Friday, November 27, 2009

Idul Adha, Menteri PPN/Ka Bappenas, dan listrik itu.


Tidak pelak lagi. Salut dan terkejut saya pagi tadi, 27 November 2009. Ternyata dalam kesyahduan peringatan Idul Adha yang ditandai dengan shalat sunat IDUl Adha berjamaah di Mesjid AL-Ikhlas Komplek Bappenas CInangka, telah hadir pula untuk pertama kalinya Menteri Negara PPN/Ka Bappenas beserta rombongan pejabat. Untuk pertama kalinya seorang Menteri shalat Idul Adha berjamaah di komplek Bappenas, barbaur dengan para pegawai yang tentu saja sangat senang dan bangga kedatangan tamu istemewa tersebut.

Dilengkapi dengan tenda sederhana untuk berjaga-jaga dari hujan yang semakin rajin turun, komplek Bappenas terlihat cukup semarak. Tidak seperti biasanya jalan menuju pintu mesjid dari arah timur dan selatan terlihat dijaga oleh beberapa petugas berseragam. Mereka mengarahkan para jamaah untuk mencari tempat duduk dan shalat nya masing2 nanti. Tidak jauh dari mesjid, di halaman gedung serba guna telah berjejer pula hewan kurban yang terdiri dari belasan ekor sapi dan sekitar 45 ekor kambing telah disiapkan untuk menjadi simbol kesetiaan seorang Nabi Ibrahim AS yang dengan ikhlas telah bersedia mengorbankan anaknya Nabi Ismail AS.

Jam baru menunjukkan sekitar 06.35 pagi. Para jemaah penghuni komplek sedang bersiap-siap menuju masjid dan lapangan yang telah disediakan untuk tempat pelaksanaan Shalat Idul Adha 1430 H yang seperti biasa dimulai jam 07.00. Namun ketika suara takbir berkumandang dengan lantang melalui pengeras suara, tiba-tiba "cesssssss" listrik dikomplek mati yang diiringi dengan berhentinya pula kumandang takbir tadi.

Seolah kembali kezaman "baheula", maka seketika itu pula pengurus mesjid sibuk karena di dalam mesjid sudah hadir Menteri PPN/KA BAppenas Ibu Armida Alisyahbana (maaf kalau salah eja!) beserta suami. Juga rombongan beberpa pejabat Bappenas yang jarang bertandang ke komplek, juga tampak hadir. Ada yang eselon 1, juga ada eselon 2 dan di bawahnya. Bahkan juga terlihat ada pensiunan dari komplek Bappenas yang lain juga datang. Beberapa pejabat dari Pemda Sawangan dan kepolisian juga terlihat hadir.

Karena tidak menyediakan genset ataupun "TOA", maka setelah nyaris 16 tahun sejak mesjid berdiri, prosesi shalat Ied yang dimulai dengan kumandang takbir dan shalat berjamaah dilalui dengan "hening" tanpa ada pengeras suara. Tidak ajal, ada bbrp "Bilal" yang harus menjadi "amplifer" ucapan imam. Mulai dari Takbir hingga Salam penutup. Begitu pula setelah selesai shalat, proses kutbah Ied juga dilalui dengan "berbisik" karena jemaah yang diluar mesjid nyaris tidak mendengar suara khatib.

Beruntung sekitar pukul 07.25 listrik kembali menyala, sehingga sebahagian kutbah masih bisa diikuti oleh para jamaah.

Namun mungkin karena kehadiran Ibu Menteri, beberapa proses silaturahmi yang biasanya dilaksanakan persis setelah shalat tidak dilaksanakan oleh panitia. Acara berikutnya langsung kepada acara protokoler serah terima hewan kurban berupa sapi yang disampaikan langsung oleh Ibu Menteri kepada Ketua Mesjid rekan saya tercinta Rahmat M, yang kemudian dilanjutkan langsung dengan acara sarapan lontong sayur olahan ibu2 PKK serta acara hiburan musik dari Majelis Taklim, Mesjid AL Ikhlas.

***

TERLALUHHH. Mungkin itulah komentar yang pantas, sangat pantas, yangharus disampaikan kepada PT.PLN yang tega "mematikan" aliran listrik PERSIS PADA JAM ORANG MELAKUKAN SHALAT IED ADHA. Sungguh, disamping kegembiraan yang telah dibawa dan dibagi bersama oleh Ibu Menteri PPN/Ka BAppenas, jelas matinya aliran listrik membuat malu para pengurus mesjid dan tuan rumah. Namun apa mau dikata. Memang begitulah kenyataan yang ada saat ini. Suatu yang busuk tidak mungkin bisa ditutupi terus menerus. Jelas ini menjadi tugas nyata kita semua, termasuk pimpinan teras Bappenas untuk secepatnya menyusun program2 nasional agar keluar dari krisis yang semakin tidak jelas ujung pangkal dan wujudnya ini. Sudah selayaknya Bappenas beserta jajaran ESDM dan kementerian lain terkait bertindak tegas dan lugas. Krisis listrik kali ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Bukan hanya karena listrik sudah menjadi kebutuhan primer, tetapi juga sangat menentukan dalam menarik investasi yang sangat dibutuhkan berbagai sektor pembangunan mengingat berbagai kemampuan pemerintah dan swasta nasional sudah nyaris sampai kepada titik jenuhnya. Karena itu investasi asing baik langsung ataupun tidak langsung harus terus ditingkatkan. Kondisi yang harus dipenuhi terlebih dahulu tentu adalah tersedianya infrastruktur, termasuk listrik yang bisa diandalkan, karena memang handal.

Semoga "insiden" matinya listrik di komplek Bappenas CInangka persis pada saat Shalat Idul Adha yang dihadiri oleh seorang Menteri KIB-II ini dapat menjadi "pengingat" bagi pejabat setingkat menteri. Dan terus terang, krisis listrik kali ini tidak sesimple yang anda dan kita duga. Ia semakin komplek dan sangat memusingkan jika tidak segera diselesaikan. Atau insiden sejenis mungkin boleh juga "diharapkan" terjadi pada rapat penting kabinet, atau ketika menteri terkait sedang hajatan, atau dirjen sedang mantu. Namun biasanya setahu saya kalau pejabat punya hajat, biasanya genset PLN sudah stand bye, seperti dulu pernah saya saksikan dengan mata kepala sendiri. Di siang bolong, listrik di komplek sang dirjen tetap nyala, sementara genset dengan kapasitas besar juga standbye.

Tapi tidak tadi pagi di komplek Bappenas CInangka, ketika kami semua melaksanakan shalat Idul Adha 1430H.

Bagaiamana di rumah dan mesjid anda? semoga tidak sama.

--sawangan, depok, Idul Adha 1430H--

Friday, October 02, 2009

30:09// 17:16 - 17:38

Source of Picture: AFP/Reuters


Bismillahirrahmanirrahiim

JIka anda membaca judul di atas, apa yang terlintas dipikiran anda? Ya, itu adalah tanggal dan waktu terjadinya gempa yang menakutkan dan membinasakan di ranah minang pada tahun ini, 2009.

Lalu deretan angka berikutnya adalah waktu terjadinya gempa yang membinasakan itu pertama kali, ya jam 5 sore lebih 16 menit waktu setempat, Waktu Indonesia Barat.

Sedangkan angka berikutnya adalah waktu yang menunjukkan terjadinya gempa susulan pertama setelah gempa utama, 5 lewat 38 di sore hari yang sama.

Berbekal sebuah sms dari seorang teman sekitar 15 menit lalu, ketika saya baru saja selesai melaksanakan shalat isya di rumah, saya beranikan diri membuka kitab suci Alquran, meski dengan rasa hati dan pikiran melayang, tubuh melemas, ketakutan, namun juga penasaran.

Berikut adalah hasilnya:

30:09 ."Dan tidakkah mereka berjalan di bumi, lalu mereka memperhatikan bagaimana akibat orang-orang sebelum mereka? Orang-orang itu lebih kuat dari mereka (sendiri) dan mereka mengolah bumi dan memakmurkannya melebihi dari apa yang mereka makmurkan. Dan datanglah kepada mereka rasul-rasul nya dengan keterangan-keterangan yang nyata. Maka Allah tidak menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka senidir.

17:16. "Dan apabila Kami menghendaki untuk membinasakan suatu negeri, Kami menyuruh orang-orang yang hidup mewah (suapaya taat kepada Allah) lalu mereka berbuat kedurhakaan dalam negeri itu, maka benarlah berlaku atasnya ketentuan Allah (siksa-Nya), lalu Kami menghancurkan sehancur-hancurnya.*
*) Kehancuran suatu bangsa antara lain disebabkan kedurhakaan para pemimpinnya.

17:38. " Semua larangan itu kejahatannya disisi Tuhanmu adalah sangat dibenci."

Rasa penasaran terus menggelayuti saya. Dengan rasa takut yang masih tinggi saya telusuri satu persatu mulai dari ayat ke-17 surat Al-Israa itu. Ternyata benar adanya, di bagian awal masih disampaikan pilihan bagi anak manusia untuk memilih kehidupan duniawi semata atau akhirat. Ditekankan pula bahwa kehidupan di akhirat itu lebih tinggi derajat dan lebih besar keutamaannya.

Persis setelah gambaran itu, ayat 22 hingga 37 tidak lain merupakan larangan utama dari Allah terhadap umatnya yang dimulai dengan perbuatan syirik yang menduakan Allah Swt, bagaimana berbuat terhadap orang tua dan larangannya, anjuran untuk memperhatikan kerabat, larangan untuk tidak boros (karena mereka itulah sahabat setan), larangan untuk kikir, larangan takut akan miskin yang sampai membunuh anak2 sendiri, larangan mendekati zina, larangan membunuh, larangan mendekati harta anak yatim, larangan mengurangi timbangan/sukatan, larangan mengikuti atau menjalankan sesuatu yang kita tidak mengerti atau kuasai, dan terakhir pada ayat ke 37 itu adalah larangan untuk tidak sombong dimuka bumi.

Teman, saya sampaikan hal-hal tersebut di atas sebagai bagian kebersamaan dan keterpanggilan akan sms dari teman saya tadi. Saya sampaikan tanpa bermaksud menguliahi, tanpa keinginan untuk menggurui. Semuanya terpulang kepada kita semua sebagai bangsa yang sudah semakin tertinggal di berbagai bidang Sebagai suatu bangsa yang sudah "tidak masuk hitungan" yang pantas dalam percaturan politik dan ekonomi dunia.

Silakan direnungkan, yang pasti, saya sangat berterima kasih kepada teman yang mengirimkan sms yang intinya bercerita ttg ayat pembuka 16 dan penutup 38. Namun meski lelah karena macet dan hujan di perjalanan, rasa ingin tahu saya yang menggugah menghasilkan rangkaian tulisan di atas. semoga berguna.

Yang benar datangnya dari ALlah semata, yang salah tentulah milik saya.

Majulah Indonesia dan sadarlah wahai para pemimpinnya, baik yang tua ataupun yang muda.

Wassalam,

Eddy Satriya.
(Sawangan- Depok yang dingin sehabis hujan ringan)

---------
Referensi tambahan selain ALquran, bisa dilihat di klik disini



Tuesday, September 22, 2009

Open House, Open Heart, or Open-gen Injak-Injak Orang?




Sumber foto: Liputan6.com - kejadian serupa di Madiun, sept 09.

Untuk kesekian kalinya pembagian sembako atau pembagian bantuan meminta korban. Kali ini kejadian di Balaikota DKI, ketika warga berduyun-duyun datang di hari kedua lebaran untuk mendapatkan bantuan uang Rp 40,000,0 dan paket sembako.

Tentu tidak ada yang salah dengan niat Sang Gubernur membagikan bantuan itu di Balaikota DKI Jakarta. Begitu pula, tidak ada yang salah ketika rakyat berduyun-duyun mengharap mendapat bantuan tersebut di hari Lebaran. Tanpa ada lebaran pun, kesulitan hidup di kota besar seperti Jakarta rasanya telah menjadi pendorong masyarakat untuk aktif mencari informasi dimana ada pembagian serupa. Karena itu dapat dibayangkan dan diperkirakan dengan kondisi disiplin masyarakat dan aparat yang memang jauh dari kondisi ideal sebuah negara maju, pembagian paket dalam jumlah besar jelas akan mengandung resiko.

Ketidakbiasaan masyarakat kita menghargai orang lain dalam mengantre dan ketidakjelasan sistem antrian sudah sama-sama kita malkumi. Jangan kan untuk urusan seperti sembako. Urusan keluar dari parkir sebuah pusat perbelanjaan saja bisa mengundang keributan. Bukan hanya karena jalur antrian tidak jelas, terkadang kondisi diperburuk pula oleh petugas yang memang (maaf) kemampuan intelektual mereka sangat terbatas. Tidak jarang saya mengalami perlakuan buruk ketika petugas sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta selatan dengan seenaknya membuka dan menutup lajur tertentu, tanpa menghiraukan akibat tindakannya.

Sudah sewajarnya para Gubernur, walikota, atau pemimpin lainnya menyadari bahwa disiplin masyarakat kita sangat dibawah rata-rata, apalagi kalau dalam kondisi berkelompok dan kondisi tertentu di jalan raya. Sudah semakin tidak asig lagi setelah pak Harto lengser, orang dan pengendara sepeda motor dengan seenaknya melanggar aturan dan rambu lalu lintas, termasuk lampu lalin yang sangat vital dan berbahaya jika dilianggar. Ketiadaan sanksi tegas telah memicu dan mendorong masyarakat untuk terus meningkatkan kualitas pelanggaran mereka.

