Showing posts with label ICT. Show all posts
Showing posts with label ICT. Show all posts

Tuesday, August 09, 2011

Mungkinkah Kita Punya Satu Saluran Darurat (911)?

http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/14/mungkinkah-kita-punya-satu-saluran-darurat-911/


Pagi itu saya baru menghabiskan satu putaran jogging di komplek perumahan. Ketika lewat di depan rumah, saya dengar anak bungsu saya berteriak-teriak memanggil Mamanya. Tidak ada sahutan, ia terus berteriak dan semakin kencang serta histeris. Segera saya bergegas masuk rumah, masih dengan sepatu terpasang.  Di kamar kami, isteri saya terkapar tidak sadarkan diri. Ada busa keluar dari mulutnya. Panik! Itulah yang saya rasakan meski saya sempat menenangkan diri sejurus lamanya. Mau telepon? ke siapa dan nomor berapa? Kalau kejadiannya waktu kami sekolah dulu di salah satu negara bagian di Amerika Serikat sana, pastilah saya otomatis sudah menyuruh pembantu atau anakku itu menelpon 911. Sungguh, itu jelas suatu prosedur darurat yang rutin dan harus dilakukan, sementara saya tentu akan bisa leluasa membantu memberikan P3K/First Aid terhadap korban.
Selintas, saya memang ingat ada satu nomor untuk polisi di Indonesia kalau tidak salah 112, juga ada nomor lain untuk ambulance. Namun ketika kejadian itu terus terang saya tidak yakin dan tidak tahu harus menelpon siapa, dan nomor berapa. Sayapun memutuskan segera membawa isteri yang sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri ke unit gawat darurat sebuah rumah sakit yang  terdekat dari rumah. Sambil menjaga kesadaran isteri bisa pulih, sayapun mengoleskan wewangian di hidungnya.
Alhamdulillah, dalam perjalanan ke Rumah Sakit, isteri saya mulai siuman dan segera dimasukkan ke instalasi gawat darurat. Setelah pernafasannya dibantu dengan oksigen, perlahan isteri saya sudah siuman dan kemudian istirahat sambil diperiksa dan diberikan tindakan medis lebih lanjut oleh dokter jaga.
***
Sekelumit cerita di atas memberikan gambaran dan kepastian bagi saya bahwa bangsa kita belum siap dan memang masih tertinggal dalam hal melayani warganya untuk kondisi-kondisi darurat. Apakah itu terkait kesehatan seperti yang saya alami, terkait kejahatan dengan kekerasan atau maling biasa, terkait terorisme ataupun kebakaran dan bencana alam lainnya. Kemajuan dunia telekomunikasi nasional yang sudah cukup baik, belum diikuti oleh aplikasi layanan berstandar nasional ataupun dunia yang sebenarnya logis dan tidak mengada-ada. Meski saat ini Indonesia sudah berada di atas rata-rata dalam hal penyediaan fasilitas telekomunikasi seluler, integrasi layanan yang menguntungkan bagi masyarakat masih sulit diwujudkan karena kelihatannya masih sangat tergantung kepada interest berbagai pihak seperti operator dan kantor2 tertentu sesuai layanan yang harus diberikan.
Pernah kah anda bayangkan ketika suatu saat anda mengalami musibah, katakan kebakaran atau ada kompor meledak, rumah tersambar petir ataupun di suatu malam anda memergoki maling sedang menyatroni rumah atau mobil tetangga? Siapakah yang akan anda hubungi dan di nomor berapa? Memang sekarang sudah ada info terkait dengan mengirimkan sms kalau tidak salah ke nomor 7070, atau saluran dan sambungan lain. Namun bagi saya tetap saja masih membingungkan, karena setiap jenis layanan memiliki nomor berbeda.
Ambil saja contoh berikut. Kota Lahat di Sumatera Selatan mencantum kan No 113 untuk Pemadam Kebakaran, 112 untuk Polisi, dan 123 untuk gangguan listrik (PLN), sementara kota Magelang memiliki no 113 untuk Pemadam Kebakaran, 118 untuk Ambulance, 110 untuk Polisi, 362019 untuk PLN. Surabaya memisahkan Ambulance dengan Ambulance kecelakaan menggunakan dua nomor berbeda pula dan seterusnya. Berbeda kota atau pulau berbeda pula prosedurnya. Padahal semuanya berujung kepada urusan nyawa dan harta benda yang tidak bisa dipisahk2kan seperti penomoran tersebut.
Karena itu sudah seharusnya pemerintah pusat atau kementerian terkait segera mengatur merapikah hal ini. Terserah instansi mana yang harus mengomandani, harus jelas penunjukkannya sehingga tanggung jawabnya masing2 menjadi jelas, sebagai apa dan mengerjakan apa. (Who does what).
Sudah semestinya berbagai nomor yang terlibat untuk kondisi darurat tersebut dapat diintegrasikan menjadi satu nomor saja, lalu dari pengelola nomor tersebut lah semua tanggung jawab diberikan secara terpisah. Kita tidak usah malu meniru sesuatu yang baik. Katakanlah kita berhasil menetapkan nomor 911 sebagai nomor utama pengaduan kondisi darurat, maka operator 911 kemudian bertugas meneruskan permintaan layanan darurat tersebut kepada institusi terkait. Operator harus mampu mengidentifikasi layanan apa yang dibutuhkan korban atau pelapor lalu meneruskannya kepada Ambulance, Pemadam Kebakaran, Polisi, Layanan darurat medis, atau layanan lainnya.
Sesungguhnya ini bukanlah hal yang sulit dan bukanlah sebuah mimpi besar, tetapi sesuatu yang seharusnya sudah tersedia beberapa tahun lalu untuk bangsa sebesar Indonesia ini.
Jadi, janganlah tunggu kepanikan itu datang lagi kepada anda tanpa anda sendiri mengerti harus menghubungi satu nomor “sakti” yang sangat berguna di tengah kepanikan yang terjadi.
Pertanyaannya sekarang, mau kah kita? Atau anda merasa perlu terlebih dahulu mengalami peristiwa panik yang tidak anda inginkan itu datang? Semoga tidak. Amin!
_____
Catatan: Tulisan ini terinspirasi dari hasil diskusi dengan seorang rekan wartawan Media Indonesia, Jakarta.

Tuesday, May 04, 2010

Selular, Broadband, dan Ekonomi

Oleh: Eddy Satriya*)

Telah diterbitkan di Majalah Selular No. 122 Mei 2010

Sebuah fakta menarik diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, M. Hatta Rajasa, ketika menyampaikan Keynote Speech sekaligus membuka Seminar tentang “Broadband Economy” yang diselenggarakan Masyarakat Telematika (Mastel) di Jakarta pada 8 April 2010 yang lalu. Beliau mengutip angka yang mengungkapkan bahwa untuk wilayah DKI Jakarta penetrasi telepon telah mencapai 178 persen, yang diartikan bahwa sudah tersedia 178 sambungan telepon untuk setiap 100 penduduk. Dengan kata lain, hampir setiap orang di Jakarta untuk saat ini telah memiliki 2 pesawat telepon.

Angka ini sejalan dengan data terakhir yang menunjukkan bahwa secara nasional Indonesia saat ini sudah berada di atas rata-rata dunia untuk telepon seluler. Dengan jumlah total sekitar 170 juta pelanggan (belum dikurangi churn) saat ini Indonesia memiliki penetrasi sekitar 74 persen, melebihi rata-rata dunia dengan penetrasi 67 persen (ITU, 2009). Jika ditambah lagi dengan kapasitas telepon tetap terpasang dan pelanggan Blackberry, maka saat ini Indonesia telah memiliki sekitar 180 juta sambungan telepon. Suatu jumlah yang cukup besar untuk ukuran ekonomi negara berkembang.

Namun demikian, jumlah besar saja tidak akan memberi arti penting bagi suatu Negara jika tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal dan merata untuk pembangunan ekonomi.
Tidak bisa dimungkiri bahwa sektor Information and Communication Technology (ICT) telah menjadi pemicu perubahan tatanan ekonomi dunia modern dan globalisasi, yang mengaburkan berbagai batasan dan kekangan yang ada dalam hubungan antarbangsa, juga pola hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya dalam suatu negara. Khusus untuk Indonesia, saat ini ICT bisa dikatakan sebagai satu-satunya sektor di bawah kelompok infrastruktur ekonomi yang mampu memberikan pilihan layanan berkualitas, dan harga bervariasi yang relatif terjangkau konsumen.

Berbagai kemajuan yang telah diraih pada segmen seluler tersebut seyogyanya diikuti pula dengan berbagai layanan modern yang dapat mendorong sektor riil dan produktifitas. Peningkatan produktifitas melalui pemanfaatan infrastruktur informasi saat ini sudah menjadi alternatif yang dipilih berbagai Negara maju maupun Negara berkembang. Bukan hanya melalui penambahan kapasitas telepon seluler, tetapi juga dengan langsung menggelar jaringan fiber optik untuk melayani Internet berkecepatan tinggi (Broadband). Finlandia, Canada, dan beberapa Negara di semenanjung Balkan, telah menggeser penggerak roda ekonomi mereka dari ekonomi berbasis sumber daya kepada ekonomi berbasiskan ilmu pengetahuan (Knowledge Based Economy) yang didukung dengan infrastruktur dan aplikasi informasi. Demikian pula China dan India yang dalam beberapa tahun terakhir sangat gencar menambah kapasitas broadband mereka di sentra industri utama.

