Tuesday, August 16, 2005

LAMPU KUNING

Oleh: Eddy Satriya*)

Catatan: Telah diterbitkan dalam Majalah Simpul Perencana No. 5/Juni-Agustus 2005

Meski Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI) di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, sesungguhnya masyarakat Indonesia tidaklah terlalu bodoh atau miskin ilmu. Hal ini tercermin antara lain dari kemampuan para ahli maupun masyarakat awam dalam membaca gelagat alam seperti gempa, tsunami, dan tanah longsor. Masalah hasil penelitian dan pendapat mereka diperhatikan atau diabaikan begitu saja, adalah hal lain lagi.

Ketika terjadi longsor besar di kabupaten Garut beberapa tahun silam, pada umumnya masyarakat di sekitar lokasi maupun para wisatawan yang pernah mengunjungi Garut dan sekitarnya tidaklah terlalu kaget. Pasalnya, daerah itu secara alamiah memang harus mengalami longsor karena hutan yang ada dilereng bukit telah dihabisi sekelompok masyarakat dan tanah gemburnya diubah menjadi lahan pertanian, antara lain untuk tanaman kentang. Hutan pinus yang dulu rimbun nyaris musnah. Kalaupun ada pinus yang tersisa, hanyalah karena masih dibutuhkan untuk menyangga saung tempat berteduh para penggarap lahan lereng tersebut. Singkat kata bencana tanah longsor pasti datang, hanya masalah waktu.

Karena itu saya justru terperanjat menyaksikan reaksi sebagian besar masyarakat Indonesia yang begitu sulit percaya ketika mengetahui seorang dosen kriminologi Universitas Indonesia (UI) Mulyana Wira Kusumah (MWK), yang juga aktivis dan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), tertangkap tangan ketika diduga hendak menyuap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada awal April lalu. Begitu pula ketika mengetahui Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin (NS) harus masuk bui setelah berpamitan di kantornya pada Jum’at (20/5/05) siang sebagaimana diulas panjang lebar oleh Tempo (23-29/5/05).

Sebagaimana halnya bencana tanah longsor di Garut, maka terjerembabnya para dosen, peneliti atau aktivis sekaliber MWK dan NS oleh berbagai dugaan kasus korupsi di KPU hanyalah persoalan waktu saja. Mengapa demikian? Ada tiga alasan utama.

Pertama, besarnya ruang lingkup pekerjaan KPU yang harus melayani aktivitas Pemilu hingga ke tingkat desa berbanding lurus dengan besarnya biaya yang harus dikelola. Tantangan pengelolaan keuangan yang meliputi masalah perencanaan, penganggaran, pelaksanaan hingga pengendalian program menjadi semakin besar manakala waktu yang tersedia sedemikian sempitnya. Keterbatasan waktu pelaksanaan dan besarnya jumlah dana yang harus dikelola ini kemudian berkomplikasi dengan ketatnya tata cara lelang barang dan jasa pemerintah seperti diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) 80/2003 yang ketika itu baru terbit menggantikan Keppres 18/2000. Di sisi lain, kewenangan yang diberikan UU Pemilu No 12/2003 kepada KPU sangatlah luas. Kesemuanya itu jelas mengundang berbagai potensi penyimpangan dari berbagai pihak. Pengalaman menunjukkan bahwa pengelola proyek biasanya memang harus “berakrobat” jika ingin proyeknya suskses.

Kedua, rangkap jabatan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalankan. Apalagi untuk jenis pekerjaan yang sangat menuntut jam terbang dan berskala besar seperti di KPU. Sebagaimana pernah saya uraikan dalam artikel berjudul “Rangkap Jabatan: Benarkah Sebuah Dilema?” di Portal Alumni ITB pada bulan September 2003 yang lalu, para anggota KPU bukanlah “superman” yang bisa bolak balik dengan kecepatan cahaya dari Depok, Surabaya, Bandung, Makasar, dan Papua ke kantor KPU di Jalan Imam Bonjol, Jakarta (http://www.geocities.com/satriyaeddy/JABATAN_RANGKAP_x_final_ai_itb_complete.pdf ).

Sekedar menyegarkan ingatan kita, dari sebelas orang anggota KPU yang diangkat, hanya Anas Urbaningrum saja yang bukan berprofesi dosen. Ketika UU Pemilu diterbitkan, yang antara lain melarang jabatan rangkap dan menuntut kerja penuh waktu (pasal 18), maka hanya Imam Prasojo dan Muji Sutrisno yang memilih mundur dari KPU. Sedangkan anggota KPU lainnya dengan alasan masing-masing tetap “nekat” menantang bahaya.

Ketiga, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau KKN masih berjalan lambat dan lebih sering tertinggal dibandingkan dengan berbagai varian KKN yang semakin canggih. Sementara itu tuntutan pemberantasan KKN dalam program Kabinet Indonesia Bersatu semakin mengemuka. Karena itu tidaklah mengejutkan jika tuntutan tersebut kemudian berujung kepada institusi KPU yang sejak pelaksanaan Pemilu tak henti-hentinya menjadi sorotan publik.

Sebut saja ribut-ribut pengadaan mobil dinas pada Januari 2004 justru terjadi manakala masyarakat sedang menunggu kinerja KPU. Rasa percaya diri berlebihan yang menjurus arogan memang sering diperlihatkan pejabat KPU dalam menangani berbagai permasalahan. Masyarakat tentu sulit melupakan begitu saja beberapa kasus yang melibatkan nama-nama seperti Presiden Gusdur yang sampai menuntut KPU ke pengadilan. Atau sebut pula “perang urat syaraf” antara anggota KPU Chusnul Mar’yah dengan pengamat telematika Roy Suryo dari Yogya. Akademisi UI Effendi Gozali pernah pula melukiskan situasi tersebut dalam artikel berjudul “KPU Can Do No Wrong” (Kompas, 7/7/04). Tidak terhitung pula Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik di pusat maupun di daerah yang telah melaporkan berbagai dugaan penyimpangan kepada KPK.
Singkat kata, pencidukan MWK dan NS oleh aparat KPK sesungguhnya bukanlah hal yang sangat luar biasa.
***

Menjadi pertanyaan kemudian, sampai kapankah masyarakat terus dibiarkan untuk membiarkan kaum intelektual atau dosen itu melanjutkan multi peran di birokrasi? Tidak adakah usaha-usaha untuk menguranginya? Sementara di sisi lain, TNI (dulu ABRI) sudah mulai mereposisi diri dan menjauhkan diri dari dwifungsi. Jelas semua hikmah yang ada harus dipetik untuk dipelajari. Bukan semata-mata dari sisi pemberantasan korupsi, dugaan penyelewengan ataupun jebakan oleh tim KPK, tetapi juga dari sisi mulianya fungsi, peran dan tugas profesi dosen yang sangat ditunggu rakyat untuk memperbaiki citra pendidikan yang terus terpuruk di Indonesia.
Jabatan rangkap dan tantangan besar yang harus dihadapi seorang dosen dalam birokrasi pernah pula penulis ulas dalam artikel berjudul “Dosen, Peneliti, dan Birokrat” (Sinar Harapan/11/01/03). Pada intinya, mengurus keproyekan adalah salah satu tantangan yang cukup berat bagi perangkap jabatan di birokrasi. Sebagai contoh adalah pembahasan proyek di Departemen Keuangan. Terkadang pekerjaan ini bisa dikategorikan sebagai intellectually harassing activities. Kemuliaan intelektual yang begitu tinggi dan idealisme yang dimiliki di kampus atau lembaga penelitian harus berhadapan dengan permainan ”mark up”, ”kongkalingkong”, nepotisme dan seterusnya.

Transisi demi transisi memang membutuhkan penanganan yang cepat. Namun menyerahkan berbagai urusan kepada komisi-komisi yang didominasi intelektual, dosen atau peneliti yang belum mempunyai jam terbang di birokrasi juga bisa menjadi bumerang. Dalam masalah KPU ini, maka terbukti rasa percaya diri yang tinggi dan bekal ilmu pengetahuan yang di atas rata-rata akhirnya membawa sang dosen kepada kondisi yang sangat sulit dikontrol pihak luar.

Ironisnya lagi, praktek rangkap jabatan di birokrasi ini malah makin meningkat di era reformasi. Padahal, jutaan dollar hasil pinjaman atau utang luar negeri telah dihabiskan untuk menyekolahkan ribuan PNS untuk meraih gelar Doktor maupun Master di dalam maupun di luar negeri. Kelihatannya gejala ini makin menggila tatkala muncul “lampu hijau” dari Kantor Meneg PAN yang akan membolehkan Presiden atau Menteri untuk mengangkat staf khusus. Laksana sebuah sinetron, kisah “birokrasi keranjang sampah” di zaman Presiden Megawati sedang memasuki episode lanjutan yang lebih seru lagi.

Kita memahami bahwa masih banyak kaum intelektual dan dosen yang tetap setia mengajar dan meneliti. Di sisi lain, kita memaklumi para Menteri adalah pejabat negara yang berhak mengangkat siapapun menjadi stafnya. Namun membayangkan seorang intelektual, peneliti, dan aktivis sekaliber MWK dan NS yang sudah menghabiskan puluhan tahun karirnya dan waktunya untuk masyarakat, lalu mendadak sontak harus meringkuk di sel sempit penjara bersama narapidana lain adalah sesuatu memang yang sangat memilukan.

Bisakah semua ini diartikan sebagai sebuah lampu kuning untuk para intelektual dan dosen? Tentu bisa. Cuma masalahnya di Indonesia lampu kuning memiliki dua makna. Untuk berhati-hati lalu berhenti, atau malah siap-siap tancap gas ketika menunggu lampu hijau. Mau pilih yang mana?

________

*)PNS di Bappenas, menetap di Sawangan-Depok.

Tuesday, July 12, 2005

Hemat Energi Yang Terlupakan

(Tulisan ini belum dipublikasikan selain di blog ini)

Oleh: Eddy Satriya*



Hari-hari ini adalah hari-hari krisis energi, terutama bahan bakar minyak (BBM). Sungguh beruntung bangsa Indonesia, karena akhirnya krisis itupun datang menyengat. Ia datang mengingatkan semua pihak bahwa selama ini kita memang telah melupakan betapa energi adalah salah satu barang ekonomi yang sangat berharga. Arti penting energi dalam kehidupan sebenarnya sudah lama dipahami dan terus diingatkan oleh banyak orang. Salah satunya adalah Jeremy Rifkin (2002) yang dalam “The Hydrogen Economy” mengungkapkan bahwa “societies collapse when energy flow is suddenly impeded”. Begitu pula Lutz Kleveman (2003) dalam “The New Great Game. Blood and Oil in Central Asia”, kembali mengingatkan betapa politik ekonomi tidak dapat dipisahkan dari sumber energi, terutama minyak dan gas (migas). Saking pentingya, untuk menguasai sumber energi jika perlu nyawa orang lain pun dikorbankan. Namun penduduk Indonesia memang tergolong pelupa dan lama terlena. Sekarang, seperti orang yang terbangun dari mimpi panjang, semua mendadak bicara tentang pentingnya hemat energi.

