini aku persembahkan. Biar kerukunan kita yang sudah dari dulu terbentuk dapat terus berlanjut hingga ke anak cucu dan anak cucu berikutnya.

Gue beruntung, karen ketika di SMP dulu sering jadi ketua kelas..maka akan gue sebutkan nama dan kenangan satu persatu. Urutannya acak dan tidak menyiratkan prioritas. Lo Kok An yang sekarang berganti naman katanya dengan Andi Leo..nah lu tu ye..dari dulu tukang lawak dan pemain harmonika. Boleh lah kalau kita jumpa lu nyanyiin lagu minang dengan harmonika lu. Anggi atau Iskandar,kami ketemu terakhir ketika melayat ayah Anggi yang meninggal di rumah duka di St Carolus, tahun lalu barang kali ya. Anggi ini juga anak pintar, selalu saingan dengan gue terutama matematik. Ia juga keterima di ITB jurusan Fisika TEknik, tapi tidak diambilnya. Ia lebih memilih arsitek di Unpar, Bandung. Terus ada THio Chin Teng atau Tarsisius THio..gue ingat lu teman gue yang baik juga gak banyak kurenah (he he tingkah)..agak tinggi dan tentu saja rambutnya lurus. Ada juga Oei Bian Cin yang membantu ortu jualan onderdil motor mobil di bawah janjang 40 dekat Sate Mak Tuah dulu. Juga SIlviani Tanoto (ini dari dulu namanya demikian). SIl selalu saingan ama gue di kelas jadi juara satu dan dua bergantian ya Sil. Nah saya salut sekali ketika tahu SIl memilih mengambil IKIP di PEkan baru. Kemaren gue kehabisan waktu mencari dia belum hasil. Ortu Silviani berjualan kerupuk balado yang enak dan gurih, dibungkus khusus dengan kertas putih berbentuk segitiga. Tinggal di dekat tanjakan mau naik ke benteng.

Ada juga Tan Sian Lie dipanggil Sian yang manis dan besar badannya. orangnya riang dan lucu. Namanya kalau tidak salah berganti jadi Yanti Gunaawan yang menawan. Tak kulupa si manis Kwe Sin Liu yang pakai nama Theresia. Juga Lie Kim Ai...yang selalu heboh.,riang dan gak bisa diam. Nah siapa lagi ya..? oh ya Pek Tek SIong (yang agak kecil dan dekil he he..) tapi dia jagoan basket juga dan sepaktakraw. Armen Sutiono sudah disebut tadi di depan yang sering gue kalahkan main catur dan pingpong he he. Juga ada si TEnok Welly Kasna di simpang tembok yang berjualan limun. Sayang limun kota atau lokal sudah habis dibabat coca cola dan teh botol. Tenok sama dengan saya masuk PP II di IPB angkatan 19. tapi ia tetap d IPB, saya berlabuh lagi ke ITB karena terlalu stres dan tidak kerasan dengan suasana belajar di IPB.

Masih banyak beberapa teman kita lagi yang keturunan. nanti akan saya sambung. Juga ketika gue pindah setahun ke payakumbuh sangat banyak teman cina disana. Salah satunya ada si ENg yang manis dan baik sama gue. Reno Dewi mungkin masih ingat karena kami sempat sekelas di Payakumbuh. Yang bareng dengan Lo Kok An juga adalah Johan Irwan, sang jago basket smp xaverius kami. Saya gak tahu nama asli Johan karena sudah pakai nama itu dari dulunya. Ada juga Hendri Utama yang dari dulu suka berantem dan gangguin anak perempuan...hehe. Sorry Hendri Utama kalau gak salah teman gue ketika di SD Pius Payakumbuah.

Disamping keturunan cina, gue juga gak lupa bbrp teman yang keturunan India dan lucu2..yaitu Mimi (Jailani) dan Pupa (ZUlfa..saja namanya) yang tadi bereuni SMA3 Bkt.

Ondeh Mandeh..maaf kawan. Juga ada teman2 kita dari Medan dan kabupaten2 di Sumut. Masih ingat Burhan Simare-mare yang kalau sekolah harus bertongkat kalau tidak salah karena memang ada kekurangan. Ada pula Sampe Sinaga dari pelosok serta Albert Situngkir (Malantong). Ini ada cerita, ketika bahasa Indonesia si Albert ini dapat giliran mengisi titik-titik dari pada kata kerja aktifitas atau sifat sebuah kata yang mendahuluinya. Contoh: Kambing mengembik, Sapi melenguh, nah..giliran dia harus mengisi dan membacakan jawaban kata depan yang muncul pas gilirannya adalah Balon. Jelas kami kesulitan, apalagi dia yang baru pindah dari SUmut (maaf kota nya saya gak tahu). Kelas hening sejenak. Nah dari pada diam dan bisu, saya yang duduk bersama dia SMP Xaverius kelas 2 mebisikkan kata "Malantong" sebagai ganti kata "Meletus". Mendengar jawaban mantap dari Albert dengan logat Medan yang kental tentu saja seiisi kelaspun meledak tertawa. Termasuk guru bahasa Indonesia pengganti Ibu Kartini itupun terdiam, tapi tidak bisa marah.

Sejak itu kami panggillah Albert ini dengan marga baru "MAlantong" yang artinya adalah meledak atau meletus dalam bahasa Minang yang kental. Dimana dikau sekarang teman2 ku? SAya mengerti engkau tentu harus menjalani hidup yang sulit pada masa itu karena dikirim dari SUmut untuk juga "mengabdi" di gereja di Bukittinggi yang sebagai imbalan dapat bersekolah. SUngguh suatu kenangan berbagi yang indah bagi gue..(sorry gue lagi neh biar konsisten).

Demikian kawan2 gue persembahkan note ini sekedar mengingat kenangan lama gue ketika menghabis kan masa2 kecil SD, SMP, dan SMA di Bukittinggi tercinta. Sekali lagi, kami dari dulu bersaudara dan merasakan pertemanan yang lain dari kebiasaan orang sekarang.

Jika anda ribut2 menyuruh kerukunan dilaksanakan, kami di Bukittinggi telah menikmatinya. Sekali lagi, kami telah menikmatinya. Sungguh suatu pelajaran dan perjalan hidup yang kemudian memberi bekal ketika harus hidup di Jawa dan juga di negeri orang, jauh di seberang dunia dengan adat, agama, dan kebiasaan berbeda. Alhamdulillah ya Allah..kau beri kami teman dari berbagai macam suku bangsa dan semoga persahabatan kami memang seperti kempompong, merubah yang tak mudah menjadi indah serta mampu maklumi teman hadapi perbedaan (lirik "kepompong" nya Sindentosca)!

Amin, Ya Rabbil alamin.

-------------
Catatan: Pasar atas dalam perjalanannya kemudian " terbakar" lagi beberapa kali sejak tahun 1972 yang tentu saja menyisakan duka dan kesengsaraan bagi sebagian besar keluarga pedagang di Bukittinggi. Hingga sekarang mestinya pasar itu harus di cek lagi kekuatan strukturnya.



Evitriyeti, Anggi, Tan Sian Lie (Yanti Gunawan), dan Siti Mariah isteriku,
ketika di rumah duka St Carolous, jakarta.

Wednesday, May 20, 2009

They Screwed up Everything

Facebook | Your Notes

Pak Budiono dilepas dari Kantor Menko Perekonomian oleh para Menteri Ekonomi.
Persis satu tahun sebelum dinobatkan sebagai Cawapres.Pertengahan Mei 08 - Mei 09.