Kondisi serupa saya kira juga terjadi pada masyarakat lapisan bawah yang berdesakan mengantri paket lebaran di Balaikota Jakarta tadi pagi (21 Sept 09). Kelelahan dan rasa ketakutan tidak memperoleh jatah biasanya berpacu dengan informasi dan sentilan yang bersifat provokatif dari satu atau sekelompok orang. MEskipun panitia menyediakan paket lebaran jauh lebih banyak dari pengunjung, biasanya kondisi ini tidak berhasil dikomunikasikan dengan baik oleh pegawai atau humas yang bertugas untuk itu. Rendahnya kemampuan PR kantor-kantor pemerintah telah menjadi pemicu kondisi rawan dorongan ini terjadi.

Apalagi setelah Sang Gubernur atau pemimpin pergi meninggalkan area pembagian, maka biasanya peran dan fungsi petugas untuk pengamanan juga cenderung mengendor. Hal ini sudah menjadi ciri kh as di berbagai birokrasi pemerintah. Lihat saja, jika acara yang dibuka oleh seorang Menteri atau Gubernur/Walikota/Bupati, maka biasanya para pejabat teras lainnya akan ikut pasang muka serius dan berlomba memperlihatkan bahwa “Saya Hadir Pak!, Ini dada saya..!”. Namun begitu acara pembuakaan atau pengantar selesai yang biasanya juga diikuti dengan pulangnya atau perginya sang pemimpin, maka pejabat teras lainnya juga akan melakukan langkah “kabur diam-diam bergantian”. Kondisi ini biasanya juga diikuti dengan kendurnya penjagaan para petugas.

Karena itu, tanpa berusaha sok tahu, kondisi cederanya berapa pengunjung di Balaikota yang antri paket lebaran tersebut sudah dapat diramalkan. APalagi untuk kondisi Jakarta yang masih berada di musim kemarau yang panas, yang didorong dengan kebiasaan tidak menghargai orang lain dalam antrian, serta kurangnya rasa “tepo seliro” di kota besar, maka kondisi ricuh tersebut sudah dapat dipastikan akan terjadi.

Beruntung memang tidak sempat terjadi korban jiwa, hanya pingsan, cedara ringan dan luka-luka. Namun apapun kondisinya, jauh dari sekedar rendahnya kedisiplanan waraga masyarakat, kebijakan Open House perlu ditinjau ulang atau dibuatkan standar operating procedur (SOP) pelaksanaannya. Tergantung besarnya acara dan ruang lingkupnya, pemerintah dan pemda sudah harus lebih tegas lagi membuat aturan dan mensosialisasikan kepada masyarakat. Bisa saja cara pembagian kupon dilakukan per area tempat tinggal atau RT/RW. KEmudian pengambilan barangnya dititipkan ke beberapa gerai supermarket atau pasar rakyat.


Namun demikian, untuk kondisi berbeda, open house di kediaman pejabat tinggi mungkin perlu dikaji ulang manfaat dan mudaratnya. Karena terkadang acara tersebut juga cenderung hanya formalitas pertemuan seorang pejabat dengan bawahannya yang sebenarnya tidak bermanfaat apa-apa bagi tugas dan fungsi kantornya. Karena sangat banyak pejabat setingkat menteri atau eselon 1 mengadakan open house, tetapi di kantor sama sekali tidak pernah mengadakan kontak intensif dengan stafnya. Kondisi ini lah yang sangat memprihatinkan. Acara digelar terkadang dibiayai APBN atau NEgara, tetapi tidak bermanfaat banyak untuk jalannya birokrasi atau kelancaran pekerja.

Kalau untuk acara pembagian paket lebaran/sembako yang diadakan Gubernur Fauzi Bowo ini jelas sangat ceroboh dalam sistem pelaksanaan dan pengawasannya. Hal itu tidak terbantahkan lagi, ketika Fauzi di tempat, kondisi masih terkendali. Ketika ia pergi, semua menjadi kacau balau dan acara open house pun menjadi neraka bagi pengantri yang sudah berduyun datang dari pagi. APalagi untuk lansia dan balita.

Semoga tidak terulang (lagi), meski saya masih sangat mengkhawatirkannya.
________

Friday, September 18, 2009

Parcel, KKN, dan KPK.

Dimuat di dalam Blog Kompasiana 18 Sept 2009

Gebyar-gebyar pemberantasan KKN beberapa tahun lalu mencapai puncaknya. Apapun dibabat. Korupsi besar, kecil, maupun yang remeh disikat. Tidak ada masalah sebenarnya dengan upaya itu. Apalagi jika dikaitkan dengan situasi negeri yang memang terus “nyungsep” dalam berbagai hal, termasuk daya saing yang tergerus oleh KKN. Namun ada beberapa korban. Salah satunya adalah budaya berkirim parcel ketika menjelang lebaran.

Berbagai fatwa dan larangan telah dikeluarkan guna mengurangi dampak KKN dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ajal lagiketika beberapa tahun lalu larangan serupa juga diterbitkan untuk menghabisi budaya berkirim parcel lebaran yang telah bertahun-tahun dijalankan oleh rakyat Indonesia, telah mengurangi pergerakan dan arus barang di sektor riil ekonomi rakyat. Meski berbagai protes ketika itu dilayangkan oleh sekelompok masyarakat dan pengusaha parcel, namun suara mereka hilang tak berarti ditelan riak dan gebyar kekuatan KPK dalam memberantas KKN. Sayangnya setelah beberapa tahun berjalalan, larangan itu tidak pernah dievaluasi. Persis mengikuti berbagai program yang bersifat dadakan, tidak pernah dianalisa dan diperksa lebih lanjut akan dampak yang ditimbulkan.

Entah sejak kapan budaya parsel muncul di negeri ini. Yang saya tahu, ketika saya SMP dulu pernah berlibur dirumah saudara. DI penghujung tahun 1970an itu saya melihat dan menyaksikan betapa senangnya anak2 seusia saya menikmati dan berebutan ke gudang yang penuh parcel. Ada SPrite, Cocacola, kue2, serta berbagai jenis makanan ringan lainnya. SUngguh, buat anak2 membuka parcel adalah salah satu kenangan yang cukup indah untuk dilupakan. Begitu pula ketika setelah saya bekerja, saya pun beberapa kali mendapat kiriman parcel. Meski tidak banyak, hanya sekitar 5-6 buah setiap lebaran, kenangan akan parcel ketika kecil kembali menyeruak indah. Apalagi ketika melihat anak2 setengah berebut (tidak seperti kami dulu), kegembiraan pun menyeruak dalam pikiran kami. Seingat saya, beberapa parcel yang kami terima memang dapatlah dikatakan sebagai pembuhul silaturahmi saja, tidak sampai menjadi penyebab pengubah keputusan dalam bekerja -atau berbau penyuapan.

Anda atau segelintir kita mungkin tetap berargumentasi bahwa, tetap saja parcel itu berbau penyuapan. SIlakan anda simpan pikiran itu baik-baik. Yang ingin saya utarakan adalah, betapa sebenarnya pemerintah telah telalu jauh dan secara sembrono membatasi dan bahkan menghabisi dengan enteng suatu budaya yang sudah cukup lama berlangsung dalam kehidupan rakyatnya.

KAlau kita lihat secara lebih seksama, pengiriman parcel menjelang lebaran ataupun hari-hari besar lainnya juga memiliki dampak kekuatan ekonomi riil yang tidak kecil. Bayangkan jika ada 2juta saja dari 4-5 juta PNS dikirimi parcel oleh rekanan mereka dan satu orang rata-rata mendapat 5 parcel, itu artinya ada sekitar 10 juta parcel yang harus disiapkan. Jika satu parcel berharga sekarang rata-rata Rp 500.000 itu artinya ada sekitar Rp 500.000 x 10.000.000 = Rp 5.000.000.000.000 atau Rp 5 Triliun yang beredar sebagai tambahan transaksi ekonomi kerakyatan.

JIka parcel tersebut juga bergerak dan dikirimkan bukannya hanya kepada PNS yang punya berbagai kelas jabatan, tetapi juga dikirimkan dari dan kepada para pejabat BUMN, swasta dan berbagai bidang usaha lainnya, jumlah Rp 5T di atas tentu saja akan berlipat ganda. Mungkin bisa mencapai Rp 15-20 T yang dipaksa berputar dalam waktu sekitar 20 hari saja. SUngguh suatu kekuatan ekonomi maha dahsyat yang akan memberikan multiplier effek sangat besar. SUngguh itu bukan hanya menguntungkan pejabat, karyawan atau siapapun yang dikirimi, tetapi menguntungkan buat ekonomi bangsa yang lagi sulit berkembang. APalagi untuk sektor riil, pemerintah sepertinya memang sudah kehabisan akal karena sulitnya modal murah diperoleh dari berbagai sumber seperti perbankan.

Bayangkankan Rp 20 T itu berputar mulai dari pasar tradisional atau gerai suatu supermarket. Sekelompok orang harus pergi membeli nya, membawanya pulang, membuatkan wadah dan hiasan, lalu mengirimkannya lagi kepusat pengiriman yang kemudian diteruskan pula oleh kurir hingga ke tujuan akhir. Rasanya tidaklah perlu membuka lembar pelajaran ekonomi mikro dasar untuk memahami mata rantai parcel ini. SUngguh suatu aktivitas ekonomi riil yang melibatkan banyak tenaga kerja, transportasi dan komunikasi. Jelaslah sudah kue Rp 20 T untuk tenggang waktu 15-20 hari adalah suatu kue yang besar yang dapat dijadikan sebagai mesin distribusi pendapatan yang efektif dan sangat efisien karena menghargai setiap pelaku ekonomi dengan tepat.

Ketika orang meributkan upaya pengusutan kasus Bank Century yang melibatkan dana sekitar Rp 7T, kita lupa betapa sektor riil menjelang lebaran sangat terpukul dengan kebijakan melarang parcel ini. Lihatlah di salah satu sentra parcel dijalan CIkini Raya, Jakarta Pusat. SUngguh kondisi nya sekarang sangat memprihatinkan di banding kan dengan 5-6 yahun lalu. Nyaris setiap pedagang parcel frustasi akan rendahnya order. Memang kita harus mengakui, bahwa sebagian pengiriman parcel memang bisa saja ditujukan untuk menyuap orang lain. Namun apakah dengan melarang parcel, budaya KKN berkurang? Jelas ternyata jawabannya tidak. Berbagai kasus membuktikan bahwa justru penyalahgunaan wewenang terjadi dilapisan lebih tinggi. Singkat kata, memperhatikan perilaku KKN bbrp tahun belakangan ini, dapatlah dikatakan bahwa praktek KKN makin canggih dalam kualitas dan justru bertambah marak.

Lalu menjadi pertanyaan, apakah masih perlu melarang pengiriman parcel untuk hari-hari mendatang? Saya jelas mengambil posisi bahwa sebaiknya budaya parcel digalakkan lagi oleh pemerintah. Bukankah di berbagai negara di dunia budaya parcel, pemberian cindera mata, dan sejenisnya justru menjadi budaya yang sangat didorong untuk pengembangan ekonomi kecil dan menengah. Ia praktis namun taktis dipraktekkan untuk mengurangi pengangguran.

Larangan berkirim parcel dan kebijakan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) yang tidak jelas telah “menyengsarakan” sebagian rakyat kecil, termasuk pegawai rendahan. Kalau dulu mereka sering membawa pualng parcel yang langsung dibagi pimpinan nya karena banyak juga parcel yang dikirim ke kantor. Kalau dulu mereka juga mendapat jatah THR dengan pasti, sekarang semuanya tidak jelas juntrungannya.DI samping itu, parcel yang datang kerumah pejabat atau karyawan tidak jarang pula menjadi sarana untuk berbagi dengan tetangga. SUngguh tidaklah mungkin tetangga yang terkadang “ketitipan” datangnya parcel hanya dibiar kan melongo melihat parcel itu lewat begitu saja. Sudah menjadi tradisi pula biasanya disuatu komplek perumahan seperti yang kami miliki, terkadang anak2 tetangga juga ikut menikmatinya bersama dengan anak2 kita.

Bisa kah anda bayangkan kalau pemerintah mendorong pelaksanaan parcel untuk tahun depan? SUngguh ia akan menjadi sarana berbagi yang cukup ampuh untuk rakyat kecil. Bukan hanya berbagi parcel, tapi jelas berbagi mata rantai ekonomi mulai dari pembelian komponen pengisi parcel, biaya pengiriman, pengepakan dan re-distribusi kembali parcel itu hingga ke alamat akhir. Bisakah anda bayangkan dampak uang sekitar Rp 20 T harus diputar dalam 15-20 hari ? Jika pemerintah dengan mudah memberikan begitu saja Rp 7 T untuk membantu pengusaha dan bankir nasabah bank CEntury, mengapa tidak dipikirkan uang yang berasal dari masyarakat sendiri bisa memutar roda ekonomi dengan baik itu untuk digalakkan lagi. DIlegalkan, bukan lagi dilarang.

