Monday, January 31, 2005

"REFORMASI POCO-POCO"

Oleh: Eddy Satriya*)


Catatan: Telah diterbitkan dalam Kolom Majalah Forum Keadilan, No.39/6 Feb 2005

Bayangkanlah pada suatu pagi anda sedang berada di pinggir kolam renang yang asri di sebuah hotel berbintang. Atau mungkin juga sedang berada di seputar Gelora Senayan. Anda baru saja selesai jalan pagi ketika tiba-tiba diajak untuk bersenam ringan bersama. Biasanya instruktur akan mengajak peserta senam melakukan tarian berikut ini. Gerakan dasarnya relatif mudah. Dua langkah kecil ke kanan, kembali ketempat, lalu mundur satu atau dua langkah ke belakang, kemudian maju ke depan sambil berputar. Begitu seterusnya gerakan itu diulang-ulang, hingga anda selesai memutar tubuh ke empat penjuru angin lalu kembali ke tempat semula.

Itulah tarian atau gerakan senam Poco-Poco yang sangat digandrungi oleh masyarakat Indonesia sejak enam atau tujuh tahun terakhir ini. Walaupun gerakan tersebut memiliki banyak varian, namun ada yang tetap. Yaitu, jika tidak membuat kesalahan maka anda relatif statis karena berputar-putar di tempat. Jarak antar sesama pesenam atau penari juga akan terjaga secara harmonis. Selanjutnya, anda tentu akan kecanduan dan tidak mau berhenti ber “poco-poco” dengan irama lagu yang memang membuai.

Harmonisasi gerak tari Poco-Poco di atas kiranya sangatlah tepat untuk menggambarkan kondisi umum pelaksanaan reformasi di negeri kita. Beberapa kali pergantian kepemerintahan dan kabinet ternyata tidaklah serta merta membawa perbaikan. Banyak lini kehidupan tidak mengalami pembaruan, malah untuk beberapa bidang mengalami kemunduran. Kalaupun ada, perbaikan ternyata tidaklah mudah untuk diteruskan, teladan tidak mudah ditularkan. Singkat kata, reformasi kehidupan berbangsa dan bernegara belum mengalami kemajuan berarti, lebih banyak berputar-putar dan jalan di tempat. Persis bak orang menari Poco-Poco.
***

Rangkaian “kekonyolan” masih saja terjadi sejak reformasi digulirkan. Beratnya perputaran roda reformasi di Indonesia tergambarkan dalam uraian berikut.
Petani masih harus terus berjuang. Sayur kol di daerah Boyolali hanya dihargai sekitar Rp 100,0 per kilogram. Panen bawang merah di beberapa sentra pertanian di pulau Jawa seperti Brebes, kalaupun terbebas dari serangan hama, tidaklah mampu melepaskan diri dari serbuan bawang impor. Nelayan dan petani garam mengalami nasib sama. Petani tebu pun masih harus jatuh bangun karena belum sehatnya industri gula. Singkat kata, bagi petani dan nelayan masih berlaku ungkapan “waktu membeli bibit, pestisida atau pupuk harga ditentukan penjual, ketika menjual hasil panen harga di tentukan pembeli”.

Terjadinya penyetopan secara mendadak terhadap kendaraan yang sedang melaju kencang di jalan bebas hambatan Jagorawi pada musim Lebaran 2004 lalu memperlihatkan arogansi aparat yang sulit diterima akal sehat. Hal ini diperkeruh lagi oleh ucapan juru bicara Presiden yang simpang siur. Penetapan seorang supir yang telah meninggal dunia dalam kecelakaan tersebut sebagai salah satu tersangka, juga sangat membingungkan.

Pemberantasan korupsi masih terkesan pilih kasih dan harus berpacu dengan bermunculannya kasus korupsi baru dengan modus operandi yang lebih canggih. Tidak salah kiranya pengamat ekonomi UI Faisal Basri yang juga pejabat tinggi di Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) dalam sebuah talk show menyindir penikmat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang justru diangkat menjadi pembantu presiden (Radio Delta, 27/12/04).