Judul posting di atas adalah jawaban yang diberikan seorang profesor saya ketika kami berdisksusi di salah satu pojok Homer Babbidge Library, University of Connecticut, CT, USA (1995-97). Ketika itu sedang hangat-hangatnya pemilu presiden yang akhirnya dimenangkan kembali oleh Presiden Clinton.

Judul itu pulalah yang kiranya pas, untuk menjawab pertanyaan yang saya ajukan dalam artikel saya dibawah ini. Artikel yang saya tulis lebih dari 6 tahun lalu itu telah menjadi salah satu "master piece" saya yang sangat saya sukai dan paling sering saya forward ke teman2 yang sering meminta artikel baru saya. namun ketika artikel baru saya lagi seret, maka sekedar obat rindu teman2 yang jauh dirantau orang biasanya saya kirimkan artikel lawas itu.

Meski pak Budiono bukanlah termasuk tipikal dosen seperti yang saya maksud dalam tulisan, namun dengan "tidak kuasanya" beliau menolak pinangan dari Presiden SBY, saya merasa berkewajiban untuk menguakkan kembali hubungan antara dosen (profesor), peneliti, dan birokrat. Untuk seterusnya menjadi politisi. Ada dua alasan utama saya menuliskan ini. Pertama adalah untuk mengingatkan mantan bos saya di Bappenas dan di Menko Perekonomian ini agar memikirkan ulang lagi langkah beliau, dalam arti memantapkan lagi tekad beliau untuk masuk ke ranah politik, yang dari dulu sudah sangat terkenal jauh dari bersih dan bebas dari intrik. Kedua adalah, untuk memberikan pemikiran agar beliau tidak sekalipun nanti mengucapkan kata "menyesal" dengan pilihannya menjadi Cawapres. Bagaimanapun juga pak Budiono juga sudah tidak muda lagi. Waktu beliau sebenarnya lebih baik untuk cucu-cucu beliau seperti pernah disampaikan ketika masih menjabat sebagai Menko.

Pilihan sulit itu sudah diambil beliau. Saya hanya tinggal mendoakan agar niat baik beliau untuk turut memperbaiki kondisi bangsa yang semakin carut marut ini bisa terlaksana.

Selamat ber politik pak Bud! Sukses selalu untuk Bapak, Ibu, dan seluruh keluarga. AMin



==============================================

Dosen, Peneliti, dan Birokrat (SInar Harapan 11 jan 2003)

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0301/11/opi01.html

Oleh Eddy Satriya

Menarik sekali menyimak pernyataan Rektor Universitas Indonesia (UI) Usman Chatib Warsa tentang minimnya kehadiran dosen utama dalam program kuliah Strata Satu (S-1) di universitas terkemuka tersebut. Dosen utama yang dimaksudkan adalah dosen berpengalaman yang memiliki tambahan gelar akademik S-2 dan S-3, termasuk para guru besar.
Sang Rektor menyatakan bahwa masalah ekonomi, yaitu kurangnya gaji yang diterima dosen dari pemerintah merupakan penyebab utama, di samping masih belum seimbangnya rasio dosen dan mahasiswa.

Kekurangan gaji akhirnya ditutupi dengan mengajar atau bahkan juga terlibat dalam pelaksanaan proyek di berbagai perguruan tinggi lain. Padatnya jadwal tambahan mengakibatkan dosen bersangkutan mengalami kesulitan dalam membagi waktunya untuk mahasiswa UI sendiri.
Walaupun minimnya kehadiran dosen utama tidak terjadi pada seluruh fakultas, pengakuan jujur oleh rektor yang baru terpilih ini tentu saja mencuatkan keprihatinan yang mendalam bagi kita semua.

Keprihatinan yang patut dan wajar karena kondisi ini ternyata masih saja berlangsung di saat berbagai krisis masih bercokol di bumi Indonesia. Sementara era globalisasi dan perubahan tatanan ekonomi baru dunia dewasa ini semakin menuntut sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang berdaya saing tinggi.
Bagi sebagian rakyat Indonesia yang pernah beruntung mendapat kesempatan sekolah ataupun menjalani pelatihan di luar negeri, terutama di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), tentulah dapat merasakan perbedaan dosen di sana dengan dosen di Tanah Air dalam menjalankan tugasnya.

Mereka memang lebih mampu membagi waktunya untuk tugas mengajar, menghadiri konferensi, tugas administrasi, tugas penelitian serta tugas-tugas lain di negara bagian dimana universitas tersebut berada. Sudah menjadi kebiasaan dosen di AS untuk memampangkan sebuah board yang berisikan informasi tentang telepon dan e-mail dosen bersangkutan guna kemudahan komunikasi serta informasi jam kerja atau office hour di pintu kamarnya.

Jam kerja tersebut tidak saja memuat jadwal kuliah dan praktikum untuk semester berjalan, tetapi juga memuat slot waktunya yang disediakan untuk mahasiswanya. Di atas segalanya, jadwal atau janji yang sudah disepakati biasanya ditepati sang dosen dengan kehadiran kadang-kadang di atas 100 persen.
Jika sang dosen berhalangan, biasanya ia akan berusaha memberitahukan jauh-jauh hari. Tidak jarang mahasiswa menerima telepon bernada minta maaf dari seorang dosen yang karena berhalangan mendadak terpaksa harus membatalkan janji. Saya pribadi pernah mengalami hal tersebut.

Membicarakan perbedaan antara dosen di AS dengan koleganya di Indonesia pada saat-saat sekarang ini untuk sebagian orang mungkin tidak relevan, tidak populer atau bisa dianggap mengada-ada. Namun pengakuan jujur dari rektor baru UI itu dalam upaya memajukan universitasnya dan mewujudkan misi akademiknya di era otonomi kampus, tentu saja merupakan suatu moment yang sangat penting dan perlu ditindaklanjuti. Ada beberapa alasan untuk itu.
Pertama, permasalahan mangkirnya dosen utama dari tugasnya jarang ditindaklanjuti secara nyata. Kasus ini bukanlah masalah UI semata, tapi juga terjadi di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka.

Dengan menyebutkan alasan ekonomi, secara implisit Rektor UI telah mengakui terjadinya penyalahgunaan waktu oleh oknum dosen utama atau dosen senior untuk menutupi kekurangan gajinya.
Jika tidak ditangani secara serius dan bertahap tentulah hal ini akan dapat menghambat program reformasi di perguruan tinggi.
Kedua, dosen senior dengan jam terbang tinggi biasanya mahir menyampaikan informasi yang sangat dibutuhkan untuk membuka wawasan mahasiswa yang kadang-kadang menjadi lebih penting ketimbang bahan kuliah semata.

Seorang teman dekat saya yang lulusan Planologi ITB, pernah menyatakan kekagumannya kepada salah seorang profesornya. Sedikit berlebihan, ia berkomentar bahwa dengan sekali saja menghadiri kuliah sang profesor tersebut, ia merasa sudah mendapatkan pengetahuan luas yang bisa merangkum berbagai bahan kuliah yang diperoleh selama dua sampai tiga tahun di ITB.

Pengalaman saya menjadi dosen tamu di UI dan beberapa PTS di Jakarta menunjukkan bahwa mahasiswa kita memang sebaiknya dibekali dengan berbagai perkembangan aktual yang terjadi di masyarakat dan dunia usaha. Selain itu, sudah selayaknya universitas memberikan perkuliahan yang berkualitas dan tertib administrasi, mengingat mahasiswa di era reformasi ini membayar biaya pendidikan relatif lebih mahal dibandingkan zaman Orde Baru.