Seperti diketahui, kegagalan Pertamina memasok BBM ke pelosok negeri serta berbagai masalah terkait telah memaksa pemerintah menyerah. Tidak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakilnya Jusuf Kalla (JK) akhirnya memohon dan menghimbau agar masyarakat bisa melakukan penghematan energi, terutama BBM, dalam menjalankan berbagai aktivitas ekonomi mereka (Kompas, 23/06/05). Memang penghematan menjadi salah satu cara yang paling mungkin dilakukan saat ini mengingat proses peningkatan produksi membutuhkan waktu.
***

Kita memang tergolong bangsa yang boros dalam penggunaan energi. Intensitas Energi - indikator yang mengaitkan tingkat penggunaan energi dengan peningkatan GDP suatu negara - Indonesia memang tergolong masih besar. Meski bukan merupakan indikator yang paling sahih, karena jumlah populasi Indonesia yang tinggi, intensitas energi Indonesia tergolong buruk dibandingkan dengan sebagian besar negara ASEAN lainnya, apalagi jika dibandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat (AS).

Kesadaran akan pentingnya keberlanjutan suplai energi dalam kehidupan kadang memang terlupakan. Kita menyaksikan dan merasakan betapa pendingin udara (AC) di beberapa gedung di Jakarta memang jarang disesuaikan dengan standar kesehatan manusia. Tingkat dinginnya sering memaksa orang harus menyesuaikan pakaian, persis di negeri empat musim yang sedang dilanda musim dingin. Hotel-hotel besar dan pusat perbelanjaan menjadi serba tertutup dan masif sehingga pencahayaannya lebih mengandalkan cahaya lampu daripada tata cahaya alami. Supir-supir pun banyak yang menghidupkan AC jika menunggu majikannya. Singkat kata dari berbagai lapisan, kita memang boros energi.

Selain pelupa dan abai, kita juga tergolong pemalas. Dalam memasak nasi misalnya, sekarang orang lebih mengandalkan “magic jar”. Entah bagaimana ceritanya, rakyat bangsa ini telah dengan sadar mengimpor berjuta-juta magic jar untuk menopang gaya hidup malasnya. Pernah saya ulas dalam “Fenomena Magic Jar” betapa setiap hari rata-rata penduduk Indonesia mengonsumsi sekitar 12 Giga Watt Hour (GWh) hanya untuk memanaskan nasi (Majalah Trust, 30/5/05). Sering kali magic jar itu dibiarkan hidup 24 jam dalam sehari hanya untuk memanaskan sekepal nasi hingga menguning. Sementara itu di Filipina, Thailand, dan beberapa negara ASEAN lainnya, penduduknya masih tetap menggunakan rice cooker yang hanya dihidupkan seperlunya.

Cerita ini pernah saya utarakan pada bulan April 2005 lalu dalam suatu diskusi terbatas dengan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie. Beliau terlihat prihatin dan menambahkan pula dengan cerita betapa banyak hotel di pulau Bali yang tidak mengatur suhu minimal kamar. Alhasil, sering kali AC dihidupkan di bawah 18 derajat Celcius karena para tamu tidak mau terlalu kepanasan ketika menikmati hangatnya cuaca Bali. Mereka tetap menghidupkan AC, lalu membuka pintu kamar lebar-lebar untuk mengimbangi hangatnya pantai Bali. Sayangnya usulan untuk membuat paket khusus hemat energi pada waktu itu tidak terlalu dianggap suatu yang serius dan mendesak oleh peserta diskusi lain dan dikatakan telah tertampung dalam agenda konservasi energi.
***

Sekarang rakyat harus siap-siap dengan kondisi yang mungkin tidak pernah terbayangkan. Jika pemadaman bergiliran sudah menjadi suatu hal yang biasa, mulai minggu depan besar kemungkinan akan banyak kejutan. Himbauan hemat energi yang pernah dikeluarkan SBY dan JK besar kemungkinan akan berubah menjadi suatu instruksi atau aturan baru yang bisa saja berujung kepada suatu sanksi.

Masyarakat, termasuk seluruh elite pimpinan, memang seyogyanya merobah cara pandang dan tata cara penggunaan energi agar lebih hemat dan efisien. Namun sangat diharapkan penguasa juga mampu memberikan suri teladan, selain aturan yang masuk akal dan tidak kontra-produktif. Juga diharapkan aturan tersebut tidak menambah panik masyarakat yang justru sudah dalam kondisi sangat sulit. Hal itu hanya dapat dicapai jika kembali menggunakan langkah sosialisasi dan kampanye hemat energi terprogram yang dulu pernah sukses dilakukan namun kemudian terlupakan.

______
*) PNS di Bappenas. Menetap di Sawangan, Depok.
(satriyaeddy@yahoo.com )

Wednesday, June 15, 2005

“YOU PAY PEANUT, YOU’LL GET MONKEY”

Oleh: Eddy Satriya*)


Catatan: Telah diterbitkan di Kolom Majalah Forum Keadilan 19 Juni 2005

Setahun setelah kebakaran besar pertama kali menghabiskan Pasar Atas Bukittinggi pada tahun 1972, karena suatu alasan, keluarga saya pindah ke sebuah kawasan perladangan bernama Padang Leba, di pinggiran kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Kasus busung lapar di NTB dan NTT baru-baru ini mengingatkan saya akan sulitnya kehidupan kami pada waktu itu. Meski kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak-anak dapat terpenuhi, tidak urung kami mengalami juga kondisi makan nasi sehari sekali yang terkadang diselingi dengan lemper terbuat dari dedak padi yang biasa diolah menjadi makanan ayam.

Namun kondisi sulit tersebut masih lebih baik dibanding tetangga, keluarga seorang prajurit ABRI, yang tinggal di seberang ladang. Sangat sering terdengar pertengkaran yang ditingkahi bentakan, pemukulan dan tangisan yang disebabkan oleh kesulitan hidup dan minimnya kesejahteraan Sang Prajurit. Saya tak tahu lagi nasib keluarga tersebut beserta seorang anak mereka karena setahun kemudian kami kembali ke Bukittinggi.

Kesejahteraan sebahagian besar prajurit TNI (dulu ABRI) sejak puluhan tahun lalu memang memprihatinkan. Karena itu dialog antara Panglima ABRI almarhum Jenderal M. Yusuf yang secara langsung menanyakan kondisi prajurit di lapangan seperti sering disiarkan TVRI di tahun 1980-an, selalu saja menimbulkan decak kagum dan simpati. Dialog seperti itu memang sudah jarang terdengar. Namun itu bukan berarti pimpinan TNI tidak memperhatikan kesejahteraan prajurit.

Salah satu perhatian yang pernah diberikan oleh negara kepada prajurit TNI/Polri adalah melalui perbaikan asrama prajurit melalui dana Bantuan Presiden sebesar Rp 30 Milyar. Namun bantuan Presiden Megawati pada bulan Februari 2002 untuk memperbaiki asrama yang sudah parah kondisinya di empat lokasi itu malah berbuntut menjadi masalah politik yang menyulut debat di DPR. Perbaikan kesejahteraan prajurit yang berujung dengan usulan Tim Verifikasi Komisi I DPR kepada Presiden Megawati untuk memecat Mensesneg Bambang Kesowo itupun akhirnya terkenal dengan istilah “Asramagate” (Pikiran Rakyat, 13/7/02).

Bukan hanya sekali dua rencana baik yang diajukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan aparatnya dimentahkan oleh berbagai pihak. Ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) dengan taktis dan secara bertahap telah menaikkan gaji serta tunjangan jabatan PNS di awal pemerintahannya, protes malah datang dari pihak KORPRI sendiri. Alhasil, kenaikan tunjangan jabatan yang sudah dicicipi oleh PNS itu kemudian diturunkan lagi ke tingkat yang hanya sekedar menutupi tingkat inflasi.
Rendahnya tingkat gaji dan tunjangan resmi PNS sering menjadi bahan guyonan, terkadan cemeehan yang mengkaitkannya dengan “sabetan”. Seorang pejabat karena saking senangnya, pernah memamerkan Surat Keputusan (SK) kenaikan pangkatnya menjadi IVc yang telah lama dinantikan. Seorang teman setelah membaca SK itu secara serius berkomentar bahwa telah terjadi kesalahan fatal dalam SK yang membuat Sang Pejabat kaget. Ketika ditanyakan apanya yang salah, teman tersebut ternyata “meledek” bahwa yang salah adalah gaji tercantum yang hanya berjumlah sekitar Rp 1,5 juta per bulan.

Rendahnya gaji dan kesejahteraan juga diperburuk dengan berkurangnya beberapa fasilitas dan tunjangan. Hingga awal 1990-an, sebahagian dana APBN telah dialokasikan untuk pemeriksaan kesehatan rutin tahunan (general check up) bagi seluruh pejabat eselon III ke atas. Sebelum terjadi krisis, fasilitas kesehatan tersebut telah dihentikan dan dibatasi. Alhasil, banyak PNS yang tidak memerhatikan kesehatannya karena alasan ekonomi dan sering berakhir dengan timbulnya penyakit-penyakit berat yang menggerogoti produktivitas mereka. Kualitas dan kemudahan pelayanan Asuransi Kesehatan (Askes) juga tidak membaik. Ada beberapa anggota keluarga pegawai di kantor saya yang terserang kanker tidak tertolong lagi karena tidak mampu berobat secara layak dan teratur.

Karena itu tidaklah sulit memahami betapa korupsi telah mampu mengalahkan nalar dan moral sebahagian PNS, termasuk guru besar dan intelektual sekalipun. Juga tidaklah sulit memahami masih banyaknya aparat yang justru terlibat dalam peristiwa kejahatan seperti pemalsuan uang, judi, penyelundupan dan penebangan liar. Transisi demi transisi dan ketidakjelasan prioritas telah memperburuk situasi. Merunut beberapa pidatonya, kita percaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah sangat memahami permasalahan ini. Namun, tiada yang tahu kapan pastinya akan datang angin perubahan kesejahteraan PNS.

Dituntut bekerja keras, disiplin tinggi, dan loyal sungguh bukan hal yang gampang untuk dijalani PNS saat ini. Di sisi lain, ratusan direktur perusahaan milik pemerintah (BUMN), komisaris, politisi, pegawai beberapa Badan dan Komisi yang minim prestasi terus berfoya-foya dengan gaji dan tunjangan sangat tinggi.
Kiranya sangat tepat jawaban yang disampaikan salah seorang pembantu Presiden SBY dalam menjawab pertanyaan delegasi asing tentang bisnis tentara dan korupsi aparat dalam Infrastructure Summit 18 Januari 2005 lalu di Jakarta. “You pay peanut, you’ll get monkey!”

________

*)Penulis adalah PNS di Bappenas. Berdomisili di Sawangan-Depok.

Monday, May 30, 2005

Ekonomi Kemunafikan

Oleh: Eddy Satriya*)

Catatan: Artikel ini telah diterbitkan dalam Majalah Warta Economi Edisi 30 Mei 2005

Kebebasan pers dan kemajuan TI memberikan kontribusi yang besar bagi masyarakat dalam memperoleh dan menyebarkan informasi. Informasi dengan mudah diperoleh melalui media cetak, elektronik, situs Internet, dan bahkan telepon seluler. Namun, akibat terpaan jutaan bit informasi, kita sering luput justru pada beberapa informasi penting. Salah satunya adalah berita berjudul ”APBN 2005 Catat Surplus Sebesar Rp 17,90 Triliun” (Kompas, 27 April 05).