Broadband yang memberikan berbagai kemudahan berkomunikasi dan berselancar Internet memiliki dua sisi. Broadband sangat diharapkan dapat memacu produktifitas dan daya saing bangsa. Fasilitas Internet berkecepatan tinggi ini dapat diisi dengan berbagai aplikasi mulai dari e-government hingga e-commerce. Namun pada saat bersamaan juga berpotensi dan sudah terbukti dapat menimbulkan masalah yang tidak mudah dicari solusinya. Dampak teknologi ini tidak tanggung-tanggung. Ia bisa merambah berbagai sektor kehidupan, baik sosial, ekonomi, hingga politik. Berbagai kejahatan, kerah putih hingga terorisme, terbukti telah jauh-jauh hari memanfaatkan berbagai aplikasi yang awalnya disediakan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia ini.

Karena itu, ketika pemerintah dan operator sedang bergiat menggelar jaringan broadband sebagai infrastruktur informasi, peran dunia usaha dalam menyiapkan aplikasi konten yang bermanfaat sangatlah vital. Selain itu, perlu juga dipersiapkan regulasi yang tepat sehingga mampu mendorong lahirnya berbagai content provider (CP) yang kreatif dan membawa muatan lokal. Dengan kata lain, pemerintah haruslah mampu secara jeli menempatkan peran dan tugas yang harus di embankan kepada regulator, operator, maupun CP. Di samping itu pemerintah harus terus menerus tanpa lelah melaksanakan sosialisasi yang tepat kepada masyarakat agar pemanfaatan ICT dapat efektif meningkatkan produktifitas dan daya saing nasional, bukan membiarkan rakyatnya tenggelam dalam kesia-siaan teknologi.

__________
Eddy Satriya, penulis ICT. Saat ini menjabat sebagai Asdep Telematika dan Utilitas, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Pendapat pribadi.

Saturday, January 24, 2009

TELEKOMUNIKASI, INDUSTRI KREATIF, DAN TANTANGANNYA



Oleh: Eddy Satriya
Asdep Telematika dan Utilitas, Kantor Menko Perekonomian. Pendapat pribadi. 

Edited version yang telah diterbitkan  di harian Media Indonesia 23 Januari 2009 halaman 18
       Berlangsungnya proses konvergensi yang sangat cepat antara telekomunikasi, teknologi informasi (TI), dan penyiaran (broadcasting), telah memacu kompetisi yang semakin ketat dan terbuka di sektor telekomunikasi itu sendiri. Kondisi tersebut tidak bisa lagi dihindarkan, baik oleh operator incumbent ataupun pendatang baru. Dengan kata lain, konvergensi telah menggiring terjadinya perubahan pada pola bisnis, tingkat kompetisi, dan penyiapan regulasi. Bagi operator, akhirnya mutu dan jenis layananlah yang menjadi faktor penentu keberhasilan mereka. Sementara itu,  konvergensi ternyata memberikan tantangan yang tidak mudah pula bagi pemerintah dalam mengatur bisnis telekomunikasi. 
   Sejak diberlakukannya UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi, berbagai kemajuan telah dicapai dan hasilnya telah dirasakan langsung pengguna jasa. Sektor telekomunikasi, khususnya telekomunikasi seluler,  merupakan satu-satunya sektor jasa yang mampu memberikan pelayanan dengan harga yang makin terjangkau masyarakat.
 Dijelang krisis ekonomi finansial yang dampaknya mulai terasa di dalam negeri, sektor telekomunikasi masih mampu bertahan untuk memberikan pelayanan terbaik dengan tarif yang kompetitif. Besarnya peluang usaha telah membuka jalan bagi investasi asing, khususnya dalam bentuk kepemilikan operator seluler. Meskipun demikian, perkembangan telekomunikasi di Indonesia juga diwarnai oleh beberapa persoalan yang membutuhkan penyelesaian menyeluruh seperti kesenjangan digital antardaerah, kejelasan tentang menara telekomunikasi bersama, tertundanya pelaksanaan USO Telekomunikasi, dan ketidaksinkronan regulasi dengan pemerintah daerah.
Kinerja Sektor Telekomunikasi
Pertumbuhan sektor telekomunikasi Indonesia pasca UU 36/1999 tidak dapat dilepaskan dari pesatnya pertumbuhan jaringan bergerak nirkabel (wireless). Jumlah pengguna telepon nirkabel di Indonesia pada tahun 2004 mencapai 32 juta. Angka ini kemudian tumbuh menjadi 130 juta pada Juli 2008. Laju pertumbuhannya sebesar 52 pengguna/menit. Sebaliknya, jumlah sambungan telepon tetap (PSTN) justru berkurang sejak tahun 2005. Meskipun belum ada angka resmi, hingga akhir 2008 jumlah total sambungan telepon di Indonesia diperkirakan mencapai 150 juta satuan sambungan.
Liberalisasi perdagangan jasa turut pula mewarnai perkembangan telekomunikasi di Indonesia. Pasar telekomunikasi yang sebelumnya monopolistik mengalami transformasi menuju pasar bebas berbasis kompetisi. Saat ini terdapat sebelas operator layanan telekomunikasi, sepuluh di antaranya bergerak dalam pasar layanan telekomunikasi nirkabel. Sejak besaran tarif interkoneksi diturunkan oleh pemerintah pada tahun 2007, tiga operator seluler terbesar telah menurunkan tarifnya sebesar 44%-70% yang memberikan kenaikan volume percakapan rata-rata pelanggan sebanyak 35%-280%.
Namun demikian, tingginya okupasi jaringan yang didorong oleh perang tarif telekomunikasi telah berpengaruh terhadap turunnya mutu layanan (service level) karena keterbatasan kapasitas jaringan. Bentuk penurunan mutu layanan yang banyak dialami adalah tingkat successful call ratio (SCR) yang rendah, tingginya delay untuk melakukan panggilan, dropped call di tengah pembicaraan, sinyal yang tiba-tiba melemah, hingga kualitas sambungan yang kurang bagus.
Tantangan ke Depan dan Industri Kreatif
Peningkatan kebutuhan akan ketersediaan jaringan, pertumbuhan konten (aplikasi) yang membutuhkan koneksi jaringan yang lebih stabil, dan kebutuhan investasi dalam menghadapi era konvergensi merupakan faktor pendorong bagi operator untuk menaikkan kapasitas jaringannya. Pada era transisi, layanan data diprediksi akan tumbuh dengan lebih pesat dibanding layanan suara.
Pertumbuhan konten multimedia masa depan juga akan menimbulkan pergeseran makna digital divide. Kesenjangan digital antara daerah maju, berkembang, dan terbelakang, serta antar daerah perkotaan dan pedesaan, perlahan-lahan akan mengecil pada layanan teleponi dan Internet. Namun kesenjangan menjadi semakin nyata pada layanan broadband. Dengan kata lain, fokus layanan dan kesenjangan digital yang saat ini berada seputar kuantitas, cakupan, dan akses akan bergeser menjadi kesenjangan dalam hal kualitas dan kapasitas.
Dengan demikian menjadi tantangan pula untuk meningkatkan kerjasama antara penyedia konten (content provider) dengan operator. Ke depan, jika kita menginginkan fasilitas eksisting telekomunikasi untuk meningkatkan produktifitas, sangat diperlukan terciptanya pola kerjasama (pembagian hasil) yang baik antara operator dengan penyedia konten sebagaimana praktik di banyak negara maju.
Dicanangkannya tahun 2009 sebagai tahun Industri Kreatif Indonesia oleh Presiden, jelas memberikan tantangan tambahan dalam pengelolaan industri telekomunikasi nasional karena industri kreatif merupakan aplikasi telematika yang sangat mengandalkan ketersediaan infrastruktur.
Lepasnya berbagai tender pelaksanaan proyek animasi internasional dari penggiat animasi di dalam negeri sering kali disebabkan oleh terbatasnya ketersediaan infrastruktur broadband jika dibandingkan dengan ketersediaan pekerja seni yang andal. Namun patut juga dicatat bahwa saat ini sudah semakin banyak pelaku industri TI kita yang memperoleh berbagai pekerjaan lepas dari beberapa industri besar di luar negeri.
Menyatukan potensi yang berserakan dalam bidang aplikasi ini serta merangkul para IT profesional tentu juga menjadi tantangan yang tidak mudah bagi pemerintah dan pengusaha kita. Karena itu, disamping mendorong peningkatan di sisi aplikasi telematika seperti e-commerce, e-government dan industri kreatif, maka institusi terkait  sebaiknya juga segera menyelesaikan beberapa pekerjaan rumahnya. Sebut saja menyelesaikan cetak biru industri Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) nasional, menyiapkan RUU TIK yang lebih komprehensif, menyelesaikan kekisruhan soal menara dan retribusi dengan pemerintah daerah, serta menyempurnakan bentuk dan fungsi badan regulasi telekomunikasi.
Sebagai penutup, kejelian aparat pemerintah untuk memenuhi permintaan dan kebutuhan yang berkembang dimasyarakat juga tidak bisa diabaikan. Jutaan fasilitas telekomunikasi yang tersedia saat ini kiranya bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan nasional seperti halnya sosialisasi Pemilu yang masih dirasakan kurang.
Memang sudah saatnya bersama TIK kita bisa!
______

Monday, January 19, 2009

Memanfaatkan Infrastruktur Eksisting TIK dalam Menyongsong Knowledge Based Government

Sabtu, 27 Desember 2008 06:00 Wartaegov.com

Kiranya memang sangat pantas penulis dan penyair Thomas Sterns Eliot, kelahiran St. Louis, Missouri, Amerika Serikat, memenangkan hadiah Nobel bidang literatur pada 1948. Jauh-jauh hari melalui salah satu kumpulan puisinya, ia telah mengingatkan kita semua akan pentingnya rangkaian hubungan informasi (information), ilmu pengetahuan (knowledge), dan menjadi bijak (wisdom).

