Showing posts with label politics. Show all posts
Showing posts with label politics. Show all posts

Monday, May 24, 2010

Kemenangan Anas yang Melegakan - Nasional - Politikana

Kemenangan Anas yang Melegakan - Nasional - Politikana

Politikana 24 Mei 2010

Suka atau tidak suka, kemenangan Anas memang sedikit diluar perkiraan banyak orang awam. Mungkin karena kesederhanaan dan tidak terlalu jor-joran mengeksploitasi kekuatan justru menguntungkan dan menjadi kunci kemenangan kubu Anas Urbaningrum (AU).

Bagi rakyat yang sudah sangat bosan dan sangat kritis terhadap perilaku "menyimpang" banyak penguasa selama ini, jelas kampanye dan pemberitaan yang sangat berlebihan atas calon Andi Malarangeng (AM) justru menimbulkan guratan kesal dan kesan negatif bagi AM sendiri. Berlebihan di media massa dan "sangat mengganggu" pemandangan di jalan raya seperti di jalan Toll Cikampek dan Purbalenyi dengan lalulalang mobil pendukung AM yang dihiasi dan di cat dengan foto wajah AM pada weekend lalu, bisa jadi justru menambah citra negatif AM tersebut. Mungkin hal ini luput dari pengamatan Tim SUkses AM.

Rakyat saja sudah begitu, apalagi bagi para kader Partai Demokrat (PD) yang selama 2 periode ini menjadi "ruling party". Kesumpekan politik dan sikap politik dari para politikus di Senayan tentu bagi kader yang baik sangat mengilhami proses pemilihan Ketua Umum DPP kali ini. Saya meyakini, selain kepiawaian Anas memainkan bandul politiknya dengan momentum yang tepat, sikap politik kader PD yang menginginkan perubahan hanya bisa disandarkan kepada AU. Meski Marzuki ALi sebagai Ketum DPP "incumbent" juga nyaris tidak punya cacat (kecuali ketika terjadi "insiden" kepemimpinan ketika memimpin sidang kasus Century), kepemimpinan AU juga memperlihatkan kemenangan kaum muda yang sangat manis.

SIngkat kata, kemenangan kubu AU dalam pemilihan Ketum DPP kali ini sangat sarat makna yang harus diambil pelajaran bagi politikus manapun yang ingin menjadi pemimpin di negeri ini. Selain itu proses yang aman dan terkendali, juga memberikan secercah angin segar bagi dunia perpolitikan nasional yang selama ini nyaris selalu dicibir dan diludahi oleh banyak orang. Meski diduga tidak mengantongi restu dari SBY selaku Ketua Dewan Pembina PD sebesar calon lain seperti AM, AU justru piawai memainkan "kepapaan" nya itu menjadi salah satu kunci kemenangan.

Bagi AM, tentu banyak pelajaran yang bisa diambil. Tingginya gelar dan sanjungan demi sanjungan yang selama ini ia terima, terutama dari tingginya pemberitaan dirinya di media massa, jika tidak dikombinasikan pengendalian diri yang baik justru bisa menjadi sumber petaka. Masyarakat Indonesia meski masih banyak yang bodoh, tentu tidak akan mudah melupakan ucapan AM sendiri ketika "mengerjai" seniornya Jusuf Kalla (JK) dalam pilpres 2009 yang lalu di kampung halaman sendiri. Saya sendiri juga masih ingat berbgai "keteledoran" AM ketika menjadi jubir Presiden SBY pada Kabinet Indonesia Bersatu I (KIB-1), terutama yang menyangkut rakyat jelata. Betapa menyakitkan komentar AM ketika mati-matian membela SBY ketika terjadinya kasus tabrakan di Jalan Tol di sekitar Cikeas beberapa tahun lalu sehabis lebaran.

Anas sendiri bukannya tanpa cela. Kita tentu tidak bisa melupakan betapa AU dengan sangat tenang dan licin meninggalkan saja teman2nya di Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang saat itu bermasalah karena berbagai indikasi KKN yang berujung dengan mendekamkan para petinggi KPU ketika itu seperti Nazaruddin Syamsudin, Daan Damara, dan beberapa orang lainnya yang juga dosen PT akhirnya di penjara. Anas dengan sigap langsung merapat ke kubu PD yang ketika itu memang membutuhkan figure politikus santun yang bisa mendukung kharisma SBY. Namun terlepas dari itu semua, kepiawaian seperti AU adalah suatu yang lumrah dalam dunia politik.

