Monday, March 14, 2005

INTELEKTUAL BERMINYAK

Oleh: Eddy Satriya*)



Telah diterbitkan dalam kolom Majalah Mingguan Forum Keadilan No.45/20 Maret 05.

Sebagaimana halnya sebagian besar lapisan masyarakat, saya juga kaget ketika membaca iklan sehalaman penuh oleh Freedom Institute di harian Kompas (26/2/05) yang secara gamblang mendukung pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Namun saya sangat terperanjat tatkala melihat nama-nama pendukung pengurangan subsidi BBM tersebut. Disana ada nama-nama besar mulai dari pejabat negara yang super sibuk, dosen universitas terkemuka, pemuka masyarakat, pengamat ekonomi, aktivitis LSM, pekerja seni, pengacara, budayawan, mantan menteri dan lain sebagainya.

Saya kemudian menjadi geli sendiri. “Tahu apa mereka semua tentang subsidi BBM?” demikian saya mencoba menghibur diri sekaligus mengurangi rasa penasaran di dalam hati. Mungkin saja di antara nama-nama tersebut memang ada yang tahu sedikit tentang seluk beluk BBM, atau bahkan ada yang sangat mengetahuinya. Namun, apa iya semuanya, sekali lagi semuanya, memahami masalah BBM yang sangat kompleks sehingga berani memasang nama mereka dibawah bendera Freedom Institute yang secara terang-terangan mendukung dinaikkannya harga BBM? Sebegitumudahkah seorang intelektual Indonesia memahami suatu persoalan sektoral pembangunan yang bukan bidangnya? Kalau benar para intelektual Indonesia sebegitu cerdasnya, lalu mengapa kita masih saja terpuruk dan berbagai persoalan tidak terselesaikan?
***

Memahami seluk beluk BBM memaksa kita untuk mengerti banyak hal dan masalah dalam penyediaan BBM. Beberapa diantaranya adalah: (a) Tidak seimbangnya konsumsi dan produksi BBM; (b) Tersebarnya wilayah penghasil minyak di seluruh Indonesia dan terpisah jauh dari pulau Jawa sebagai pengguna terbesar; (c) Belum tercapainya harga berbagai jenis produk BBM yang mencerminkan nilai keekonomiannya; (d) Masih sangat bergantungnya penggunaan energi nasional kepada BBM; (e) Belum berjalannya program diversifikasi dan konservasi energi secara maksimal; (f) Belum efisiennya penggunaan energi secara umum, termasuk BBM; (g) Masih terbatasnya infrastruktur untuk penyaluran BBM; serta (h) Masih belum tersusunnya kebijakan Energy Mix yang sangat diperlukan sebagai acuan komposisi penggunaan energi primer. Berbagai persoalan seputar BBM di atas secara terpisah ataupun bersinergi antara satu dengan lainnya sangat mempengaruhi harga jual BBM, baik untuk kalangan industri, rumah tangga, dan transportasi. Harga BBM yang mempunyai linkage yang sangat erat dan tali temali dengan berbagai sektor lain inilah yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat pendapatan relatif masyarakat ketika subsidi BBM dikurangi.

Sesungguhnya ada dua hal utama yang menjadi pokok persoalan saat ini, yaitu apa dan bagaimana subsidi BBM harus disikapi serta masalah kompensasi. Kelihatannya dua persoalan ini belum dipahami dengan baik oleh banyak kalangan, termasuk kaum intelektual. Kedua masalah ini sering pula dipertukartempatkan atau dicampuradukkan. Subsidi BBM telah disepakati untuk dikurangi dan dihapuskan seperti tercantum dalam Undang-Undang No 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Sedangkan kompensasi menyangkut pengalokasian dana APBN untuk menutupi turunnya pendapatan relatif masyarakat yang terkena dampak kenaikan harga BBM setelah dikurangi atau dihapuskan subsidinya. Kompensasi itu sendiri akan diberikan berupa dana kompensasi BBM untuk sektor-sektor yang sangat mempengaruhi tingkat pengeluaran masyarakat miskin seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, bahan makanan dan lain-lain. Ironisnya lagi, dana kompensasi tidak diberikan kepada sektor energi sendiri yang sebenarnya sangat dibutuhkan masyarakat yang memiliki pembangkit listrik berskala kecil di daerah terpencil, baik yang menggunakan mikro hidro ataupun berbasis minyak diesel.