Bukankah budaya bertukar cendera mata dan membawa oleh2 orang Jepang telah mampu membuat sektor rril mereka bertahan dari berbagai serangan krisis. Bukan kah negara maju terkadang menyediakan voucher atau food stamp untuk rakyatnya hanya sebagai cara memutar roda ekonomi riil dengan taktis. Bukankah terkadang negara maju memberikan pinjaman dan hibah kepada negara berkembang, lalu meminta negara berkembang tadi mendorong rakyatnya membelanjakan kembali hibah itu demi pengembangan ekonomi riil negara pemberi pinjaman dan hibah tadi.

Ketakutan akan sanksi yang mungkin diberikan KPK bukanlah tidak beralasan. Namun dengan apa yang terjadi saat ini terhadap lembaga baru tersebut mestinya juga menjadi bahan renungan dan mendorong kita untuk berpikir ulang secara bijak yang memberikan kemashalatan bagi rakyat banyak. Bukan hanya buat segelintir orang.

Jadi, sudah saat nya pemerintah mengevaluasi dampak pelarangan berkirim parcel itu kembali. APakah pengiriman parcel benar-benar merusak bangsa, atau justru pemerintah membuang sia-sia kesempatan emas memberikan lapangan pekerjaan dengan mudah kepada rakyatnya?

Jawabannya ada dihati nurani kita. Bukan di bibir tuan-tuan dan nyonya yang bergincu mewah dan mahal itu.

Eddy Satriya.

Tuesday, September 01, 2009

"Rumahku Sorgaku": Ringkasan kutbah Jumat di Mesjid ABdul Gani Padang, 28 aug 09

"Rumahku SUrgaku" hanya mungkin tercapai apabila beberapa syarat berikut dipenuhi:

1. Dihuni oleh suami isteri yang saleh dan salehah

2. DImana akan terlahirlah anak2 yang saleh/salehah.

Karena itulah disyaratkan bahwa yang bisa meringankan ortu di akhirat nanti adalah doa dari mulut dan hati ana2 yang saleh/salehah tadi, bukan doa anak yang bekerja sebagai Menteri, Dirjen, atau manager di Bank Mandiri dsb. Dari anak2 yang saleh tersebut diharapkan bisa mendahulukan Imtag, sebelum iptek.
Sesuai kondisi sekarang, jangan dibiarkan anak2 di perbudak teknologi, misalnya gadget seperti HP yang hanya " memperbesar jarinya, tetapi otaknya kecil."

3. Pergaulan dan lingkungan yang baik.

Seperti disampaikan uztadz terkenal Muh Iqbal (khotib tidak menjelaskan siapa beliau lebih detail). Seperti halnya kulit sapi akan senang kalau dia berteman dengan Alquran (maksudnya) kulit sapi untuk melapisi atau membungkus Alquran. KAlau si empunya mencium alquran, si kulit juga ikut dicium. Sebaliknya jika kulit sapi jadi berteman dengan drum atau rangka beduk, ia akan dipukul orang terus menerus. Ada seorang teman yang cukup terpandang dan kaya, memilih tinggal di pelosok sebuah sudut di jabodetabek yang jalan masuknya susah dan akses berliku. Namun ia dan keluarganya merasa tentram dan nyaman karena lingkungan. Ia membeli lingkungan, bukan hanya sebuah rumah tempat berteduh.

4. Sumber penghasilan yang halal.

---

Bagaimana hubungan ortu dengan anak2? kiranya pantas kita renungkan doa nabi Ibrahim (surat Ibrahim 37) yang memohon

" Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian turunanku di lembah yg tidak mempunyai tanaman di dekat rumah Engkau (BAitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah2an, mudah2an mereka bersyukur!"

Doa yang kemudian dilanjutkan dalam ayat2 berikutnya yang menyatakan betapa bersyukurnya Ibrahim akan diberikan anak yang sangat patuh dan baik di hari tuanya.

Sebagai penutup diceritakan bagaimana sekarang hubungan anak dan ortu yang sudah semakin renggang karena kesibukan. Si anak semakin mendahulukan dunianya sendiri dan melupakan ortu yang semakin tua semakin haus akan perhatian dan kasih sayang anak2nya.

Suatu ketika anak2 yang sudah semakin tergilas roda kesibukan akhirnya memutuskan mengirimkan ibu mereka ke panti jompo. Dengan berbagai bujuk rayu manis anak2 berhasil meyakinkan sang ibu bahwa mereka akan memperlakukan sang ibu tetap dengan penuh cinta. Mereka berjanji akan tetap mengunjungi sang ibu bergantian setiap minggu nya. Dengan mengelus dada pun akhirnya sang ibu memenuhi keinginan anaknya untuk tinggal di panti jompo yang memiliki penjaga dan perawat profesional.

Namun karena kesibukan, anak2 yang tadinya datang tiap minggu akhirnya mulai jarang. Berkurang menjadi 2 kali saja dalam sebulan, lalu satu kali, lalu kemudian kadang2 saja. Kadang bisa, kadang mereka sibuk dengan kehidupan dan melupakan sang ibu.

Sang ibu yang kesepian di hari tuanya ternyata dengan cepat menjadi pikun sehingga mulai tidak bisa lagi mengenal siapa yang datang. Tua dan pikun menyelimuti dirinya. Bertepatan dengan itu, salah seorang anak yang paling ia sayang merasa terpanggil dan menyadari bahwa ia sudah lama tidak menengok sang ibu yang ia kemudian rasakan sangat ia rindukan dan cintai. Karena itu, ia pun ingat betapa dulu ketika ia kecil sangat senang ketika dibelikan sang ibu es krim. Tidak jarang es krim itu juga tumpah atau jatuh ketika sang ibu yang baru turunan dari bendi buru-buru ditubruk si anak karena kegirangan. Kenangan indah sewaktu kecil yang sangat berkesan itu menggiring ia untuk menengok sang ibu ke panti jompo. Dengan tekad bulat ia akan mengajak sang ibu kembali bersama mereka berkumpul dirumahnya dengan cucu2nya.

MAka ketika ia datang lagi ke panti itu, ia sangat senang betapa ibunya masih sehat. Dan segera saja ia berikan eskrim yang ia beli ditempat favorit sang ibu ketika membelikan es sewaktu ia kecil dulu. SI ibu yang menerima eskrim dengan lahapnya memakan es itu sampai habis. Sang anak bertanya dan mengingatkan bahwa eskrim itu adalah es kesukaannya yang dulu sering dibelikan sang ibu. NAmun sang Ibu yang sudah pikun itu menjawab "Ya, es itu enak sekali dan saya menyukainya. Tapi sayang engkau bukan anakku!" Sang ibu yang pikun itupun terus meracau, asyik dengan dunianya, berbicara sediri dan tidak menghiraukan si anak yang ketika itu pula meraung dalam hatinya menyadari kekeliruannya selama ini. Diam2 si anak yang sudah sadar itu pergi menjauh menenangkan batinnya dan berusaha menyembunyikan kegundahannya. Sekilas ia lihat si ibu masuk lagi ke kamarnya ketika ia pergi ke kamar kecil membereskan dandanannya.

Sang anak yang sadar itupun berhasil menenangkan batinnya dan bertekad akan bisa menyadarkan ibunya untuk dibawa pulang. setumpuk rasa bersalah telah ia susun dan akan disampaikan dengan baik sehingga mampu membawa ibunya untuk kembali berkumpul di rumah.

Ia pun masuk ke kamar sang ibu yang dihuni oleh 2 orang tua lainnya. Ia lihat ibunya merebahkan diri di dipan yang bersih. Ia pun mendekat, merangkul dan mengelus tangan ibunya yang membelakangi. Berbagai rayuan dan maaf telah disiapkan. Namun permohonan maaf dan keinginan membawa ibunya pulang itu tercekat ditenggorokannya ketika ia merasakan betapa dinginnya tangan sang ibu yang memang telah pergi selama-lamanya. Tidak berapa lama setelah menikmati es krim kesukaan mereka yang dibawakan si anak !

(Diceritakan kembali berdasarkan ringkasan catatan di HP papamu, EIko, Putty dan Haniyfa yang papa dan mama cintai dari dulu, sekarang maupun nanti. Ya ALlah jadikan lah anak2 kami anak yang saleh dan salehah sehingga mampu berjalan di jalanMu. AMin)

Friday, June 19, 2009

DEBAT CAPRES DIMATAKU: Ketika Sebuah Awal Yang Baik Telah Dimulai...!

Diterbitkan di Kompasiana:
http://public.kompasiana.com/2009/06/19/debat-capres-dimataku-ketika-sebuah-awal-yang-baik-telah-dimulai/#comments

Menyaksikan debat 3 capres sekaligus di atas panggung untuk mengisi posisi presiden di sebuah negara berkembang sebesar dan sedinamis Indonesia tentulah merupakan sebuah sejarah baru. Hari Kamis tanggal 18 Juni 2009 menjadi saksi dimulainya era demokrasi yang lebih baik untuk Indonesia. Di selenggarakan oleh salah satu group media dengan dua saluran televisi langsung membuat masyarakat dapat kesempatan lebih baik dan lebih tenang -jauh dari provokasi para jurkam- menyimak isi pikiran capres mereka. Debat Capres I ini membahas topik seputar Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance-GG) dan Penegakan Supremasi Hukum.

Dibuka dengan baik oleh pembawa acara kondang Helmi Yahya -yang sejak bermasalah dengan isterinya sudah mulai tidak bisa mengatur rambut - acara mengalir di dahului oleh lagu yang kaku dari Iwan Fals. Tidak mengapa, kemudian acarapun berlanjut dan dibuka oleh Anis Baswedan yang sekarang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Paramadina. Memang sudah pantas, acara besar membuat grogi Anis yang memang masih muda dan masih harus menambah jam terbang untuk tampil dilayar kaca dan didepan publik itu.

Namun setelah beberapa kali kesempatan bertanya kepada ketiga Capres, Ibu Mega, Pak SBY dan Pak JK, dan diselingi iklan, akhirnya acara mulai makin menukik dan membaik. Tercatat paling tidak 8 kali kesempatan diberikan moderator kapada masing-masing capres.

Dimulai dengan penyampaian Visi dan Misi masing-masing 10 menit, acara dilanjutkan dengan pertanyaan seragam kepada para capres yang meliputi: RUU Tipikor, Anggaran TNI, Bencana Lumpur Lapindo. Lalu kemudian dalam tahap ketiga pertanyaan berbeda diberikan kepada kandidat yang dikaitkan dengan motto masing-masing pasangan capres. Seperti kita ketahui, moto "Mega-PRo rakyat" adalah milik pasangan No 1 Megawati-Prabowo; sedangkan "Lanjutkan" adalah milik pasangan no 2 SBY-Budiono; dan motto "Lebih Cepat Lebih Baik" adalah milik si "kancil" JK dengan pasangannya Wiranto. Pertanyaan itu terkait dengan masalah pungutan liar, TKI/W seputar pelanggaran HAM . Setelah diberikan kesempatan menyanggah kembali kepada masing-masing capres atas komentar kedua lawan tandingnya, debat ditutup dengan memberikan kesempatan kepada masing2 capres untuk menyampaikan "closing remark" mereka.

Dengan membuat score untuk masing pertanyaan untuk sementara catatan saya mendapatkan total angka tertinggi 17 untuk Mega, 14 untuk SBY dan 15 untuk JK. Ini tentu subyektif hasil penilaian saya sendiri. Namun meski subyektif, saya memberikan penilaian didasarkan kepada berbagai aspek seperti penampilan dan cara penyampaian visi misi, cara dan bobot dalam memberikan jawaban pertanyaan, keseriusan dalam mendengarkan, hingga tak lupa adalah memanfaatkan momentum yang muncul dengan tiba-tiba untuk bisa menambah baik penampilan secara total.

Mega tercatat tampil baik dalam menyampaikan visi misi dengan ketenangan dan tanpa alat bantu berarti. Meski ada catatan dibawanya, terlihat ia mampu menyampaikan buah pikiran dengan baik tanpa alat bantu. Berbeda halnya dengan SBY yang masih menggunakan bbrp kartu atau lembaran kertas. Sementara JK tampil biasa dan agak melebar di awal tapi berhasil baik menutup visi misinya dengan memanfaatkan sisa waktu 3 menit terakhir untuk masalah hukum.

Dalam menjawab pertanyaan tercatat masing-masing capres terlihat cukup menguasai materi. Untungnya pertanyaan moderator masih sangat netral, tidak memancing emosi atau menjebak capres. Lagi-lagi Mega tampil menawan dengan tidak mau memanfaatkan 1 menit waktu yang disediakan moderator ketika diberikan kesempatan untuk berkomentar balik. Ia dengan senyum manis menyatakan "cukup, toh pak SBY dan JK sudah setuju ikut saya!".

Dalam menjawab pertanyaan tentang lumpur Lapindo, JK tampil dan menjawab lebih baik dan komprehensif. Ia mampu menjabarkan 4 hal yang berkaitan dengan bencana tersebut dan sekaligus menekankan pentingnya mencari solusi dan menyelesaikan pokok persoalan yaitu usaha dan upaya yang harus dilakukan untuk menghentikan atau mengendalikan semburan. Sementara kedua kandidat lainnya mengambang dan tampil biasa saja.