Terlebih lagi berbagai insentif, fasilitas dan tunjangan untuk mahasiswa seperti bea siswa, keringanan biaya kuliah (SPP), asrama yang bersubsidi, tunjangan percepatan kelulusan dan kredit mahasiswa (KMI) sudah semakin berkurang. Fasilitas tertentu malah telah dihilangkan karena alasan yang kadang-kadang tidak masuk akal.

Terakhir, proses seleksi mahasiswa baru khususnya untuk program S-1 yang konsisten dilaksanakan sejak tahun 1970-an melalui SKALU, PP I, Sipenmaru dan lain-lain, harus diakui telah mampu manjaring calon-calon mahasiswa terbaik di republik ini. Alangkah sia-sianya jika bibit yang bagus tertanam di tanah yang gersang.

Sebenarnya disamping alasan untuk mencukupi kekurangan gaji dan belum optimalnya rasio dosen-mahasiswa, tentu masih ada beberapa alasan lain yang menjadi penyebab mangkirnya oknum dosen senior dari ruang kuliah. Salah satunya adalah menjadi birokrat pada waktu yang bersamaan.
Tatkala sudah memasuki zona birokrasi di negeri yang berperingkat ”sangat meyakinkan” dalam hal korupsi, masalah ini tentu menjadi semakin serius dan memprihatinkan. Sayangnya kondisi ini terlupakan seiring hiruk pikuk berbagai persoalan bangsa terutama sejak memasuki era reformasi dan sejak dimulainya tahap inisiasi pelaksanaan otonomi daerah. Padahal mantan Presiden Abdurrahman Wahid secara gamblang sudah mengingatkan bahwa, ”Banyak Profesor dan Doktor Menjadi Maling.”

Jika dilihat kembali ke masa awal orde baru berkuasa, memang banyak dosen utama yang diminta membantu pelaksanaan tugas pemerintah. Hal ini bisa dipahami karena pada masa itu jumlah SDM dengan kemampuan akademik dan intelektual yang memadai memang masih terbatas.
Ada nama-nama besar seperti Sumitro Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, Sumarlin, dan Emil Salim yang pernah menduduki berbagai jabatan penting terutama di bidang ekonomi seperti Menteri Keuangan, Kepala Bappenas dan Menko Ekuin.

Namun jika diamati lebih saksama di masa-masa akhir berkuasanya Presiden Suharto, jumlah dosen, termasuk yang belum senior, yang menduduki jabatan di birokrasi pemerintah masih relatif besar. Para dosen ini bukan saja menduduki jabatan politis menjadi pejabat negara seperti Menteri,

Gubernur, dan pimpinan di berbagai Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) tetapi juga menduduki jabatan-jabatan struktural yang seyogianya diperuntukan bagi pejabat karier.
Jumlah ini hanya mungkin dapat disaingi oleh aparat militer yang berdwifungsi dan menduduki jabatan serupa di birokrasi. Ironisnya hal ini terus berlangsung sampai sekarang, malah semakin menjadi-jadi seiring dengan banyaknya tambahan Departemen dan LPND baru. Sementara TNI, di sisi lain, sudah mulai mereposisi diri.

Tentu wajar saja kalau timbul pertanyaan. Apakah SDM di Departemen dan LPND saat ini memang tidak berkualitas dan sama kondisinya dengan 30 tahun lalu? Atau bahkan lebih buruk? Presiden Megawati pernah menyebut birokrasinya sebagai birokrasi ”keranjang sampah”.

Patut kiranya menjadi pengetahuan kita bahwa sejak 1980-an telah cukup banyak dana yang digunakan untuk membiayai pengiriman pegawai negeri sipil (PNS) melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu S-2 dan S-3, baik di dalam maupun di luar negeri.
Biaya tersebut umumnya berasal dari pinjaman luar negeri yang jika dijumlahkan dari berbagai sumber bisa mencapai ratusan juta dollar. Tidak terhitung pula PNS yang memperoleh beasiswa dari berbagai lembaga atau foundation internasional lainnya. Perlu pula diingat bahwa biasanya selama bersekolah, gaji PNS tetap dibayarkan oleh negara.

Apakah mereka memang tidak berkualitas atau tidak memperoleh kesempatan sehingga pantas mengisi birokrasi ”keranjang sampah”? Wallahualam. Yang pasti hampir 90 % dari mereka yang disekolahkan tersebut adalah putera puteri bangsa terpilih yang lulus saringan SKALU, PP I dan Sipenmaru.

Dosen yang memasuki birokrasi biasanya akan mengalami ”cultural shock”. Pengalaman yang diperoleh selama mengerjakan proyek-proyek pemerintah di berbagai lembaga penelitian dan konsultan di kampus tidak pernah cukup untuk menghadapi masalah dan tantangan birokrasi yang luar biasa kompleksnya.
Di samping substansi dan teknis, pejabat sehari-harinya juga harus memikirkan masalah manajemen, keuangan, administrasi, kepegawaian, organisasi dan keproyekan. Tugas berat ini tentu saja menuntut dedikasi dan jam terbang tinggi mengingat pelaksanaan reinventing government masih jauh dari memuaskan. Sayangnya hal ini sering dipungkiri dan terkadang di anggap sepele.

Hal terberat akan dihadapi manakala sang dosen berurusan dengan keproyekan. Inilah yang menjadi pusat keprihatinan kita. Pekerjaan management proyek yang meliputi proses penyusunan Daftar Usulan Proyek (DUP), Satuan-2, Satuan-3, pembahasan Daftar Isian Proyek (DIP), revisi serta monitoring pelaksanaannya sangatlah kompleks.

Terkadang pekerjaan ini, khususnya pembahasan DIP di Departemen Keuangan, untuk sebagian orang bisa dikategorikan intellectually harassing. Kemuliaan intelektual yang begitu tinggi dan idealisme yang dimiliki di kampus harus berhadapan dengan permainan ”mark up”, ”kongkalingkong”, nepotisme, intrik dan berbagai bentuk praktik suap menyuap yang sering disingkat dengan KKN yang terkenal itu.
Idealisme tinggi yang biasanya masih terpelihara dan mengkristal dalam sanubari sang dosen pelan-pelan akan ikut lebur, meleleh, mencair dan menguap setelah masuk ”sarang penyamun”.

Tekanan keproyekan kadang bukan hanya datang dari bawah dan samping, tetapi juga dari atas. Baik dalam suatu kantor, maupun dari kantor pemerintah lainnya. Hal yang memang kerap terjadi di masa Presiden Gus Dur dan Megawati yang sarat dengan muatan politik partai.
Seiring dengan jabatan di pemerintahan, berbagai jabatan susulan juga akan bermunculan. Yang paling sering adalah tawaran menjadi komisaris di puluhan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan swasta. Menjadi komisaris, biasanya sang dosen akan terbuai dengan berbagai fasilitas yang memang ”enak tenan” yang bisa melupakan mahasiswa atau rencana untuk menerbitkan buku teks kuliah. Terkadang jabatan komisaris terasa dipaksakan.

