Wednesday, October 29, 2008

Renungan Sumpah Pemuda: "MENGINDONESIAKAN" DUNIA

Salah satu cara untuk "mengindonesiakan" dunia adalah lewat lagu. Mungkin diplomasi ini yang belum tergarap, baik oleh musisi ataupun diplomat. Maksud saya, meski sudah banyak lagu bagus yang diciptakan seniman kita, namun sangat sedikit yang mendunia. Sebaliknya kita sangat welcome dengan lagu berbahasa asing. Bukan hanya Inggris, tapi juga lagu China, Jepang dan India. Sudah selayaknya seniman kita beserta produsernya membidik segmen ini.

Kalau untuk Malaysia dan Singapore tak usah khawatir, kita menyaksikan di Bukit Bintang banyak band lokal my menyanyikan nyaris seluruh lagu pop kreasi anak muda kita seperi Peterpan, D'Masive, Dewa dsb. Begitu pula di sg. Mungkin usaha kebudayaan bisa dirintis lagi, tapi untuk negara dengan berpenduduk besar seperti USA, Jepang dan bbrp negara Eropa yang ada ikatan sejarah dengan kita seperti Belanda, Inggris, dan Portugal.

Tidak usah malu meniru diplomasi yang dilakukan oleh Presiden Marcos dan seniman Phillipina yang dengan cerdik bukan saja mampu menarik ADB untuk berkantor di Manila, tetapi juga bisa mendatangkan penyanyi besar seperti Nat King Cole yang "digiring" menyanyikan salah satu love song terbaik dunia "Dahil Saiyo - Because of You" dalam bahasa Tagalog. Bisa periksa di :http://www.youtube.com/watch?v=tIXpJZzLMrU .

USaha yang telah dilakukan oleh beberapa seniman dan produser untuk penyanyi top Julio Iglesias yang berduet dengan Glen Fredly dan Andre Hehanusa menyanyikan lagu cinta versi bahasa Indonesia patut diacungi jempol sebagai upaya taktis "mengindonesiakan" dunia. Tapi tentu saja frekuensi yang "angat-angat tahi ayam" ini terasa masih sangat kurang dan perlu ditingkatkan.

Mungkin setiap kali lawatan tim kesenian Indonesia, perlu disiapkan sesi khusus "mengindonesiakan" dunia dengan mencari lagu-lagu terbaik kita –tapi lagu yang mudah dan tidak “njelimet”- dan mengajak audiens menyanyikannya. Bukankah merancang visual tampilan untuk berkaraoke (menampilkan lirik) di monitor sudah sangat maju. Andai setiap kali misi kesenian nasional yang mengusung musik daerah juga bisa menyelipkan acara "mengindonesiakan dunia” ini, tentulah bahasa Indonesia akan cepat “mewabah”.

Mungkin ini yang kurang, dan itu menjadi tugas kita semua. Semoga kita mau dan percaya diri melakukannya. Mudah saja, jika anda bisa menyanyi, maka jika di setiap acara anda ikut menyanyikan lagu berbahasa Indonesia, anda sudah mencicil tugas mulia itu. Atau jika suatu saat, anda merasa musik yang disajikan dalam suatu acara didominasi musik barat, anda bisa saja “request” lagu-lagu berbahasa Indonesia. Tapi hati-hati tentu tidak mudah, terlebih jika anda juga keceplosan berkata “bisa request mbak?”, karena artinya anda masih bingung menerjemahkan kata itu.

Selamat “mengindonesiakan dunia”.

(terinspirasi oleh notes Indira Abidin di Facebook)

Sunday, October 12, 2008

Otokritik: Tentang Panik itu.

(Hanya untuk edisi online, tidak dipublish dimedia cetak. Back-to-back edition dengan kritiking.blogspot.com)

Birokrasi diciptakan bertujuan antara lain untuk mengatur dan memberikan pelayanan publik oleh negara kepada penduduknya. Untuk itu ia diberi upah sepadan agar pelayanan bisa sampai dan diberikan sesuai standar dan aturan yang telah ditentukan. Singkat kata, dalam menjalankan tugasnya, birokrasi biasanya tidak sebebas kelompok swasta atau berbagai entitas bisnis lainnya. Karena itu dari dulu dikenal rigiditas birokrasi.