Namun ketika menjawab masalah pungli, justru SBY yang memperlihatkan pengetahuannya tentang bagaimana mengkomunikasikan permasalahan kepada para petinggi atau pelaksana negara. Ia mampu menambahkan wawasan tentang online system yang memang ampuh untuk mengurangi praktek pungli sekaligus menekankan pentingnya cara atau metoda untuk menyalurkan aspirasi masyarakat melalui penyediaan kotak pos atau kontak telpon dan sms.

Namun dalam beberapa kali kesempatan, JK juga berhasil menempatkan diri dengan baik dan pas ketika harus memulai jawaban atau memberikan closing remark. Jelas gerak tubuh dan pembawaan Mega dan JK membuat acara menjadi cukup cair mengingat moderator tampil hati-hati dan kurang santai.

Selesainya Debat Capres 1 yang berlangsung cukup praktis dan tidak bertele-tele ini telah menjadi awal yang baik. Score yang saya sampaikan tidaklah terlalu penting karena itu sangat subyektif hasil penilaian saya sendiri yang dibuat apa adanya tanpa ada preferensi atau pesanan. Saya sendiri surprise, bagi saya MEga tampil lebih baik malam ini, disusul JK dan baru SBY. Urutan ini tentu masih sangat premature dan bisa berubah setelah Debat berikutnya. Namun demikian apapun hasil yang saya catat, tentulah diharapkan dapat memperlihatkan gambaran apa yang terjadi dengan persiapan masing-masing capres di belakang layar. Sudah biasa dan sangat sering para capres yang tampil baik saat debat, tidaklah selalu menjadi pemenang pilpres. DImanapun situasi ini terjadi, di seantero bumi.

Namun suatu yang pasti. Awal yang baik telah diperlihatkan oleh para capres dan pendukung mereka yang juga tampil sopan dan baik di forum resmi. Tidak ada teriakan, meski ada tepukan yang diluar aturan. Jelaslah bahwa dengan awal yang baik ini, tentu pula wajar jika kita mulai lagi secara perlahan memupuk rasa optimisme kita akan terbentuknya suatu pemerintahan baru nantinya yang dapat membawa Indonesia menjadi negara yang lebih jaya dari saat sekarang. Sungguh sangat terkutuklah jika ada unsur-unsur manapun yang ingin menyabot proses pilpres ini dengan langkah-langkah yang tidak sportif atau mengorbankan rakyat yang sudah lelah dan lapar.

Jika ketiga capres telah tampil baik, sudah semestinya pula partai pendukung masing2 pasangan diharapkan dapat menahan diri untuk bermain dalam ajang yang sportif dan transparan, tanpa menggunakan trik-trik jahat yang membodohi rakyat yang pada akhirnya berujung kepada kehancuran dan kemunduran bangsa Indonesia.

Tidak lupa pula kita memuji penampilan akhir dari moderator Anis Baswedan yang mampu merangkai motto masing-masing capres menjadi suatu kalimat optimis yang juga sangat diharapkan oleh seluruh komponen bangsa. MEski tampil kaku di awal, Iwan Fals, berhasil menutup acara dengan menyuguhkan kepiawaiannya bermain gitar dan harmonika serta vocal yang masih apik dan memukau.

Sayang, lagu penutup yang dibawakan Iwan di "matikan" oleh director acara persis ketika ia melengkingkan kata "garuda" dan lagupun terpotong membawa kedongkolan bagi penikmat seni negeri sendiri, persis seperti banyaknya penyiar di berbagai radio yang merasa sok hebat dan kuasa mempermainkan emosi pendengarnya dengan mematikan lagu yang belum sampai coda.

Untuk mendapatkan perbaikan dan penyempurnaan, disarankan agar Debat berikutnya diberikan pula kepada stasiun televisi lain, jangan dimonopoli oleh satu group tertentu.

Demikian..majulah Indonesiaku, Indonesiamu, Indonesia kita! AMin ya rabbal alamin.

Coretanku ttg debat 1 capres 18 juni 09

Friday, May 29, 2009

PERSAHABATAN BAGAI KEPOMPONG (To all the friends I've loved before...!)

[di dahului dengan permohonan maaf, tulisan ini bukan mengenai sara, tapi adalah tentang persahabatan dan pergaulan di Minangkabau, silakan di komentari dan diberitahu saya mana yang boleh mana yang gak untuk disampaikan. Juga mohon ditambahkan nama2 teman lain yang saya sudah lupa. Selamat bernostalgia]

Jam gadang itu, tak ada 4 nya!

SMP ku..dimana aku dipanggil pak Katua oleh Toni si "bandel" karena
hobbynya memang jadi ketua kelas melulu


Adalah Lo Kok An yang membuat gue penasaran...(maaf ..saya tidak pakai bahasa Indonesia yang benar kali ini..saya pakai lu-lu-gue-gue). Betapa tidak dia sudah berganti nama menjadi Andi Leo, bukan hanya di fesbuk, tetapi tadi di telpon katanya juga dalam keseharian ketika diharus kan oleh peraturan kewarganegaraan.

Nah mumpung fesbuk masih bisa diakses, gue ingin menuliskan semacam kenang2an gue untuk lu lu teman gue mulai dari TK Kuntum Mekar, SD Francsiscus, SMP Xaverius, dan SMAN 1 di kota kelahiran gue..kota Bukittinggi tercinta.

Mungkin tidak banyak yang tahu, betapa sebalnya gue ketika zaman GUsdur diberikan semacam "keleluasaan" bagi warga keturunan Tiong Hoa (maaf kalau istilah keturunan sudah tidak dianjurkan..) tapi gue terpaksa pakai sebagai bagian keprihatinan itu. Gue sebal bukan diberikannya kesempatan lebih atau dijadikannya hari libur Imlek sebagai libur nasional. Bukan pula karena setiap Imlek selalu disinggung masalah kebebasan WNI keturunan atau bukan.

Yang gue paling sebal adalah ketika membaca tulisan-tulisan yang menyatakan bahwa warga keturunan sekarang sudah sama dengan WNI asli. Hati-hati, sekali lagi, bagi gue dari dulu itu sudah tidak masalah karena di Bukittinggi dari kecil hingga besar gue gak pernah merasa ada perbedaan. Sungguh, bagi gue tulisan atau komentar itu terlalu dibesar2kan. Karena dari dulu di Bukittinggi semua orang akrab. Tidak pernah ada orang minang bentrok atau ribut dengan orang Cina (maaf gue pakai istilah itu aja ya..) silakan nanti dikomentari sebaiknya pakai istilah apa. Karena setahu saya sejak kecil orang Cina Minang dan orang Minang asli selalu berdampingan. Mulai dari pasar bawah, pasar atas, dikampung cina sendiri, atau dijalan Komidi (apa sih nama jalannya sekarang) hingga ke pasar banto dan ruko2 dimanapun. SIngkat kata setahu saya..orang cina dan minang yang sama-sama pedagang selalu tenteram dan tidak pernah ribut seperti di daerah lain atau juga negara lain.

Mau contoh yang gue alami?

MAsih ingat pasti semua kita warga Bukittinggi ketika pasar atas terbakar pertama kali tahun 1972. Ketika itu mungking kita baru kelas 2 atau 3 SD Fransiskus. Gaek atau kakek gue punya toko besi termasuk terbesar di pasar atas. Ketika ganasnya api pertama kali membuka mata gue, masih sangat ingat gue lihat dari simpang mandiangin (anak air) betapa api berkobar. Nenek gue almarhum Mardiana sempat shock, begitu pula Mama Gue Emma Heaven (nama aslinya sangat indah yaitu Emmahaven-artinya pelabuhan teluk bayur)..ikut sedih. Juga Bapak gue dengan Om gue Harmen segera berlari ke pasar atas menyelamatkan barang2 dagangan di toko alat2 besi yang tentu saja sangat berat dan susah diselamatkan. SIngkat kata kami semua sedih karena toko Gaek Marah Sutan Mudo habis dilalap api seisi-isinya, sebagaimana toko toko lainnya.

Gue masih ingat betapa setiap pulang sekolah sering mampir ke toko Gaek dan duduk ikut menunggu toko itu dan mulai ikur membantu berdagang. Yah itu baru ketika gue kelas 2 atau 3 SD. Gue ingat banyak orang datang membeli cangkul, pisau buatan Sei Puar yang sangat bagus, bajak sawah, tapak kaki kuda, dengan paku besi nya yang lucu, tajam persegi melancip dengan kepala paku besar, biar tapaknya tidak lepas. Juga ada sterikaan arang batu bara, juga ada uang-uang logam kuno bernama benggo atau lain2 nya. seingat gue, pulang sekolah jam 10an...jalankaki ke tri arga dan duduk sebentar di jam gadang. Biasa juga ke tri arga kita menjajal musuh-musuh kita dan berantem. Ada yang bergulat (katuak2an) ada yang sportif hanya dengan tinju ada pula gaya bebas boleh pakai kaki dan apa saja., Dengan catatan, jika ada yang kalau, harus segera dipisah dan permusuhan dihentikan.....ha ha..lucu ya. tapi itu jauh lebih hebat dan terhormat dibandung anak sekarang tawuran dan lempar batu sembunyi tangan.

Lanjut ke cerita toko Gaek gue. DI toko itupulalah Eddy kecil selalu membuka berkilo-kilo koran baru dari Malaysia dan SIngapore (Strait Times) setiap pulang sekolah. Di toko besi yang besar itu pulalah ( 4 toko atau kios jadi satu di hoek)..Eddy kecil membuka dan mencoba membaca koran bahasa Inggris itu setiap hari mampir disana. Gue hanya berhenti membuka dan membaca koran itu (meski hanya mengerti sebagian) ketika diajak makan siang. Bisa ke simpang raya atau rumah makan di sekitar bubur kampiun sianok. kadang makan soto haji minah. tapi karena gue sangat senang makan kacang ijo dan gue sangat di sayang Om Gue harmen, maka pastilah bubur kacang ijo dulu kita namakan "kacang padi" di buffet sianok itu menjadi langganan di sore hari.

Kembali dulu kecerita kebakaran. Singkat cerita, meski kami sekeluarga sedih dan Gaek menjadi sakit, begitu pula Nenek, karena punya darah tinggi, sebenarnya kami sangat beruntung. Ternayata barang dagangan kakek nyaris selamat semua. Kok bisa? nah inilah pangkal cerita tentang orang CIna Minang kawan2 ku tercinta itu. Bapak saya ternyata dulu itu jagoan pingpong di kampung cina, Om saya Harmen ikut group body building di tempat groupnya bapak dan keluarga Armen SUtiono (dimana dia sekarang tuh?). Ternyata barang-barang dagangan kakek gue telah diselamatkan oleh teman2 nya termasuk para CIna Minang itu. mereka dengan sigap secara beranting membantu membawa barang dagangan itu ketempat aman. Sudah menjadi biasa seingat saya jika kios sebelah adalah milik orang cina, sementara disebelahnya lagi milik orang minang. Saya ingat kios piring teman gue (SMA 3 Sofni Zein) yang manis di pasar atas, diapit oleh toko orang CIna Minang.

Alhasil, meski sebagian barang hilang, dengan bantuan para teman2 om saya yang sterek karena mereka body building dan kuat2, barang dagangan kakek nyaris bisa kembali seperti sediakala seperti sebelum kebakaran ketika untuk sementara pedagang berjualan dikios sementara. Mau tahukan anda kemana para pedagang dipindah sementara? Mereka dipindah persih memenuhi seluruh jalan AYani dari simpang rumahnya Giap (yang jualan pisang goren) hingga ke dekat Jam Gadang. Artinya, kembali kampung cina menjadi tempat berjualan sementara semua pedagang yang kena musibah. Wow..what an harmony progessio..dizaman lamo yah?

Nah..dengan kekerabatan yang sedemikian erat itu, rasanya tidaklah perlu ikut latah para warga Bukittinggin meniru apa yang terjadi di daerah lain. Saya ingat setiap imlek sebagian teman2 Tionghoa (sorry kadang bosan dengan istilah cina) membawa kue imlek dan kami memakannya di sekolah, begitu pula saya sering kerumah Pak Beng (dulu pernah ketemu di jakarta), Cici Mui, dan Bu Giok yang bbrp tahun lalu pernah saya datangi ke rumah nya di daerah tembok ke arah bukit ambacang. Singkat kata, warga Minang dan CIna di Bukittinggi dari dulu sebenarnya satu. Meski terjadi masalah menyangkut status kewarganegaraan dulu, namun dalam keseharian hal itu tidak pernah dirasa.

Karena itu sekedar mengenang teman2 ku, mungkin masih hidup semua atau sudah ada yang mendahului kita, tulisan ini aku persembahkan. Biar kerukunan kita yang sudah dari dulu terbentuk dapat terus berlanjut hingga ke anak cucu dan anak cucu berikutnya.