Sebagai contoh, seorang profesor ahli pertanian yang menduduki jabatan setingkat direktur atau direktur jenderal bisa saja menduduki jabatan komisaris suatu perusahaan di bidang jasa yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan dengan pertanian. Jam terbang? Itu bisa diatur.
Di zaman orde baru, di saat proses privatisasi dan restrukturisasi yang dimotori Bank Dunia melanda banyak BUMN vital, banyak pula direksi BUMN secara cerdik berhasil ”mendudukkan” sang dosen, yang juga pejabat yang berwenang di sektor terkait, menjadi komisaris BUMN yang dipimpinnya. Taktis memang, karena akan memuluskan urusan direksi disatu sisi, tapi biasanya meninggalkan banyak pemasalahan dengan bawahan sang komisaris di sisi lain.

Sebenarnya ada pekerjaan lain yang berpotensi menyita waktu dosen dan membuatnya mangkir dari tugas. Antara lain sebagai peneliti yang mengerjakan proyek di lembaga penelitian yang ada dilingkungan universitas maupun di luar, dan yang sekarang sedang ”naik daun” adalah menjadi presenter dan pembicara di berbagai acara talk show.

Namun dibandingkan dengan menjadi birokrat, pekerjaan jenis ini tidak terlalu berpotensi KKN dan terkadang memang diperlukan untuk kematangan diri. Namun ketatnya jadwal atau buruknya time management terkadang membuat mereka kurang konsentrasi dan terpaksa mangkir dari tugasnya.
Dengan berbagai kesibukan sang dosen di luar kampus, tidak heran banyak mahasiswa saat ini terlihat bolak balik ke kantor pemerintah untuk berkonsultasi. Bahkan tidak jarang pula mahasiswa terpaksa kuliah di kantor pemerintah tempat sang dosen menjabat. Di pihak lain, dosen utama atau profesor yang berhasil menulis buku atau menerbitkan artikel di jurnal tingkat nasional apalagi internasional selama menjabat di birokrasi, bisa dihitung jari.

Keprihatinan Rektor UI tentang minimnya kehadiran dosen utama di universitasnya tentu juga menjadi keprihatinan rektor-rektor PTN dan PTS lainnya di seluruh Indonesia serta keprihatinan kita semua yang sangat ingin pendidikan tinggi di Indonesia maju secara lebih berarti.
Tulisan ini bertujuan hanyalah untuk menggugah rasa keprihatinan itu untuk kemudian ditindaklanjutinya secara bijak. Tidak lebih tidak kurang.

Mengharapkan regulasi maupun aturan tertulis dari PTN dan berbagai instansi terkait dalam situasi sekarang ini, tentulah akan memakan waktu dan menunda proses perbaikan bangsa. Karenanya menjadi penting sekali mewujudkan kesadaran di dalam hati kita untuk bertindak profesional di dalam tugas, memulai budaya malu KKN dalam arti sebenarnya serta tepo seliro terhadap 40-an juta penganggur terdidik dan tidak terdidik yang juga harus menghidupi keluarganya. Namun, kita tentulah tidak melupakan bahwa masih banyak dosen utama yang sangat menjunjung tinggi profesinya. Salut untuk mereka.

Sebagai penutup, tidak ada salahnya kita simak pertanyaan dari salah seorang profesor ITB yang saya jumpai dalam satu seminar di Bandung beberapa tahun lalu. Beliau menanyakan tentang perbedaan profesor (dosen), peneliti dan birokrat.
Seperti biasa, profesor yang sudah cukup sepuh tidak akan sabar untuk menasihati kita dan tidak perlu menunggu jawaban. Pertanyaan itupun dijawabnya sendiri. Pelan meluncur dari bibirnya, ”Dalam tugasnya, profesor tidak boleh salah dan tidak boleh bohong. Peneliti boleh salah, tetapi tetap tidak boleh bohong. Sedangkan birokrat, boleh salah, boleh bohong!”.

Astaga! Nah, bagaimana jika guru besar menjadi politisi?

Penulis adalah dosen tamu Program Magister Teknologi Informasi di Fasilkom-UI,
tinggal di Sawangan, Depok.

Monday, February 23, 2009

Guillain-Barré Syndrome, perlu diwaspadai oleh kita orang Indonesia..!

Terus terang saya gak tahu mau memulai dari mana menulis notes kali ini. Mungkin dari urutan kronologis lebih baik dan memudahkan saya.

Karena hari Senin kemaren (16/2) Haniy masih merasa sakit dipahanya dan sulit berjalan, saya meminta Mamanya untuk membawa ke dokter anak yang bagus. Pilihan dijatuhkan ke RS Puri Cinere di Jakarta Selatan. Sementara saya meski agak sedikit was-was tetap berangkat pagi itu sekitar jam 6 menuju kantor, mengingat sedang banyak kerjaan dan kebetulan gak bisa ditinggal, termasuk finalisasi buku infrastruktur yang menjadi semacam never-ended project. Biasa nulis buku memang begitu katanya.

Karena kami PNS kere, he he, untuk mengirit bensin dan tenaga, dengan seorang teman komplek yang kebetulan juga tinggal satu komplek, maka hari itu giliran dia yang membawa mobil. Berbarengan seperti ini sering juga kami lakukan ketika masih tugas di bappenas dulu. Irit duit, irit tenaga, dan juga bisa saling tolong dengan membawa siapa saja memenuhi mobil dinas. Apalagi juga membantu untuk 3 in 1, sehingga jarak Sawangan-Bappenas atau Lap Banteng bisa ditempuh rata-rata 1,5 jam saja. Kecuali kalau hari hujan besar dan macet. Pergi bareng, pulang pun bareng. Namun tidak bisa selalu bareng, karena jika masing2 sore ada rapat atau pagi, dua-duanya terpaksa bawa mobil. Indah bukan?

Nah dalam perjalanan pulang, menjelang magrib, di sekitar tugu sisingamangaraja, saya dikabari isteri bahwa Haniyfa Azalea Satriya, putri saya ketiga terserang GBS. Hal ini setelah dianjurkan dokter anak untuk dicek oleh dokter syaraf. Dugaan terakhir dari spesialis syaraf setelah memeriksa kondisi Haniy adalah GBS. Isteri saya pun tidak terlalu mengerti, karena awam. Tapi kabar yang sampai kesaya itu segera saya diskusikan dengan teman SMA saya yang kebetulan dokter juga. Ia pun menjelaskan apa itu GBS, dan dengan gamblang menceritakan kondisi "termudah" yang akan kami hadapi antara lain harus melakukan Plasmapheresis dan Imunoglobulin therapy, yaitu pemisahan plasma darah dan penambahan obat untuk daya tahan tubuh. Singkat kata, GBS itu adalah terjadinya kondisi sistem daya tahan tubuh menyerang sistem syaraf, terutama otot (maaf kalau keliru bisa lihat di link nanti atau google). Yang berakibat kepada kelumpuhan otot yang dimulai dari paha, terus bisa naik ke lengan, dada, dan akhirnya menghambat gerak otot pernafasan yang tentu saja berakibat sangat fatal. Kematian atau lumpuh total/sebagian.

Mendengar penjelasan teman saya, maka saya pun lemas. Apalagi ketika ia bercerita bahwa ongkos yang diperlukan..SANGAT..SANGAT
BESAR. Dan alat hanya tersedia sangat terbatas. Team yang bagus menurut teman saya ada disebuah rumah sakit dibilangan elit di daerah jakarta selatan. atau bisa juga yang agak murah di Dharmais. Ibarat mendengar petir di siang bolong, saya hanya bisa menyebut "astagafirullah" dan saya lanjutakan dengan bacaan lain penenang hati.