Terus terang saya sempat bingung ketika membaca berita itu. Kebingungan saya kian membuncah setelah beberapa hari kemudian. Bukan karena semata-mata isi berita, tetapi justru karena minimnya reaksi dan perhatian pemuka masyarakat.
Dalam berita itu diuraikan bahwa Dirjen Perbendaharaan Negara merasa arus kas negara sangat aman karena hingga akhir Maret 2005 surplus anggaran tercatat sebesar Rp 17,90 Triliun. Sang Dirjen menganggap angka ini jauh lebih baik dibanding tahun sebelumnya yang defisit sebesar Rp 6,17 Triliun. Dengan demikian, kita benar-benar aman menjaga anggaran sesuai dengan target-target APBN. Beliau juga membandingkan saldo rekening pemerintah di Bank Indonesia (BI) yang mencapai Rp 25,38 Triliun, dengan saldo tahun lalu yang hanya berjumlah Rp 16,30 Triliun. Pada bagian lain diuraikan pula betapa penerimaan negara dari bea masuk dan pajak semakin membaik. Khusus untuk pajak bahkan disebutkan bahwa penerimaannya hingga April 2005 tercatat 20% lebih tinggi dari tahun sebelumnya.

Beberapa pertanyaan berputar-putar dalam benak saya. Ada apa ini? Mengapa para Dirjen di bawah Departemen Keuangan (Depkeu) tiba-tiba memainkan ”paduan suara” yang melenakan?

Informasi yang tersirat dari pemberitaan tersebut sungguh sangat sayang untuk dilewatkan. Ada beberapa hal yang harus dicermati sehubungan dengan berita pelaksanaan APBN 2005 yang telah memasuki bulan kelima.

Pertama, betapa ganjil dan aneh rasanya ketika seorang pejabat tinggi dengan bangga memaparkan bahwa APBN 2005 surplus! Padahal banyak pelaku bisnis baik kalangan pemerintah, swasta dan lapisan masyarakat tahu bahwa hingga pertengahan Mei 2005 ini nyaris belum ada proyek atau kegiatan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang cair atau telah dilaksanakan. Singkat kata, tentu saja APBN surplus. Penerimaan terus digenjot, sementara pengeluaran nihil. Parahnya lagi, kondisi keterlambatan ini sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Padahal di zaman orde baru, bagaimanapun rumitnya persiapan dan pembahasan anggaran di Depkeu, penyerahan Daftar Isian Proyek (DIP) kepada pemerintah daerah dan kantor departemen selalu dapat ditepati pada setiap tanggal 1 April sebagai awal tahun anggaran.

Kedua, sebagai konsekuensi logis dari minimnya pengeluaran pemerintah (government spending) maka hal ini akan mengancam kelangsungan ekonomi masyarakat di sektor riil. Lihatlah hotel-hotel sepi dari berbagai acara seminar dan pembahasan program pembangunan. Para pengusaha katering sudah mulai mengurangi jumlah pegawai mereka. Restoran menegah dan kecil, warung, serta usaha jasa seperti foto copy dan transportasi banyak yang tutup sementara karena proyek- proyek yang belum jalan. Para pegawai negeri sipil (PNS) dan swasta yang berpenghasilan tetap dan mengharapkan honor tambahan dari pelaksanaan proyek pemerintah semakin ”mantab” (makan tabungan) dan ”matang” (makan utang), sebagaimana diselorohkan salah seorang rekan saya yang sedang menunggu gaji pertama di salah satu Komisi di Jakarta. Keterlambatan turunnya anggaran ini juga akan berpengaruh terhadap kinerja beberapa Badan dan Komisi bentukan pemerintah yang tugasnya mempercepat perbaikan iklim investasi dan kepastian hukum. Beberapa kantor terpaksa harus gelap gulita karena sambungan listriknya diputus PT. PLN setelah menunggak 5 bulan. Rendahnya pengeluaran pemerintah memperlambat roda ekonomi yang pada akhirnya menurunkan pendapatan dan daya beli masyarakat.

Ketiga, belajar dari berbagai pengalaman dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, maka sisa waktu sekitar tujuh bulan dirasa tak cukup untuk merealisasikan suatu proyek atau kegiatan besar seperti aktivitas konstruksi, rehabilitasi, dan penelitian suatu sistem terpadu. Kondisi ini berpotensi besar untuk menciptakan ”mark-up”, ”kongkalingkong”, dan KKN- yang justru sedang gencar-gencarnya dibasmi pemerintah. Keterbatasan waktu dan keharusan”menghabiskan” anggaran yang sudah disetujui Depkeu dan DPR, sekali lagi, sangat berpotensi untuk diselewengkan, baik secara individu, segelintir personil proyek, ataupun ”berjamaah”.

Terakhir, jika dalam 5 bulan anggaran berjalan sudah berhasil diraih penerimaan bea dan cukai sekitar 30% dari target APBN, dan penerimaan pajak yang relatif tinggi, maka sesungguhnya ekonomi kita sangat menakjubkan. Jika tanpa pengeluaran pemerintah ekonomi sudah berjalan bagus seperti terlihat dari indikator bea masuk dan pajak tersebut, berarti potensi ekonomi swasta tentulah sangat besar dan bagus. Betulkah? Dalam kondisi yang masih didera krisis multidimensi ini, saya agak meragukan itu. Apalagi berbagai fakta tentang kredit macet, hengkangnya beberapa perusahaan multinasional besar ke negeri tetangga, tingginya penyelundupan, merebaknya berbagai kasus KKN, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan besarnya subsidi, hilangnya bahan baku beberapa industri mebel di pasaran dan lain-lain sebagainya sungguh berpotensi menegasikan pertumbuhan yang ada di sektor swasta.

Lantas, bagaimana kita menyikapi kesemuanya itu? Rentetan fakta dan analisis tadi, serta perkembangan terakhir politik ekonomi di dalam negeri, kelihatannya makin menggiring kita kepada suatu bentuk ekonomi yang saya sebut saja: ekonomi kemunafikan. Ini suatu bentuk yang mungkin hanya ada di Indonesia, yaitu ekonomi yang menafikkan kaedah-kaedah dasar yang diajarkan dalam buku-buku teks ekonomi dan nalar sederhana, seperti diuraikan empat poin analisis tadi - yang dimulai dengan permainan kata-kata tentang APBN dan diakhiri dengan permainan angka-angka tentang pencapaian.

Semuanya itu hendaklah segera diakhiri, jika kita memang ingin menjadi suatu bangsa mandiri dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara hakiki. Reformasi pada dasarnya adalah mengikis kemunafikan, tak terkecuali dalam bidang ekonomi.
________

*)Ekonom, bekerja di Bappenas. Tulisan ini adalah pendapat pribadi (eddysatriya.blogspot.com )

FENOMENA MAGIC JAR

Oleh: Eddy Satriya*)


Catatan: Telah diterbitkan di kolom Majalah Trust No.35. Edisi 30 Mei-5 Juni 2005-mengalami editing

Pelaksanaan penyambungan pipa gas ke pembangkit listrik PT. PLN (Persero) di Tanjung Priok dan Muara Karang telah membuat Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan surat yang berisi himbauan untuk menghemat pemakaian energi di kantor-kantor Pemerintah dengan cara mematikan lampu yang tidak diperlukan. Seandainya penghematan energi minimal 50 Watt per pelanggan tidak tercapai, maka untuk mengatasi defisit pasokan listrik PT. PLN terpaksa mengambil langkah pemadaman bergilir di seluruh Jawa dan Bali secara merata. Jika kondisi tersebut menjadi kenyataan, itu berarti suatu kemunduran besar yang memaksa kita kembali ke zaman byar pet belasan tahun lalu. Kondisi ini berpotensi memperburuk iklim investasi yang justru sedang mati-matian diperjuangkan oleh pemerintahan baru di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah dilakukan antara lain melalui penyelenggaraan Infrastructure Summit maupun Road Show ke Eropa dan Amerika Serikat.

Seperti disampaikan Dirut PT. PLN Eddie Widiono, kondisi terparah diperkirakan akan terjadi pada hari Kamis (26/5) dan Jum’at (27/5) yang diperkirakan mengalami defisit sekitar 385 MW (Suara Pembaruan, 26/5/05). Sungguh disayangkan PT. PLN tidak mampu menjaga margin yang aman pada saat beban puncak untuk wilayah Jawa-Bali selama bulan Mei dan Juni 2005. Defisit pasokan listrik ini diperburuk pula oleh lemahnya kemampuan PLN dalam menyinkronkan jadwal perbaikan dan pemeliharaan beberapa pembangkit besar dengan jadwal pemasangan pipa gas serta banyaknya industri yang beralih kepada sambungan PLN setelah terjadinya kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu.

Memahami kelemahan PLN di atas serta belum berhasilnya pemerintah mendorong masyarakat secara maksimal untuk menggunakan sumber-sumber energi alternatif seperti angin, gas, sel surya, panas bumi, ataupun jenis energi baru dan terbarukan lainnya, maka sudah sepatutnya pula masyarakat dihimbau untuk berpartisipasi seperti isi surat Sekjen ESDM di atas. Pada akhirnya, memang pelanggan jugalah yang diharapkan untuk mengurangi pemakaian listrik pada saat beban puncak. Peran masyarakat ini telah diakui oleh General Manager Pusat Penyaluran dan Pengaturan Beban PLN yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat selama tiga hari telah menghemat listrik sebesar 4.200 MW atau senilai Rp 3,8 milyar (Kompas, 27/5/05).

Sementara itu, reaksi pelanggan listrik terhadap kemungkinan terjadinya pemadaman bergilir cukup beragam. Ada yang mengkhawatirkan prospek usaha mereka seperti para penjual makanan jadi, Warung Tegal (Warteg), dan restoran yang sangat bergantung kepada listrik PLN dalam menjaga kesinambungan suplai bahan makanan. Ada pula masyarakat yang mencemaskan akan matinya ikan-ikan hias mereka. Demikian pula rasa cemas pengusaha jasa persewaan komputer, warung telekomunikasi, dan warung Internet yang khawatir akan rusaknya beberapa peralatan mereka jika terjadi pemadaman bergilir. Apapun reaksi masyarakat -mencemaskan sumber nafkah atau sekedar hobi mereka-, suatu yang pasti adalah ”Societies collapse when the energy flow is suddenly impeded” seperti diuraikan oleh Jeremy Rifkin (2002) dalam bukunya ”Hydrogen Economy”.

Pengaruh globalisasi serta kebutuhan untuk memenuhi gaya hidup praktis telah mendorong penggunaan energi secara boros dan tidak efisien melalui penggunaan peralatan yang mengonsumsi daya besar. Mahalnya perumahan dan sulitnya transportasi telah memaksa banyak orang memilih apartemen atau mengontrak di dalam kota yang membutuhkan pendingin ruangan, mesin cuci, microwave dan lemari es berdaya besar. Peningkatan pendapatan biasanya diikuti pula oleh keinginan memperoleh hiburan di dalam rumah dengan membeli berbagai jenis peralatan hiburan seperti stereo set, DVD/VCD, komputer, dan perangkat elektronik lainnya.