Gue beruntung, karen ketika di SMP dulu sering jadi ketua kelas..maka akan gue sebutkan nama dan kenangan satu persatu. Urutannya acak dan tidak menyiratkan prioritas. Lo Kok An yang sekarang berganti naman katanya dengan Andi Leo..nah lu tu ye..dari dulu tukang lawak dan pemain harmonika. Boleh lah kalau kita jumpa lu nyanyiin lagu minang dengan harmonika lu. Anggi atau Iskandar,kami ketemu terakhir ketika melayat ayah Anggi yang meninggal di rumah duka di St Carolus, tahun lalu barang kali ya. Anggi ini juga anak pintar, selalu saingan dengan gue terutama matematik. Ia juga keterima di ITB jurusan Fisika TEknik, tapi tidak diambilnya. Ia lebih memilih arsitek di Unpar, Bandung. Terus ada THio Chin Teng atau Tarsisius THio..gue ingat lu teman gue yang baik juga gak banyak kurenah (he he tingkah)..agak tinggi dan tentu saja rambutnya lurus. Ada juga Oei Bian Cin yang membantu ortu jualan onderdil motor mobil di bawah janjang 40 dekat Sate Mak Tuah dulu. Juga SIlviani Tanoto (ini dari dulu namanya demikian). SIl selalu saingan ama gue di kelas jadi juara satu dan dua bergantian ya Sil. Nah saya salut sekali ketika tahu SIl memilih mengambil IKIP di PEkan baru. Kemaren gue kehabisan waktu mencari dia belum hasil. Ortu Silviani berjualan kerupuk balado yang enak dan gurih, dibungkus khusus dengan kertas putih berbentuk segitiga. Tinggal di dekat tanjakan mau naik ke benteng.

Ada juga Tan Sian Lie dipanggil Sian yang manis dan besar badannya. orangnya riang dan lucu. Namanya kalau tidak salah berganti jadi Yanti Gunaawan yang menawan. Tak kulupa si manis Kwe Sin Liu yang pakai nama Theresia. Juga Lie Kim Ai...yang selalu heboh.,riang dan gak bisa diam. Nah siapa lagi ya..? oh ya Pek Tek SIong (yang agak kecil dan dekil he he..) tapi dia jagoan basket juga dan sepaktakraw. Armen Sutiono sudah disebut tadi di depan yang sering gue kalahkan main catur dan pingpong he he. Juga ada si TEnok Welly Kasna di simpang tembok yang berjualan limun. Sayang limun kota atau lokal sudah habis dibabat coca cola dan teh botol. Tenok sama dengan saya masuk PP II di IPB angkatan 19. tapi ia tetap d IPB, saya berlabuh lagi ke ITB karena terlalu stres dan tidak kerasan dengan suasana belajar di IPB.

Masih banyak beberapa teman kita lagi yang keturunan. nanti akan saya sambung. Juga ketika gue pindah setahun ke payakumbuh sangat banyak teman cina disana. Salah satunya ada si ENg yang manis dan baik sama gue. Reno Dewi mungkin masih ingat karena kami sempat sekelas di Payakumbuh. Yang bareng dengan Lo Kok An juga adalah Johan Irwan, sang jago basket smp xaverius kami. Saya gak tahu nama asli Johan karena sudah pakai nama itu dari dulunya. Ada juga Hendri Utama yang dari dulu suka berantem dan gangguin anak perempuan...hehe. Sorry Hendri Utama kalau gak salah teman gue ketika di SD Pius Payakumbuah.

Disamping keturunan cina, gue juga gak lupa bbrp teman yang keturunan India dan lucu2..yaitu Mimi (Jailani) dan Pupa (ZUlfa..saja namanya) yang tadi bereuni SMA3 Bkt.

Ondeh Mandeh..maaf kawan. Juga ada teman2 kita dari Medan dan kabupaten2 di Sumut. Masih ingat Burhan Simare-mare yang kalau sekolah harus bertongkat kalau tidak salah karena memang ada kekurangan. Ada pula Sampe Sinaga dari pelosok serta Albert Situngkir (Malantong). Ini ada cerita, ketika bahasa Indonesia si Albert ini dapat giliran mengisi titik-titik dari pada kata kerja aktifitas atau sifat sebuah kata yang mendahuluinya. Contoh: Kambing mengembik, Sapi melenguh, nah..giliran dia harus mengisi dan membacakan jawaban kata depan yang muncul pas gilirannya adalah Balon. Jelas kami kesulitan, apalagi dia yang baru pindah dari SUmut (maaf kota nya saya gak tahu). Kelas hening sejenak. Nah dari pada diam dan bisu, saya yang duduk bersama dia SMP Xaverius kelas 2 mebisikkan kata "Malantong" sebagai ganti kata "Meletus". Mendengar jawaban mantap dari Albert dengan logat Medan yang kental tentu saja seiisi kelaspun meledak tertawa. Termasuk guru bahasa Indonesia pengganti Ibu Kartini itupun terdiam, tapi tidak bisa marah.

Sejak itu kami panggillah Albert ini dengan marga baru "MAlantong" yang artinya adalah meledak atau meletus dalam bahasa Minang yang kental. Dimana dikau sekarang teman2 ku? SAya mengerti engkau tentu harus menjalani hidup yang sulit pada masa itu karena dikirim dari SUmut untuk juga "mengabdi" di gereja di Bukittinggi yang sebagai imbalan dapat bersekolah. SUngguh suatu kenangan berbagi yang indah bagi gue..(sorry gue lagi neh biar konsisten).

Demikian kawan2 gue persembahkan note ini sekedar mengingat kenangan lama gue ketika menghabis kan masa2 kecil SD, SMP, dan SMA di Bukittinggi tercinta. Sekali lagi, kami dari dulu bersaudara dan merasakan pertemanan yang lain dari kebiasaan orang sekarang.

Jika anda ribut2 menyuruh kerukunan dilaksanakan, kami di Bukittinggi telah menikmatinya. Sekali lagi, kami telah menikmatinya. Sungguh suatu pelajaran dan perjalan hidup yang kemudian memberi bekal ketika harus hidup di Jawa dan juga di negeri orang, jauh di seberang dunia dengan adat, agama, dan kebiasaan berbeda. Alhamdulillah ya Allah..kau beri kami teman dari berbagai macam suku bangsa dan semoga persahabatan kami memang seperti kempompong, merubah yang tak mudah menjadi indah serta mampu maklumi teman hadapi perbedaan (lirik "kepompong" nya Sindentosca)!

Amin, Ya Rabbil alamin.

-------------
Catatan: Pasar atas dalam perjalanannya kemudian " terbakar" lagi beberapa kali sejak tahun 1972 yang tentu saja menyisakan duka dan kesengsaraan bagi sebagian besar keluarga pedagang di Bukittinggi. Hingga sekarang mestinya pasar itu harus di cek lagi kekuatan strukturnya.



Evitriyeti, Anggi, Tan Sian Lie (Yanti Gunawan), dan Siti Mariah isteriku,
ketika di rumah duka St Carolous, jakarta.

Tuesday, May 26, 2009

Donat Pemberian yang jadi Penyelamat

Facebook | Your Notes


Bagi yang sering berpergian dengan pesawat udara, tentulah terminal 2 Bandara Soekarno Hatta sudah menjadi keseharian. Ketika akan berangkat hari Jumat lalu menuju Pekan Baru, setelah Checked-In, sayapun menuju ke ruangan terminal. Karena waktu masih tersisa sekitar 40menit sebelum jadwal keberangkatan saya pun menjadi ragu. Mau masuk lounge perasaan masih kenyang karena sebelum berangkat sudah sempat makan siang di rumah. Langsung ke ruang tunggu juga "ngapain?", begitu kata hati saya.

Meski gak mantap, saya mengikuti saja kaki melangkah kearah lounge yang bisa dibayar dengan Rp 1 saja dari kartu kredit saya. Maaf, kartu kredit hari gini bagi PNS kiranya mutlak, karena uang SPPD sering telat turun, sementara kita sudah harus berangkat untuk menghadiri rapat atau seminar di luar kota. Dalam seloroh, sering kami "plintir" bahwa kita terpaksa ngutangin negara (maaf bapak dan ibu menteri serta pimpinan..gak enak kedengarannya, tapi itulah kenyataannya..kami sering talangin dulu itu hotel atau biaya perjalanan..baru pulang dibayar oleh pimpro atau P2K).

Sebelum sampai ke lounge yang saya tuju, persis di depan cafe, setelah toko buku Periplus (terminal 2), saya ditahan seorang anak muda yang memberikan donat dibungkus kertas yang sudah agak berminyak. Sedikit lengket, donat polos berlapis gula itu saya terima dengan ragu. "Promosi pak" sergap si anak muda. "nanti mampir ya pak!" lanjutnya lagi ketika saya mengangguk dan mengambil donat itu. Saya juga meragu. Saya mau ke lounge tadinya mau minum yang ada sodanya untuk membuang kembung saya. Memegang donat, saya berpikir, "masak bawa donat ke lounge yang juga banyak makanan disana?" Ah cukup merepotkan. Terlintas untuk membuang saja karena alasan praktis dan saya juga udah jauh dari si anak tadi, tak perlu malu, pikir saya. Namun untuk membuang makanan, sungguh beban berat bagi saya. Di bawa merepotkan karena ada minyak di kertasnya dan lengket gulanya juga terasa di tangan.

Akhirnya resleting back pack saya buka, bagian depannya. Dengan bismillah saya masukkan donat itu sambil mewanti2 diri sendiri agar jangan lupa karena akan bersemut dan tambah repot. Sekilas terlihat tempat sampah. Setan kembali mengganggu saya..buang, tidak, buang, tidak. TOh di lounge banyak makanan. Alhamdulillah saya sementara menang (untung bukan R4ni..ha ha). Akhirnya sang donat "menginap" di tas saya.

Sesampai di Pekan Baru dan setelah kembali ke hotel dari tempat seminar pada Sabtu siang keeseokan harinya, saya memilih istirahat dan tidur siang karena tadi malamnya berkumpul dengan teman2 alumni SMA1 Bukittinggi di Pekan baru. Kangenan membuat kami mengobrol sampai tengah malam lewat. Benar saja, karena masih merasa kenyang kembali dari hotel, saya melewatkan makan siang. Ketika terbangun sekitar pukul 15.00, perut sayapun berontak minta diisi. Lapar sekali. saya cepat buat teh manis. mau pesan makan di hotel..ah pasti begitu2 saja, nasi goreng, mie goreng, bubur dan soto ayam atau sop buntut. Sementara saya pengen sekali mencari sate padang, karena tadi siang ketika kembali kehotel belum ada yang buka.

Singkat cerita, ditengah kebingungan dan kelaparan..saya juga meragukan kalau tidak makan lalu jalan kaki keluar ke arah perpustakaan provinsi yang ingin saya tuju cukup jauh. Ah..saya terpaksa mengalah..dan memutuskan untuk pesan ke kamar saja. Namun alhamdulillah sebelum room service saya dial, teringatlah donat yang kemaren saya masukkan ke dalam bac pack saya. Sungguh tiada kata yang dapat saya ucapkan selain bersyukur. Donat itu telah menyelamatkan saya pada saat yang saya butuhkan. Karena pesan makan hotel jam 15.00 juga gak biasa dilakukan, nanggung.

Di temani secangkir teh yang sudah saya seduh, dalam sekejap donat pun lenyap dalam syukur dan nikmat. Sungguh petuah ortu untuk tidak membuang makanan dan ajaran yang menyebutkan "Berbuat mubazir itu adalah perbuatan syaitan" benar-benar nayata adanya dan wajib diamalkan.

Sungguh donat pemberian si anak muda yang berpromosi (baru sekali itu ia saya lihat disana)..sangat mujarab dan pas dengan kebutuhan saya. Disamping menyelamatkan kantong saya bbrp puluh ribu jika memesan makanan yang saya tidakbenar2 pengen.

Setelah shalat dan menghabiskan teh manis buatan sendiri itu, saya pun dengan mantap meluncur kearah perpustakaan yang berbentuk rehal itu dijantung kota Pekan Baru. Lalu dibelakangnya barulah saya dapat menyantap sate padang dengan segelas air tebu giling murni yang juga tidak kalah nikmat. Ya Allah dengan nikmatmu aku bersyukur..mudahkanlah segala urusan ku. AMin!

hm ada sate eunak juga...nambah 2x, soalnya lapar..belum makan siang

minumannya sari tebu tanpa gula dan es...murni oui!

Wednesday, May 20, 2009

They Screwed up Everything

Facebook | Your Notes

Pak Budiono dilepas dari Kantor Menko Perekonomian oleh para Menteri Ekonomi.
Persis satu tahun sebelum dinobatkan sebagai Cawapres.Pertengahan Mei 08 - Mei 09.


Judul posting di atas adalah jawaban yang diberikan seorang profesor saya ketika kami berdisksusi di salah satu pojok Homer Babbidge Library, University of Connecticut, CT, USA (1995-97). Ketika itu sedang hangat-hangatnya pemilu presiden yang akhirnya dimenangkan kembali oleh Presiden Clinton.

Judul itu pulalah yang kiranya pas, untuk menjawab pertanyaan yang saya ajukan dalam artikel saya dibawah ini. Artikel yang saya tulis lebih dari 6 tahun lalu itu telah menjadi salah satu "master piece" saya yang sangat saya sukai dan paling sering saya forward ke teman2 yang sering meminta artikel baru saya. namun ketika artikel baru saya lagi seret, maka sekedar obat rindu teman2 yang jauh dirantau orang biasanya saya kirimkan artikel lawas itu.