Terbayang dimata saya. Air matapun pelan-pelang tergenang. Kalau saya harus kehilangan Haniyfa, yang karena satu hal sangat dekat dengan saya. Kebayang, tidak ada lagi suara lembut memanggil bapaknya yang lagi asyiik FBing agar naik ke kamarnya untuk memijit punggungnya. Akh..akan kah aku kehilangan tangan2 mungil itu secepat ini? Ia baru8 tahun Juli ini. Untunglah air mata bisa kutahan,karena teman saya keburu membelokkan mobil, memasuki pelataran parkir Al-Azhar seiring tibanya waktu magrib. Di tempat penitipan sepatu, saya sempat melihat dipajang dua kotak obat dengan nama generik (?) Nigeva Savita(?). Namun karena udah mau qamat, saya pun bergegas ke atas, sambil menitipkan sama penjaga agar satu kotak dipisahkan, mungkin nanti akan saya ambil. Terkadang kami sering juga melakukan magrib di daerah selatan, sambil cari makan malam. Sebenarnya saya lebih senang perjalanan diteruskan dulu karena bisa melewati kemacetan lebih awal di Antasari. Tapi suara hati saya juga senang magrib di Al Azhar karena sudah lama juga tidak shalat di mesjid Buya Hamka itu.

Benar saja, ketika wudhu saya ketemu Antok, teman sekelas di ITB. Dari ke jauhan juga saya lihat ada pak Juanda mantan Plt Dirut PT.PLN yg saya kenal baik. Sayangnya sehabis shalat isteri saya menelpon dan meminta kepastian apakah Haniy jadi Rawat Inap, malam itu juga. Sayapun kemudian bergegas keluar menjawab telpon yang di "silent" serta juga konsultasi dengan adik sepupu yang dokter. Mohon maaf untuk Antok karena gak sempat silaturahmi ditempat yang indah itu. Adik saya yang dokter ini menyarankan tetap berpegang dengan diagnoses dokter bahwa diasumsikan GBS hingga terbukti tidak. Membuktikannya adalah dengan test cairan yang diambil dari punggung (saya pun miris mendengar ketika itu). DAlam perjalanan saya dan istri pun tetap komunikasi yang akhirnya memutuskan pulang dulu, itu juga karena tidak menyiapkan diri untuk Rawat Inap, dan rs pun masih penuh, tidak ada kamar kosong.

Maka malam haripun sesampai dirumah kami hanya bisa berpandangan, berpegangan, dan bertangisan tanpa terlihat anak2. Namun ketika saya sampai duluan, saya sudah sempat memberitahukan kepada kedua kakaknya akan kondisi adik mereka, meski cuma sekilas.

Tidurpun tak nyenyak, takut kalau haniy terserang lebih cepat dari yang kita duga. Sayapun pasrah dan (maaf tidak sempat lagi FBing seperti biasa ketika pulang kantor sekedar say hi untuk friends..) segera beribadat. Malampun terbangun, saya sempatkan tahajud.

Ketika bangun pagi hari, Haniy belum ada kemajuan,masih sakit katanya meski untuk berdiri. SAya teringat obat di penitipan yang akhirnya dengan bismillah saya beli juga plus buku 100 tahun Buya. Saya minta Haniy meminum obat itu berupa kapsul, karena berfungsi juga untuk menahan stamina. Karena susah, akhirnya kapsul dibuka, dan obat berupa minyak cair itupun disendokkan kemulutnya. Haniy pun kemudian minta digendong ke kamar mandi, karena mau pipis dan BAB katanya.

Tak berapa lama, kami berkemas untuk persiapan ke rawat inap. Namun setelah dicek hingga pukul 10 tadi pagi, kamar di rs Cinere masih penuh. Akhirnya sianya kami putuskan ke RS Fatmawati saja, yang penting dia bisa dirawat dari pada di rumah. Kesibukan juga bertambah, ketika saya ingat Haniy belum tercover insurance. Anak ketiga PNS tidak diakui sebagai "anak negara" yang mestinya juga menjadi tanggungan. Saran dari seorang rekan yang dokter agar tanggungan askes diubah. Askes kakaknya dipindah ke Haniy. Tetapi itupun tak mudah dan setelah di cek tidak mungkin. Aturan is aturan. Itulah birokrasi. Sayapun diam-diam browsing untuk mencari asuransi (meski pun ragu..apa ada asuransi yang bisa langsung mau dan mencover dgn kondisi seperti itu). Satu-satunya cara adalah dengan mengeluarkan Putty, kakaknya yang perempuan (anak ke2 saya) dari list tanggungan kantor karena ia adalah anak "Amerika" yang kebetulan lahir di negerinya OBama itu. I hope this will work..begitu gumam saya. Selanjutnya putty digantikan adiknya. Proses ini paralel sedang diproses siang tadi, gak tahu bisa apa gak untuk askes.

Singkat kata, ditengah kerepotan demi kerepotan, juga ada teman isteri (tetangga) yang membesuk kerumah, akhirnya kami siap-siap berangkat ke Fatmawati saja. karena kebetulan dokter syaraf di cinere itu juga praktek disana. Ketika di kamar, kebetulan saya masih sempat menggendong Haniy, namun saya coba minta ia berdiri sendiri dan melangkah pelan. ternyata dia bisa meski 2 langkah kecil. namun saya sendiri tidak terlalu "excited", karena bayangan sudah akan rawat inap. Ketika haniy sudah dimobil dengan Mamanya, telpon adik saya masuk dari Payakumbuh. "Da dulu si Bunai (anaknya juga pernah) begitu, bahkan ada seminggu. Kami latih saja dia berjalan" kata Nov adik saya yang dinas di Pemkot.

Siirrrr, saya segera ke mobil yang sudah siap jalan, dimana mesin ada ac nya sudah hidup dari tadi. Segera saja saya turunkan haniy dan saya bujuk agar ia mau berjalan. "Alhamdulillah" ia berjalan beberapa langkah di teras rumah. Saya suruh bolak balik. Bisa. saya suruh berdiri lurus. Bisa. "alhamdulillah!!" saya gendong dia, mamanya pun senyum mau menangis tapi. Mesin mobilpun saya matikan. saya minta ia berjalan sendiri kedalam. Bisa dan dia juga sudah masuk kamar mandi sendiri kata ibunya.

Segera saya telpon teman saya dokter yang dinas di Fatmawati tadi, dan saya ceritakan. Ia tetap menyarankan dibawa ke dokter serta meminta saya browsing di Internet dan mempelajari GBS. Memang GBS merupakan syndrome, dari pada penyakit. Demikian yang saya baca. tapi untuk memastikan walaupun belum menginginkan pemeriksaan cairan otak yang diambil dari tulang punggung, saya sebentar lagi juga akan tetap membawa Haniy yang sekarang tertidur. Akan saya konsultasikan lagi ke dokter syaraf lalu ke dokter anak yang kemaren tidak mau menangani mendengar gejala yang disampaikan isteri. Semoga bermanfaat buat dia dan saya. Saya pun tidak tahu bagaimana pasti kemajuan ini bisa diperoleh Haniy yang sekarang tertidur lelap. Saya pun tidak mengerti, apakah karena obat, atau karena pengaruh demamnya sudah hilang di otot2, ataukah sebab lain. tapi sesuatu yang pasti semua ini tentulah atas izinMU ya Allah....tiada Tuhan selain engkau, engkaulah tempat kami meminta pertolongan. maafkan lah hambaMu yang hina dan penuh kenistaan ini. jauhkanlah kami dari cobaan yang tak akan kuat kami menerimanya ya ALlah. Amin ya rabbal alamin.
Kami pun masih menunggu perkembangan, tapi paling tidak tadi siang Haniy sudah ada kemajuan, semoga ini bisa berlanjut sehingga benar-benar terjauh dari penyakit berbahaya.