Dari uraian ringkas di atas, jelas kiranya terdapat suatu hubungan yang tidak sederhana antara subsidi BBM dan pelaksanaan program kompensasi BBM dengan tingkat pemahaman para intelektual. Karena itu, keberpihakan intelektual terhadap penderitaan rakyat yang diakibatkan kenaikan harga BBM menjadi sangat penting.
Sayangnya bukan keberpihakan yang diterima masyarakat miskin, kaum intelektual pendukung penghapusan subsidi ini malah sebaliknya sibuk menyiapkan berbagai argumentasi untuk mempertahankan sikap mereka terhadap rentetan protes yang diajukan masyarakat. Lihatlah pembelaan Rizal Mallarangeng dari Freedom Institute yang diterbitkan Kompas (3/3/05). Rizal dengan nada emosi malah memperluas persoalan dan menantang para penentang kebijakan kenaikan harga BBM ini untuk mengorganisir diri serta memasang iklan dua halaman penuh di Kompas, jika mempunyai dana tentunya. MasyaAllah.
***

Jika menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden langsung tahun 2004 lalu banyak kaum intelektual berpesta (Forum,1/08/04), sekarang giliran mereka berminyak. Ah.., kalau sudah begini: intelektual berpesta, berminyak dan berfulus apalah bedanya? Untuk pemilik nama-nama pendukung dihapuskannya subsidi BBM dalam iklan yang menjadi pokok persoalan, saya hanya bisa menghimbau “semoga tidak ada dusta di antara kita!”
_____
*) Pemerhati Reformasi, menetap di Sawangan-Depok.

Agenda Besar Menanti Depkominfo

Kompas, 14 Maret 2005.


PENANTIAN panjang agar infrastruktur telekomunikasi dan urusan yang berkaitan dengan teknologi informasi dapat dikelola di bawah satu atap berakhir sudah. Melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005, terhitung sejak 31 Januari 2005 Ditjen Pos dan Telekomunikasi telah digabungkan ke dalam Departemen Komunikasi dan Informatika atau Depkominfo.

Peraturan presiden (perpres) tersebut dilengkapi pula Perpres No 10/2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara RI. Peraturan ini memerinci Unit Eselon I Depkominfo yang baru menjadi Sekretariat Jenderal (Setjen), Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel), Ditjen Aplikasi Telematika, Ditjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi, Inspektorat Jenderal, Badan Pengembangan dan Penelitian Sumber Daya Manusia (Balitbang SDM), dan Staf Ahli.

Perkembangan ekonomi dunia dan globalisasi yang dipicu oleh kemajuan sektor teknologi komunikasi informasi (information and communication technology/ICT) sejak pertengahan 1990-an seyogianya diantisipasi secara taktis oleh Pemerintah Indonesia. Ekonomi yang berdasarkan kepada informasi dan yang berdasarkan ilmu pengetahuan telah menjadi kelanjutan dari rangkaian perkembangan ekonomi berbasiskan pertanian serta industri.

Telah menjadi pengetahuan kita bahwa hingga hari ini bangsa Indonesia masih belum berhasil, malah nyaris gagal, mengoptimalkan pembangunan pertanian dan industri untuk kesejahteraan rakyat. Karena itu, konsolidasi institusi berupa penggabungan Postel ke dalam suatu Depkominfo merupakan langkah strategis untuk memajukan pembangunan ICT yang dalam bahasa Indonesia dikenal juga dengan istilah telematika.
Di samping itu, penggabungan Postel jika diiringi kerangka regulasi dan kebijakan tepat diharapkan dapat menciptakan berbagai peluang baru-di luar ekonomi pertanian-dalam memajukan ekonomi Indonesia. Antara lain berupa tambahan penyerapan tenaga kerja, menggairahkan dan menghidupkan kembali industri elektronika di dalam negeri, menciptakan berbagai peluang usaha jasa nilai tambah, serta menumbuhkan entrepreneur muda yang inovatif di bidang telematika.

MESKI demikian, pascapembentukan Depkominfo diperkirakan beberapa tantangan dan agenda besar akan menghadang. Pertama, tantangan internal untuk sesegera mungkin menyusun struktur yang tepat mengisinya dengan orang- orang berkualifikasi sesuai dengan bidangnya. Selayaknya diutamakan pemberdayaan birokrasi internal ataupun lintas kementerian terkait yang memang memiliki SDM untuk posisi yang akan diisi.
Kedua, tantangan mempersiapkan rancangan undang-undang (RUU) baru tentang telematika. Pembatalan UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dan revisi UU No 22/2001 tentang Migas oleh Mahkamah Konstitusi telah memicu keinginan banyak pihak untuk merevisi UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi sebagaimana tertuang dalam salah satu butir Deklarasi Infrastructure Summit yang berlangsung di Jakarta Januari 2005 lalu.