Praktek boros energi juga semakin terlihat dengan banyaknya pusat-pusat perbelanjaan (mall) dan apartemen yang cenderung tertutup rapat oleh beton –mungkin untuk alasan keamanan dan terhindar dari teror bom- sehingga konsumsi energi untuk pendingin ruangan dan pencahayaan cenderung meningkat. Parahnya lagi, sikap tidak hemat energi di Indonesia telah menjangkiti bukan hanya orang berpunya, tetapi hampir merata dari kampung hingga kota.

Fenomena Magic Jar mungkin bisa menjelaskan betapa masyarakat semakin tidak hirau dengan ketersediaan energi. Dalam “Kongres Energi Nasional” bulan November 2004 lalu di Jakarta, pernah saya sampaikan bahwa untuk hanya sekedar bisa memakan nasi panas, masyarakat kita telah memborong jutaan Magic Jar. Meski rata-rata setiap Magic Jar mengonsumsi 50 Watt, penggunanya nyaris tidak pernah mematikan pemanas nasi tersebut. Singkat kata, kebanyakan pengguna Magic Jar memakainya 24 jam sehari. Dengan asumsi sepertiga saja dari 30 juta pelanggan PLN atau rumah tangga menggunakan satu pemanas nasi, akan memberikan angka 10 juta x 50 Watt x 24 jam = 12 Giga Watt Hour. Padahal penggunaan Magic Jar atau Rice Cooker juga bisa dihemat dengan mengatur waktu masak dan waktu bersantap, tanpa harus memanaskan semangkok nasi sepanjang hari. Magic Jar creates magic Watthour!

Memperhatikan surat edaran ESDM yang hanya menghimbau pemadaman lampu di kantor-kantor pemerintah serta masih rendahnya budaya hemat energi di kalangan masyarakat, maka sudah selayaknyalah pemerintah, PT.PLN serta seluruh pemimpin masyarakat memulai kembali upaya-upaya pemahaman pentingnya budaya hemat energi yang selama ini terlupakan. Budaya hemat energi hendaklah terpadu dan menyeluruh, mengingat banyak kantor-kantor pemerintah sekarang yang semakin dilengkapi oleh berbagai peralatan tambahan seperti televisi, radio, dan microwave. Begitu pula untuk masyarakat pengguna listrik, budaya hemat energi sebaiknya dimulai sedini mungkin dan berkelanjutan. Semoga kita tidak kembali ke zaman gelap.

________

*)Kasubdit Energi di Bappenas. Pendapat pribadi.

Monday, April 18, 2005

Untung Malaysia Semakin Angkuh

Oleh: Eddy Satriya*)



Kolom Majalah Mingguan FORUM KEADILAN No. 50/24April 2005

Rasa geram, penasaran dan marah menjadi satu di dalam hati setiap kali membaca pemberitaan tentang betapa Malaysia semakin menyepelekan bangsa Indonesia. Dahulu, seperti ditulis Amarzan Loebis, Malaysia tanpa tahu malu telah menjadikan Stambul Terang Bulan menjadi lagu kebangsaan mereka (Tempo, 14-20/3/05). Padahal lagu tersebut sepanjang pengetahuan saya tidak memiliki irama Mars sedikitpun. Perilaku tidak tahu diri itupun mereka teruskan melalui tindakan sepihak dalam berbagai kancah politik sehingga memaksa Presiden Soekarno mencanangkan propaganda “Ganyang Malaysia” pada tahun 1963. Sejarawan Anhar Gonggong dalam satu diskusi pernah mengingatkan bahwa Malaysia juga tidak memperlihatkan sikap kooperatif ketika terjadinya pembajakan pesawat Garuda Woyla dua puluh empat tahun silam. Sikap tersebut telah memaksa pesawat naas itu terpaksa mendarat di Don Muang, Bangkok.

Terakhir, lalu lalang kapal-kapal perang Malaysia terus berupaya menggagalkan pembangunan mercusuar di Karang Unarang, Nunukan, Kalimantan Timur. Kapal perang mereka tak henti-hentinya memancing kesabaran Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk memulai insiden demi insiden (Kompas, 10/4/05). Diperkirakan provokasi sejenis dengan berbagai varian masih akan diteruskan Malaysia dalam kesempatan yang berbeda.

Jika dicermati dalam satu dekade terakhir, niscaya akan terekam betapa Malaysia dengan sangat terprogram, sistematis, dan tentu saja dengan kelicikan tinggi telah memanfaatkan Indonesia demi kemajuan negerinya. Kemajuan ekonomi yang tercermin dari perbedaan tingkat upah telah benar-benar dimanfaatkan bagai sebuah magnet berkekuatan dahsyat untuk menarik tenaga kerja Indonesia (TKI) untuk mendulang Ringgit di sektor perkebunan dan konstruksi. Begitu pula bagi tenaga kerja wanita (TKW) untuk menjadi pembantu rumah tangga (PRT). Tragisnya, setelah mereka memiliki Undang-Undang yang lebih tegas tentang imigrasi, para TKI dan TKW kita yang bermasalahpun diburu laksana hewan liar. Mereka dikenai hukuman tahanan, diambil harta bendanya, untuk kemudian diusir tanpa ampun. Khusus pekerja pria yang ditahan, mereka terkadang juga mendapat hukuman cambuk yang meninggalkan bekas di pantat mereka seperti sering diperlihatkan di layar kaca (Liputan6.com, 2/4/05).

Lemahnya penegakan hukum di Indonesia kelihatannya juga dengan sangat jitu telah dimanfaatkan secara efektif dan efisien oleh para cukong dan tauke yang memang terkenal lihai untuk memasukkan kayu selundupan ke negerinya dan sebaliknya memasukkan berbagai produk secara ilegal seperti gula ke wilayah Indonesia.
***

Dalam skala yang lebih kecil, pengalaman pribadi sayapun seakan menambah bukti-bukti tentang arogansi orang Malaysia. Sewaktu melanjutkan pendidikan di negara bagian Connecticut, USA, berbagai insiden juga sering terjadi yang dipicu oleh rasa congkak teman-teman dari Malaysia. Sering mereka menguliahi -bukan hanya sekedar mengajak- secara berlebihan bahwa kami muslim dari Indonesia sebaiknya mengikuti cara hidup muslim seperti yang mereka lakukan. Mereka terkadang tega menyakiti hati tuan rumah di berbagai pertemuan ketika dengan pongahnya memeriksa asal usul dan tingkat kehalalan makanan yang dihidangkan.

Dalam salah satu pertandingan Bola Volley antar peserta pelatihan di Training Center JICA di Hatagaya, Tokyo, Jepang pada bulan Desember 1999, beberapa teman dari Malaysia dengan sengaja melakukan provokasi yang sangat meremehkan saya serta peserta dari Philipina dan Vietnam. Keributan dapat dihentikan setelah saya menasehati mereka dengan menyebutkan bahwa sebagian besar guru mereka di Malaysia itu berasal dari berbagai wilayah Indonesia seperti Minangkabau dan Bugis. Pernyataan keras yang terpaksa saya teriakkan dalam bahasa Inggris dengan bumbu beberapa f-words ala anak muda di Amerika sana ternyata cukup ampuh dan menciutkan nyali mereka.

Belum berhenti disitu, akademisi mereka pun ikut menggarapnya secara sistematis. Simaklah tulisan Dr. Nazaruddin Zainun, Pensyarah Sejarah Asia Tenggara, Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universiti Sains Malaysia (USM), Pulau Pinang serta Soijah Likin ahli antropologi bebas dan pengamat sosial masalah pekerja wanita Indonesia di Malaysia yang diterbitkan Utusan Malaysia bulan Juni 2004. Artikel yang terbit pasca penganiayaan TKW Nirmala Bonat tersebut sangat menyinggung perasaan. Zainun dan Likin dengan dinginnya menuliskan betapa terbelakangnya kehidupan PRT kita yang menurut mereka tidak fasih berbahasa Indonesia, apalagi Inggris, dan tidak mengenal alat-alat elektronik dalam rumah tangga. Juga digambarkan mereka bahwa keterpurukan ekonomi Indonesia telah membuat banyak orang kampung di Indonesia tidak pernah makan ayam dan ikan sehingga mereka tidak pernah tahu apa rasanya ikan dan ayam. Astaga!

Walaupun artikel tersebut ditulis untuk menggugah pemahaman rakyat Malaysia terhadap perilaku PRT kita, beberapa detil yang diuraikan sungguh sangat menusuk perasaan (http://utusan.com.my/utusan/archive.asp?y=2004&dt=0602&pub=utusan_malaysia &sec=rencana&pg=re_06.htm&arc=hive). Masih banyak artikel di negara tersebut yang mengaitkan masalah imigran Indonesia dengan sifat-sifat dan perilaku negatif masyarakat kita berdasarkan daerah dan suku, serta keterbelakangan pendidikan yang dialami rakyat saat ini. Kesemuanya itu memaksa kita mengelus dada dan menjadi tidak percaya bahwa ditengah kemajuan ekonomi yang mereka capai, ternyata mereka juga mengalami kemunduran akibat kesombongan mereka sendiri dan belum berjalannya proses demokrasi.
***

Lalu apa artinya semua itu untuk kita? Sebagai sebuah bangsa yang besar kita tentu tetap harus waspada dan wajib menjaga kedaulatan serta keutuhan bangsa. Berbagai kekurangan dan ketertinggalan tidaklah harus membuat kita rendah diri. Jika di sisi pertahanan dan keamanan tugas ini telah diembankan kepada pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), maka sudah sepatutnya pula semua intelektual yang tersebar di berbagai wilayah dan sektor pembangunan untuk memulai perannya masing-masing. Selayaknya berbagai kegiatan penelitian terus dikembangkan, baik tentang penataan hubungan dengan Malaysia maupun yang menyangkut penggalangan kesadaran bernegara bagi seluruh lapisan masyarakat.

Kaum intelektual kita tanpa kecuali bisa memulai dengan memperbanyak penelitian dan karya tulis tentang sepak terjang Malaysia, pola hidup dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat perbatasan, serta memberikan analisa kasus TKI, TKW yang ada di Malaysia. Kepada masyarakat simpatisan TKI dan TKW juga diharapkan untuk bisa memperbanyak berdirinya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mampu membantu dan memberikan masukan yang tepat kepada pemerintah. Tidak bisa dipungkiri, masalah TKI, TKW dan PRT kita di luar negeri hingga saat ini lebih sering dibahas secara sporadis oleh kelompok media cetak maupun elektronik dalam laporan khusus mereka. Sangat sedikit penelitian yang pernah dipresentasikan di berbagai pertemuan ilmiah nasional, regional, apalagi internasional.

Walaupun dalam berbagai kejadian dan kesempatan sangat banyak pelecehan dari pemerintah serta rakyat Malaysia terhadap kita, tentu banyak pula kelompok ataupun individu yang masih menjunjung tinggi hak asasi manusia. Di sisi lain, kemelut perbatasan dengan Malaysia ini tentu besar hikmahnya guna melecut diri kita sendiri untuk lebih maju dan menjadi lebih baik.