(lanjutan)

Akhirnya kami tetap memeriksa Haniy selasa sore ke dokter syaraf (dewasa) yang kemaren mendiagnosa Haniy terkena GBS. Dokter memberikan advice dan obat persediaan. Setelah selesai kontrol kami lanjutkan ke dokter spesialis anak yang mentest juga seluruh gerak motorik Haniy. Ia pun merasa puas dan menyatakan tidak ada apa-apa terkait dengan kelumpuhan. Namun untuk 2nd opinion kami pun di rujuk untuk malam itu juga segera konsul lagi ke dokter spesialis syaraf (anak) lalu kembali ke dokter anak tadi. Perjuangan untuk menentukan jenis penyakit sekaligus penenang batin baru selesai setelah hampir jam 9.30. Haniy menjadi pasien terakhir sang dokter anak yang sangat favorit rupanya dirumah sakit di selatan jakarta itu. Sang dokter sempat juga tertunda datangnya sehingga haniy mulai gelisah dan nangis karena harus visit ke ruangan.

Ketika menunggu dokter anak tadi, saya juga didekati oleh seorang Ibu muda yang mempunyai anak yang baru saja terserang step. Ia menanyakan kenapa anak saya, dan saya pun menceritakan dari A-Z kami pun berpisah setelah itu. Semoga ibu Farah juga dapat mengatasi kegundahannya karena anaknya yang berumur 4/5 tahun masih dalam perawatan.

Akh..indahnya berbagi..kami pun berpisah.
(Nama-nama dokter sengaja tidak kami cantumkan untuk menghidari kesalahan atau pencemaran nama baik di kemudian hari..notes ini hanyalah untuk media berbagi sesama kita, di FB ataupun bukan).


Semoga bermanfaat.

Ada bbrp link terkait ttg GBS, sebagai berikut:
http://www.ninds.nih.gov/disorders/gbs/detail_gbs.htm
http://www.scribd.com/doc/12502746/Penyakit-GuillainBarre-Syndrome-Berbahaya
http://www.scribd.com/doc/12502428/Guillain-Barre-Membuat-Sutini-lumpuh

Monday, February 09, 2009

Haruskah kita bercuriga setelah membantu orang?

Setelah selesai shalat magrib di mushalla lantai 1, di pusat perbelanjaan (kayaknya gak tepat deh) fx di bilangan Senayan Area kemaren (24jan), saya bergegas kembali mau mengambil sepatu. Saya kadang-kadang mmg tidak bisa khusyu shalat atau segera setelah shalat kembali buru-buru jika tidak ada tempat penitipan sepatu atau sandal. Bukan apa-apa. Dulu pernah nyeker setelah pulang dari mesjid karena sandalnya "tertukar" orang. Mau ngambil sembarang sandal, pasti juga nyusahin orang lain.

Kebetulan sepatu saya itu termasuk yang paling awet. Mungkin memang karena bahan kulitnya bagus. Atau juga mungkin tinggal satu-satunya "harta karun" saya yang mengingatkan saya dulu pernah sampai menemani seorang teman Indonesia yang ngotot minta di antar berburu barang-barang hingga ke pusat perbelanjaan Hariman di pinggiran kota NY. Di musim dingin lagi. Mungkin juga karena saya meninggalkan anak saya bermain di lantai atas.

Yang pasti ketika saya ambil sepatu itu dari bawah bangku kayu saya liat agak basah oleh cairan berwarna coklat. Ketika itu pula seorang pria sambil kesel berlalu dan membuang eskrimnya yang berwarna coklat dan pink ke tempat sampah sambil mengomel kepada seorang pria lain yang duduk memasang jaket anaknya. Rupanya pria pertama kesal, karena anak kecil itu telah menjatuhkan eskrimnya yang "ditarok" di pojok bangku, persis di atas sepatu saya. Untung sepatu saya tidak "terbanjur" oleh eskrim yang tumpah itu. Hanya kecipratan.

"Salah sendiri!" pria kedua juga ikutan ngomel dan seperti bercerita kepada saya "Masak mas narok eskrim di pinggir bangku, jadinya kesenggol anak saya"
" Iya ya pak, mestinya titipin saudara yang tidak shalat atau habisin dulu ya" saya menjawab "salam dia".

Memang logikanya demikian. Tidak salah rasanya kalau saya bersimpati sama bapak yang kedua, yang baru saja kena omel. Kasian juga saya melihatnya, sementara sang anak hanya terdiam.

Sambil beriringan di lorong di lantai 1 fx plaza itu kami keluar kembali kearah mall. Pria tersebut mengakrabkan diri dengan saya dan ia menjulurkan tangannya untuk bersalaman. "Dengan pak siapa?", tanyanya.
"Oh saya Eddy pak".
"Begini pak..saya tadi sial dua kali neh"
"Ada apa pak" tanya saya penasaran. Ia pun bercerita meski buru-buru sambil jalan bahwa ia tadi apes karena gak sengaja menyerempet orang hingga orang itu masuk got.
"Bapak naik motor?" tanya saya.
"Ya pak"
"Lha motor sama motor serempetan, kan sudahbiasa pak..mestinya damai ajah" lanjut saya.
"BUkan pak, ia menyeberang jalan tiba-tiba. sampai saya dikerubut banyak tukang ojek, padahal saya mau ke depdiknas ada janji" jawabnnya sambil menunjuk ke balik gedung dimana berkantor megah gedung Depdiknas.
"Duh untung bapak udah beres ya sekarang" jawab saya sambil berlalu karena teringat anak saya masih dititipin main di lantai 7 sama si Mbak. Sementara Mamanya masih nungguin kakaknya di depan melihat band yang lagi manggung.

Tiba-tiba si bapak dengan anak satu ini seperti berbisik mau minta tolong.
"Pak duh..gak enak neh..., uang saya tinggal dua rebu di dompet"
Saya paham maksudnya dan cepat tanggap.
"Ya anak saya belum makan nih mau pulang segera" ujarnya lagi.
Dengan sigap saya merogoh kantong depan celana sebelah kiri. SAya segera berikan selembar uang yang saya anggap bisa menolong mereka untuk makan sekedarnya sebelum pulang.
"Duh..terima kasih pak Eddy, merepotkan jadinya" tungkasnya.
"Ga papa pak" jawan saya sambil berlalu dan memang saya ikhlas kok pikir saya. (mudah2 an tidak ria menceritakan ini).

"Tapi pak, kalau bisa tolong bantu saya sekian, takut kurang" katanya lagi. Tapi saya pikir uang yang saya berikan udah lumayan cukup untuk sekedar makan.
"PAk kalau takut kurang makannya diluar." jawab saya spontan dan agak memantapkan diri. Pikir saya pasti ada bakso atau mi ayam yang harganya jauh lebih murah jika dibanding dngan harga makanan di food court fx yang memang tergolong mahal. jadi ingat isterinya complain ttg mahalnya harga makanan di mall itu.

SAya mantapkan tidak menambahkan uang lagi kepada si Bapak dan Anak yang habis kena musibah itu secara beruntun. Kena dijalan, menyenggol pejalan kaki. Juga kena omel di mushalla karena anaknya menyenggol eskrim orang lain.