Namun dalam perkembangannya, seiring dengan berjalannya reformasi, terjadi juga berbagai perubahan. Dari dulu birokrasi sering dikambinghitamkan dalam munculnya berbagai persoalan ditengah-tengah bangsa dan rakyatnya. Birokrasi dan aparatnya sering dipersalahkan. Karena itu, untuk memperbaiki pelayanan birokrasi, sering pula ditempuh berbagai jalan pintas yang dianggap "boleh-boleh saja" mengingat tujuannya mulia. Namun kebiasaan memilih dan menggunakan jalan pintas ini tidak diiringi denganperbaikan dan perubahan sistem pelayanan secara sistematis dan berdasarkan aturan yang ada.

Salah satu yang paling sering dilanggar atau dilakukan adalah melaksanakan pekerjaan diluar jam kerja. Beberapa kantor pemerintah sangat sering melakukan ini, termasuk Kantor Kepresidenan, Wapres, Sekneg hingga berbagai kantor Kementerian/Lembaga (KL). Semua nya dilakukan dengan berbagai alasan. Celakanya lembur atau kerja diluar hari kerja dan jam kantor sering sekali kebablasan. Dulu ketika pekerjaan harus dilakukan diluar kota, tidak ada masalah karena Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) masih memberikan biaya yang diperlukan dalam bentuk lumpsum yang bisa cukup flexible digunakan. Namun sejalan dengan perbaikan kondisi PNS dan perbaikan sistem penganggaran, sekarang SPPD beralih ke sistem "at cost", yang belum sepenuhnya "at cost". Seperti biasa, kondisi transisi memang akan selalu membawa korban.


Al hasil, kondisi birokrasi yang terjadi saat ini sangat tergantung kepada "penafsiran" pemimpinnya dilapangan. Meeting bisa dengan seenaknya dilaksanakan jam 7 malam, atau 5 sore ketika pegawai dan sistem birokrasinya sudah mau pulang ke rumah masing-masing. Ah..dianggap biasa. Atau bisa diadakan di hotel di tengah kota dan berlangsung 1 hari penuh atau 2 hari penuh. Ada yang disediakan penginapan, terkadang, seperti yang saya alami minggu lalu, meeting yang menyita waktu dan tenaga di adakan di sebuah hotel di daerah kota, tapi tidak disediakan penginapan. Honor yang diberikan juga hanya cukup untuk biaya transportasi atau membeli bensin dan membayar parkir yang mencapai Rp 20.000 satu haru. Sungguh suatu siksaan bagi yang rumahnya jauh dari kota. Dan berbagai variasi lainnya yang sangat sering tidak sejalan dengan aturan maupun tata cara pembiayaan kegiatan pemerintah.

Kebiasaan-kebiasaan ini sering diperburuk oleh kondisi pimpinan yang kebetulan juga ketua suatu partai atau organisasi sosial dan kemasyarakatan, dimana sempitnya waktu membuat tugas utamanya di pemerintahan sering dinomorduakan. Tidak jarang justru "prime time" ketika semua staf sedang fresh dilewatkan begitu saja karena pimpinan asyik masyuk rapat dengan partai atau organisasi yang dipimpinnya. Baru setelah pimpinan loyo di sore hari, buru-buru rapat dengan stafnya yang juga sudah loyo menunggu di kantor seharian dan sibuk memikirkan cara menghindari kemacetan.