Meski pak Budiono bukanlah termasuk tipikal dosen seperti yang saya maksud dalam tulisan, namun dengan "tidak kuasanya" beliau menolak pinangan dari Presiden SBY, saya merasa berkewajiban untuk menguakkan kembali hubungan antara dosen (profesor), peneliti, dan birokrat. Untuk seterusnya menjadi politisi. Ada dua alasan utama saya menuliskan ini. Pertama adalah untuk mengingatkan mantan bos saya di Bappenas dan di Menko Perekonomian ini agar memikirkan ulang lagi langkah beliau, dalam arti memantapkan lagi tekad beliau untuk masuk ke ranah politik, yang dari dulu sudah sangat terkenal jauh dari bersih dan bebas dari intrik. Kedua adalah, untuk memberikan pemikiran agar beliau tidak sekalipun nanti mengucapkan kata "menyesal" dengan pilihannya menjadi Cawapres. Bagaimanapun juga pak Budiono juga sudah tidak muda lagi. Waktu beliau sebenarnya lebih baik untuk cucu-cucu beliau seperti pernah disampaikan ketika masih menjabat sebagai Menko.

Pilihan sulit itu sudah diambil beliau. Saya hanya tinggal mendoakan agar niat baik beliau untuk turut memperbaiki kondisi bangsa yang semakin carut marut ini bisa terlaksana.

Selamat ber politik pak Bud! Sukses selalu untuk Bapak, Ibu, dan seluruh keluarga. AMin



==============================================

Dosen, Peneliti, dan Birokrat (SInar Harapan 11 jan 2003)

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0301/11/opi01.html

Oleh Eddy Satriya

Menarik sekali menyimak pernyataan Rektor Universitas Indonesia (UI) Usman Chatib Warsa tentang minimnya kehadiran dosen utama dalam program kuliah Strata Satu (S-1) di universitas terkemuka tersebut. Dosen utama yang dimaksudkan adalah dosen berpengalaman yang memiliki tambahan gelar akademik S-2 dan S-3, termasuk para guru besar.
Sang Rektor menyatakan bahwa masalah ekonomi, yaitu kurangnya gaji yang diterima dosen dari pemerintah merupakan penyebab utama, di samping masih belum seimbangnya rasio dosen dan mahasiswa.

Kekurangan gaji akhirnya ditutupi dengan mengajar atau bahkan juga terlibat dalam pelaksanaan proyek di berbagai perguruan tinggi lain. Padatnya jadwal tambahan mengakibatkan dosen bersangkutan mengalami kesulitan dalam membagi waktunya untuk mahasiswa UI sendiri.
Walaupun minimnya kehadiran dosen utama tidak terjadi pada seluruh fakultas, pengakuan jujur oleh rektor yang baru terpilih ini tentu saja mencuatkan keprihatinan yang mendalam bagi kita semua.

Keprihatinan yang patut dan wajar karena kondisi ini ternyata masih saja berlangsung di saat berbagai krisis masih bercokol di bumi Indonesia. Sementara era globalisasi dan perubahan tatanan ekonomi baru dunia dewasa ini semakin menuntut sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang berdaya saing tinggi.
Bagi sebagian rakyat Indonesia yang pernah beruntung mendapat kesempatan sekolah ataupun menjalani pelatihan di luar negeri, terutama di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), tentulah dapat merasakan perbedaan dosen di sana dengan dosen di Tanah Air dalam menjalankan tugasnya.

Mereka memang lebih mampu membagi waktunya untuk tugas mengajar, menghadiri konferensi, tugas administrasi, tugas penelitian serta tugas-tugas lain di negara bagian dimana universitas tersebut berada. Sudah menjadi kebiasaan dosen di AS untuk memampangkan sebuah board yang berisikan informasi tentang telepon dan e-mail dosen bersangkutan guna kemudahan komunikasi serta informasi jam kerja atau office hour di pintu kamarnya.

Jam kerja tersebut tidak saja memuat jadwal kuliah dan praktikum untuk semester berjalan, tetapi juga memuat slot waktunya yang disediakan untuk mahasiswanya. Di atas segalanya, jadwal atau janji yang sudah disepakati biasanya ditepati sang dosen dengan kehadiran kadang-kadang di atas 100 persen.
Jika sang dosen berhalangan, biasanya ia akan berusaha memberitahukan jauh-jauh hari. Tidak jarang mahasiswa menerima telepon bernada minta maaf dari seorang dosen yang karena berhalangan mendadak terpaksa harus membatalkan janji. Saya pribadi pernah mengalami hal tersebut.

Membicarakan perbedaan antara dosen di AS dengan koleganya di Indonesia pada saat-saat sekarang ini untuk sebagian orang mungkin tidak relevan, tidak populer atau bisa dianggap mengada-ada. Namun pengakuan jujur dari rektor baru UI itu dalam upaya memajukan universitasnya dan mewujudkan misi akademiknya di era otonomi kampus, tentu saja merupakan suatu moment yang sangat penting dan perlu ditindaklanjuti. Ada beberapa alasan untuk itu.
Pertama, permasalahan mangkirnya dosen utama dari tugasnya jarang ditindaklanjuti secara nyata. Kasus ini bukanlah masalah UI semata, tapi juga terjadi di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka.

Dengan menyebutkan alasan ekonomi, secara implisit Rektor UI telah mengakui terjadinya penyalahgunaan waktu oleh oknum dosen utama atau dosen senior untuk menutupi kekurangan gajinya.
Jika tidak ditangani secara serius dan bertahap tentulah hal ini akan dapat menghambat program reformasi di perguruan tinggi.
Kedua, dosen senior dengan jam terbang tinggi biasanya mahir menyampaikan informasi yang sangat dibutuhkan untuk membuka wawasan mahasiswa yang kadang-kadang menjadi lebih penting ketimbang bahan kuliah semata.

Seorang teman dekat saya yang lulusan Planologi ITB, pernah menyatakan kekagumannya kepada salah seorang profesornya. Sedikit berlebihan, ia berkomentar bahwa dengan sekali saja menghadiri kuliah sang profesor tersebut, ia merasa sudah mendapatkan pengetahuan luas yang bisa merangkum berbagai bahan kuliah yang diperoleh selama dua sampai tiga tahun di ITB.

Pengalaman saya menjadi dosen tamu di UI dan beberapa PTS di Jakarta menunjukkan bahwa mahasiswa kita memang sebaiknya dibekali dengan berbagai perkembangan aktual yang terjadi di masyarakat dan dunia usaha. Selain itu, sudah selayaknya universitas memberikan perkuliahan yang berkualitas dan tertib administrasi, mengingat mahasiswa di era reformasi ini membayar biaya pendidikan relatif lebih mahal dibandingkan zaman Orde Baru.

Terlebih lagi berbagai insentif, fasilitas dan tunjangan untuk mahasiswa seperti bea siswa, keringanan biaya kuliah (SPP), asrama yang bersubsidi, tunjangan percepatan kelulusan dan kredit mahasiswa (KMI) sudah semakin berkurang. Fasilitas tertentu malah telah dihilangkan karena alasan yang kadang-kadang tidak masuk akal.

Terakhir, proses seleksi mahasiswa baru khususnya untuk program S-1 yang konsisten dilaksanakan sejak tahun 1970-an melalui SKALU, PP I, Sipenmaru dan lain-lain, harus diakui telah mampu manjaring calon-calon mahasiswa terbaik di republik ini. Alangkah sia-sianya jika bibit yang bagus tertanam di tanah yang gersang.

Sebenarnya disamping alasan untuk mencukupi kekurangan gaji dan belum optimalnya rasio dosen-mahasiswa, tentu masih ada beberapa alasan lain yang menjadi penyebab mangkirnya oknum dosen senior dari ruang kuliah. Salah satunya adalah menjadi birokrat pada waktu yang bersamaan.
Tatkala sudah memasuki zona birokrasi di negeri yang berperingkat ”sangat meyakinkan” dalam hal korupsi, masalah ini tentu menjadi semakin serius dan memprihatinkan. Sayangnya kondisi ini terlupakan seiring hiruk pikuk berbagai persoalan bangsa terutama sejak memasuki era reformasi dan sejak dimulainya tahap inisiasi pelaksanaan otonomi daerah. Padahal mantan Presiden Abdurrahman Wahid secara gamblang sudah mengingatkan bahwa, ”Banyak Profesor dan Doktor Menjadi Maling.”

Jika dilihat kembali ke masa awal orde baru berkuasa, memang banyak dosen utama yang diminta membantu pelaksanaan tugas pemerintah. Hal ini bisa dipahami karena pada masa itu jumlah SDM dengan kemampuan akademik dan intelektual yang memadai memang masih terbatas.
Ada nama-nama besar seperti Sumitro Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, Sumarlin, dan Emil Salim yang pernah menduduki berbagai jabatan penting terutama di bidang ekonomi seperti Menteri Keuangan, Kepala Bappenas dan Menko Ekuin.

Namun jika diamati lebih saksama di masa-masa akhir berkuasanya Presiden Suharto, jumlah dosen, termasuk yang belum senior, yang menduduki jabatan di birokrasi pemerintah masih relatif besar. Para dosen ini bukan saja menduduki jabatan politis menjadi pejabat negara seperti Menteri,

Gubernur, dan pimpinan di berbagai Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) tetapi juga menduduki jabatan-jabatan struktural yang seyogianya diperuntukan bagi pejabat karier.
Jumlah ini hanya mungkin dapat disaingi oleh aparat militer yang berdwifungsi dan menduduki jabatan serupa di birokrasi. Ironisnya hal ini terus berlangsung sampai sekarang, malah semakin menjadi-jadi seiring dengan banyaknya tambahan Departemen dan LPND baru. Sementara TNI, di sisi lain, sudah mulai mereposisi diri.

Tentu wajar saja kalau timbul pertanyaan. Apakah SDM di Departemen dan LPND saat ini memang tidak berkualitas dan sama kondisinya dengan 30 tahun lalu? Atau bahkan lebih buruk? Presiden Megawati pernah menyebut birokrasinya sebagai birokrasi ”keranjang sampah”.

Patut kiranya menjadi pengetahuan kita bahwa sejak 1980-an telah cukup banyak dana yang digunakan untuk membiayai pengiriman pegawai negeri sipil (PNS) melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu S-2 dan S-3, baik di dalam maupun di luar negeri.
Biaya tersebut umumnya berasal dari pinjaman luar negeri yang jika dijumlahkan dari berbagai sumber bisa mencapai ratusan juta dollar. Tidak terhitung pula PNS yang memperoleh beasiswa dari berbagai lembaga atau foundation internasional lainnya. Perlu pula diingat bahwa biasanya selama bersekolah, gaji PNS tetap dibayarkan oleh negara.

Apakah mereka memang tidak berkualitas atau tidak memperoleh kesempatan sehingga pantas mengisi birokrasi ”keranjang sampah”? Wallahualam. Yang pasti hampir 90 % dari mereka yang disekolahkan tersebut adalah putera puteri bangsa terpilih yang lulus saringan SKALU, PP I dan Sipenmaru.

Dosen yang memasuki birokrasi biasanya akan mengalami ”cultural shock”. Pengalaman yang diperoleh selama mengerjakan proyek-proyek pemerintah di berbagai lembaga penelitian dan konsultan di kampus tidak pernah cukup untuk menghadapi masalah dan tantangan birokrasi yang luar biasa kompleksnya.
Di samping substansi dan teknis, pejabat sehari-harinya juga harus memikirkan masalah manajemen, keuangan, administrasi, kepegawaian, organisasi dan keproyekan. Tugas berat ini tentu saja menuntut dedikasi dan jam terbang tinggi mengingat pelaksanaan reinventing government masih jauh dari memuaskan. Sayangnya hal ini sering dipungkiri dan terkadang di anggap sepele.

Hal terberat akan dihadapi manakala sang dosen berurusan dengan keproyekan. Inilah yang menjadi pusat keprihatinan kita. Pekerjaan management proyek yang meliputi proses penyusunan Daftar Usulan Proyek (DUP), Satuan-2, Satuan-3, pembahasan Daftar Isian Proyek (DIP), revisi serta monitoring pelaksanaannya sangatlah kompleks.

Terkadang pekerjaan ini, khususnya pembahasan DIP di Departemen Keuangan, untuk sebagian orang bisa dikategorikan intellectually harassing. Kemuliaan intelektual yang begitu tinggi dan idealisme yang dimiliki di kampus harus berhadapan dengan permainan ”mark up”, ”kongkalingkong”, nepotisme, intrik dan berbagai bentuk praktik suap menyuap yang sering disingkat dengan KKN yang terkenal itu.
Idealisme tinggi yang biasanya masih terpelihara dan mengkristal dalam sanubari sang dosen pelan-pelan akan ikut lebur, meleleh, mencair dan menguap setelah masuk ”sarang penyamun”.

Tekanan keproyekan kadang bukan hanya datang dari bawah dan samping, tetapi juga dari atas. Baik dalam suatu kantor, maupun dari kantor pemerintah lainnya. Hal yang memang kerap terjadi di masa Presiden Gus Dur dan Megawati yang sarat dengan muatan politik partai.
Seiring dengan jabatan di pemerintahan, berbagai jabatan susulan juga akan bermunculan. Yang paling sering adalah tawaran menjadi komisaris di puluhan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan swasta. Menjadi komisaris, biasanya sang dosen akan terbuai dengan berbagai fasilitas yang memang ”enak tenan” yang bisa melupakan mahasiswa atau rencana untuk menerbitkan buku teks kuliah. Terkadang jabatan komisaris terasa dipaksakan.