Untung ada Malaysia yang seperti kacang lupa dengan kulitnya!

________

*) Pemerhati reformasi, menetap di Sawangan-Depok.

Monday, April 04, 2005

Ekonomi Telekomunikasi (Memahami Hubungan Pembangunan Ekonomi dan Telekomunikasi)

Oleh: Eddy Satriya*)




Catatan: Telah diterbitkan di Majalah Biskom Edisi Maret 2005

“…….Sedangkan survey ITU menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 % kepadatan telepon di sektor telekomunikasi akan meningkatkan perekonomian sebesar 3 %….”, demikian suatu penggalan kalimat yang sering dan masih terus digunakan oleh banyak pejabat, pengamat dan pelaku bisnis telekomunikasi di Indonesia. Penggalan kalimat tersebut sering kita baca dan dengar di berbagai media cetak, media elektronik ataupun langsung menjadi bagian pidato dalam berbagai kesempatan. Menjadi pertanyaan, apakah hubungan antara kepadatan telepon dan ekonomi makro tersebut masih berlaku hingga saat ini? Tulisan ini membahas kaitan antara ekonomi suatu negara dengan kondisi infrastruktur telekomunikasi, vice versa, yang sering digunakan untuk keperluan perencanaan.

Penggunaan data terbaru, pemahaman karakteristik suatu sektor serta kaitannya dengan ekonomi suatu negara sangatlah penting dalam suatu proses perencanaan pembangunan. Tidak terkecuali di sektor telekomunikasi. Kaitan tersedianya fasilitas telekomunikasi dengan peningkatan pembangunan ekonomi suatu negara pertama kali dibahas secara akademis oleh A. Jipp dalam tulisannya berjudul “Wealth of Nations and Telephone Density” yang diterbitkan “Telecommunication Journal” edisi Juli 1963.

Model yang pakai Jipp ini kemudian digunakan oleh Communication Committee for International Telecommunication and Telegraph (CCITT) pada tahun 1965. Dengan menggunakan cross-sectional data diperoleh hubungan antara kondisi makro ekonomi dengan kepadatan telepon negara-negara di dunia, sebagai berikut:

Ln d = -3.1329 + 1,405 Ln g

dimana d adalah kepadatan telepon, g adalah GNP per kepala capita, dan Ln adalah natural log. Hubungan tersebut dapat diartikan bahwa untuk setiap tambahan 1 % kenaikan GDP per capita suatu negara akan memberikan kontribusi tambahan 1,4 % kepadatan sambungan telepon. Hubungan ini juga berlaku untuk kebalikannya, karena antara kepadatan telepon dan GNP memang terdapat hubungan kausalitas yang dalam ilmu ekonometrik dikenal juga dengan Granger Causality (Gujarati, 1995).

Menjadi menarik untuk melihat hubungan sebaliknya dengan menggunakan data yang lebih mutakhir. Sekedar memberikan gambaran sesuai dengan tujuan tulisan ini, penulis pernah melakukan penelitian dengan menggunakan data Bank Dunia yang ada dalam “World Development Indicators” untuk tahun 1998, 1999 dan 2003 dengan hasil sebagai berikut:

• Ln g = 6.1797 + 0.7847 Ln d (1998)
• Ln g = 5.9395 + 0.8176 Ln d (1999)
• Ln g = 5.0574 + 0.9239 Ln d (2003)

dimana semua koefisien adalah signifikan serta besaran keterwakilan R-square di atas 0.8.

Dari hasil regresi di atas terlihat bahwa setiap penambahan 1 % kepadatan telepon memang masih memberikan pengaruh positif kepada makro ekonomi suatu negara (peningkatan GNP per capita). Namun perlu dicatat bahwa peningkatan atau kontribusinya kedalam makroekonomi tidaklah sebesar pada kurun waktu 1965-1970 yang memberikan angka sebesar 3%, melainkan hanya mendekati angka 1 % persen saja. Hal ini bisa dimaklumi mengingat pertumbuhan ekonomi dunia mengalami krisis global yang diakibatkan dari krisis finansial yang berawal dari sebagian negara di Asia, termasuk Indonesia.

Dengan menggunakan hasil regresi diatas, cateris paribus, bisa dipahami sekarang bahwa setiap peningkatan 1 % kepadatan telepon sebagai bentuk investasi di sektor telekomunikasi, tidak lagi memberikan sumbangan peningkatan ekonomi makro berupa GNP per capita sebesar 3%. Penggunaan hubungan kausalitas antara kepadatan telepon dan GNP per capita haruslah dilakukan hati-hati karena hanya berlaku untuk tahun tertentu. Hubungan tersebut tidak dapat digeneralisir seperti sering diucapkan oleh banyak orang dalam berbagai pertemuan dalam pembahasan telekomunikasi.

Perlu dicatat kepadatan telepon yang digunakan dalam persamaan-persamaan di atas adalah untuk telepon tetap. Kajian antara telekomunikasi dan makroekonomi ini dapat diperluas untuk telepon selular, gabungan telepon tetap dengan selular (total) serta untuk jumlah pelanggan internet. Pendekatan ini pernah digunakan untuk menentukan jumlah satuan sambungan telepon tetap pada kurun waktu Repelita VI (1993-98) dahulu yang memberikan jumlah sambungan telepon yang akan dibangun mencapai 3.8 juta satuan sambungan. Namun angka tersebut kemudian ditingkatkan menjadi 5 juta ss setelah tercapai kesepakatan antara Bappenas, Depparpostel dan Depkeu melalui perencanaan jangka menengah lima tahunan. Kenyataan menunjukkan, sasaran pembangunan prasarana telekomunikasi Repelita VI memang bisa dicapai, walau terjadi penurunan komponen Kerja Sama Operasi (KSO) dari 2 juta ss menjadi hanya 1,2 juta ss.

Sekali lagi, sebagai penutup, hubungan antara kepadatan telepon tetap dengan kondisi makro ekonomi suatu negara memang bisa diprediksi dengan menggunakan cross-sectional data, namun harus terlebih dahulu melakukan regresi kedua besaran dengan menggunakan data terbaru. Pendekatan sederhana ini bisa digunakan dengan menggabungkan berbagai data telekomunikasi yang tersedia seperti telepon tetap, telepon seluler, termasuk pelanggan internet dan penggunaan personal computer (PC). Semoga pembaca tidak lagi terkecoh oleh pernyataan-pernyataan sejenis yang kurang didasari kepada data empiris.

________
*) Senior Infrastructure Economist, bekerja di Bappenas. (eddysatriya.blogspot.com)

Monday, March 14, 2005

INTELEKTUAL BERMINYAK

Oleh: Eddy Satriya*)



Telah diterbitkan dalam kolom Majalah Mingguan Forum Keadilan No.45/20 Maret 05.

Sebagaimana halnya sebagian besar lapisan masyarakat, saya juga kaget ketika membaca iklan sehalaman penuh oleh Freedom Institute di harian Kompas (26/2/05) yang secara gamblang mendukung pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Namun saya sangat terperanjat tatkala melihat nama-nama pendukung pengurangan subsidi BBM tersebut. Disana ada nama-nama besar mulai dari pejabat negara yang super sibuk, dosen universitas terkemuka, pemuka masyarakat, pengamat ekonomi, aktivitis LSM, pekerja seni, pengacara, budayawan, mantan menteri dan lain sebagainya.

Saya kemudian menjadi geli sendiri. “Tahu apa mereka semua tentang subsidi BBM?” demikian saya mencoba menghibur diri sekaligus mengurangi rasa penasaran di dalam hati. Mungkin saja di antara nama-nama tersebut memang ada yang tahu sedikit tentang seluk beluk BBM, atau bahkan ada yang sangat mengetahuinya. Namun, apa iya semuanya, sekali lagi semuanya, memahami masalah BBM yang sangat kompleks sehingga berani memasang nama mereka dibawah bendera Freedom Institute yang secara terang-terangan mendukung dinaikkannya harga BBM? Sebegitumudahkah seorang intelektual Indonesia memahami suatu persoalan sektoral pembangunan yang bukan bidangnya? Kalau benar para intelektual Indonesia sebegitu cerdasnya, lalu mengapa kita masih saja terpuruk dan berbagai persoalan tidak terselesaikan?
***

Memahami seluk beluk BBM memaksa kita untuk mengerti banyak hal dan masalah dalam penyediaan BBM. Beberapa diantaranya adalah: (a) Tidak seimbangnya konsumsi dan produksi BBM; (b) Tersebarnya wilayah penghasil minyak di seluruh Indonesia dan terpisah jauh dari pulau Jawa sebagai pengguna terbesar; (c) Belum tercapainya harga berbagai jenis produk BBM yang mencerminkan nilai keekonomiannya; (d) Masih sangat bergantungnya penggunaan energi nasional kepada BBM; (e) Belum berjalannya program diversifikasi dan konservasi energi secara maksimal; (f) Belum efisiennya penggunaan energi secara umum, termasuk BBM; (g) Masih terbatasnya infrastruktur untuk penyaluran BBM; serta (h) Masih belum tersusunnya kebijakan Energy Mix yang sangat diperlukan sebagai acuan komposisi penggunaan energi primer. Berbagai persoalan seputar BBM di atas secara terpisah ataupun bersinergi antara satu dengan lainnya sangat mempengaruhi harga jual BBM, baik untuk kalangan industri, rumah tangga, dan transportasi. Harga BBM yang mempunyai linkage yang sangat erat dan tali temali dengan berbagai sektor lain inilah yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat pendapatan relatif masyarakat ketika subsidi BBM dikurangi.

Sesungguhnya ada dua hal utama yang menjadi pokok persoalan saat ini, yaitu apa dan bagaimana subsidi BBM harus disikapi serta masalah kompensasi. Kelihatannya dua persoalan ini belum dipahami dengan baik oleh banyak kalangan, termasuk kaum intelektual. Kedua masalah ini sering pula dipertukartempatkan atau dicampuradukkan. Subsidi BBM telah disepakati untuk dikurangi dan dihapuskan seperti tercantum dalam Undang-Undang No 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Sedangkan kompensasi menyangkut pengalokasian dana APBN untuk menutupi turunnya pendapatan relatif masyarakat yang terkena dampak kenaikan harga BBM setelah dikurangi atau dihapuskan subsidinya. Kompensasi itu sendiri akan diberikan berupa dana kompensasi BBM untuk sektor-sektor yang sangat mempengaruhi tingkat pengeluaran masyarakat miskin seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, bahan makanan dan lain-lain. Ironisnya lagi, dana kompensasi tidak diberikan kepada sektor energi sendiri yang sebenarnya sangat dibutuhkan masyarakat yang memiliki pembangkit listrik berskala kecil di daerah terpencil, baik yang menggunakan mikro hidro ataupun berbasis minyak diesel.