Suatu yang sangat memprihatinkan juga terjadi di era kabinet sekarang, setelah pemerintah melegalkan staf khusus di berbagai tingkatan pemerintahan. Staf khusus ini bisa disetarakan dengan pejabat struktural hingga ketingkat eselon 1, meski umur, pengalaman, dan kepangkatan jauh dari cukup. Namun "power" yang dimiliki dan kedekatan dengan pimpinan, menteri misalnya, telah membuat pejabat karir atau struktural menjadi pasif dan lebih memilih "cari aman" dengan tetap tampil manis tapi sebetulnya tidak melakukan porsi kerja birokrasi yang menjadi tugasnya. Jelas ini suatu langkah yang "smart di tengah kebodohan" karena pejabat tersebut akan tetap terpakai, dimana jabatannya tidak hilang karena tidak terjadi gesekan dengan staf khusus. Namun jelas jika dilihat dari sisi mikro-birokrasi pejabat bersangkutan memilih jalur "produce zero". Kan lebih baik karena dengan tidak memproduksi apa-apa, tidak terjadi kerugian, tapi jabatan tetap di tangan. Bandingkan jika pejabat bersangkutan memilih lebih kreatif dari staf khusus tadi, bisa tergusur dia dari jabatan dan pulang tinggal membawa gaji yang hanya cukup untuk membayar tagihan telepon, listrik, Internet, dan bensin.


Dari uraian dan kondisi di atas, maka ketika pemerintah justru mengadakan rapat dihari libur panjang (Minggu 5 Oktober, diluar hari kerja dan diluar jam kerja) dalam rangka antisipasi krisis jelas ini memberikan sinyal yang salah kepada investor dan spekulan. Apalagi esok Seninnya (6 Okt) nyaris seluruh media cetak dan elektronik seolah sepakat memampangkan headlines "bla..bla...tidak perlu panik...bla..bla". Jelas kondisi ini tidak logic. Rapat dadakan diadakan di hari libur, kok beritanya menyatakan tidak perlu panik dan pemerintah disiratkan tidak panik? Jelas sekali lagi sinyal yang salah, apalagi dilihat dari aturan birokrasi yang berlaku. Tapi sayang memang semua sudah terlanjur terjadi. Maka bagaikan air bah...goyangan dan sentimen negatif dan positif bergantian menerpa bursa dan mempuruk kesan akan kemampuan pemerintah mengendalikan krisis yang semestinya bisa dilakukan dengan lebih "cool".

Perlu kiranya juga untuk tetap diingat bahwa perjanjian jual beli divestasi saham Indosat dulu dengan Temasek (SPV nya ICL) juga dilaksanakan di luar hari kerja dan jam kerja, persisnya di Minggu malam di penghujung tahun itu. Namun perjanjian yang ditandatangani tidak dalam "office hour", bisa diakui seseatu yang "official". Poin saya adalah, praktek-praktek di zaman lalu juga belum terlalu berubah banyak dilantai bursa dan sektor finansial kita hingga saat ini.


Makanya janganlah heran bursa yang belum tahu persis kondisinya ditutup, dibuka, batal dibuka, dan masih tertutup hingga minggu depan. Begitu pula kondisi yang masih sangat belum mature sudah disebutkan sebagai sesuatu yang sudah sangat predictable dengan pernyataan di headline seperti hari ini "Tidak akan Menjelma Menjadi Krisis"(Kompas, 11/10/08). Mengapa kita harus langsung demikian yakin. Tidak adakah ruangan untuk merendah diri dan tidak berlaku arogan ditengah ketidakpastian dunia yang sangat "unpredictable" ini.

Beginilah nasib bangsa jika birokrasi yang memang di seluruh dunia diperlukan untuk mengatur kehidupan kenegaraan, justru diperlakukan dengan sikap munafik. Di pandang sebelah mata. Apakah mungkin berbagai data akurat akan bisa didapat ketika para pejabatnya sendiri sedang libur panjang? Dan justru hasil sesaat ini sekarang menjadi trend untuk digunakan dalam proses pengambilan berbagai keputusan penting. Al hasil, seperti kata salah seorang teman saya di facebook nya, "pemerintah panik karena keseringan menyatakan jangan panik dan tidak perlu panik." Sementara PR tidak pernah dikerjakan secara profesional dan satu kesatuan atau tim.

Panik? Ah mudah-mudahan teman saya itu keliru.

E. Satriya
Pemerhati Reformasi Birokrasi

_______