Sebagai contoh, seorang profesor ahli pertanian yang menduduki jabatan setingkat direktur atau direktur jenderal bisa saja menduduki jabatan komisaris suatu perusahaan di bidang jasa yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan dengan pertanian. Jam terbang? Itu bisa diatur.
Di zaman orde baru, di saat proses privatisasi dan restrukturisasi yang dimotori Bank Dunia melanda banyak BUMN vital, banyak pula direksi BUMN secara cerdik berhasil ”mendudukkan” sang dosen, yang juga pejabat yang berwenang di sektor terkait, menjadi komisaris BUMN yang dipimpinnya. Taktis memang, karena akan memuluskan urusan direksi disatu sisi, tapi biasanya meninggalkan banyak pemasalahan dengan bawahan sang komisaris di sisi lain.

Sebenarnya ada pekerjaan lain yang berpotensi menyita waktu dosen dan membuatnya mangkir dari tugas. Antara lain sebagai peneliti yang mengerjakan proyek di lembaga penelitian yang ada dilingkungan universitas maupun di luar, dan yang sekarang sedang ”naik daun” adalah menjadi presenter dan pembicara di berbagai acara talk show.

Namun dibandingkan dengan menjadi birokrat, pekerjaan jenis ini tidak terlalu berpotensi KKN dan terkadang memang diperlukan untuk kematangan diri. Namun ketatnya jadwal atau buruknya time management terkadang membuat mereka kurang konsentrasi dan terpaksa mangkir dari tugasnya.
Dengan berbagai kesibukan sang dosen di luar kampus, tidak heran banyak mahasiswa saat ini terlihat bolak balik ke kantor pemerintah untuk berkonsultasi. Bahkan tidak jarang pula mahasiswa terpaksa kuliah di kantor pemerintah tempat sang dosen menjabat. Di pihak lain, dosen utama atau profesor yang berhasil menulis buku atau menerbitkan artikel di jurnal tingkat nasional apalagi internasional selama menjabat di birokrasi, bisa dihitung jari.

Keprihatinan Rektor UI tentang minimnya kehadiran dosen utama di universitasnya tentu juga menjadi keprihatinan rektor-rektor PTN dan PTS lainnya di seluruh Indonesia serta keprihatinan kita semua yang sangat ingin pendidikan tinggi di Indonesia maju secara lebih berarti.
Tulisan ini bertujuan hanyalah untuk menggugah rasa keprihatinan itu untuk kemudian ditindaklanjutinya secara bijak. Tidak lebih tidak kurang.

Mengharapkan regulasi maupun aturan tertulis dari PTN dan berbagai instansi terkait dalam situasi sekarang ini, tentulah akan memakan waktu dan menunda proses perbaikan bangsa. Karenanya menjadi penting sekali mewujudkan kesadaran di dalam hati kita untuk bertindak profesional di dalam tugas, memulai budaya malu KKN dalam arti sebenarnya serta tepo seliro terhadap 40-an juta penganggur terdidik dan tidak terdidik yang juga harus menghidupi keluarganya. Namun, kita tentulah tidak melupakan bahwa masih banyak dosen utama yang sangat menjunjung tinggi profesinya. Salut untuk mereka.

Sebagai penutup, tidak ada salahnya kita simak pertanyaan dari salah seorang profesor ITB yang saya jumpai dalam satu seminar di Bandung beberapa tahun lalu. Beliau menanyakan tentang perbedaan profesor (dosen), peneliti dan birokrat.
Seperti biasa, profesor yang sudah cukup sepuh tidak akan sabar untuk menasihati kita dan tidak perlu menunggu jawaban. Pertanyaan itupun dijawabnya sendiri. Pelan meluncur dari bibirnya, ”Dalam tugasnya, profesor tidak boleh salah dan tidak boleh bohong. Peneliti boleh salah, tetapi tetap tidak boleh bohong. Sedangkan birokrat, boleh salah, boleh bohong!”.

Astaga! Nah, bagaimana jika guru besar menjadi politisi?

Penulis adalah dosen tamu Program Magister Teknologi Informasi di Fasilkom-UI,
tinggal di Sawangan, Depok.

PKSku sayang, PKSku (tidak) malang.

Public Blog Kompasiana» Blog Archive » PKSku sayang, PKSku (tidak) malang.

Sehari, setengah hari, serta dalam hitungan jam menjelang deklarasi pasangan Capres-Cawapres SBY Berbudi pada tanggal 15 Mei 2009 yang lalu, sebagian besar umat Islam, anggota dan kader PKS, termasuk simpatisan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) seperti saya, masih menantikan sepak terjang dan jurus pamungkas pimpinan PKS. Semua menantikan bagaimana “ending” hubungan antara Partai Demokrat (PD) dengan PKS, sehubungan dengan “hanya di sms” nya pimpinan PKS oleh pihak PD terkait dengan rencana penetapan Pak Budiono sebagai Cawapres bagi Susilo Bambang Yudhoyono yang telah lebih dulu diajuka sebagai Capres dari PD.

“Antiklimaks…..!”

Begitulah berbagai komentar akhirnya berdatangan dan beterbangan di berbagai media. Media cetak dan elektronik menggambarkan kekecewaan, hujatan, dan makian yang sangat menyakitkan dialamatkan kepada kubu PKS. Dari sekedar menyebutkan sebagai gertak sambal, tidak konsisten, tidak ada apa-apanya, hingga ungkapan sangat memalukan bisa kita baca dan dengarkan secara langsung. Demikian pula, berbagai hujatan dan nada ketidakpuasan kader atau masyarakat luas benar2 tumpah di berbagai blog, mailing list, maupun di jejaring sosial seperti Facebook.

Betapa tidak, berbagai kader PKS sebelumnya masih menyatakan ketersinggungan harga diri partai mereka diperlakukan secara “feodal” oleh penguasa. Mereka mencaci maki secara langsung ataupun tidak langsung sikap penguasa yang tidak mau menggunakan jalur komunikasi saling menghargai. Banyak teman saya simpatisan PKS yang sampai detik terakhir masih yakin bahwa pimpinan mereka akan bersikap tegas terhadap SBY. Namun apa mau dikata. Fakta yang ada di layar kaca ketika pencanangan “SBY Berbudi” jelas memperlihatkan bahwa “PKS akhirnya menyerah kepada Yudhoyono” sebagaimana headline Media Indonesia keesokan harinya. Presiden PKS yang beberapa jam sebelumnya

Tidak dapat saya bayangkan harga diri para kader yang dari dulu berusaha konsisten, harus diletakkan dimana setelah kejadian di Sabuga, Bandung itu. Memang politik tetaplah politik. Terus terang karena politik bukanlah ranah yang familiar buat saya, saya tidak ingin mengomentari lebih jauh tentang keterpurukan PKS akibat inkonsistensi para elite mereka ketika harus bersikap menghadapi incumbent.

“Mabuk Kemenangan dan Tidak Mau Dikritik”

Sejak menuai hasil yang diatas rata-rata partai lain dan tergolong memuaskan dalam Pemilu 2004 lalu, saya mengamati bagaimana senangnya para elite dan kader PKS. Tokoh mereka menjadi Ketua MPR, dan beberapa lainnya masuk ke jajaran Kabinet Indonesia Bersatu, meski belum memegang posisi kunci. Dari berbagai kejadian dan “event” yang digelar, kader PKS juga memperlihatkan dominansi mereka dalam berorasi, turun kejalan dan dalam melakukan berbagai aksi damai. Seperti halnya penomena AA Gym ketika jaya dulu, jangan kan orang muslim, kaum non muslim Indonesia saja merasa nyaman dengan kehadiran PKS yang meski mengusung Islam sebagai ideologi partai, namun tetap memperhatikan kemajemukan serta “tepo seliro” dengan penganut agama lain.

Dari berbagai keberhasilan tersebut, kelihatannya mereka terlena. SIkap egaliter yang dibiaskan oleh sebagian kader partai yang berasal dari Sumatera lama-lama dilupakan. Pelan-pelan sikap feodal yang dulu mereka dobrak kembali bersemi dalam keseharian mereka. Sesuatu yang alami sebenarnya. Namun Seperti pernah saya alami sendiri ketika mau beranjang sana ke salah satu tokoh PKS yang kebetulan menjadi pejabat negara di salah satu kota. Keinginan saya untuk bersilaturahmi sebagai warga kota itu dan membawa tokoh masyarakat setempat setelah waktu magrib yang syahdu, ditampik begitu saja. Setelah diterima dirumah sang tokoh, saya ditanya oleh “Ring-3″ mereka tentang keperluan apa dan maksud tujuan lainnya untuk bertemu.

Meski sedikit kesal karena sudah menelpon sebelumnya (nomor telepon rumah saya dapatkan dari tokoh PKS lainnya yang menjadi sahabat saya di DPD) saya berusaha tetap tenang. Berbagai pertanyaan diajukan kepada saya tentang maksud dan tujuan. Saya pun menceritakan tujuan saya beranjang sana dan bersilaturahmi. Namun setelah beberapa pertanyaan lain diajukan, dan saya jawab, tetap saja akhirnya kami diminta datang di hari lain. Singkat kata, meskipun sang Pejabat tokoh PKS itu ada di rumah, kami tidak layak untuk ditemui berdasarkan kriteria para “punggawa” di RIng 2 atau 3.

Kakak ipar saya sedikit angot. Iya juga tidak menduga seperti itu. Ia kecewa. Segera ia meminta saya untuk memberikan saja kartu nama kantor saya yang mempunyai logo Burung Garuda. Saya sabarkan ia. Saya datang kesini sebagai penduduk warga kota sang Pejabat kita, bukan sebagai pejabat dari kantor saya.

Dengan langkah gontai kami pun pulang kembali. Perjalanan saya yang menempuh waktu kurang lebih 1,5 jam dari Sawangan pun sia-sia. Kakak ipar saya masih saja mengomel dan mengungkapkan kekecewaaannya. Besoknya setelah ditolak bertemu dengan sang tokoh PKS yang sebelumnya sudah pernah berkenalan di Mesjid Komplek Perumahan kami di Sawangan, saya menyampaikan kejadian itu kepada tokoh lainnya agar di ambil langkah2 perbaikan. Karena bagaimanapun sikap feodal yang telah berupaya diruntuhkan oleh pendiri PKS dengan kombinasi sikap egaliter dan ketaatan beragama bagi para kadernya sebaiknya tetap dikikis habis.

Kejadian itu sekitar pertengahan tahun 2006. Ternyata saya dan kakak ipar saya saat ini tidak sendiri. Mungkin belasan juta atau puluhan juta mungkin simpatisan PKS merasakannya saat ini. PKS menjadi partai tak berdaya dihadapan PD. Tokoh-tokoh PKS tidak ada bedanya dengan partai lain. Politik memperlihatkan “nature of business” nya dengan jelas.

Mudah-mudahan para elite PKS cepat sadar dan mampu mengoreksi diri. Baik ketika harus tegas berhadapan dengan penguasa, ataupun mampu lebih merakyat dan mengayomi ketika mengurus rakyatnya.

Semoga ini bukan akhir segala nya bagi PKS. Bagaimanapun PKS masih menjadi andalan umat Islam untuk menjaga tegaknya ajaran AL Quran dan Sunat Rasulnya di bumi Indonesia. InsyaAllah.

Monday, May 11, 2009

DOSEN, PENELITI, DAN BIROKRAT (My Audio Book/Article)


Ditulis dan dibacakan langsung oleh Eddy Satriya
Telah diterbitkan di Harian Sore Sinar Harapan 11 Januari 2003

.......Hal terberat akan dihadapi manakala sang dosen berurusan dengan keproyekan. Inilah yang menjadi pusat keprihatinan kita. Pekerjaan management proyek yang meliputi proses penyusunan Daftar Usulan Proyek (DUP), Satuan-2, Satuan-3, pembahasan Daftar Isian Proyek (DIP), revisi serta monitoring pelaksanaannya sangatlah kompleks. Terkadang pekerjaan ini, khususnya pembahasan DIP di Departemen Keuangan, untuk sebagian orang bisa dikategorikan intellectually harassing. Kemuliaan intelektual yang begitu tinggi dan idealisme yang dimiliki di kampus harus berhadapan dengan permainan “mark up”, “kongkalingkong”, nepotisme, intrik dan berbagai bentuk praktek suap menyuap yang sering disingkat dengan KKN yang terkenal itu. Idealisme tinggi yang biasanya masih terpelihara dan mengkristal dalam sanubari sang dosen pelan-pelan akan ikut lebur, meleleh, mencair dan menguap setelah masuk sarang-sarang penyamun. .........



Sunday, May 10, 2009

Titik Noda Reformasi (Audio Article)

Oleh: Eddy Satriya

Telah diterbitkan di Majalah Forum Keadilan 18 Mei 2003


.......Mungkin disinilah awal terjadinya titik noda pada proses reformasi. Nafsu untuk melengserkan seorang Suharto terlalu menggebu dan sangat besar, sehingga mengalahkan nalar. Kebiasaan lama yang tidak memperdulikan perasaan orang lain muncul kembali tanpa disadari. Kemenangan yang dicapai ternyata mengaburkan mata dan hati. Seorang Suharto saja dengan orde barunya masih memberikan tempat yang sama-sama layak kepada jenderal dan pembantunya. Namun sebuah orde yang menyandang nama besar reformasi ternyata membedakan mahasiswa, pesuruh dan makhluk Tuhan lainnya yang masih sama-sama berkaki dua. Pemimpin dan pers sama terlenanya.........

Untuk selengkapnya silakan klik icon play dibawah, selamat menikmati..!