Dari uraian ringkas di atas, jelas kiranya terdapat suatu hubungan yang tidak sederhana antara subsidi BBM dan pelaksanaan program kompensasi BBM dengan tingkat pemahaman para intelektual. Karena itu, keberpihakan intelektual terhadap penderitaan rakyat yang diakibatkan kenaikan harga BBM menjadi sangat penting.
Sayangnya bukan keberpihakan yang diterima masyarakat miskin, kaum intelektual pendukung penghapusan subsidi ini malah sebaliknya sibuk menyiapkan berbagai argumentasi untuk mempertahankan sikap mereka terhadap rentetan protes yang diajukan masyarakat. Lihatlah pembelaan Rizal Mallarangeng dari Freedom Institute yang diterbitkan Kompas (3/3/05). Rizal dengan nada emosi malah memperluas persoalan dan menantang para penentang kebijakan kenaikan harga BBM ini untuk mengorganisir diri serta memasang iklan dua halaman penuh di Kompas, jika mempunyai dana tentunya. MasyaAllah.
***

Jika menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden langsung tahun 2004 lalu banyak kaum intelektual berpesta (Forum,1/08/04), sekarang giliran mereka berminyak. Ah.., kalau sudah begini: intelektual berpesta, berminyak dan berfulus apalah bedanya? Untuk pemilik nama-nama pendukung dihapuskannya subsidi BBM dalam iklan yang menjadi pokok persoalan, saya hanya bisa menghimbau “semoga tidak ada dusta di antara kita!”
_____
*) Pemerhati Reformasi, menetap di Sawangan-Depok.

Agenda Besar Menanti Depkominfo

Kompas, 14 Maret 2005.


PENANTIAN panjang agar infrastruktur telekomunikasi dan urusan yang berkaitan dengan teknologi informasi dapat dikelola di bawah satu atap berakhir sudah. Melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005, terhitung sejak 31 Januari 2005 Ditjen Pos dan Telekomunikasi telah digabungkan ke dalam Departemen Komunikasi dan Informatika atau Depkominfo.

Peraturan presiden (perpres) tersebut dilengkapi pula Perpres No 10/2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara RI. Peraturan ini memerinci Unit Eselon I Depkominfo yang baru menjadi Sekretariat Jenderal (Setjen), Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel), Ditjen Aplikasi Telematika, Ditjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi, Inspektorat Jenderal, Badan Pengembangan dan Penelitian Sumber Daya Manusia (Balitbang SDM), dan Staf Ahli.

Perkembangan ekonomi dunia dan globalisasi yang dipicu oleh kemajuan sektor teknologi komunikasi informasi (information and communication technology/ICT) sejak pertengahan 1990-an seyogianya diantisipasi secara taktis oleh Pemerintah Indonesia. Ekonomi yang berdasarkan kepada informasi dan yang berdasarkan ilmu pengetahuan telah menjadi kelanjutan dari rangkaian perkembangan ekonomi berbasiskan pertanian serta industri.

Telah menjadi pengetahuan kita bahwa hingga hari ini bangsa Indonesia masih belum berhasil, malah nyaris gagal, mengoptimalkan pembangunan pertanian dan industri untuk kesejahteraan rakyat. Karena itu, konsolidasi institusi berupa penggabungan Postel ke dalam suatu Depkominfo merupakan langkah strategis untuk memajukan pembangunan ICT yang dalam bahasa Indonesia dikenal juga dengan istilah telematika.
Di samping itu, penggabungan Postel jika diiringi kerangka regulasi dan kebijakan tepat diharapkan dapat menciptakan berbagai peluang baru-di luar ekonomi pertanian-dalam memajukan ekonomi Indonesia. Antara lain berupa tambahan penyerapan tenaga kerja, menggairahkan dan menghidupkan kembali industri elektronika di dalam negeri, menciptakan berbagai peluang usaha jasa nilai tambah, serta menumbuhkan entrepreneur muda yang inovatif di bidang telematika.

MESKI demikian, pascapembentukan Depkominfo diperkirakan beberapa tantangan dan agenda besar akan menghadang. Pertama, tantangan internal untuk sesegera mungkin menyusun struktur yang tepat mengisinya dengan orang- orang berkualifikasi sesuai dengan bidangnya. Selayaknya diutamakan pemberdayaan birokrasi internal ataupun lintas kementerian terkait yang memang memiliki SDM untuk posisi yang akan diisi.
Kedua, tantangan mempersiapkan rancangan undang-undang (RUU) baru tentang telematika. Pembatalan UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dan revisi UU No 22/2001 tentang Migas oleh Mahkamah Konstitusi telah memicu keinginan banyak pihak untuk merevisi UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi sebagaimana tertuang dalam salah satu butir Deklarasi Infrastructure Summit yang berlangsung di Jakarta Januari 2005 lalu.

Revisi UU Telekomunikasi dirasakan akan mubazir karena tidak akan menyelesaikan berbagai persoalan dan tuntutan teknologi telematika. Rancangan UU Telematika baru yang didahului oleh kajian akademis dirasakan lebih tepat mengingat masih belum jelasnya nasib RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronis (RITE) dan berbagai RUU terkait lainnya di bidang telematika. Selain alasan di atas, walaupun masih memiliki beberapa kekurangan, penyelenggaraan telekomunikasi sampai saat ini tidak bertentangan dengan konstitusi, dan UU yang ada diperkirakan masih mampu mengantisipasi perkembangan telekomunikasi hingga dua tahun mendatang.

Tantangan ketiga adalah penyempurnaan kebijakan dan regulasi terkait seperti aturan interkoneksi, lisensi, izin frekuensi dan penomoran guna menunjang percepatan proses kompetisi sebenar-benarnya. Hal ini bukan saja diperlukan untuk meningkatkan investasi infrastruktur baru, tetapi dapat meningkatkan tingkat utilisasi infrastruktur yang ada.

Diharapkan dalam waktu dekat ini dapat dikaji rencana untuk merealisasikan flat tariff baik untuk telepon tetap maupun telepon bergerak. Penerapan alternatif flat tariff untuk telepon tetap diperkirakan dapat mempercepat kompetisi, mendorong penggunaan internet, sekaligus meningkatkan average revenues per user (ARPU) secara signifikan.

Berikutnya memilih dan menetapkan aplikasi prioritas telematika yang selain berdampak ekonomis juga dapat menunjang program nasional Kabinet Indonesia Bersatu lainnya, seperti pengurangan tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme. Cukup satu atau dua aplikasi yang memang mempunyai daya dorong kuat untuk kemajuan pembangunan nasional.

Mengingat peran sentral kartu tanda penduduk (KTP), saya mengusulkan percepatan pelaksanaan KTP dengan single ID number yang dapat dipergunakan sekaligus untuk menunjang terlaksananya program electronic government lainnya, seperti pengurusan pajak, surat izin mengemudi (SIM), asuransi kesehatan, pendidikan, dokumen imigrasi, dan pengurusan berbagai sertifikat.

Kelima adalah melanjutkan kewajiban pelayanan universal (universal service obligation/ USO) sehingga jasa telematika dapat dinikmati bukan hanya di kota besar, tetapi sampai ke pelosok Tanah Air, termasuk daerah terpencil dan perbatasan. Pelaksanaan USO sebaiknya tidak lagi menggunakan dana APBN, tetapi dibiayai dari pengumpulan iuran atau berbentuk fee tertentu dari para operator dan industri telematika.

Sebagai sektor lucrative, sudah waktunya dana pemerintah tidak digunakan lagi di sektor telematika, tetapi lebih baik untuk sektor sosial lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan yang sangat dibutuhkan masyarakat tidak mampu. Perlu diperhatikan agar pelaksanaan USO dilakukan secara terintegrasi, baik dari sisi teknis maupun pembiayaan, sehingga masa laku peralatan bisa maksimal yang ditunjang oleh konsep operasional dan pemeliharaan.

Mengingat lokasi daerah yang terpencil, menjadi tantangan pula untuk memberdayakan kembali sistem komunikasi satelit domestik dalam program USO ini, termasuk membuka kembali opsi penggunaan Ku- Band (12-14 Ghz) untuk daerah yang tidak terlalu tinggi curah hujannya.

Terakhir, dengan dibawa sertanya Jasa Pos dan Giro ke dalam Depkominfo, sebaiknya keberadaan Pos dan Giro dimaksimalkan untuk mendukung pelaksanaan e-government dan e-commerce. Ini menjadi penting karena jangkauan pelayanan Pos dan Giro telah sampai ke seluruh kecamatan dan desa yang ada. Bagaimanapun e-government dan e-commerce sangat membutuhkan transportasi dan distribusi logistik andal dengan jangkauan pelayanan yang luas.

Demikianlah beberapa tantangan utama dalam pengembangan telematika pascaterbentuknya Depkominfo. Penggabungan komponen Postel yang lebih bersifat infrastruktur dengan aplikasi teknologi informasi serta sarana informasi lainnya, termasuk Balitbang SDM dan Itjen, sangat diharapkan dapat meningkatkan daya saing industri dan SDM telematika Indonesia di masa depan. Semoga momentum yang ada tidak kembali disia-siakan dan telematika bisa menjadi alternatif penggerak ekonomi dan peningkatan daya saing nasional melengkapi ekonomi berbasis sumber daya alam yang kita miliki.

Eddy Satriya. Senior Infrastructure Economist, Bekerja di Bappenas (www.eddysatriya.blogspot.com )

Thursday, February 24, 2005

UU TELEKOMUNIKASI PASCA PERTEMUAN PUNCAK INFRASTRUKTUR

Oleh: Eddy Satriya*)

Catatan: Telah diterbitkan di Majalah Biskom Edisi Februari 2005

Pertemuan Puncak Infrastruktur (Infrastructure Summit) telah berlangsung meriah di Jakarta pada tanggal 17-18 Januari 2005 lalu. Pertemuan yang dibuka oleh Presiden RI itu merupakan salah satu ajang terbesar yang pernah digelar di Republik Indonesia dalam rangka menggalang kesepahaman, kerjasama dan langkah tindak lanjut rencana pengembangan infrastruktur Indonesia. Pertemuan itu dihadiri sekitar 600-an anggota delegasi dari berbagai negara dan lembaga keuangan dunia. Salah satu butir Declaration of Action on Developing Infrastructure and Public Private Partnership yang disepakati oleh delegasi yang mewakili 22 negara tersebut berbunyi “Committed to revise law 36/1999 for Telecommunication, to strengthen the legal basis for independent regulation”.

Butir nomor enam deklarasi tersebut adalah satu-satunya langkah aksi (action plan) menyangkut sektor telekomunikasi secara langsung. Beberapa butir lainnya yang terkait membahas masalah keuangan, kerangka managemen untuk mendorong investasi swasta, pengembangan kemampuan keuangan pemerintah daerah, pasar modal untuk pendanaan infrastruktur, penyempurnaan regulasi untuk pengikutsertaan swasta, mekanisme tarif, badan pengatur, serta managemen resiko.

Para pelaku, pengamat, dan investor di bidang telematika (termasuk telekomunikasi tentunya) yang kritis tentu akan bertanya apa maksud deklarasi tersebut? Apakah semata-mata merevisi UU Telekomunikasi No 36/1999 atau lebih memfokuskan kepada perkuatan peran regulator dan regulasi yang independen. Ataukah kedua-duanya baik secara bertahap ataupun paralel? Serta bagaimana sebaiknya sikap pemerintah dan stakeholder telekomunikasi tentang UU Telekomunikasi pasca summit?