Pelaksanaan “good governance” seperti fatamorgana. Telah dimaklumi bahwa tata pemerintahan yang baik akan tercapai apabila ada keseimbangan peran antara tiga unsur utamanya: state atau penguasa, pelaku bisnis atau pengusaha, dan civil society atau kelompok masyarakat sipil. Telah menjadi catatan sejarah bahwa masa awal Orde Baru merupakan dominasi penguasa atas dua unsur lainnya, sementara masa-masa akhir Orde Baru merekam dominasi pengusaha.

Sesungguhnya era reformasi merupakan kesempatan baik untuk meningkatkan peran masyarakat. Namun secara kasat mata terlihat bahwa bandul pelaksanaan pemerintahan kembali diayunkan pengusaha dan sepertinya akan melumat dua komponen lainnya. Jabatan rangkap yang sangat jauh dari sikap hidup profesional kembali justru dicontohkan oleh elite pimpinan. Birokrat kehilangan rasa percaya dirinya dan civil society semakin tidak terwakili. Lebih menyedihkan lagi, posisi perguruan tinggi jadi serba canggung. Pakarnya semakin banyak yang menjadi “kutu loncat” di sekitar birokrasi dan partai politik memburu posisi dan jabatan tanpa aturan main yang jelas. Fungsi riset yang sangat dibutuhkan di kemudian haripun menjadi terbengkalai. Semakin hari, semakin susah membedakan pakar dengan celebrity.

Sementara itu, penggusuran SMPN 56 di kawasan Melawai Blok M, Jakarta, semakin memprihatinkan dunia pendidikan yang sudah carut marut. Bayangkan, penggusuran sekolah disamakan dengan penggusuran lapak, kios atau gubuk liar yang ditinggalkan mudik penghuninya. Seperti sudah diperkirakan, proses eksekusi tinggal menunggu waktu yang tepat. Penggusuran SMPN tersebut akhirnya terlaksana pada saat sekolah itu ditinggal mudik guru dan siswanya.

Digital divide (kesenjangan digital) masih menganga. Fasilitas telekomunikasi dan informasi terkonsentrasi di kota-kota besar dan kelompok mampu. Siaran televisi masih didominasi oleh hiburan dengan mengutamakan pusar, pinggul, kisah misteri dan iklan. Suatu ironi yang sangat menyesakkan dalam era telematika telah terjadi begitu saja tanpa banyak yang peduli. Tatkala bangsa ini membutuhkan prestasi kelas dunia guna membangkitkan rasa nasionalisme, maka untuk pertama kalinya sejak beberapa dekade terakhir bangsa Indonesia justru tidak bisa menyaksikan secara langsung pahlawan bulu tangkisnya berjuang meraih prestasi tertinggi di arena Olimpiade bersejarah Athena 2004. Masyarakat yang tidak mampu berlangganan TV Kabel atau Satelit hanya bisa menahan gundah ketika melihat foto Taufik Hidayat menghiasi halaman koran esok harinya. Taufik yang memegang medali emas olimpiadenya terlihat tercenung memandang Sang Saka Merah Putih. Saya sendiri ikut menangis geram karena tidak bisa mengikuti rangkaian perjuangan panjang Taufik.

Di samping berbagai manfaat yang diperoleh dari gaya pemberitaan televisi yang lugas dan langsung dari lapangan, banyak pula orang mempertanyakan etika pemberitaan yang menayangkan secara dramatis musibah tsunami di Aceh. Lihatlah betapa penayangan jenazah yang diiringi oleh jerit histeris keluarganya telah ditingkahi oleh tujuan komersil dan iklan. Bahkan baru-baru ini saya sendiri terperanjat ketika pembawa acara meminta seorang Bapak yang telah kehilangan 22 anggota keluarga, termasuk anak gadisnya, untuk menyanyikan lagu kesayangan si anak (Metro TV, 11/1/05). Tidak berhenti disitu saja, ketika Sang Bapak telah berhasil “memaksakan” diri menggumamkan sepenggal lagu tersebut, pembawa acara dengan dinginnya malah terus meminta satu bait lagu lagi untuk disenandungkan. MasyaAllah!
***

Daftar kekonyolan di berbagai lini kehidupan di atas bisa saja diperpanjang tanpa batas. Sebut saja proses kematian yang dialami pejuang HAM Munir, perusakan lahan tempat pengolahan sampah terpadu di Desa Bojong, Bogor bulan November tahun lalu, penutupan Bank Global, hingga bebasnya senjata api masuk bar dan berdampingan dengan gelas alkohol di sebuah hotel berbintang yang dijaga ekstra ketat dalam sebuah pesta malam tahun baru.