Monday, February 23, 2009

Guillain-Barré Syndrome, perlu diwaspadai oleh kita orang Indonesia..!

Terus terang saya gak tahu mau memulai dari mana menulis notes kali ini. Mungkin dari urutan kronologis lebih baik dan memudahkan saya.

Karena hari Senin kemaren (16/2) Haniy masih merasa sakit dipahanya dan sulit berjalan, saya meminta Mamanya untuk membawa ke dokter anak yang bagus. Pilihan dijatuhkan ke RS Puri Cinere di Jakarta Selatan. Sementara saya meski agak sedikit was-was tetap berangkat pagi itu sekitar jam 6 menuju kantor, mengingat sedang banyak kerjaan dan kebetulan gak bisa ditinggal, termasuk finalisasi buku infrastruktur yang menjadi semacam never-ended project. Biasa nulis buku memang begitu katanya.

Karena kami PNS kere, he he, untuk mengirit bensin dan tenaga, dengan seorang teman komplek yang kebetulan juga tinggal satu komplek, maka hari itu giliran dia yang membawa mobil. Berbarengan seperti ini sering juga kami lakukan ketika masih tugas di bappenas dulu. Irit duit, irit tenaga, dan juga bisa saling tolong dengan membawa siapa saja memenuhi mobil dinas. Apalagi juga membantu untuk 3 in 1, sehingga jarak Sawangan-Bappenas atau Lap Banteng bisa ditempuh rata-rata 1,5 jam saja. Kecuali kalau hari hujan besar dan macet. Pergi bareng, pulang pun bareng. Namun tidak bisa selalu bareng, karena jika masing2 sore ada rapat atau pagi, dua-duanya terpaksa bawa mobil. Indah bukan?

Nah dalam perjalanan pulang, menjelang magrib, di sekitar tugu sisingamangaraja, saya dikabari isteri bahwa Haniyfa Azalea Satriya, putri saya ketiga terserang GBS. Hal ini setelah dianjurkan dokter anak untuk dicek oleh dokter syaraf. Dugaan terakhir dari spesialis syaraf setelah memeriksa kondisi Haniy adalah GBS. Isteri saya pun tidak terlalu mengerti, karena awam. Tapi kabar yang sampai kesaya itu segera saya diskusikan dengan teman SMA saya yang kebetulan dokter juga. Ia pun menjelaskan apa itu GBS, dan dengan gamblang menceritakan kondisi "termudah" yang akan kami hadapi antara lain harus melakukan Plasmapheresis dan Imunoglobulin therapy, yaitu pemisahan plasma darah dan penambahan obat untuk daya tahan tubuh. Singkat kata, GBS itu adalah terjadinya kondisi sistem daya tahan tubuh menyerang sistem syaraf, terutama otot (maaf kalau keliru bisa lihat di link nanti atau google). Yang berakibat kepada kelumpuhan otot yang dimulai dari paha, terus bisa naik ke lengan, dada, dan akhirnya menghambat gerak otot pernafasan yang tentu saja berakibat sangat fatal. Kematian atau lumpuh total/sebagian.

Mendengar penjelasan teman saya, maka saya pun lemas. Apalagi ketika ia bercerita bahwa ongkos yang diperlukan..SANGAT..SANGAT
BESAR. Dan alat hanya tersedia sangat terbatas. Team yang bagus menurut teman saya ada disebuah rumah sakit dibilangan elit di daerah jakarta selatan. atau bisa juga yang agak murah di Dharmais. Ibarat mendengar petir di siang bolong, saya hanya bisa menyebut "astagafirullah" dan saya lanjutakan dengan bacaan lain penenang hati.

Terbayang dimata saya. Air matapun pelan-pelang tergenang. Kalau saya harus kehilangan Haniyfa, yang karena satu hal sangat dekat dengan saya. Kebayang, tidak ada lagi suara lembut memanggil bapaknya yang lagi asyiik FBing agar naik ke kamarnya untuk memijit punggungnya. Akh..akan kah aku kehilangan tangan2 mungil itu secepat ini? Ia baru8 tahun Juli ini. Untunglah air mata bisa kutahan,karena teman saya keburu membelokkan mobil, memasuki pelataran parkir Al-Azhar seiring tibanya waktu magrib. Di tempat penitipan sepatu, saya sempat melihat dipajang dua kotak obat dengan nama generik (?) Nigeva Savita(?). Namun karena udah mau qamat, saya pun bergegas ke atas, sambil menitipkan sama penjaga agar satu kotak dipisahkan, mungkin nanti akan saya ambil. Terkadang kami sering juga melakukan magrib di daerah selatan, sambil cari makan malam. Sebenarnya saya lebih senang perjalanan diteruskan dulu karena bisa melewati kemacetan lebih awal di Antasari. Tapi suara hati saya juga senang magrib di Al Azhar karena sudah lama juga tidak shalat di mesjid Buya Hamka itu.

Benar saja, ketika wudhu saya ketemu Antok, teman sekelas di ITB. Dari ke jauhan juga saya lihat ada pak Juanda mantan Plt Dirut PT.PLN yg saya kenal baik. Sayangnya sehabis shalat isteri saya menelpon dan meminta kepastian apakah Haniy jadi Rawat Inap, malam itu juga. Sayapun kemudian bergegas keluar menjawab telpon yang di "silent" serta juga konsultasi dengan adik sepupu yang dokter. Mohon maaf untuk Antok karena gak sempat silaturahmi ditempat yang indah itu. Adik saya yang dokter ini menyarankan tetap berpegang dengan diagnoses dokter bahwa diasumsikan GBS hingga terbukti tidak. Membuktikannya adalah dengan test cairan yang diambil dari punggung (saya pun miris mendengar ketika itu). DAlam perjalanan saya dan istri pun tetap komunikasi yang akhirnya memutuskan pulang dulu, itu juga karena tidak menyiapkan diri untuk Rawat Inap, dan rs pun masih penuh, tidak ada kamar kosong.

Maka malam haripun sesampai dirumah kami hanya bisa berpandangan, berpegangan, dan bertangisan tanpa terlihat anak2. Namun ketika saya sampai duluan, saya sudah sempat memberitahukan kepada kedua kakaknya akan kondisi adik mereka, meski cuma sekilas.

Tidurpun tak nyenyak, takut kalau haniy terserang lebih cepat dari yang kita duga. Sayapun pasrah dan (maaf tidak sempat lagi FBing seperti biasa ketika pulang kantor sekedar say hi untuk friends..) segera beribadat. Malampun terbangun, saya sempatkan tahajud.

Ketika bangun pagi hari, Haniy belum ada kemajuan,masih sakit katanya meski untuk berdiri. SAya teringat obat di penitipan yang akhirnya dengan bismillah saya beli juga plus buku 100 tahun Buya. Saya minta Haniy meminum obat itu berupa kapsul, karena berfungsi juga untuk menahan stamina. Karena susah, akhirnya kapsul dibuka, dan obat berupa minyak cair itupun disendokkan kemulutnya. Haniy pun kemudian minta digendong ke kamar mandi, karena mau pipis dan BAB katanya.

Tak berapa lama, kami berkemas untuk persiapan ke rawat inap. Namun setelah dicek hingga pukul 10 tadi pagi, kamar di rs Cinere masih penuh. Akhirnya sianya kami putuskan ke RS Fatmawati saja, yang penting dia bisa dirawat dari pada di rumah. Kesibukan juga bertambah, ketika saya ingat Haniy belum tercover insurance. Anak ketiga PNS tidak diakui sebagai "anak negara" yang mestinya juga menjadi tanggungan. Saran dari seorang rekan yang dokter agar tanggungan askes diubah. Askes kakaknya dipindah ke Haniy. Tetapi itupun tak mudah dan setelah di cek tidak mungkin. Aturan is aturan. Itulah birokrasi. Sayapun diam-diam browsing untuk mencari asuransi (meski pun ragu..apa ada asuransi yang bisa langsung mau dan mencover dgn kondisi seperti itu). Satu-satunya cara adalah dengan mengeluarkan Putty, kakaknya yang perempuan (anak ke2 saya) dari list tanggungan kantor karena ia adalah anak "Amerika" yang kebetulan lahir di negerinya OBama itu. I hope this will work..begitu gumam saya. Selanjutnya putty digantikan adiknya. Proses ini paralel sedang diproses siang tadi, gak tahu bisa apa gak untuk askes.

Singkat kata, ditengah kerepotan demi kerepotan, juga ada teman isteri (tetangga) yang membesuk kerumah, akhirnya kami siap-siap berangkat ke Fatmawati saja. karena kebetulan dokter syaraf di cinere itu juga praktek disana. Ketika di kamar, kebetulan saya masih sempat menggendong Haniy, namun saya coba minta ia berdiri sendiri dan melangkah pelan. ternyata dia bisa meski 2 langkah kecil. namun saya sendiri tidak terlalu "excited", karena bayangan sudah akan rawat inap. Ketika haniy sudah dimobil dengan Mamanya, telpon adik saya masuk dari Payakumbuh. "Da dulu si Bunai (anaknya juga pernah) begitu, bahkan ada seminggu. Kami latih saja dia berjalan" kata Nov adik saya yang dinas di Pemkot.

Siirrrr, saya segera ke mobil yang sudah siap jalan, dimana mesin ada ac nya sudah hidup dari tadi. Segera saja saya turunkan haniy dan saya bujuk agar ia mau berjalan. "Alhamdulillah" ia berjalan beberapa langkah di teras rumah. Saya suruh bolak balik. Bisa. saya suruh berdiri lurus. Bisa. "alhamdulillah!!" saya gendong dia, mamanya pun senyum mau menangis tapi. Mesin mobilpun saya matikan. saya minta ia berjalan sendiri kedalam. Bisa dan dia juga sudah masuk kamar mandi sendiri kata ibunya.

Segera saya telpon teman saya dokter yang dinas di Fatmawati tadi, dan saya ceritakan. Ia tetap menyarankan dibawa ke dokter serta meminta saya browsing di Internet dan mempelajari GBS. Memang GBS merupakan syndrome, dari pada penyakit. Demikian yang saya baca. tapi untuk memastikan walaupun belum menginginkan pemeriksaan cairan otak yang diambil dari tulang punggung, saya sebentar lagi juga akan tetap membawa Haniy yang sekarang tertidur. Akan saya konsultasikan lagi ke dokter syaraf lalu ke dokter anak yang kemaren tidak mau menangani mendengar gejala yang disampaikan isteri. Semoga bermanfaat buat dia dan saya. Saya pun tidak tahu bagaimana pasti kemajuan ini bisa diperoleh Haniy yang sekarang tertidur lelap. Saya pun tidak mengerti, apakah karena obat, atau karena pengaruh demamnya sudah hilang di otot2, ataukah sebab lain. tapi sesuatu yang pasti semua ini tentulah atas izinMU ya Allah....tiada Tuhan selain engkau, engkaulah tempat kami meminta pertolongan. maafkan lah hambaMu yang hina dan penuh kenistaan ini. jauhkanlah kami dari cobaan yang tak akan kuat kami menerimanya ya ALlah. Amin ya rabbal alamin.
Kami pun masih menunggu perkembangan, tapi paling tidak tadi siang Haniy sudah ada kemajuan, semoga ini bisa berlanjut sehingga benar-benar terjauh dari penyakit berbahaya.

(lanjutan)

Akhirnya kami tetap memeriksa Haniy selasa sore ke dokter syaraf (dewasa) yang kemaren mendiagnosa Haniy terkena GBS. Dokter memberikan advice dan obat persediaan. Setelah selesai kontrol kami lanjutkan ke dokter spesialis anak yang mentest juga seluruh gerak motorik Haniy. Ia pun merasa puas dan menyatakan tidak ada apa-apa terkait dengan kelumpuhan. Namun untuk 2nd opinion kami pun di rujuk untuk malam itu juga segera konsul lagi ke dokter spesialis syaraf (anak) lalu kembali ke dokter anak tadi. Perjuangan untuk menentukan jenis penyakit sekaligus penenang batin baru selesai setelah hampir jam 9.30. Haniy menjadi pasien terakhir sang dokter anak yang sangat favorit rupanya dirumah sakit di selatan jakarta itu. Sang dokter sempat juga tertunda datangnya sehingga haniy mulai gelisah dan nangis karena harus visit ke ruangan.

Ketika menunggu dokter anak tadi, saya juga didekati oleh seorang Ibu muda yang mempunyai anak yang baru saja terserang step. Ia menanyakan kenapa anak saya, dan saya pun menceritakan dari A-Z kami pun berpisah setelah itu. Semoga ibu Farah juga dapat mengatasi kegundahannya karena anaknya yang berumur 4/5 tahun masih dalam perawatan.

Akh..indahnya berbagi..kami pun berpisah.
(Nama-nama dokter sengaja tidak kami cantumkan untuk menghidari kesalahan atau pencemaran nama baik di kemudian hari..notes ini hanyalah untuk media berbagi sesama kita, di FB ataupun bukan).


Semoga bermanfaat.

Ada bbrp link terkait ttg GBS, sebagai berikut:
http://www.ninds.nih.gov/disorders/gbs/detail_gbs.htm
http://www.scribd.com/doc/12502746/Penyakit-GuillainBarre-Syndrome-Berbahaya
http://www.scribd.com/doc/12502428/Guillain-Barre-Membuat-Sutini-lumpuh