Namun demikian, proses pemilihan Ketum DPP PD kali ini tentu bisa menjadi contoh yang sangat baik bagi pemimpin bangsa ini, maupun rakyatnya. Diadakan sedikit di luar kota Bandung, telah menjadikan masyarakat Bandung ikut berpesta; mulai dari semaraknya Factory Outlet (FO), penuhnya semua hotel, larisnya berbagai jajanan dan pusat oleh-oleh hingga ramainya hiburan malam di kota kembang itu. Selain itu, kemenangan AU memberikan keyakinan kepada para kader PD maupun partai lain, serta masyarakat luas, bahwa menjadi pemimpin terpilih, memang tidak mudah. Karir itu memang harus dibina dari bawah, dijalani dengan penuh ketenangan diri, tidak gundah dengan berbgai dukungan kepada lawan, serta membangun jaringan di berbagai lapisan. Hikmah lainnya yang lebih menyejukkan adalah peran Presiden incumbent selaku Ketu Dewan Pembina partai berkuasa yang cukup netral memberikan semacam "surprise" dan kesegaran politik di negeri ini.

Semoga kita memang siap untuk menjadi lebih baik. Terima kasih Partai Demokrat, semoga kader mu dimasa depan memang lebih mementingkan rakyat. Selamat buat Bung Anas Urbaningrum. Semoga menjadi hikmah yang besar bagi AU dan MA serta seluruh kader PD di kemudian hari.

_______

Wednesday, May 20, 2009

PKSku sayang, PKSku (tidak) malang.

Public Blog Kompasiana» Blog Archive » PKSku sayang, PKSku (tidak) malang.

Sehari, setengah hari, serta dalam hitungan jam menjelang deklarasi pasangan Capres-Cawapres SBY Berbudi pada tanggal 15 Mei 2009 yang lalu, sebagian besar umat Islam, anggota dan kader PKS, termasuk simpatisan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) seperti saya, masih menantikan sepak terjang dan jurus pamungkas pimpinan PKS. Semua menantikan bagaimana “ending” hubungan antara Partai Demokrat (PD) dengan PKS, sehubungan dengan “hanya di sms” nya pimpinan PKS oleh pihak PD terkait dengan rencana penetapan Pak Budiono sebagai Cawapres bagi Susilo Bambang Yudhoyono yang telah lebih dulu diajuka sebagai Capres dari PD.

“Antiklimaks…..!”

Begitulah berbagai komentar akhirnya berdatangan dan beterbangan di berbagai media. Media cetak dan elektronik menggambarkan kekecewaan, hujatan, dan makian yang sangat menyakitkan dialamatkan kepada kubu PKS. Dari sekedar menyebutkan sebagai gertak sambal, tidak konsisten, tidak ada apa-apanya, hingga ungkapan sangat memalukan bisa kita baca dan dengarkan secara langsung. Demikian pula, berbagai hujatan dan nada ketidakpuasan kader atau masyarakat luas benar2 tumpah di berbagai blog, mailing list, maupun di jejaring sosial seperti Facebook.

Betapa tidak, berbagai kader PKS sebelumnya masih menyatakan ketersinggungan harga diri partai mereka diperlakukan secara “feodal” oleh penguasa. Mereka mencaci maki secara langsung ataupun tidak langsung sikap penguasa yang tidak mau menggunakan jalur komunikasi saling menghargai. Banyak teman saya simpatisan PKS yang sampai detik terakhir masih yakin bahwa pimpinan mereka akan bersikap tegas terhadap SBY. Namun apa mau dikata. Fakta yang ada di layar kaca ketika pencanangan “SBY Berbudi” jelas memperlihatkan bahwa “PKS akhirnya menyerah kepada Yudhoyono” sebagaimana headline Media Indonesia keesokan harinya. Presiden PKS yang beberapa jam sebelumnya

Tidak dapat saya bayangkan harga diri para kader yang dari dulu berusaha konsisten, harus diletakkan dimana setelah kejadian di Sabuga, Bandung itu. Memang politik tetaplah politik. Terus terang karena politik bukanlah ranah yang familiar buat saya, saya tidak ingin mengomentari lebih jauh tentang keterpurukan PKS akibat inkonsistensi para elite mereka ketika harus bersikap menghadapi incumbent.