Karya lawas TS Eliot ini terasa semakin kontekstual dan relevan dalam proses pembangunan suatu bangsa, termasuk Indonesia, yang saat ini terus berupaya meningkatkan perannya di kancah internasional.

Karena itu, badai krisis finansial global yang terjadi akhir-akhir ini sudah selayaknya dijadikan sebagai “wake up call” yang dapat membangkitkan semangat kita mencari terobosan dalam melaksanakan pembangunan di berbagai bidang. Di samping itu, krisis tersebut seyogyanya dapat menambah keyakinan kita bahwa pada akhirnya Indonesia harus mampu “berdiri di atas kaki sendiri” karena sebagai sebuah bangsa yang besar, kita memang memiliki potensi sekaligus pasar yang besar pula.

Setelah berjuang dalam berbagai tahapan pembangunan sejak Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, hingga Orde Reformasi yang memberikan titik berat pembangunan kepada bidang yang berbeda-beda, maka sekarang sudah waktunya pula untuk mencari terobosan baru. Salah satu terobosan yang saat ini patut dicoba adalah pemanfaatan berbagai “gadget” atau fasilitas elektronika telekomunikasi yang sudah ada di sekitar kita. Khususnya pemanfaatan berbagai sarana dan prasarana yang telah kita miliki di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Tidak banyak yang menyadari betapa telah meningkatnya kapasitas telekomunikasi terpasang saat ini. Jika dibandingkan dengan kondisi akhir Pelita VI pada 1988/89, dimana kita baru memiliki kapasitas terpasang sekitar 8,5 juta satuan sambungan (ss), maka diperkirakan 10 tahun kemudian pada 2008 ini kita akan memiliki tidak kurang dari 110 juta ss sebagai kombinasi dari telepon tetap, telepon bergerak (GSM), dan fixed wireless access (FWA). Jelas ini suatu peningkatan signifikan yang memberikan penetrasi tidak kurang dari 50% jumlah penduduk Indonesia sendiri. Demikian pula dengan aksesibilitas internet yang mulai menyebar dengan harga yang lebih terjangkau.

Memperhatikan ketersediaan layanan telekomunikasi dan internet tersebut, yang kemudian juga didukung oleh terbitnya UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta berbagai kemajuan aplikasi TIK yang telah dicapai pihak swasta, maka sudah selayakya potensi yang tersedia di sektor TIK ini segera diberdayakan.

Menjadi pertanyaan sekarang, untuk apa sebaiknya dimanfaatkan? Pihak pro-ekonomi, tentulah lebih cenderung mengutamakan pemanfaatan fasilitas itu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Beberapa indikator TIK seperti kepadatan telepon dari dulu memang telah dipercaya mempunyai korelasi yang erat dengan pertumbuhan PDB suatu negara (Jipp, 1963).

Saat ini Indonesia telah memasuki era transisi dari ekonomi pertanian dan industri menuju ekonomi informasi dan pengetahuan. Meski memiliki keterbatasan dalam penguasaan teknologi secara umum, namun dalam hal pemanfaatan TIK untuk kegiatan ekonomi kita sesungguhnya tidaklah tertinggal jauh.

Bahkan sebagian masyarakat di kota besar tergolong lebih maju dan “melek” dengan teknologi dan “gadget” TIK. Sebagai contoh, pada 1997 masyarakat kita sudah terbiasa menggunakan e-Banking untuk berbagai keperluan seperti pembayaran kartu kredit, tagihan listrik dan telepon. Padahal ketika itu masyarakat di Amerika Serikat dan Eropa masih repot menuliskan check untuk tujuan yang sama.

Sedangkan keinginan untuk memanfaatakan TIK dalam proses demokrasi kelihatannya masih harus ditunda karena terbukti di bidang politik, giliran bangsa kita yang belum bisa mengubah budaya pemilihan manual ke pemilihan online atau e-Democracy.

Memperhatikan berbagai proses birokrasi dan ketatanegaraan yang terjadi sejak turunnya Presiden Suharto pada 1998, penulis cenderung mengoptimalkan pemanfaatan prasarana dan sarana TIK yang ada saat ini untuk melakukan terobosan dalam reformasi birokrasi. Dengan kata lain, kita harus segera memulai era Knowledge Based Government atau KBG. Karena sangat jelas terlihat bahwa setelah lebih dari 10 tahun melakukan reformasi, kualitas birokrasi dan mutu pelayanan publik kita semakin menurun.

Hal ini terbukti dengan makin banyaknya institusi ataupun pejabat yang masih terus melakukan pelanggaran birokrasi seperti melakukan praktek KKN yang tercela itu. Berbagai rentetan panjang praktek KKN terus berlangsung dan tidak terbendung seperti di Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2004 lalu; suap menyuap di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Kejaksaan; penyelewengan dana APBN di Departemen Kelautan dan Perikanan serta Depdagri; hingga terbongkarnya dugaan praktek penyelewengan dana Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Dephukham yang ironisnya, justru memanfaatkan fasilitas TIK melalui situs online www.sisminbakum.com.

Di samping penyelewengan, tercatat pula beberapa kali dana APBN tidak mampu dimanfaatkan dengan baik untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat di berbagai layanan publik. Fasilitas TIK masih sangat minim digunakan untuk melayani penyediaan informasi bagi petani dan nelayan, untuk pendidikan jarak jauh, hingga pelayanan kesehatan. Meski sudah mulai digunakan, prasarana TIK masih belum dimaksimalkan untuk suatu proses e-Budget, pelayanan KTP, dan paspor secara online. Masih tertutupnya pengelolaan sektor migas yang belum memanfaatkan web-based management system, telah mendorong terbitnya hak angket. Memang sebagian besar aktivitas birokrasi dan fungsi pelayanan pemerintah masih bersandarkan kepada cara-cara manual yang tidak efisien dan efektif dan rawan praktek KKN.

Jika kita memang ingin membuat terobosan dan lompatan yang ditunggu-tunggu rakyat sejak lama, maka sudah selayaknya berbagai langkah pemanfaatan konvergensi TIK untuk pelaksanaan kegiatan kepemerintahan (Knowledge Based Government) harus segera dirancang dan dilaksanakan.

“Dengan TIK kita bisa!”

Oleh: Eddy Satriya (Asdep Telematika dan Utilitas di Menko Perekonomian)

Monday, September 01, 2008

Kebebasan Pers, Telematika, dan Nasionalisme

Senin, 1 September 2008 | KOMPAS

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/01/00571878/kebebasan.pers.telematika.dan.nasionalisme
Bisa juga dilihat di : http://www.scribd.com/doc/12772677/KOMPAS-Cetak-Kebebasan-Pers-Telematika-Dan-Nasionali


Menahan geram, saya terpaksa mengucapkan kata-kata yang tergolong kurang sopan sebagai jawaban getir atas pertanyaan seorang wartawan tentang penayangan rekaman percakapan yang diduga berasal dari kokpit pesawat Adam Air yang jatuh di Majene, awal tahun 2007.

Betapa tidak, rekaman teknis pilot dan kopilot yang semestinya digunakan kalangan sangat terbatas telah diberitakan sedemikian rupa di layar kaca tanpa menghiraukan dampaknya terhadap keluarga para penumpang dan awak pesawat. Ditambah dengan teknik editing dan kombinasi visual kepanikan di kokpit pesawat, tak pelak lagi tayangan itu semakin eyes catching, membuai penonton melupakan aspek kemanusiaan bagi keluarga korban. Apalagi, terhadap kepentingan umum yang lebih luas, seperti dampak ekonomi sanksi larangan terbang oleh Uni Eropa terhadap penerbangan nasional.

Seiring proses demokratisasi yang berjalan cepat, saat ini pers nasional memang sedang menikmati surga kebebasannya. Namun, selayaknya kebebasan itu juga disesuaikan dengan kepatutan dan hukum yang berlaku.
Penyebarluasan isi ”black box” Adam Air tersebut menegaskan tingkat profesionalisme pers kita. Yang cukup mengherankan pula kenyataan bahwa hingga saat ini belum terdengar langkah konkret dari pihak kepolisian, Departemen Perhubungan, hingga Komisi Penyiaran Indonesia terhadap insiden ini.

Berlandaskan etika
Pemberitaan yang mengumbar kesedihan berlebihan serta berita tragis, seperti kasus Adam Air, bukan hanya sekali ini terjadi. Sudah sering. Dahulu ketika musibah tsunami melanda Aceh, jelas kita menyaksikan reporter dari sebuah stasiun teve berhasil ”menggiring” seorang korban yang kehilangan anak gadis dan belasan anggota keluarga lainnya untuk menyanyikan lagu kesayangan sang anak. Belum puas, reporter tersebut masih membujuk sumber berita itu untuk menyanyikan satu bait lagu lagi yang tentu saja tak mampu dilanjutkan oleh sang ayah.

Di tengah kebebasan pers yang harus dijunjung tinggi, tidak ayal lagi rentetan kupasan kejadian musibah pesawat di Indonesia ini tentu saja patut diduga berkorelasi dengan dijatuhkannya berbagai travel ban oleh beberapa negara, bahkan hingga larangan terbang maskapai penerbangan nasional—tanpa kecuali—ke Benua Eropa.

Menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana seharusnya media massa dan insan pers menyikapi suatu bahan pemberitaan? Apakah memang sudah tidak ada lagi pertimbangan yang berlandaskan etika, kepatutan, hingga hukum tentang suatu kebenaran isi berita sebelum disebarluaskan?

Alasan pembenaran
Kemajuan dunia telematika atau sekarang dikenal juga dengan teknologi komunikasi informasi) memang menjanjikan berbagai kemudahan dan ketersediaan aplikasi yang sangat canggih. Saking canggihnya, terkadang bisa menggiring orang untuk lupa diri akan waktu, tanggung jawab, hingga kepatutan.

Kemudahan berselancar di internet serta tersedianya berbagai search engine dan portal berita media massa modern dunia di layar komputer, selain mempermudah tugas para wartawan, juga meningkatkan persaingan dalam bisnis berita ini.

Namun, ketatnya tingkat persaingan dan kemampuan berinovasi yang berkaitan erat dengan rating dan jumlah iklan, tentu saja tidak pantas menjadi alasan pembenaran untuk menyebarluaskan berita yang kurang pada tempatnya.

Saya mengalami kejadian cukup menegangkan pada Februari 2001 dalam penerbangan malam Jakarta-Singapura menggunakan Singapore Airlines (SQ). Meski tidak banyak penumpang di baris belakang yang melihat langsung percikan api di mesin sebelah kiri, proses berlangsungnya kebakaran yang dimulai ledakan itu jelas sangat menakutkan.

Jerit histeris seorang ibu kepada suaminya yang panik di depan saya ketika melihat percikan dan bunga-bunga api membuat suasana semakin mencekam, hingga akhirnya terdengar suara pilot yang mengumumkan bahwa mesin yang terbakar tersebut berhasil dipadamkan. Meski pesawat terlambat sekitar 30 menit dari jadwal, saya sendiri mengalami shock berat pertama kali yang membuat saya mematung di Bandara Changi sekitar 20 menit menunggu bagasi. Padahal, sudah lebih dari setengah jam koper yang saya cari-cari itu tergeletak dihadapan saya.
Namun, sungguh menakjubkan. Nyaris tidak ada pemberitaan menghebohkan tentang insiden terbakarnya mesin pesawat SQ itu keesokan harinya, apalagi tayangan berulang-ulang ala televisi di Indonesia.

Pembodohan
Bukan perkara mudah menyikapi kemajuan telematika yang bisa disalahgunakan tanpa mempertimbangkan rasa kemanusiaan di tengah kebebasan pers saat ini. Kemajuan telematika secara psikologis menggiring penggunanya untuk malas berpikir ulang serta melakukan check dan recheck karena semuanya serba mudah dan serba cepat.

Untuk kasus ”black box” Adam Air seperti diuraikan di atas, bukan pribadi atau keluarga korban yang dirugikan, melainkan juga ekonomi dan martabat bangsa. Berbagai usaha perbaikan yang dilakukan Garuda Indonesia ataupun pemerintah menjadi sia-sia.
Pasar penumpang domestik dan luar negeri menjadi sasaran empuk berbagai penerbangan asing dengan kualitas layanan tidak selalu jauh lebih baik daripada Garuda atau maskapai penerbangan nasional lainnya.

Jebolnya ruangan penumpang pesawat Qantas yang terpaksa mendarat darurat di Manila serta jatuhnya Spanair sehabis tinggal landas baru-baru ini mengingatkan kita bahwa kecelakaan bisa mengintai dan terjadi di mana pun, baik di Medan, Yogyakarta, Madrid, atau di atas udara Hongkong. Di atas itu semua, nasionalisme sebaiknya tetap menjadi pertimbangan yang tidak boleh dilupakan dalam implementasi berbagai kebijakan.

Telematika dengan berbagai perangkat regulasi yang ada sekarang, termasuk Undang-Undang Penyiaran dan keberadaan Dewan Pers, hendaknya mampu meluruskan berbagai pelanggaran yang berlindung di balik kedok kebebasan pers.
Terkadang, seperti sering dihujat masyarakat, kebebasan itu juga sangat kental dengan pembodohan hingga usaha-usaha penipuan berupa undian melalui telepon atau SMS yang entah kapan akan ditertibkan. Semoga telematika bisa digunakan untuk kemajuan ekonomi dan meningkatkan martabat bangsa, bukan sebaliknya.

Eddy Satriya Asdep Telematika dan Utilitas di Menko Perekonomian.
Dapat dihubungi di eddysatriya.wordpress.com

Tuesday, July 15, 2008

Acungan Jempol Untuk PSB-Online.

Oleh : Eddy Satriya
(hanya untuk online publishing)

Keberhasilan di Republik ini memang sulit untuk didesiminasikan. Sebaliknya, permasalahan dalam berbagai bentuk telah menjelma menjadi momok menakutkan dan selalu diperbincangkan sehingga tanpa disadari secara mudah dikomunikasikan kepada setiap orang.

Kebebasan pers telah banyak dimanfaatkan, tetapi tidak untuk berita yang menyenangkan dan menghibur masyarakat yang sudah haus akan berita keberhasilan dan keteduhan.Karena itu jangan heran jika berita tentang aplikasi telematika di bidang pendidikan seperti Sistem Penerimaan SIswa Baru yang secara langsung, real-time, on-line disediakan oleh Depdiknas dan jajarannya ini, juga luput dari pemberitaan positif. Keberhasilan PSB-Online (kita singkat saja demikian) malah langsung tertelan berita negatif tentang mahalnya harga buku yang menjadi kepala berita di beberapa surat kabar hari ini (Kompas, 15/7/08).

Tdak bisa dimungkiri, Ditjen Dikmeneti dan Dikdasmen serta DInas Pendidikan DKI telah memberikan sumbangan yang besar terhadap majunya PSB yang beberapa waktu lalu masih manual. Berbagai proses yang berlandaskan transparansi, keadilan, dan pelayanan prima telah menggantikan proses PSB yang manual, bertele-tele, penuh resiko kesalahan kalkulasi dan pemeringkatan. SIngkat kata, selain tidak mengenakan biaya, PSB-Online secara nyata telah memberikan sumbangan yang sangat besar kepada orang tua murid dalam hal biaya dan efisiensi waktu. PSB-Online ini bisa dicermati di URL : http://dikmentidki.psb-online.or.id .

Bayangkan, hanya dengan mendatangi salah satu sekolah negeri penyelenggara terdekat orang tua atau siswa telah bisa mendaftar dengan praktis untuk memilih sekolah yang diinginkannya. Disesuaikan dengan jumlah nilai UAN yang diperoleh dan jarak tempuh dari rumah ke sekolah, siswa dan orang tua murid bisa membidik sekolah yang diinginkan. Pilihan juga diberikan lebih dari satu, yaitu lima pilihan yang memungkinkan siswa diterima di salah satu sekolah.

Pentahapan pun diberikan dua kali. Tahap I ditujukan untuk semua siswa dari kota bersangkutan dan 5% siswa dari luar kota. Sedangkan tahap II disediakan bagi siapa saja untuk kembali memilih 5 sekolah yang diinginkan jika tidak diterima pada tahap I.Informasi tentang sekolah dan berbagai informasi lain disediakan pula secara langsung di seluruh sekolah negeri (SMP/K maupun SMA/K) negeri dan juga online di website yang ditunjuk Depdiknas.Sungguh, sebagai orang tua kita dapat merasakan betapa kemajuan pesat telah berhasil di mulai dan diteruskan untuk sekolah tingkat SMP dan SMA.

Bukan hanya untuk Jakarta, PSB-Online juga telah dijalankan di kota PAdang, Yogya, Bojonegoro, TUban, dan Malang.Membiasakan untuk menyediakan sistem online bukanlah hal yang terlalu sulit. Asalkan pimpinan tertinggi daerah, apakah itu Gubernur, BUpati, atau Walikota, sudah memiliki keinginan untuk melaksanakan reformasi pelayanan publik, maka akan banyaklah sistem sejenis yang dapat di implementasikan. Jelas sistem online yang berdasarkan pemanfaatan aplikasi telematika ini bisa dan terus akan berkembang ke sektor-sektor lain.

Karena itu, sebelum berita sukses ini tenggelam oleh berita negatif lainnya disektor pendidikan seperti mahalnya harga buku, susahnya mendownload buku elektronik, atau berbagai iyuran yang menjerat orang tua, sudah selayaknya kita bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada para aparat Pemda terutama Dinas Pendidikan terkait di beberapa kota seperti diuraikan diatas.

Sekali lagi, acungan jempol pantas diberikan untuk PSB-Online ini, dan tentu besar harapan kita cara ini bisa ditularkan untuk Penerimaan Mahasiswa Baru yang juga setiap tahun membutuhkan kompilasi data dengan variabel yang lebih kompleks. Semoga Ditjen Dikti bisa belajar dari "adiknya" Ditjen Dikdasmen.

Semoga.

Monday, June 02, 2008

Penertiban DKI Hambat Teknologi Komunikasi



Menara Seluler
Penertiban DKI Hambat Teknologi Komunikasi

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/02/01032484/penertiban.dki.hambat.teknologi.komunikasi

Kompas/ Senin, 2 Juni 2008

Percepatan pembangunan infrastruktur yang digalakkan pemerintah akan mengalami hambatan lagi. Kali ini hambatan justru datang dari pemerintah daerah. Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 89 Tahun 2006 tentang Menara Bersama, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memerintahkan pembongkaran sekitar 1.700 menara seluler di wilayah Jakarta (Kompas, 28/5).