Untaian panjang proses “reformasi poco-poco” di atas bukanlah untuk mengungkit-ungkit kekurangan kita dan bukan untuk salah menyalahkan. Daftar itu sekedar merekam peristiwa yang seharusnya mampu menggugah nurani dan kepedulian kita terhadap reformasi. Langkah maju hanya bisa dicapai setelah reformasi dijalankan dengan konsisten dan konsekuen. Pengingkaran terhadap hakekat reformasi hanya akan memperpanjang derita rakyat Indonesia, memperburuk citra bangsa dalam pergaulan internasional, serta memudarkan semangat dan rasa percaya diri kita.

Lalu menjadi pertanyaan kemudian, mengapa kekonyolan demi kekonyolan tersebut masih terus terjadi? Lantas apa sebaiknya yang harus dilakukan?

Ada beberapa alasan. Pertama, banyak pemimpin yang lupa dan tidak menyadari bahwa Indonesia memang masih tergolong negara miskin dengan GDP per Capita di bawah US$ 1000,0. Kedua, tingkat upah sebagai besaran ekonomi makro masih belum diperlakukan secara proporsional di dalam sistem ekonomi nasional, baik untuk swasta, buruh, serta aparat pemerintah sendiri. Tingkat upah (wage) ini sangatlah luas dampaknya termasuk kepada rendahnya produktivitas dan korupsi. Selanjutnya, bangsa Indonesia semakin mengabaikan hal-hal detil dan cenderung hanya memperhatikan persoalan besar. Keempat, pola pikir dalam menetapkan kebijakan masih terperangkap kedalam pola pikir masa lalu. Dengan kata lain, kebijakan baru miskin inovasi. Kelima, bangsa kita semakin banyak maunya namun sangat sulit menentukan prioritas. Terakhir, kita semakin tidak menghargai profesionalisme orang lain.

Salah satu cara yang bisa ditempuh saat ini adalah kembali kepada jalur reformasi yang sebenarnya. Ada baiknya kita telaah kembali arti kata reformasi atau “reform” yang dalam Pocket Oxford Dictionary (1994) diartikan sebagai “make or become better by the removal of faults and errors” serta “removal of faults or abuses, esp. moral, political, or social”.

Mudah-mudahan dengan memahami arti kata reformasi dan kembali menjalankan proses reformasi secara konsisten dan konsekuen, maka perbaikan diharapkan akan datang menerangi Indonesia yang sedang berkabung. Kita sungguh mengharapkan reformasi yang sebenarnya, bukan “Reformasi Poco-Poco” yang melenakan segelintir orang dan melupakan rakyat banyak.
_________
*) Pemerhati Reformasi, menetap di Sawangan-Depok.

Monday, January 03, 2005

Court rulling raises uncertainty in energy sector

The Jakarta Post, January 3rd 2005
http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20050103.F01

Eddy Satriya, Jakarta

Economic changes coupled with advances in new technology, the need to conduct good-governance practices, and intensifying pressure to reduce the central government's role have significantly brought new developments to the provision of public utilities and infrastructure in many developing countries.
Waves of deregulation, liberalization and privatization started in the 1980s have had an effect on decision makers in setting up their industries.

The energy sector in Indonesia has also progressed significantly in its reform through the issuance of new regulations. Oil and Gas Law No. 22/2001, Electricity Law No. 20/2002, and Geothermal Law No. 27/2003 were all promulgated after the economic crisis in 1997. The main themes of the new laws are improving the quality of services, abolishing monopoly, defining the new role of the government, and improving public-private partnerships in infrastructure provision. As a result, the energy sector is now ready to open up the domestic market and to redefine the government's role in the industry.