“Mabuk Kemenangan dan Tidak Mau Dikritik”

Sejak menuai hasil yang diatas rata-rata partai lain dan tergolong memuaskan dalam Pemilu 2004 lalu, saya mengamati bagaimana senangnya para elite dan kader PKS. Tokoh mereka menjadi Ketua MPR, dan beberapa lainnya masuk ke jajaran Kabinet Indonesia Bersatu, meski belum memegang posisi kunci. Dari berbagai kejadian dan “event” yang digelar, kader PKS juga memperlihatkan dominansi mereka dalam berorasi, turun kejalan dan dalam melakukan berbagai aksi damai. Seperti halnya penomena AA Gym ketika jaya dulu, jangan kan orang muslim, kaum non muslim Indonesia saja merasa nyaman dengan kehadiran PKS yang meski mengusung Islam sebagai ideologi partai, namun tetap memperhatikan kemajemukan serta “tepo seliro” dengan penganut agama lain.

Dari berbagai keberhasilan tersebut, kelihatannya mereka terlena. SIkap egaliter yang dibiaskan oleh sebagian kader partai yang berasal dari Sumatera lama-lama dilupakan. Pelan-pelan sikap feodal yang dulu mereka dobrak kembali bersemi dalam keseharian mereka. Sesuatu yang alami sebenarnya. Namun Seperti pernah saya alami sendiri ketika mau beranjang sana ke salah satu tokoh PKS yang kebetulan menjadi pejabat negara di salah satu kota. Keinginan saya untuk bersilaturahmi sebagai warga kota itu dan membawa tokoh masyarakat setempat setelah waktu magrib yang syahdu, ditampik begitu saja. Setelah diterima dirumah sang tokoh, saya ditanya oleh “Ring-3″ mereka tentang keperluan apa dan maksud tujuan lainnya untuk bertemu.

Meski sedikit kesal karena sudah menelpon sebelumnya (nomor telepon rumah saya dapatkan dari tokoh PKS lainnya yang menjadi sahabat saya di DPD) saya berusaha tetap tenang. Berbagai pertanyaan diajukan kepada saya tentang maksud dan tujuan. Saya pun menceritakan tujuan saya beranjang sana dan bersilaturahmi. Namun setelah beberapa pertanyaan lain diajukan, dan saya jawab, tetap saja akhirnya kami diminta datang di hari lain. Singkat kata, meskipun sang Pejabat tokoh PKS itu ada di rumah, kami tidak layak untuk ditemui berdasarkan kriteria para “punggawa” di RIng 2 atau 3.

Kakak ipar saya sedikit angot. Iya juga tidak menduga seperti itu. Ia kecewa. Segera ia meminta saya untuk memberikan saja kartu nama kantor saya yang mempunyai logo Burung Garuda. Saya sabarkan ia. Saya datang kesini sebagai penduduk warga kota sang Pejabat kita, bukan sebagai pejabat dari kantor saya.

Dengan langkah gontai kami pun pulang kembali. Perjalanan saya yang menempuh waktu kurang lebih 1,5 jam dari Sawangan pun sia-sia. Kakak ipar saya masih saja mengomel dan mengungkapkan kekecewaaannya. Besoknya setelah ditolak bertemu dengan sang tokoh PKS yang sebelumnya sudah pernah berkenalan di Mesjid Komplek Perumahan kami di Sawangan, saya menyampaikan kejadian itu kepada tokoh lainnya agar di ambil langkah2 perbaikan. Karena bagaimanapun sikap feodal yang telah berupaya diruntuhkan oleh pendiri PKS dengan kombinasi sikap egaliter dan ketaatan beragama bagi para kadernya sebaiknya tetap dikikis habis.

Kejadian itu sekitar pertengahan tahun 2006. Ternyata saya dan kakak ipar saya saat ini tidak sendiri. Mungkin belasan juta atau puluhan juta mungkin simpatisan PKS merasakannya saat ini. PKS menjadi partai tak berdaya dihadapan PD. Tokoh-tokoh PKS tidak ada bedanya dengan partai lain. Politik memperlihatkan “nature of business” nya dengan jelas.

Mudah-mudahan para elite PKS cepat sadar dan mampu mengoreksi diri. Baik ketika harus tegas berhadapan dengan penguasa, ataupun mampu lebih merakyat dan mengayomi ketika mengurus rakyatnya.

Semoga ini bukan akhir segala nya bagi PKS. Bagaimanapun PKS masih menjadi andalan umat Islam untuk menjaga tegaknya ajaran AL Quran dan Sunat Rasulnya di bumi Indonesia. InsyaAllah.