Sementara itu, pembangunan sektor teknologi komunikasi informasi, khususnya telekomunikasi, terus dipacu mengingat Indonesia memang tertinggal dalam hal penetrasi. Keterbatasan infrastruktur telekomunikasi telah mengurangi akses masyarakat terhadap informasi dan pengetahuan yang diperlukan dalam menghadapi globalisasi.

Ketika internet menyediakan potensi tak terbatas dalam mengakses informasi dan pengetahuan, Indonesia baru memiliki pelanggan internet sekitar 2 juta orang dan hampir 20 juta pengguna. Suatu jumlah yang tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain yang setara.

Namun, rakyat Indonesia dan pemimpinnya sudah selayaknya bersyukur mengingat kekurangan infrastruktur telekomunikasi selama ini telah dapat dikejar melalui pengembangan sistem telekomunikasi bergerak atau yang lebih dikenal dengan seluler, baik melalui platform GSM, CDMA, dan jenis lainnya.

Stagnasi pembangunan telepon tetap, yang hanya mampu sampai angka 10 juta satuan sambungan hingga akhir tahun 1999, dijembatani dengan pembangunan sistem seluler hingga mencapai total sekitar 100 juta pengguna pada kuartal ketiga 2007. Lompatan penetrasi yang menakjubkan guna menyambut datangnya era ekonomi baru.

Demi efisiensi

Percepatan pembangunan tersebut memungkinkan rakyat memiliki berbagai jenis perangkat telekomunikasi dalam genggaman mereka. Meski sebarannya masih belum merata, di samping untuk berkomunikasi, dewasa ini kita saksikan pula berbagai lapisan masyarakat telah menggunakan telepon seluler untuk kegiatan ekonomi.

Sebut saja petani, pedagang sayur atau sembako yang dengan cepat telah mampu mengetahui perubahan harga di pasar tanpa jeda waktu. Begitu pula penjual bakso, siomay, nasi goreng keliling, hingga berbagai jenis makanan dari restoran cepat saji berskala internasional telah memanfaatkan fasilitas komunikasi canggih ini untuk melayani pelanggan mereka.

Karena itu, turunnya perintah pembongkaran 1.700 menara seluler dari Pemprov DKI tentu saja akan merugikan konsumen. Meski akhirnya beberapa menara harus digabungkan demi efisiensi, transisi masa pembangunannya dipastikan akan menimbulkan masalah.

Menjadi pertanyaan, apakah langkah pembongkaran tersebut memang alternatif yang harus dilakukan? Dan mengingat peraturan tersebut diterbitkan tahun 2006, apakah menara yang harus dibongkar adalah menara yang dibangun setelah peraturan gubernur itu diterbitkan? Ataukah semua yang melanggar keindahan dan perizinan?

Kita memahami keinginan Pemprov DKI menata bangunan. Namun, kita juga menyaksikan sendiri banyak bangunan lama, baru, dan yang sedang berjalan, secara kasatmata juga mengganggu keindahan ataupun memiliki izin yang mungkin bermasalah.

Apalagi banyak bangunan yang sangat mengganggu dan menghambat lalu lintas yang merugikan masyarakat dalam jumlah dan skala ekonomi jauh lebih besar tanpa sedikit pun upaya penertiban, apalagi pembongkaran oleh Pemprov DKI.

Belum hilang ingatan ketika sebuah hotel mewah di Jakarta Selatan bermasalah dengan jumlah lantainya, pembangunan pusat perbelanjaan di jantung kota yang justru mengganggu fungsi jembatan Semanggi yang berujung kepada makin parahnya kemacetan, atau pembangunan underpass sekaligus overpass di sebuah pusat perbelanjaan terkenal di Jakarta Selatan justru tidak memberikan fasilitas penyeberangan bagi pejalan kaki.

Kita menyaksikan bangunan baru pengganti Hotel Indonesia yang telah berhasil menyulap lapangan tenis, kolam renang, dan fasilitas olahraga menjadi pertokoan mewah, justru diberikan izin menggunakan entrance dan exit di jalur protokol utama yang membuat pengendara mobil atau roda dua di jalur lambat harus ekstra hati-hati.

Mengambil kesempatan

Memerhatikan situasi terakhir ini, diperkirakan penertiban menara seluler akan berdampak buruk bagi pelayanan jaringan ponsel. Sekarang saja—setelah perang tarif—sudah terdengar banyak keluhan akan tingkat keberhasilan panggil (succesfull call ratio) dari pengguna jasa.

Jika pembongkaran dan perbaikan fisik perangkat menara baru memakan waktu rata-rata dua bulan saja, bisa dibayangkan kerugian yang harus ditanggung konsumen dan operator.

Sekali lagi, kita memahami maksud penertiban dari Pemprov DKI. Adalah bijak untuk mengurangi jumlah menara tersebut di samping kemudian membatasi pengeluaran izin baru yang tidak mempertimbangkan keindahan dan efisiensi penggunaan menara bersama.

Dikhawatirkan penertiban oleh Pemprov DKI ini dapat menyulut keinginan serupa beberapa pemprov atau pemkot di daerah, terutama di beberapa kota besar yang telanjur pula menjadi rimba menara seluler.

Jika DKI mengambil alasan estetika dan keindahan, pemprov atau pemkot lain bisa saja mengambil kesempatan dengan berbagai alasan berbeda. Kalau ini terjadi, bisa dibayangkan hambatan dan kerugian yang akan menghadang saat kita harus bergerak cepat membangun infrastruktur telekomunikasi menyongsong ekonomi baru.

Memang diperlukan sinkronisasi, koordinasi, dan kerja sama yang baik melaksanakan pembangunan yang mengatasnamakan kepentingan publik. Semoga keinginan yang betapa pun benar secara konseptual bisa diserasikan dengan kebutuhan riil masyarakat dan disesuaikan dengan kondisi nyata di lapangan.

Eddy Satriya Mantan Sekdekom PT Telkomsel, Sekarang Bekerja di Kantor Menko Perekonomian. Blog: eddysatriya.blogspot.com Email: satriyaeddy@gmail.com

Tuesday, May 27, 2008

Telah Terbit Versi Digital Buku "DARI DISKUSI AKHIR TAHUN TELEMATIKA INDONESIA"

Dear all,

Dengan ini diberitahukan bahwa telah terbit versi digital buku "DARI DISKUSI AKHIR TAHUN TELEMATIKA INDONESIA" sebagai rangkuman diskusi yang telah kita selenggarakan pada tanggal 27 Desember 2007 yang lalu.

Mohon maaf, karena berbagai keterbatasan kami maka buku tersebut baru bisa sampai ke "hard disk" anda sekarang.

Semoga bermanfaat. Kritik, saran, koreksi atau umpatan silakan layangkan ke alamat atau email seperti tertera di halaman pengantar buku tersebut.

Terima kasih atas partisipasi anda semua, tanpa kecuali.

Wassalam,

Eddy Satriya

Saturday, May 17, 2008

Permen Kominfo Menara Telekomunikasi: Keengganan Berkoordinasi yang Harus Dibayar Mahal

Sehubungan dengan ribut-ribut tentang menara telekomunikasi tempo hari, saya infokan bahwa telah terbit Surat Menko Perekonomian selaku Ketua Harian Timnas PEPI No S-46/M.EKON/ 04/2008 tertanggal 28 April 2008 Perihal "Permohonan Peninjauan Kembali Peraturan Menkominfo No.02/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan Menara Bersama Telekomunikasi" yang isinya pada intinya meminta Menkominfo menyesuaikan Permen khususnya pasal 5 ayat 1 dan 2 dengan UU 25/2007 dan Perpres 111/2007.

Sungguh suatu niat baik dari Kominfo (Ditjen Postel) yang ingin "memproteksi" bagian "civil-work" dari pekerjaan menara dari pihak asing, yang akhirnya kandas karena keengganan berkoordinasi sesuai tata cara birokrasi yang sudah ada selama ini.

Saya sendiri ikut prihatin masalah koordinasi diselesaikan dengan cara "talk show" yang akhirnya mendorong institusi yang berada pada posisi lebih kuat menutup diri dan cepat-cepat mengeluarkan surat keputusan yang sepertinya bersifat final. Seandainya pun ingin coba di "appeal" pastilah costnya bagi industri menjadi lebih besar karena ketidakpastian akan transisi peraturan berarti delay perencanaan yang harus dibayar mahal.

Sekali lagi, sunggu sebuah pil pahit bagi kita semua yang masih mengabaikan koordinasi di tingkat birokrasi, meski niatnya sangat mulia. Seperti saya sampaikan dalam diskusi di Bidakara yang dilaksanakan Indef (14/5), masih banyak hal sejenis dengan ruang lingkup pekerjaan jauh lebihbesar seperti pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus, Pembangunan JEmbatan Suramadu, dan Pembangunan Papua, bisa diselesaikan dengan baik (meski bukan tanpa masalah) jika kita memang mau berkoordinasi dengan niat baik dan prasangka baik.

Salam prihatin,

ES

Friday, May 16, 2008

PERJALANAN PANJANG TIK NASIONAL MENUJU EKONOMI BARU

Draft-1 dari sebuah cerita panjang yang coba saya ringkas untuk memperingati momentum seabad Harkitnas. Banyak yang terlewat, tapi lebih baik ada dan nyata dari pada menunggu sempurna dalam pikiran saja.

Your prompt comment is highly appreciated!

Selengkapnya.......

Draft-2...................