SAmbil berjalan menuju tempat anak saya bermain, saya sempat berpikir. Kenapa orang gak habisin dulu eskrimnya ya, baru shalat. Dan menyimpannya di bangku?
Kenapa pula pria bersama anaknya tadi cerita ttg musibah pertama, lalu minta tolong diberi uang. Meski gak memaksa kok dia minta uang lagi dan memaksa ingin makan di food court?
Ngapain dia dihari libur mau ke Depdiknas, ada janji katanya?
Ah..sekilas secara refleks saya bergumam, apakah ini suatu skenario?
Cepat-cepat saya lupakan ketika itu, karena saya juga ikhlas membantu tadi.

Kalau kejadian tsb benar sebuah skenario, nyantolin kunci motor di saku, membawa anak, membeli eskrim dst..ini adalah pertanda sudah semakin susahnya orang mencari lapangan pekerjaan. Saya jadi ingat juga pengumum di Bali Deli sebelumnya, dimana mereka terpaksa menutup usahanya di fx karena returnnya tidak sebanding dengan "one that we've expeced" sebagaimana tertera dalam selebaran penutupan Bali Deli tersebut per 15 Feb 09.

(sekedar berbagi pengalaman, jika anda mengalami hal yang sejenis, maka anda tentu sudah bisa menempatkan diri...)

Wassalam-Edd
(Diterbitkan awalnya sebagai Notes di Facebook. 26jan09)

Thursday, February 05, 2009

Tak habis-habisnya nikmatMu yang kuterima ...

Mendapat pesan dari Eiko (anak sulung saya) untuk membeli roti unyil di "wall" , telah merubah rencana saya. Tadinya dari hotel di Bogor ingin langsung pulang ke rumah. Setelah tanya sana-sini dengan pegawai hotel maka saya putuskan untuk membeli roti unyil di depan salah satu FO di ujung jalan Pajajaran ke arah utara. Karena kalau membeli di Sukasari akan terlalu 'muter" karena saya dari jalan Paledang, di sisi barat Kebun Raya Bogor. Ternyata sukasari juga sudah pindah, saya dapat informasi tambahan.

Perubahan itu membuat saya sedikit memutar jalan. Setelah membeli pesanan roti unyil, saya jadi tergiur juga untuk masuk dan melihat beberapa outlet. Memang sudah lama tidak membeli celana atau baju barang satu atau dua. Muter-muter membuat saya tidak kuat menahan lapar, mana udara juga cukup sejuk yang membuyarkan rencana saya untuk makan di rumah saja (mau ngirit juga sih...karena honor konsineering belum cair..soalnya APBN nya masih ribet pencairannya - makanya jangan heran APBN banyak sisa setiap tahun, tapi tak pernah diperhatikan pengamat ekonomi-sorry Bang Faisal).

Rasa lapar menggiring saya untuk masuk kedai kecil di emperan parkir FO. Pilihan saya jatuh kepada Mie Ayam Ceker. Relatif kosong, saya memilih duduk di salah satu meja dari 3 meja kecil yang tersedia. Meja kedua di tengah di isi oleh seorang ibu dan anak laki-laki nya yang lagi menyantap mie. Si ibu kelihatan sewot ketika si anaknya masih menambahkan saos sambel ke mangkok mienya.
"Ntar mag kamu kambuh lagi!" bentaknya sayup saya dengar.

Tak berapa lama saya pun menyantap mie ayam ceker itu perlahan. Kemudian datang lagi sepasang suami isteri ingin bergabung. Tapi karena meja yang kecil dan sianak diseberang saya juga "meng-occupy" lahan di meja saya, pasangan tadi memilih masuk untuk duduk di dalam kios, dekat kompor. Tapi saya pikir akan tersiksa mereka. Panas dan Sempit.

Alhamdulillah kenikmatan mie tidak mematikan insting dan refleks saya bekerja. Saya geser duduk ke pinggir, lalu kantong plastik belanjaan berisikan kaos kaki Rp 20.000an tiga dan dua buah baju kaos -- malu aku, masih sempat juga belanja -- saya turunkan dekat kaki kanan saya dipinggir tiang penyangga gerobak.

"SIlakan pak kalau mau bergabung!" saya menawarkan.
"Oh ya mas, terima kasih, muat gak?" si ibu menjawab.
"Bisa lah ...tapi mungkin kena gerimis dikit...!" jawab saya sambil memperhatikan tudung penutup kios yang pas di atas kepala si bapaknya duduk.
Untung gerimis berhenti dan mereka pun bergabung dengan saya.

Keakraban semeja, membuat kami ngobrol layaknya orang udah lama kenal.
"Oh..sama-sama orang pemerintah juga ya ...kita ini" celetuk si Ibu setelah beberapa menit ngobrol. Mereka ternyata pegawai Pemda DKI. Pak Ihksan baru saja pensiun, sang isteri masih kerja.
"kami menengok cucu" lanjut mereka sambil menerima cucunya disodorkan oleh seorang anak muda yang baru datang.
Setelah mengumpat akan kondisi riil masyarakat saat ini ia pun bercerita sekilas tentang pemda DKI.

"NAh pucuk dicinta ulam tiba" pikir saya.
Teringat akan posting saya di FB beberapa hari lalu tentang kondisi taman di lapangan banteng yang merana. Kebetulan foto-foto tentang lapangan banteng itu masih ada di HP saya. Lalu saya perlihatkan. Mereka juga ternyata prihatin, dan mengingatkan bahwa baru kemaren gubernur juga "ngamuk" karena kondisi lapangan Monas yang tidak terawat. Setelah senang ngobrol, cerita juga tentang hal-hal lain, termasuk banyak pegawai yang takut jadi Pimpro di DKI, saya pun siap-siap pamit.

"Maaf pak, bu, saya mau cepat-cepat pulang" saya sudahi saja karena sudah kenyang dan juga sudah ngobrol cukup lama. Pak Ikhsan mengeluarkan hp dari kantongnya dan meminta nomor saya. Setelah saya berikan ia pun mensave nomor saya dan menambahkan nama saya dengan lengkap.

Sekelebatan muncul dipikiran saya, buat apa ia mencatat hp saya? Akh.. barang kali untuk bisnis seperti tawaran MLM dan sejenisnyayang mengandalkan komunikasi. Tapi saya rela, dan waktu memberikan nomor juga tidak berprasangka apapun.

"Mari pak, bu, saya duluan" saya pamit dan buru-buru bergegas kembali ke mobil yang saya parkir di FO sebelah.

Baru keluar parkiran saja, sudah mulai macet.
"Cilaka" pikir saya bisa tambah sore sampai dirumah kalau begini. Sesampai di lampu merah saya pas kebagian paling depan dilajur kanan. MEmang saya harus belok kanan dulu diperempatan tersebut, lalu nanti cari putaran dan berbalik arah ke arah Jambu Dua lalu menuju Parung.

Di lampu merah kebetulan ada polisi yang berdinas mengatur. Cukup padat, tapi tidak parah. Dari pada saya harus mutar jauh dan menambah kemacetan, saya pun minta izin.

"Pak boleh gak U-turn disini?" soalnya kalau ke kanan saya takut juga nyasar karena belum terlalu hapal daerah itu. Setelah melihat situasi, si pak polisi ternyata baik hati dan

"Silakan pak, mumpung kosong!", memang dari arah kiri yang giliran hijau tidak terlalu banyakkendaran yang lewat dan sudah habis. Sayapun buru-buru balik arah dan sambil mengucap terima kasih, saya sempat gak enak hati juga. Jangan-jangan karena mobil saya pelat merah ia "terpaksa" menyetujui, dan saya juga gak enak sama pengguna jalan lain. Tapi apa boleh buat..sudah terlanjur.

