Sunday, March 16, 2008

“Call Center” atau “Cash Center”?

No Call Center baru..susah dihafal dan Mahal...! Rp 900/menit


No Call Center Lama.... lucu kan? Mudah diingat dan Murah (local rate)
Petugas Loket di Bandara Juanda, Surabaya, ikut2-an Bingung ganti Call Center
(Kurang sosialisasi ni ye...!)

Kepedulian pemimpin, pengusaha, maupun rakyat Indonesia terhadap manfaat dan peran telematika -atau sekarang dikenal dengan TIK- dalam pembangunan memang tergolong rendah. Kondisi ini bisa dipahami karena sebagai negara berkembang kita masih mengalami kesulitan untuk memprioritaskannya dibandingkan berbagai sektor lain dalam infrastruktur seperti kebutuhan terhadap transportasi yang aman, tenaga listrik yang andal, dan pasokan air minum yang higienis. Apalagi jika dibandingkan dengan sektor sosial seperti pendidikan dan kesehatan.

Sayangnya lagi, berbagai upaya pengembangan telematika yang bertujuan, antara lain, untuk memudahkan terjadinya komunikasi dan pertukaran informasi, meningkatkan transparansi, serta mengurangi biaya transportasi, tidak jarang justru dimanfaatkan pula untuk membodohi masyarakat. Baik untuk mengeruk keuntungan material atau manipulasi lainnya. Alhasil, di samping berbagai kemajuan yang telah dicapai, terkadang upaya pengembangan telematika mengalami kemunduran dan terkendala oleh berbagai kebijakan bodoh yang tidak perlu.

Pergantian nomor Call Center sebuah penerbangan terbesar nasional baru-baru ini adalah salah satu contoh tentang gagalnya manajemen BUMN ini memahami manfaat aplikasi telematika dalam bisnis penerbangan yang semakin kompetitif. Nomor Call Center 0 807 1 XYZ XYZ yang sangat bagus diubah menjadi 0 804 1 XYZ XYZ. Nomor yang sudah termemori dengan sangat baik di otak saya dan jutaan pelanggan lain ini diubah manajemen dalam rangka meningkatkan pelayanan e-ticket, sebagaimana diumumkan dalam buku penerbangan versi November 2007.

Nomor Call Center yang elok tersebut dengan serta merta diubah setelah sekitar tiga tahun ini dimanfaatkan dengan baik oleh pengguna jasa penerbangan. Sebagai pengguna jasa, banyak orang tertolong dengan call center ini karena mudah menggunakannya, relatif cepat tersambung dengan successful call ratio tinggi, serta aman. Proses booking dan perubahan jadwal bisa dengan mudah dilakukan dimana saja di seluruh Indonesia. Begitu pula proses pembayaran, sejauh ini dapat dilakukan dengan aman, baik melalui ATM ataupun langsung dengan kartu kredit.

Lalu mengapa perusahaan penerbangan pelat merah ini menggantinya? Jelas tidak mudah memahami penggantian nomor tersebut. Berbagai alasan teknis maupun non-teknis bisa saja diberikan manajemen mereka. Namun dari sisi pelanggan, perubahan nomor tersebut sulit dinalar. Selain alasan eloknya nomor yang lama dan mudah diingat, penggantian nomor lama dengan tarif lokal ke nomor baru dengan tarif Rp 900 per menit jelas tidak profesional dan kurang memahami akan masih rendahnya daya beli masyarakat. BUMN lain seperti PT. PLN (Persero) yang masih merugi dan berbagai produsen makanan dan minuman ringan dengan skala usaha yang jauh lebih kecil saja, masih mampu mempertahankan call center gratis dengan toll-free number 0 800 1 XXX XXX.

Penggunaan call center baru ini dapat pula menguras isi kantong, apalagi jika dilakukan dari telepon seluler atau langsung dari hotel. Seperti saya alami beberapa hari lalu, ketika harus membayar tambahan tagihan sebesar Rp 48.636,0 untuk biaya menelpon call center tersebut selama 7 menit 57 detik dari sebuah hotel di Bali. Padahal sebelumnya dari ponsel GSM biayanya tak lebih dari RP 4.000,0. Singkat kata, penggantian nomor call center dengan biaya yang lebih besar bisa saja dilihat pelanggan sebagai upaya untuk mengeruk keuntungan secara tidak transparan. Jelas suatu langkah yang dapat memperburuk citra penerbangan nasional yang masih harus berjuang keras dari larangan terbang Uni Eropa.

Di samping itu, perubahan nomor tersebut juga terlihat kurang sosialisasi, baik untuk konsumen ataupun di lingkungan perusahaan penerbangan itu sendiri. Tanggal 11 November 2007 lalu, saya tertawa geli dan terpaksa memberitahu petugas sales counter mereka di bandara Surabaya ketika membaca pengumuman bahwa call center telah berubah, tapi masih menggunakan nomor lama 0 807 1 XYZ XYZ.

Seyogyanya para Chief Executive Officer (CEO) perusahaan penerbangan nasional ini merubah call center mereka menjadi toll free number setelah sekian lama mengoperasikan nomor dengan tarif lokal. Mengenai biaya percakapan, bisa saja tetap di bebankan kepada pelanggan dengan tarif pass trough ketika membeli tiket. Tambahan sebesar Rp 5.000,0 hingga Rp 10.000,0 per tiket elektronik yang dipesan melalui Call Center rasanya tidaklah terlalu mahal asal diumumkan secara transparan. Lagi pula, jika langkah ini diambil akan terasa lebih elegan dan jauh dari prasangka bahwa Call Center telah berubah menjadi ”Cash Center”.

Kentalnya pemanfaatan aplikasi telematika untuk membodohi sekaligus menguras kantong masyarakat juga masih marak akhir-akhir ini. Sebut saja nomor-nomor telepon premium yang menawarkan aneka ”nada desah” dan sms selebriti seronok yang menguras pulsa masih saja ramai diiklankan. Juga berbagai aneka undian SMS berhadiah yang terus diiklankan banyak operator. Semuanya itu mencerminkan betapa rendahnya kepedulian (awareness) kita akan manfaat yang seharusnya diambil dari sekian banyak kemajuan telekomunikasi dan teknologi informasi bagi kemajuan bangsa.

Kondisi ini jelas menjadi salah satu tantangan yang tidak bisa dianggap remeh oleh Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Detiknas) yang baru saja memperingati ulang tahun pertamanya pada bulan November lalu. Sudah waktunya berbagai kemudahan yang ditawarkan telematika dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk pembangunan nasional dan kemajuan bangsa. Sekali lagi, kepedulian atau awareness pemanfaatan telematika masih harus diletakkan sebagai prioritas utama dalam berbagai program pembangunan telematika, bukannya hanya untuk masyarakat, tetapi juga untuk mereka yang menyebut dirinya kaum profesional dan penentu kebijakan.
________
(For Web Edition Only)