Menyikapi pertanyaan-pertanyaan di atas, kita tentu tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa pada akhir tahun 2004 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan UU Ketenagalistrikan No 20/2002 dan meminta pemerintah merevisi UU Minyak dan Gas No. 22/2001. Seperti pernah saya tuliskan, pembatalan UU Ketenagalistrikan tersebut sesungguhnya tidak merupakan sinyal yang positif dalam menyongsong Infrastructure Summit (The Jakarta Post, 3/1/05). Kenyaataan ini sedikit banyaknya mempengaruhi kelompok masyarakat yang menginginkan perubahan terhadap UU Telekomunikasi No 36/1999. Dengan demikian, kita tentu tidak bisa pula mengabaikan pendapat yang menginginkan pembatalan atau perubahan UU Telekomunikasi. Di sisi lain, timbul pula pertanyan apakah mereka yang menginginkan perubahan tersebut, terutama investor asing, betul-betul telah memahami kondisi pertelekomunikasian nasional secara utuh.

Menurut hemat saya ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan percepatan pembangunan infrastruktur, revisi UU Telekomunikasi, dan BRTI. Pertama, walaupun sektor telekomunikasi dan listrik yang berumpun kepada satu disiplin ilmu pada awalnya memiliki kondisi monopoli alamiah, saat ini kedua sektor tersebut memiliki kondisi yang jauh berbeda dalam memberikan pelayanan publik. UU Ketenagalistrikan No 20/2002 (pasal 38) secara umum memberikan keleluasaan lebih besar kepada pasar dan kompetisi yang dianggap tidak sejalan dengan UUD 1945. Sementara UU Telekomunikasi masih menekankan bahwa telekomunikasi dikuasai oleh negara (pasal 4) dan beberapa pasal lainnya masih mendukung serta tidak berseberangan dengan konstitusi.

Kedua, hasrat dan kebutuhan masyarakat bertelekomunikasi mempunyai saluran yang lebih banyak dibandingkan dalam memperoleh listrik. Walaupun PT. Telkom dan PT. Indosat tidak terlalu serius menggarap segmen layanan telepon tetap, masyarakat masih memiliki jasa telekomunikasi lainnya sebagai alternatif seperti telepon seluler dan fixed wireless dengan harga yang kompetitif dan bahkan kualitas layanan yang lebih baik. Berbeda sekali halnya dengan listrik. Masyarakat hingga saat ini tidak memiliki alternatif untuk memperoleh listrik secara kompetitif dan layanan yang lebih baik. Hal ini membuat penggalangan pendapat masyarakat untuk membatalkan UU Ketenagalistrikan tersebut menjadi lebih mudah.

Ketiga, kondisi kesehatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telekomunikasi juga berbeda dengan BUMN di bidang ketenagalistrikan. Tidak bisa dipungkiri PT.Telkom telah memberikan kontribusi cukup besar kepada pendapatan negara. Demikian pula PT. Indosat ketika masih berstatus BUMN. Kedua perusahaan tersebut secara berkesinambungan telah menyetorkan laba kepada pemerintah secara teratur dan juga menjadi penyetor pajak yang termasuk besar. Tanpa mengecilkan peran PT. PLN dalam menyediakan kebutuhan listrik masyarakat, kita menyaksikan BUMN di sektor ketenagalistrikan masih harus berjuang keras agar tetap untung dan memperbaiki neraca keuangan yang mencerminkan tingkat kesehatan perusahaan.

Keempat, bentuk, fungsi, dan pertanggungjawaban organisasi BRTI seharusnya tidaklah menjadi perdebatan lagi. Karena jelas sekali bahwa mantan Menteri Perhubungan Agum Gumelar dalam keputusannya membentuk BRTI telah menyatakan bahwa BRTI yang ada saat ini adalah bentuk sementara alias masih transisi. Dengan demikian menjadi tugas pemerintah yang ada sekarang serta seluruh stakeholder telekomunikasi untuk mendorong secara terus menerus terbentuknya BRTI yang benar-benar independen. Bukan BRTI yang dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal dan bertanggung jawab kepada Menterinya.

Dengan memperhatikan butir-butir di atas, bisa diambil kesimpulan agar kita sebaiknya menghindari langkah-langkah yang dapat menggiring kepada pembatalan UU Telekomunikasi. Karena disampaing pertimbangan yang telah diuraikan, pembatalan UU Telekomunikasi sebagaimana UU Ketenagalistrikan akan membawa kita kembali kepada UU Telekomunikasi No 3 /1989 yang tentu saja sudah tidak terlalu cocok dengan kondisi sekarang. Lantas bagaimana kalau direvisi saja?

Pernyataan untuk merevisi UU Telekomunikasi seperti di cantumkan dalam deklarasi menurut hemat saya juga bukan langkah yang tepat. Banyaknya masalah telekomunikasi yang berkembang dewasa ini baik yang diakibatkan lambannya pemerintah dalam mengantisipasinya dengan regulasi dan aturan pelaksana UU ataupun karena cepatnya kemajuan teknologi telekomunikasi, tidaklah akan mampu diselesaikan dengan merevisi UU Telekomunikasi saja. Menyiapkan draft UU baru yang mampu mengantisipasi permasalah telekomunikasi, teknologi informasi (IT) dan sekaligus untuk menyiapkan infrastruktur telematika menyambut Knowledge Based Economy (KBE), mungkin merupakan salah satu langkah yang lebih baik. Persiapan untuk itu tidaklah harus dilakukan buru-buru, tetapi dapat dimulai dari sekarang dan diikuti dengan proses penyusunan yang transparan. Draft UU ini diharapkan mampu mengantisipasi perkembangan teknologi telematika paling tidak untuk lima atau enam tahun mendatang. Langkah ini diharapkan dapat dimulai tanpa menghiraukan ada atau tidaknya perubahan struktur pemerintahan/ kabinet yang bertanggungjawab mengurusi telekomunikasi.

Disamping menyiapkan draft UU yang baru, pemerintah tentu diharapkan dapat terus melanjutkan restrukturisasi sektor telekomunikasi dan mereformasi regulasi yang menghambat kompetisi agar masyarakat dapat menikmati jasa telematika secara lebih mudah, murah dan andal. Semoga!
______
*) Senior Infrastructure Economist, bekerja di Bappenas.

Monday, January 31, 2005

"REFORMASI POCO-POCO"

Oleh: Eddy Satriya*)


Catatan: Telah diterbitkan dalam Kolom Majalah Forum Keadilan, No.39/6 Feb 2005

Bayangkanlah pada suatu pagi anda sedang berada di pinggir kolam renang yang asri di sebuah hotel berbintang. Atau mungkin juga sedang berada di seputar Gelora Senayan. Anda baru saja selesai jalan pagi ketika tiba-tiba diajak untuk bersenam ringan bersama. Biasanya instruktur akan mengajak peserta senam melakukan tarian berikut ini. Gerakan dasarnya relatif mudah. Dua langkah kecil ke kanan, kembali ketempat, lalu mundur satu atau dua langkah ke belakang, kemudian maju ke depan sambil berputar. Begitu seterusnya gerakan itu diulang-ulang, hingga anda selesai memutar tubuh ke empat penjuru angin lalu kembali ke tempat semula.

Itulah tarian atau gerakan senam Poco-Poco yang sangat digandrungi oleh masyarakat Indonesia sejak enam atau tujuh tahun terakhir ini. Walaupun gerakan tersebut memiliki banyak varian, namun ada yang tetap. Yaitu, jika tidak membuat kesalahan maka anda relatif statis karena berputar-putar di tempat. Jarak antar sesama pesenam atau penari juga akan terjaga secara harmonis. Selanjutnya, anda tentu akan kecanduan dan tidak mau berhenti ber “poco-poco” dengan irama lagu yang memang membuai.

Harmonisasi gerak tari Poco-Poco di atas kiranya sangatlah tepat untuk menggambarkan kondisi umum pelaksanaan reformasi di negeri kita. Beberapa kali pergantian kepemerintahan dan kabinet ternyata tidaklah serta merta membawa perbaikan. Banyak lini kehidupan tidak mengalami pembaruan, malah untuk beberapa bidang mengalami kemunduran. Kalaupun ada, perbaikan ternyata tidaklah mudah untuk diteruskan, teladan tidak mudah ditularkan. Singkat kata, reformasi kehidupan berbangsa dan bernegara belum mengalami kemajuan berarti, lebih banyak berputar-putar dan jalan di tempat. Persis bak orang menari Poco-Poco.
***

Rangkaian “kekonyolan” masih saja terjadi sejak reformasi digulirkan. Beratnya perputaran roda reformasi di Indonesia tergambarkan dalam uraian berikut.
Petani masih harus terus berjuang. Sayur kol di daerah Boyolali hanya dihargai sekitar Rp 100,0 per kilogram. Panen bawang merah di beberapa sentra pertanian di pulau Jawa seperti Brebes, kalaupun terbebas dari serangan hama, tidaklah mampu melepaskan diri dari serbuan bawang impor. Nelayan dan petani garam mengalami nasib sama. Petani tebu pun masih harus jatuh bangun karena belum sehatnya industri gula. Singkat kata, bagi petani dan nelayan masih berlaku ungkapan “waktu membeli bibit, pestisida atau pupuk harga ditentukan penjual, ketika menjual hasil panen harga di tentukan pembeli”.

Terjadinya penyetopan secara mendadak terhadap kendaraan yang sedang melaju kencang di jalan bebas hambatan Jagorawi pada musim Lebaran 2004 lalu memperlihatkan arogansi aparat yang sulit diterima akal sehat. Hal ini diperkeruh lagi oleh ucapan juru bicara Presiden yang simpang siur. Penetapan seorang supir yang telah meninggal dunia dalam kecelakaan tersebut sebagai salah satu tersangka, juga sangat membingungkan.

Pemberantasan korupsi masih terkesan pilih kasih dan harus berpacu dengan bermunculannya kasus korupsi baru dengan modus operandi yang lebih canggih. Tidak salah kiranya pengamat ekonomi UI Faisal Basri yang juga pejabat tinggi di Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) dalam sebuah talk show menyindir penikmat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang justru diangkat menjadi pembantu presiden (Radio Delta, 27/12/04).

Pelaksanaan “good governance” seperti fatamorgana. Telah dimaklumi bahwa tata pemerintahan yang baik akan tercapai apabila ada keseimbangan peran antara tiga unsur utamanya: state atau penguasa, pelaku bisnis atau pengusaha, dan civil society atau kelompok masyarakat sipil. Telah menjadi catatan sejarah bahwa masa awal Orde Baru merupakan dominasi penguasa atas dua unsur lainnya, sementara masa-masa akhir Orde Baru merekam dominasi pengusaha.