Revisi UU Telekomunikasi dirasakan akan mubazir karena tidak akan menyelesaikan berbagai persoalan dan tuntutan teknologi telematika. Rancangan UU Telematika baru yang didahului oleh kajian akademis dirasakan lebih tepat mengingat masih belum jelasnya nasib RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronis (RITE) dan berbagai RUU terkait lainnya di bidang telematika. Selain alasan di atas, walaupun masih memiliki beberapa kekurangan, penyelenggaraan telekomunikasi sampai saat ini tidak bertentangan dengan konstitusi, dan UU yang ada diperkirakan masih mampu mengantisipasi perkembangan telekomunikasi hingga dua tahun mendatang.

Tantangan ketiga adalah penyempurnaan kebijakan dan regulasi terkait seperti aturan interkoneksi, lisensi, izin frekuensi dan penomoran guna menunjang percepatan proses kompetisi sebenar-benarnya. Hal ini bukan saja diperlukan untuk meningkatkan investasi infrastruktur baru, tetapi dapat meningkatkan tingkat utilisasi infrastruktur yang ada.

Diharapkan dalam waktu dekat ini dapat dikaji rencana untuk merealisasikan flat tariff baik untuk telepon tetap maupun telepon bergerak. Penerapan alternatif flat tariff untuk telepon tetap diperkirakan dapat mempercepat kompetisi, mendorong penggunaan internet, sekaligus meningkatkan average revenues per user (ARPU) secara signifikan.

Berikutnya memilih dan menetapkan aplikasi prioritas telematika yang selain berdampak ekonomis juga dapat menunjang program nasional Kabinet Indonesia Bersatu lainnya, seperti pengurangan tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme. Cukup satu atau dua aplikasi yang memang mempunyai daya dorong kuat untuk kemajuan pembangunan nasional.

Mengingat peran sentral kartu tanda penduduk (KTP), saya mengusulkan percepatan pelaksanaan KTP dengan single ID number yang dapat dipergunakan sekaligus untuk menunjang terlaksananya program electronic government lainnya, seperti pengurusan pajak, surat izin mengemudi (SIM), asuransi kesehatan, pendidikan, dokumen imigrasi, dan pengurusan berbagai sertifikat.

Kelima adalah melanjutkan kewajiban pelayanan universal (universal service obligation/ USO) sehingga jasa telematika dapat dinikmati bukan hanya di kota besar, tetapi sampai ke pelosok Tanah Air, termasuk daerah terpencil dan perbatasan. Pelaksanaan USO sebaiknya tidak lagi menggunakan dana APBN, tetapi dibiayai dari pengumpulan iuran atau berbentuk fee tertentu dari para operator dan industri telematika.

Sebagai sektor lucrative, sudah waktunya dana pemerintah tidak digunakan lagi di sektor telematika, tetapi lebih baik untuk sektor sosial lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan yang sangat dibutuhkan masyarakat tidak mampu. Perlu diperhatikan agar pelaksanaan USO dilakukan secara terintegrasi, baik dari sisi teknis maupun pembiayaan, sehingga masa laku peralatan bisa maksimal yang ditunjang oleh konsep operasional dan pemeliharaan.

Mengingat lokasi daerah yang terpencil, menjadi tantangan pula untuk memberdayakan kembali sistem komunikasi satelit domestik dalam program USO ini, termasuk membuka kembali opsi penggunaan Ku- Band (12-14 Ghz) untuk daerah yang tidak terlalu tinggi curah hujannya.

Terakhir, dengan dibawa sertanya Jasa Pos dan Giro ke dalam Depkominfo, sebaiknya keberadaan Pos dan Giro dimaksimalkan untuk mendukung pelaksanaan e-government dan e-commerce. Ini menjadi penting karena jangkauan pelayanan Pos dan Giro telah sampai ke seluruh kecamatan dan desa yang ada. Bagaimanapun e-government dan e-commerce sangat membutuhkan transportasi dan distribusi logistik andal dengan jangkauan pelayanan yang luas.

Demikianlah beberapa tantangan utama dalam pengembangan telematika pascaterbentuknya Depkominfo. Penggabungan komponen Postel yang lebih bersifat infrastruktur dengan aplikasi teknologi informasi serta sarana informasi lainnya, termasuk Balitbang SDM dan Itjen, sangat diharapkan dapat meningkatkan daya saing industri dan SDM telematika Indonesia di masa depan. Semoga momentum yang ada tidak kembali disia-siakan dan telematika bisa menjadi alternatif penggerak ekonomi dan peningkatan daya saing nasional melengkapi ekonomi berbasis sumber daya alam yang kita miliki.

Eddy Satriya. Senior Infrastructure Economist, Bekerja di Bappenas (www.eddysatriya.blogspot.com )