Therefore, it was like a clap of thunder overhead on Dec. 15, 2004, when the news regarding the dissolution of Electricity Law No 20/2002 reached all decision makers, investors and players in infrastructure who assembled in the National Development Planing Board's (Bappenas) hall on Jl. Taman Suropati, Central Jakarta.

The reason for the annulment is that some of the main articles -- article no. 16, 17, and 38 -- of the Electricity Law are against article 33 of the 1945 Constitution. Having the Electricity Law canceled means that the law is no longer effective and all of the contracts and commitments being prepared must be stopped. Thus, at the moment there is no law or basic regulation effectively in place for the electricity industry. Yet, some say that the annulment means that the old Electricity Law No. 15/1985 is the prevailing law. However, that is not automatically the case since the old law had already expired and the decree made by the Constitutional Court canceled Law No. 20/2002 but said nothing about Law No. 15/1985. In short, the annulment has caused a backlash and the virtual eclipse of the power industry. The industry may be led into an even darker tunnel, unless the government and related stakeholders make a quick move to fill the gap.

As a matter of fact, the enactment of Electricity Law No 20/2002 has already marked a new era in the country's power sector. A series of restructuring and reform steps have been taken accordingly. For example, the formulation of the so-termed Blueprint for Indonesia's Power Sector -- also known as Guidelines for the Development of the National Power Industry -- and the establishment of the Electricity Market Supervisory Board through Government Regulation No 53/2003 are among reform steps taken in the sector. In addition, good will for reform has been signaled by the resignation of the former director general of electricity and energy utilization as a member of the board of commissioners of state-owned electricity company PLN.

On the other hand, unfortunately, PLN has not fully recovered yet from the economic crisis. The fact that only half of the population is connected to the grid shows PLN's difficulty in expanding its services. Blackouts and brownouts in some areas outside of Java and Bali islands also indicate a lower grade of electricity services. The company's limited budget for new investment and the rehabilitation of power generators, and the price increases of crude and diesel oil has hampered PLN's activities significantly since about one third of its power generation is oil-fueled.

Other alternative for funding new investments in the system -- ranging from generation, transmission, and the distribution of the power to end-users -- are through foreign debt or loans. However, financing new projects through foreign loans has not been that easy for PLN. Most investors now seek government guarantees due to the poor track record of PLN., as many of its previous projects suffered long delays in the implementation stage.

The other way to improve the power supply service is through increasing the selling price to users. As the sole operator in the country, PLN -- through a government decision -- has successfully increased electricity charges over the last four years. Statistics show that price increases in the electricity tariff are much higher than those of other basic utilities, such as water supply and public transportation. In addition, power losses and inefficiency in management have worsened the overall performance of the power sector. All of these difficulties and the "wait-and-see" attitude of investors in the power sector have caused the deterioration of overall services.

Thus, we arrive at the question: How does this logic actually work? On one side, Electricity Law No. 20/2002 encourages the modernization of the sector through, among other things, redefining the government's role, gradually liberalizing the power sector that has been controlled by one party for decades, and by inviting private participation in the sector. The new Electricity Law has also freed PLN from constructing facilities and providing services in rural and remote areas. Article 7 of the law says that this task has now been transferred to both the central and regional administrations.

On the other hand, the cancellation of the law may throw the industry into uncertainty, which could lead to the deterioration of power supply services and worsen the investment climate at a national level. In other words, the cancellation of Electricity Law No. 20/2002 does not send out a positive signal ahead of the Infrastructure Summit.

The Constitutional Court has made its decision. Yet, we are aware that not all liberalization programs carried out across the world end as success stories. This is not a matter of "the Lexus and the Olive Tree" as underlined by Thomas L. Friedman. But, this is purely a question of which one is now the real enemy to the welfare of the Indonesian people from transition to transition: Monopoly or liberalization? Only time will tell.

The writer is a senior infrastructure economist, working for Bappenas. He can be reached at esatriya@bappenas.go.id