Friday, May 09, 2008

Gates Addresses 3000 people in Jakarta

Technology Leads to Prosperity

Published in Ohmynews Intl.
Microsoft founder Bill Gates opened his speech to a crowd of 3,000 people in Jakarta, Indonesia, on Friday by exploring the rapid changes of Information and Communication Technology (ICT).

Gates cited the global growth in the number of personal computers (PCs) available, up from 241 million in 1996 to 1.1 billion in 2008, in the number of broadband bandwidth subscribers, up from 0.1 million in 1996 to 264 million in 2006, and in the percentage of cellular subscribers, up from only 1 percent in 1994 to 41 percent in 2006.

He also mentioned how the capacity and the capability of PCs have doubled every two years over the last decade. He underlined that these advances in ICT would not slow down.

Gates then illustrated his speech with slides, showing how the next wave of business productivity would involve unified communication, social computing, enterprise search and business intelligence. He also congratulated President Susilo Bambang Yudhoyono for improving ICT infrastructure in Indonesia but reminded the country of the need for improving skills and continuing to prepare the national plan for economic development.

As for Microsoft advances, Gates told the crowd that his giant company was now preparing natural user interface software that could make four systems available through speech recognition, pen, vision or watching, and gestures. In addition, Gates assured the audience that in the next decades TV development would be Internet driven.

Before closing his speech, Gates showed the crowd of how his company has been trying to make a combined satellite-telescope system with specially designed software to explore the universe. Gates ended his presentation by giving an example of how an elementary student can explore the stars and use the software to learn more planet Earth.

President Yudhoyono introduction addressed them basic questions to Gates: 1) How will the world change? 2) How do we employ technical stuffs to resolve the issues of our time, such as poverty and global warming? And 3) how do we fit humanity issues into today's rapid changes.

The lecture also provided a half hour question and answer session. Six participants, including businesspeople, journalists, regular citizens and university students addressed questions to Gates and Yudhoyono.

When a student asked about the recipe for progress in a giant software business, gates just remind the audience not to quit school as he had done. He underlined that students should finish their studies first in order to have a broader vision for their future.


Friday, April 11, 2008

Sekilas Laporan Hasil Rakor Bidang Perekonomian di Depkominfo

(Catatan: Laporan ini adalah versi pribadi, sebagai bentuk tanggung jawab kepada komunitas ICT di Indonesia. Laporan lengkap mestinya bisa didapat dari Depkominfo atau Humas Menko Bidang Perekonomian. Mudah2-an tidak melanggar UUITE)

Selengkapnya.....

Friday, January 18, 2008

Diskusi ICT ke Depan di Press Talk

Courtesy of Press Talk

Sebagai salah satu hasil Diskusi Akhir Tahun Telematika Indonesia yang diselenggarakan di Kantor Menkno Bidang Perekonomian tanggal 27 Desember 2007 yang lalu, telah dilangsungkan pula diskusi di media TV. Saksikanlah diskusinya yang akan ditayangkan pada tanggal Senin 21 Jan 08 jam 23.00; atau Rabu 23 Jan 08 jam 07.00 di QTV. Tambahan disiarkan pada Jumat 25 Jan 08 jam 14.00 di SWARA.
Selamat menyaksikan dan kami tunggu komentarnya, tentang apa saja. For further detail pls click here.



Wassalam,



Eddy

Friday, December 21, 2007

DISKUSI AKHIR TAHUN TELEMATIKA INDONESIA

TEMPORARILY POSTED

Untuk detail undangan tgl 27 Desember 07 silakan klik disini.

Hasil seminar dan bahan pengantar telah di posting di file Milis Mastel-Anggota dan Telematika. Notulen dapat diclick disini.

Tks,

Eddy Satriya

Monday, March 26, 2007

Tukul, DPR, dan "Laptop Mania"

Harian Kompas 26 Maret 2007
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0703/26/iptek/3410764.htm


Akhirnya, salah satu aplikasi telematika, yaitu rencana pengadaan dan pemanfaatan laptop untuk anggota DPR, berhasil juga menjadi topik diskusi di berbagai lapisan masyarakat. Sayangnya diskusi yang bergulir bernada miring dan sinis. Tidak kurang dari pengamat politik Arbi Sanit dan rekan saya pengamat telematika Roy Suryo menyiratkan bahwa belum saatnya (semua) anggota DPR memiliki laptop (Kompas, 24/3).

Munculnya tanggapan sinis tersebut kelihatannya disebabkan oleh belum pahamnya sebagian masyarakat akan manfaat alat ini, di samping mahalnya harga per unit yang mencapai Rp 21 juta seperti direncanakan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR. Lalu, tentu menjadi pertanyaan, apakah laptop memang bermanfaat untuk anggota Dewan?

Jika seorang pelawak Tukul Arwana saja bisa mengoptimalkan nilai tambah laptop sehingga secara menakjubkan menjadi presenter top, mengapa kita justru membatasi penggunaannya? Mengapa harus apriori atau ada diskriminasi?

Laptop juga sudah digunakan para eksekutif di berbagai tingkatan birokrasi, termasuk di daerah. Janggal rasanya jika kita memprotes anggota DPR, sementara dalam sepuluh tahun terakhir miliaran rupiah, bahkan secara agregat mencapai triliunan rupiah, telah dibelanjakan untuk membeli laptop di seluruh instansi pemerintah dengan harga yang tidak jauh beda dengan patokan BURT DPR.

Apalah artinya uang Rp 12 miliar dibandingkan dengan berbagai pengeluaran lain seperti pembelian mobil-mobil ber-cc besar untuk aparat yang semakin memboroskan energi? Kurang tepat pula rasanya mengaitkan biaya pengadaan laptop untuk membangun sekolah yang sudah punya anggaran yang masih berlebih di Depdiknas.

Harga laptop bervariasi, sekitar Rp 2,5-Rp 25 juta per unitnya, tergantung fasilitas dan teknologi yang digunakan. Panitia lelang DPR bisa saja memilih berbagai kombinasi fasilitas dan sistem yang digunakan untuk mendapatkan harga optimal pada kisaran Rp 15 juta yang bisa dicapai lebih dari tiga merek yang ada saat ini.

Dengan demikian, harga Rp 21 juta per unit yang dijadikan pagu oleh BURT DPR tidak perlu dipermasalahkan atau dikhawatirkan akan mengarah kepada praktik kolusi dan antikompetisi yang melanggar Keppres 80/2003 (Koran Tempo, 24/3). Jika lelang bisa berlangsung dengan baik, bukan tidak mungkin akan terjadi penghematan yang cukup signifikan.

Memang, mungkin saja tidak semua anggota Dewan mampu menggunakan laptop saat ini. Namun, bukankah pemanfaatan laptop, sebagaimana halnya PDA dan ponsel, semakin hari semakin mudah? Banyak user friendly menu yang terus disediakan berbagai merek untuk konsumennya di tengah persaingan yang makin sengit. Juga kita tahu, tidak semua anggota Dewan old fashioned dengan teknologi telematika.

Banyak pula anggota Dewan yang masih muda dan sudah terbiasa dengan berbagai kemajuan pesat bidang ini. Pemberian laptop dapat memicu terjadinya persaingan antaranggota Dewan dalam berkarya. Terlebih lagi, berkomunikasi, berselancar di internet, mengolah kata, foto dan video saat ini sudah menjadi kebutuhan sehari-hari.

Jika seperlima saja dari anggota Dewan bisa menggunakan komputer, dan setengah dari jumlah itu terbiasa menggunakan situs pribadi atau blog seperti yang digunakan selebriti untuk mengomunikasikan buah pikirannya, maka itu kemajuan besar untuk lembaga legislatif.
Bukanlah mimpi tentunya jika setelah pengadaan laptop akan mulai banyak anggota Dewan yang berkomunikasi dengan konstituennya dan masyarakat yang diwakilinya melalui internet. Apalagi jika di gedung DPR pada saatnya nanti bisa dilengkapi dengan fasilitas wireless LAN, tentu komunikasi berbagai proses dan hasil keputusan politik bisa dengan cepat diinformasikan ke berbagai penjuru.

Demikian pula jika anggota Dewan sudah semakin terampil menggunakan laptopnya, berbagai hasil kunjungan mereka ke daerah dalam bentuk narasi ataupun foto dan video bisa dengan cepat di-posting di situs mereka melalui sambungan internet yang tersedia di berbagai hotel, kafetaria, warnet ataupun fasilitas bandara.

Sebagai penutup, ada baiknya kita renungkan penggalan kumpulan puisi dari TS Eliot, penulis terkenal kelahiran Amerika Serikat pemenang Nobel bidang literatur tahun 1948, yang mempertanyakan: "Where is the life we have lost in living? Where is the wisdom we have lost in knowledge? Where is the knowledge we have lost in information?"

Eliot dengan jelas merangkai perlunya kita memiliki informasi untuk menguasai ilmu pengetahuan guna mencapai wisdom dalam menjalani kehidupan di dunia.

Sejalan dengan tuntutan kehidupan di era globalisasi yang bercirikan terciptanya masyarakat berbasiskan ilmu pengetahuan, maka kemampuan untuk memiliki informasi dan menguasai ilmu pengetahuan adalah suatu keharusan. Kemampuan tersebut hanya bisa dicapai jika kita bisa mengkompilasi data dan mengolahnya menjadi informasi yang bermanfaat. Laptop adalah salah satu alat menuju ke sana.