Sesungguhnya era reformasi merupakan kesempatan baik untuk meningkatkan peran masyarakat. Namun secara kasat mata terlihat bahwa bandul pelaksanaan pemerintahan kembali diayunkan pengusaha dan sepertinya akan melumat dua komponen lainnya. Jabatan rangkap yang sangat jauh dari sikap hidup profesional kembali justru dicontohkan oleh elite pimpinan. Birokrat kehilangan rasa percaya dirinya dan civil society semakin tidak terwakili. Lebih menyedihkan lagi, posisi perguruan tinggi jadi serba canggung. Pakarnya semakin banyak yang menjadi “kutu loncat” di sekitar birokrasi dan partai politik memburu posisi dan jabatan tanpa aturan main yang jelas. Fungsi riset yang sangat dibutuhkan di kemudian haripun menjadi terbengkalai. Semakin hari, semakin susah membedakan pakar dengan celebrity.

Sementara itu, penggusuran SMPN 56 di kawasan Melawai Blok M, Jakarta, semakin memprihatinkan dunia pendidikan yang sudah carut marut. Bayangkan, penggusuran sekolah disamakan dengan penggusuran lapak, kios atau gubuk liar yang ditinggalkan mudik penghuninya. Seperti sudah diperkirakan, proses eksekusi tinggal menunggu waktu yang tepat. Penggusuran SMPN tersebut akhirnya terlaksana pada saat sekolah itu ditinggal mudik guru dan siswanya.

Digital divide (kesenjangan digital) masih menganga. Fasilitas telekomunikasi dan informasi terkonsentrasi di kota-kota besar dan kelompok mampu. Siaran televisi masih didominasi oleh hiburan dengan mengutamakan pusar, pinggul, kisah misteri dan iklan. Suatu ironi yang sangat menyesakkan dalam era telematika telah terjadi begitu saja tanpa banyak yang peduli. Tatkala bangsa ini membutuhkan prestasi kelas dunia guna membangkitkan rasa nasionalisme, maka untuk pertama kalinya sejak beberapa dekade terakhir bangsa Indonesia justru tidak bisa menyaksikan secara langsung pahlawan bulu tangkisnya berjuang meraih prestasi tertinggi di arena Olimpiade bersejarah Athena 2004. Masyarakat yang tidak mampu berlangganan TV Kabel atau Satelit hanya bisa menahan gundah ketika melihat foto Taufik Hidayat menghiasi halaman koran esok harinya. Taufik yang memegang medali emas olimpiadenya terlihat tercenung memandang Sang Saka Merah Putih. Saya sendiri ikut menangis geram karena tidak bisa mengikuti rangkaian perjuangan panjang Taufik.

Di samping berbagai manfaat yang diperoleh dari gaya pemberitaan televisi yang lugas dan langsung dari lapangan, banyak pula orang mempertanyakan etika pemberitaan yang menayangkan secara dramatis musibah tsunami di Aceh. Lihatlah betapa penayangan jenazah yang diiringi oleh jerit histeris keluarganya telah ditingkahi oleh tujuan komersil dan iklan. Bahkan baru-baru ini saya sendiri terperanjat ketika pembawa acara meminta seorang Bapak yang telah kehilangan 22 anggota keluarga, termasuk anak gadisnya, untuk menyanyikan lagu kesayangan si anak (Metro TV, 11/1/05). Tidak berhenti disitu saja, ketika Sang Bapak telah berhasil “memaksakan” diri menggumamkan sepenggal lagu tersebut, pembawa acara dengan dinginnya malah terus meminta satu bait lagu lagi untuk disenandungkan. MasyaAllah!
***

Daftar kekonyolan di berbagai lini kehidupan di atas bisa saja diperpanjang tanpa batas. Sebut saja proses kematian yang dialami pejuang HAM Munir, perusakan lahan tempat pengolahan sampah terpadu di Desa Bojong, Bogor bulan November tahun lalu, penutupan Bank Global, hingga bebasnya senjata api masuk bar dan berdampingan dengan gelas alkohol di sebuah hotel berbintang yang dijaga ekstra ketat dalam sebuah pesta malam tahun baru.

Untaian panjang proses “reformasi poco-poco” di atas bukanlah untuk mengungkit-ungkit kekurangan kita dan bukan untuk salah menyalahkan. Daftar itu sekedar merekam peristiwa yang seharusnya mampu menggugah nurani dan kepedulian kita terhadap reformasi. Langkah maju hanya bisa dicapai setelah reformasi dijalankan dengan konsisten dan konsekuen. Pengingkaran terhadap hakekat reformasi hanya akan memperpanjang derita rakyat Indonesia, memperburuk citra bangsa dalam pergaulan internasional, serta memudarkan semangat dan rasa percaya diri kita.

Lalu menjadi pertanyaan kemudian, mengapa kekonyolan demi kekonyolan tersebut masih terus terjadi? Lantas apa sebaiknya yang harus dilakukan?

Ada beberapa alasan. Pertama, banyak pemimpin yang lupa dan tidak menyadari bahwa Indonesia memang masih tergolong negara miskin dengan GDP per Capita di bawah US$ 1000,0. Kedua, tingkat upah sebagai besaran ekonomi makro masih belum diperlakukan secara proporsional di dalam sistem ekonomi nasional, baik untuk swasta, buruh, serta aparat pemerintah sendiri. Tingkat upah (wage) ini sangatlah luas dampaknya termasuk kepada rendahnya produktivitas dan korupsi. Selanjutnya, bangsa Indonesia semakin mengabaikan hal-hal detil dan cenderung hanya memperhatikan persoalan besar. Keempat, pola pikir dalam menetapkan kebijakan masih terperangkap kedalam pola pikir masa lalu. Dengan kata lain, kebijakan baru miskin inovasi. Kelima, bangsa kita semakin banyak maunya namun sangat sulit menentukan prioritas. Terakhir, kita semakin tidak menghargai profesionalisme orang lain.

Salah satu cara yang bisa ditempuh saat ini adalah kembali kepada jalur reformasi yang sebenarnya. Ada baiknya kita telaah kembali arti kata reformasi atau “reform” yang dalam Pocket Oxford Dictionary (1994) diartikan sebagai “make or become better by the removal of faults and errors” serta “removal of faults or abuses, esp. moral, political, or social”.

Mudah-mudahan dengan memahami arti kata reformasi dan kembali menjalankan proses reformasi secara konsisten dan konsekuen, maka perbaikan diharapkan akan datang menerangi Indonesia yang sedang berkabung. Kita sungguh mengharapkan reformasi yang sebenarnya, bukan “Reformasi Poco-Poco” yang melenakan segelintir orang dan melupakan rakyat banyak.
_________
*) Pemerhati Reformasi, menetap di Sawangan-Depok.

Monday, January 03, 2005

Court rulling raises uncertainty in energy sector

The Jakarta Post, January 3rd 2005
http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20050103.F01

Eddy Satriya, Jakarta

Economic changes coupled with advances in new technology, the need to conduct good-governance practices, and intensifying pressure to reduce the central government's role have significantly brought new developments to the provision of public utilities and infrastructure in many developing countries.
Waves of deregulation, liberalization and privatization started in the 1980s have had an effect on decision makers in setting up their industries.

The energy sector in Indonesia has also progressed significantly in its reform through the issuance of new regulations. Oil and Gas Law No. 22/2001, Electricity Law No. 20/2002, and Geothermal Law No. 27/2003 were all promulgated after the economic crisis in 1997. The main themes of the new laws are improving the quality of services, abolishing monopoly, defining the new role of the government, and improving public-private partnerships in infrastructure provision. As a result, the energy sector is now ready to open up the domestic market and to redefine the government's role in the industry.

Therefore, it was like a clap of thunder overhead on Dec. 15, 2004, when the news regarding the dissolution of Electricity Law No 20/2002 reached all decision makers, investors and players in infrastructure who assembled in the National Development Planing Board's (Bappenas) hall on Jl. Taman Suropati, Central Jakarta.

The reason for the annulment is that some of the main articles -- article no. 16, 17, and 38 -- of the Electricity Law are against article 33 of the 1945 Constitution. Having the Electricity Law canceled means that the law is no longer effective and all of the contracts and commitments being prepared must be stopped. Thus, at the moment there is no law or basic regulation effectively in place for the electricity industry. Yet, some say that the annulment means that the old Electricity Law No. 15/1985 is the prevailing law. However, that is not automatically the case since the old law had already expired and the decree made by the Constitutional Court canceled Law No. 20/2002 but said nothing about Law No. 15/1985. In short, the annulment has caused a backlash and the virtual eclipse of the power industry. The industry may be led into an even darker tunnel, unless the government and related stakeholders make a quick move to fill the gap.

As a matter of fact, the enactment of Electricity Law No 20/2002 has already marked a new era in the country's power sector. A series of restructuring and reform steps have been taken accordingly. For example, the formulation of the so-termed Blueprint for Indonesia's Power Sector -- also known as Guidelines for the Development of the National Power Industry -- and the establishment of the Electricity Market Supervisory Board through Government Regulation No 53/2003 are among reform steps taken in the sector. In addition, good will for reform has been signaled by the resignation of the former director general of electricity and energy utilization as a member of the board of commissioners of state-owned electricity company PLN.

On the other hand, unfortunately, PLN has not fully recovered yet from the economic crisis. The fact that only half of the population is connected to the grid shows PLN's difficulty in expanding its services. Blackouts and brownouts in some areas outside of Java and Bali islands also indicate a lower grade of electricity services. The company's limited budget for new investment and the rehabilitation of power generators, and the price increases of crude and diesel oil has hampered PLN's activities significantly since about one third of its power generation is oil-fueled.

Other alternative for funding new investments in the system -- ranging from generation, transmission, and the distribution of the power to end-users -- are through foreign debt or loans. However, financing new projects through foreign loans has not been that easy for PLN. Most investors now seek government guarantees due to the poor track record of PLN., as many of its previous projects suffered long delays in the implementation stage.

The other way to improve the power supply service is through increasing the selling price to users. As the sole operator in the country, PLN -- through a government decision -- has successfully increased electricity charges over the last four years. Statistics show that price increases in the electricity tariff are much higher than those of other basic utilities, such as water supply and public transportation. In addition, power losses and inefficiency in management have worsened the overall performance of the power sector. All of these difficulties and the "wait-and-see" attitude of investors in the power sector have caused the deterioration of overall services.

Thus, we arrive at the question: How does this logic actually work? On one side, Electricity Law No. 20/2002 encourages the modernization of the sector through, among other things, redefining the government's role, gradually liberalizing the power sector that has been controlled by one party for decades, and by inviting private participation in the sector. The new Electricity Law has also freed PLN from constructing facilities and providing services in rural and remote areas. Article 7 of the law says that this task has now been transferred to both the central and regional administrations.

On the other hand, the cancellation of the law may throw the industry into uncertainty, which could lead to the deterioration of power supply services and worsen the investment climate at a national level. In other words, the cancellation of Electricity Law No. 20/2002 does not send out a positive signal ahead of the Infrastructure Summit.

The Constitutional Court has made its decision. Yet, we are aware that not all liberalization programs carried out across the world end as success stories. This is not a matter of "the Lexus and the Olive Tree" as underlined by Thomas L. Friedman. But, this is purely a question of which one is now the real enemy to the welfare of the Indonesian people from transition to transition: Monopoly or liberalization? Only time will tell.

The writer is a senior infrastructure economist, working for Bappenas. He can be reached at esatriya@bappenas.go.id