Setelah melewati kembali FO dan warung mie ceker tadi, saya harus berhenti di blok berikutnya karena ada lampu merah lain di dekat area hotel Pangrango (tapi saya lupa Pangrango berapa). Pas mau memilih lajur yang disesuai kan dengan arah, HP saya berdering. Biasanya saya tidak pernah mau mengangkat kalau suasana padat seperti di Bogor kali ini. namun insting saya cepat menyuruh saya untuk meraih hp itu.

"Pak Eddy ya...yang tadi makan mie ceker dengan kami" sekilas saya lihat nomornya memang sama dengan misscall ketika pak Ikhsan mencatat no hp saya tadi.

"Betul pak.." jawab saya cepat.
"Belanjaan bapak ketinggalan pak.." suaranya melanjutkan buru-buru.
"Astaga..terima kasih pak saya balik, minta tolong saja si masnya tukang mie ke pinggir jalan pak" pinta saya segera ambil keputusan

"Ya pak udah dipegang si mas (maksudnya pesuruh kios itu)" jawabnya.

Sontak saya pun ambil lajur kanan dan pas hijau saya buru-buru U-turn lagi, yang kalau biasanya mungkin tidak boleh. tapi saya tidak melihat rambu dilarang u-turn.

Akhirnya saya hanya perlu meniupkan klakson sekali saja di depan FO itu,karena si mas nya sudah siap memasukkan belanjaan saya lewat pintu depan. Setelah berterima kasih saya pun tancap gas.

Kembali harus berhenti di lampu merah yang sama dimana polisi tadi juga masih berdiri disitu. Tidak enak hati, sayapun belok kanan saja dan mencari putaran untuk mengatur arah kembali ke Jambu Dua. Tidak tega lagi membuat u-turn di tempat yang dapat mengganggu lalu lintas, meski si polisi mungkin mengizinkan. Tapi tak saya lakukan, takut ia mengira saya orang kurang waras, mutar-mutar di lampu merah di area kerjanya dia.

Alhamdulillah...untung masih belum jauh. Coba kalau sudah sampai Parung. Dan keakraban di meja makan mie ceker tadi telah menggerakan jari-jari pak Ikhsan untuk mencatatkan nomor saya di hp nya, dan juga telah menjadi jalan untuk menggerakan hatinya memberikan pertolongan kepada saya dalam waktu yang singkat tapi tepat.

Maka nikmat Tuhan mu yang mana lagi yang engkau dustakan Eddy?

=====
Tulisan ini adalah Notes di Facebook (published 1/2/09)

Thursday, January 08, 2009

Dua-Dua (sudahkah anda berbuat baik hari ini?)

Agak dingin, begitulah kondisi udara di pagi hari tanggal 7 Januari 2009. Paling tidak selama perjalanan saya dari Cinangka (Sawangan) ke kantor di lapangan Banteng. Seperti biasa, minum banyak air putih di tambah jus, telah membuat saya harus menepikan kendaraan. Jika memilih jalur arteri Pondok Indah, maka SPBU dekat bank permata adalah sasaran "tembak" untuk buang air kecil (BAK). Sedangkan jika lewat Blok A, maka SPBU sebelum pasar Blok A adalah pemberhentian alternatif saya.

Tadi pagi, meski perjalanan tidak terlalu macet, saya kembali harus mampir di SPBU arteri Pondok Indah. Ketika masuk sudah tercium gelagat tidak baik. Dua mobil berbaris sudah terparkir, begitu pula beberapa motor. "Celaka nih" pikir saya. "Pasti antri".

Benar saja, setelah memarkir mobil di tempat yang agak kosong dekat tempat pengisian, saya mendapati sudah 3 orang berjaket, dan ada juga yang masih memakai helm dikepalanya, berbaris. Antri BAK, mungkin juga BAB. Ada yang agak tenang, tapi ada pula yang sudah mulai bergoyang. Tidak jelas memang goyangnya. Karena memang gak ada musik. Asyiikkk, ada yang mulai geram karena yang sedang didalam kelihatannya tidak ingat kalau 4 orang sudah antri. Tidak jelas yang digumamkannya. Tapi jelas dia mengomel.

Pas giliran saya antri paling depan, datang lagi 3 orang "peserta lomba" yang kedinginan. membuka jaket dan helm dua diantaranya juga mulai bergoyang. Jika goyang mendengarkan music jazz mungkin lebih teratur dan "smooth", goyangan mereka juga demikian. Tapi lucu. Goyangannya tidak horizontal atau meliukan badan ke kanan dan kekiri, tapi goyangannya turun naik (maaf bukan goyangan orang lagi "gituan") tetapi persis kayak teman saya yang sering ikut nimbrung joget 17 agustusan. Kedua tangan dikepal, disimpan di dada. Lalu pantatnya turun naik diikuti gerak badan yang lain menyesuaikan.

"Duh cepetan dong!" begitu keluhan orang kedua setelah saya yang mulai tidak sabar. Saya juga udah konsentrasi tinggi untuk bertahan. Takut gak tahan BAK, barabe kan. Orang di belakang saya mulai gak sabaran, ia pun mengetok pintu alumunium standard WC SPBU Pertamina. Saya kalah cepat mencegahnya, takut juga karena BAK bisa berantem nih sama orang-orang pengguna jalan. Persis pengalaman saya ketika ke Bogor beberapa tahun lalu. Ceritanya, terjadi perang mulut setelah orang di dalam kakus keluar karena di gedor oleh yang nunggu. Maka carut bungkang pun keluar karena gedorannya ternyata "menghentikan" laju fluida si orang tersebut. Alhasil, saya hanya senyum simpul menyaksikan dua orang akhirnya berantem. Yang satu sudah gak bisa tahan, sedangkan satunya jadi tidak bisa mendorong 'fluida"nya keluar gara-gara gedoran. Bisa jadi pikir saya, kalaupun saya di gedor orang lagi BAB atau BAK, mungkin juga mengalami harl serupa.

Kembali ke cerita tadi pagi, pas giliran saya, spontantly saya menawarkan kalau ada yang mau "menemani" saya masuk ke dalam. Dengan satu syarat. BAK, bukan BAB. Kontan banyak yang ngacung, tapi tentu saja saya pilih yang pas dibelakang saya. Saya tawarkan karena hafal SPBU nya yang punya dua lobang. Satu di kloset yang tentu menjadi hak prerogatif saya, satunya lagi di lobang air dekat pintu keluar.

ALhasil jadilah pagi itu menjadi hari pertama -seumur-umur setelah dewasa - saya di temani orang lain BAK. Untuk keluar, saya harus setia menunggu karena terhalang dipintu. Soalnya "partner' saya punya kandungan yang lebih banyak atau mungkin debitnya kecil.

Alhamdulillah, saya keluar dengan lega. Juga mendapat terima kasih dari "partner" yang tidak sempat saya kenal. Senyum simpul menghiasi bibir saya ketika kembali ke mobil. Dan saya tidak kuat lagi menahan senyum itu untuk menjadi sebuah derai ketawa yang menyegarkan ketika saya lirik, setelah saya, mereka juga masuk berombongan. Dua-Dua.

Untung tadi yang antri lelaki semua.

===

Menjelang magrib, lapangan banteng, jakarta pusat.
Dipublish juga di FB Eddy Satriya


Dua dah masuk, dua tinggal diluar. Ada yang gulung celana -siap-siap- ada yang goyang pantat..susah emang nahan pipis ya..Mas