Eddy Satriya
PNS di Kantor Menko Perekonomian. E-mail: satriyaeddy@gmail.com

Friday, March 09, 2007

Dewan Teknologi: Harap Cemas Menanti Kemajuan Teknologi Informasi

Kompas 13 November 2006 (http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/13/tekno/3094789.htm )


Oleh : EDDY SATRIYA

Seperti telah dilansir beberapa media, jika tidak ada aral melintang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan meresmikan pencanangan Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional atau DTIKN di Istana Bogor pada Senin 13 November 2006. DTIKN merupakan kelompok kerja yang dibentuk untuk mendorong percepatan pengembangan Information and Communication Technology (ICT) di Indonesia.

Diarahkan langsung oleh Presiden, diketuai oleh Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) serta beranggotakan para menteri Kabinet Indonesia Bersatu dan pakar di bidang ICT, DTIKN sangat ditunggu masyarakat ICT Indonesia untuk secepatnya berkiprah dalam menyediakan jasa ICT yang andal, mudah diakses, dan terjangkau.

Meski sudah gencar mengembangkan ICT nasional sejak sebelum krisis keuangan tahun 1997, pembangunan ICT dirasakan masih tertinggal dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya, seperti Thailand, Malaysia, Singapura, bahkan Vietnam. Infrastruktur yang terbatas, kebijakan dan regulasi yang belum pas, tarif yang relatif mahal, serta belum dirangkulnya pekerja ICT profesional independen telah melemahkan berbagai program utama pemerintah selama ini.

Alhasil, manfaat ICT untuk masyarakat luas dan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (good governance practices) masih terkendala. Berbagai program utama, seperti pengembangan e-Government, e- Business, e-Procurement, penyusunan regulasi baru, dan Single Identification Number, dinilai belum memberikan hasil maksimal. Rencana tindak lintas sektoral yang menjadi lampiran Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2001 juga tak jelas implementasinya.

Sejarah pengembangan ICT nasional telah mencatat lima masa kepresidenan yang berbeda dengan tiga keputusan presiden (Keppres), satu inpres, dan enam kementerian sebagai pelaksana harian. Singkatnya, ketidakberhasilan dalam sinkronisasi dan koordinasi ICT selama ini mendorong pemerintah untuk mewujudkan DTIKN yang sangat diharapkan dapat menaikkan daya saing bangsa melalui pemanfaatan ICT.

Tingginya dinamika politik, transisi otonomi, serta tantangan globalisasi yang makin kuat membuat pekerjaan DTIKN menjadi tidak mudah. Di samping berbagai permasalahan generik yang biasanya mengiringi organisasi baru lintas sektor, berikut ini adalah beberapa faktor dan tantangan utama yang seyogianya diperhatikan dalam menakhodai DTIKN mencapai tujuan dan tugas pokoknya.

Pertama, menentukan rencana pengembangan yang didasarkan kepada kebutuhan, kondisi infrastruktur, dan aplikasi yang sudah berhasil dibangun hingga saat ini. Dengan kata lain, penyusunan kebijakan dan regulasi baru hendaklah memanfaatkan sebesar-besarnya kinerja yang sudah dicapai, baik oleh pemerintah maupun swasta, sehingga terhindar dari kemubaziran. Dengan demikian, diharapkan DTIKN bisa mengoptimalkan perencanaan sesuai tingkatan ICT yang telah dicapai di semua sektor untuk mewujudkan masyarakat baru Indonesia berbasiskan ilmu pengetahuan (knowledge based society/economy).

Kedua, direkrutnya beberapa mantan manajer dan profesional ICT dari berbagai posisi berbeda saat ini yang harus bekerja sama lintas sektor dengan birokrasi di era pemerintahan SBY-JK akan merupakan sebuah tantangan koordinasi yang unik.

Ketiga, kuatnya desakan dan "gempuran" berbagai perusahaan multinasional, baik untuk perangkat keras maupun perangkat lunak, dalam upaya meletakkan platform bisnis serta dominasi mereka di pasar Indonesia hendaklah dihadapi dengan kepala dingin. Pemilihan teknologi sebaiknya tetap netral sehingga terhindar dari kondisi locked-in yang dapat menjerat di kemudian hari. Trade-off tidak perlu malu-malu dilakukan dalam berbagai negosiasi mengingat negara kita memang masih tergolong negara miskin. Perlu diingat, dari pengamatan selama ini terlihat beberapa vendor berusaha masuk dari berbagai pintu dan mengerti betul bagaimana memanfaatkan lemahnya birokrasi pemerintah di semua lini.

Keempat, perlunya apresiasi dan memberikan tempat lebih pantas bagi terobosan yang dilakukan berbagai pihak, baik individu, komunitas/kelompok, dan asosiasi. Hal ini kritikal karena diperlukan untuk mendorong pengembangan industri dan kreasi sumber daya manusia dalam melakukan inovasi teknologi. Jika perlu kemajuan tersebut diselaraskan dengan memperbarui regulasi yang sering tertinggal kemajuan teknologi. Bukan seperti yang kita saksikan selama ini, pemerintah dan regulator justru melarang dan menyatakan berbagai inovasi yang memudahkan masyarakat itu sebagai "barang haram."

Dan, kelima, keberhasilan DTIKN sangat mudah diukur dengan berbagai indikator baku ICT. Karena itu, menjadi sangat penting memprioritaskan beberapa program saja dengan manfaat yang dapat dirasakan secara cepat dan luas oleh masyarakat. Pemilihan program unggulan untuk jangka pendek itu harus dilanjutkan dengan program jangka panjang yang sesuai.
Memang, harapan dan kecemasan masyarakat ICT semakin tinggi menyambut DTIKN. Ucapan selamat layak diberikan kepada Depkominfo sebagai departemen baru yang jadi motor utama. Memang sudah waktunya semua pihak bahu-membahu memajukan ICT nasional. Semoga DTIKN mampu menggantikan Tim Koordinasi Telematika Indonesia atau TKTI yang selama ini jadi teka teki.
Eddy Satriya, Senior Infrastructure Economist, Pernah Menjadi Anggota Sekretariat TKTI. Sekarang Bekerja di Kantor Menko Bidang Perekonomian dan Dapat Dihubungi Melalui E-mail satriyaeddy@yahoo.com

Telematika Perlu Kajian Bermutu

Oleh: Eddy Satriya

Kompas, 24 April 2006 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0604/24/tekno/2604608.htm

Kondisi sektor telematika saat ini memang tidak sekritis sektor infrastruktur lainnya seperti ketenagalistrikan, jalan, dan perhubungan. Namun, jika tidak dicermati dan diantisipasi dengan saksama, mungkin sektor telematika di Indonesia hanya menjadi pasar gemuk barang-barang konsumtif yang akhirnya berpotensi meninabobokan rakyat dan melemahkan daya saing bangsa.

Di samping mendorong pola hidup konsumtif, pada kenyataannya telematika sudah mulai memperburuk situasi "keliru budaya" seperti bertelepon, menonton televisi atau DVD, serta berkirim pesan singkat (SMS) sembari mengemudi di jalan raya. Suatu kondisi yang secara langsung memperparah tingkat kemacetan yang berujung kepada rasa kesal, mudah marah, dan stres pengguna jalan di kota besar.

Di sisi lain, terlambatnya operator menggelar jaringan telepon tetap telah menjadikan Indonesia tertinggal. Rendahnya penetrasi telepon tetap (di bawah empat persen) yang ditingkahi oleh mahalnya tarif internet telah menutup peluang publik memanfaatkan telematika untuk memperbaiki tingkat sosial dan ekonomi mereka.

Telepon seluler atau ponsel memang telah menjadi alternatif bertelekomunikasi. Namun, kesenjangan digital (digital divide) semakin melebar. Meski sudah mulai merambah ke daerah, ponsel terkonsentrasi di kota-kota besar. Tidak jarang sebuah keluarga memiliki lebih dari empat ponsel, sedangkan masyarakat di pedesaan belum memiliki akses.

Tidak bisa dimungkiri bahwa perkembangan industri telematika selalu berjalan lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan pemerintah dalam menyiapkan regulasi dan kebijakan. Kondisi yang sama juga terjadi di negara maju atau negara berkembang lainnya.

Miskin kajian

Pengembangan sektor telematika membutuhkan dukungan kajian bermutu dan komprehensif agar pemanfaatannya bagi ekonomi nasional bisa optimal.

Kajian yang tergolong baik dan komprehensif yang pernah dilakukan pemerintah adalah pada pertengahan 1990-an ketika menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang II. Namun, kajian itu khusus untuk telekomunikasi, belum mencakup komponen lain dalam telematika seperti teknologi informasi dan penyiaran.

Semenjak itu, perkembangan telekomunikasi nyaris terdikte oleh kemajuan teknologi dan pasar yang justru melemahkan industri telekomunikasi dalam negeri. Terlambatnya regulasi dan miskinnya kajian menyebabkan banyak industri telekomunikasi nasional gulung tikar.
Pada saat yang sama, proses legislasi beberapa rancangan undang-undang (RUU) belum ada kemajuan. Kalaupun pada akhirnya RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disetujui DPR, diperkirakan UU tersebut "would be absolute by the time it is signed" (akan berlaku penuh pada saat UU tersebut ditandatangani) mengingat berlarutnya proses legislasi yang menghilangkan aktualitasnya.

Dari sisi penelitian kondisinya juga menyedihkan. Beberapa tahun lalu kita sering mengernyitkan dahi menyaksikan penjelasan dari tingkat staf hingga menteri, dan pengamat kondang dari berbagai universitas yang sering mengutip tentang kontribusi satu persen peningkatan teledensitas yang akan menaikkan GDP tiga persen. Padahal, hasil regresi sederhana International Telecommuncation Union, yang menggunakan hubungan The Wealth of Nation-nya Jipp (1963) dengan kepadatan telepon, itu sudah lama basi.

Demikian pula ketika pemerintah menerima pinjaman lunak untuk membiayai proyek telekomunikasi pedesaan dari Ausaid pada awal 1995.
Dominasi industri dan berbagai pertimbangan nonteknis telah memupuskan kesempatan Indonesia untuk menggunakan teknologi Code Division Multiple Access (CDMA). Jelas suatu pengalaman pahit karena perbandingan spesifikasi yang dikaji tim teknis menunjukkan CDMA lebih unggul dan prospektif.

Peluncuran berbagai satelit baru, baik yang dimiliki BUMN maupun swasta, sangat kentara hanya berorientasi bisnis. Padahal, beberapa satelit terdahulu masih memiliki transponder lain di luar C-Band (4-6 GHz) yang bisa mendorong berbagai penelitian lebih lanjut untuk melayani daerah terpencil.

Langkah ke depan

Bak gayung bersambut, pentingnya memperbanyak studi sepertinya telah sejalan dengan keinginan pemerintah saat ini.
Hal ini terlihat ketika Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil dalam suatu pameran di Jakarta menegaskan bahwa pemerintah ingin mempelajari cara menurunkan tarif broadband (Detik, 14/3/2006). Keseriusan Menkominfo tersebut tentu perlu dibuktikan dalam implementasinya di lapangan.

Pelaksanaan kajian tidak harus dilakukan pemerintah sendiri, tetapi bisa dengan memfasilitasi dan memberikan kontrak kepada konsultan, perguruan tinggi, lembaga peneliti, dan individual expert yang cukup banyak di Indonesia.
Sungguh sayang kalau triliunan rupiah revenue sektor telekomunikasi tidak dimanfaatkan untuk penelitian dan pengembangan (R&D) yang dapat menyerap tenaga kerja dan memberikan tempat bagi peneliti muda.

Ada beberapa topik yang bisa menjadi bahan penelitian saat ini. Pertama, aspek infrastruktur dan backbone. Apakah, misalnya, kita memang akan mengambil langkah phasing out telepon tetap kalau kenyataannya operator sudah tidak berselera investasi di sektor ini, atau terus saja menggelar fixed wireless dan teknologi nirkabel sejenis?
Atau, jika perlu justru berinovasi menyiapkan regulasi pasar yang dapat merangsang penggunaan telepon tetap untuk koneksi internet sehingga dapat meningkatkan average revenue per user (ARPU).

Topik kedua adalah pemetaan struktur industri yang berorientasi kepada kebutuhan dan kesiapan industri domestik. Ketiga, terkait dengan pengembangan aplikasi yang diperkirakan akan sangat memegang peranan karena faktor konvergensi teknologi, termasuk aplikasi yang berhubungan erat dengan pasar global, seperti Radio Frequency Identification (RFID). Keempat, adalah kajian tentang pemetaan dan rencana pemanfaatan sumber daya manusia (SDM).

Kelima, kajian mengenai regulasi dan kebijakan yang diperlukan sebagai terobosan untuk penambahan kapasitas baru serta perluasan jangkauan layanan. Sebagai contoh adalah mengkaji keinginan pelaku bisnis agar pemerintah membebaskan berbagai perizinan jika usaha telematika tidak memakai frekuensi berlisensi atau nomor standar.
Kebutuhan akan kajian bermutu sektor telematika semakin diperlukan manakala kemajuan teknologi VoIP, yang terus dikembangkan oleh anak-anak muda Ukraina dalam versi Skype dan beberapa variannya, dipastikan akan memengaruhi struktur industri telematika di kemudian hari.

Dukungan semua pihak jelas sangat diharapkan agar berbagai kajian teknis dan dampak sosial ekonomi telematika dapat dilaksanakan dalam waktu dekat sehingga bisa membantu pemerintah dalam berbagai proses pengambilan keputusan. Semoga!

Eddy Satriya Senior Infrastructure Economist, Bekerja di Kantor Menko Bidang Perekonomian. E-mail: esatriya@ekon.go.id
***
*)Catatan Penulis: Kelihatannya terjadi sedikit kekeliruan editing, berkemungkinan karena standar error correction bahasa Inggris yang digunakan, sehingga “ obosolete” berubah menjadi “absolute” pada sub-heading Miskin Kajian alinea ke-4. Seharusnya berbunyi “would be obsolete by the time it is signed” (akan berlaku penuh pada saat UU tersebut ditandatangani). Terima kasih.

Friday, May 05, 2006

"Call Center" Jadi Pusat Informasi

DIterbitkan di KOmpas 10 Oktober 2005

Eddy Satriya

Kemajuan teknologi telah menyediakan fasilitas berkomunikasi yang semakin canggih dan beragam. Dalam rangka memanfaatkan kemajuan telekomunikasi dan teknologi informasi (telematika), belum lama ini sebuah maskapai penerbangan nasional meluncurkan nomor telepon elok 0-807-1-807XYZ sebagai call center yang menjadi pusat informasi sekaligus pusat pelayanan.

Meski bukan suatu hal yang sama sekali baru, peluncuran call center yang dicanangkan sebagai sebuah hasil inovasi baru itu dilakukan secara gencar dan mendapat liputan yang cukup meriah dari berbagai media. Langkah ini kemudian ternyata juga diikuti oleh beberapa perusahaan, baik swasta nasional maupun asing. Betulkah langkah itu tergolong inovasi yang memberikan terobosan kepada pengguna jasanya?

Bagi orang awam, nomor telepon 0-807-1-807XYZ itu mungkin suatu hal yang biasa dan tidak terlalu menarik perhatian. Namun, jika mengacu kepada praktik bisnis baku, nomor itu sangat perlu dicermati.

Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, dan beberapa negara Eropa, berdasarkan aturan Badan Telekomunikasi Internasional (ITU) dikenal toll-free number dengan kode area ”800” yang jika dihubungi, maka biaya telepon akan dibebankan kepada perusahaan pemilik nomor bersangkutan.

Nomor ”800” ini sangat populer karena, selain bebas pulsa, juga memiliki keunikan tersendiri. Biasanya nomor dipilih sedemikian rupa hingga menjadi ”cantik” karena berkorespondensi dengan huruf yang ada di tombol telepon sehingga menjadi mudah dihafalkan dan digunakan.

Sebagai contoh, nomor telepon 1-800-CALLATT (2255288) dan 1-800-COLLECT (2655328) digunakan oleh dua operator telekomunikasi terkenal untuk memberikan beragam pelayanan otomatis maupun melalui operator yang bisa diakses dari semua jenis telepon.

Ada pula nomor bebas pulsa sebuah organisasi yang mudah dihafal, seperti 1-800-HABITAT. Saking populernya nomor toll-free ini, operator telekomunikasi juga menyediakan nomor sejenis untuk pelanggan pribadi atau perumahan dengan kode area ”900” yang bertarif sedikit lebih murah. Namun, penelepon nomor ini dikenai biaya tambahan berdasarkan pemakaian per menit.

Meski tidak sepopuler di AS, dalam beberapa tahun terakhir telepon bebas pulsa dengan kode area ”800” ini juga telah banyak digunakan di Indonesia. Nomor 0-800-1821XYZ, misalnya, telah digunakan oleh sebuah perusahaan susu guna menampung keluhan dan informasi penting dari pelanggannya.

Begitu pula dengan beberapa perusahaan farmasi dan produksi makanan bayi yang sangat memerhatikan konsumennya, nomor bebas pulsa sejenis juga telah digunakan.

Kejanggalan

Kejanggalan call center 0-807-1-807XYZ yang diluncurkan dan diiklankan secara besar-besaran itu menjadi semakin terasa. Betapa tidak, meski menggunakan kode area ”8XY”, ia sebenarnya bukan tergolong toll- free number karena tidak bebas pulsa bagi penelepon.

Sebaliknya, penelepon akan dikenai pulsa lokal seperti diiklankan dengan tulisan yang lebih kecil. Alhasil, pengguna telepon yang telah terbiasa dengan nomor bebas pulsa di luar negeri berpotensi untuk terkecoh.

Konyolnya lagi, call center itu juga tidak bisa dihubungi dari semua jenis telepon. Telepon umum koin tentu akan tulalit jika digunakan menghubunginya karena Anda harus memencet ”0” terlebih dahulu, yang merupakan nomor awal (prefix) untuk melakukan panggilan jarak jauh.

Alih-alih memperoleh pelayanan yang lebih baik, proses permintaan layanan via mesin pandu otomatis yang biasanya memakan waktu lama secara lambat dan pasti akan menambah kerut di dahi Anda ketika membaca tagihan telepon di akhir bulan.

Teman saya yang sudah menyerah mengasuh rubrik good governance di sebuah koran besar di Ibu Kota, bukan berbahasa saja kiranya yang dapat menunjukkan bangsa.

Keberadaan sebuah nomor telepon yang disesumbarkan sebagai inovasi baru hasil kolaborasi dengan perusahaan telekomunikasi besar pun bisa menyiratkan tabiat dan budaya suatu bangsa, yaitu budaya memimik, cerdik menjurus licik, koruptif namun permisif.

Semestinya telematika yang didengungkan mampu untuk memulai budaya good governance dijauhkan dari hal-hal yang justru membodohi rakyat dan bangsa yang sedang tertatih berjuang keluar dari sirkuit multikemelut.