Wednesday, July 28, 2004

Availability dan Reliability Dalam Telekomunikasi

Majalah Bisnis Komputer Edisi No 7, 20 Agustus 2004
=================Seri Tulisan ICT===================
 
Oleh: Eddy Satriya *)

Availability dan Reliability (A&R) adalah dua kata acuan yang sering digunakan dalam dunia rekayasa (engineering) untuk menyatakan ketersediaan dan keandalan suatu rancangan sistem yang akan dimanfaatkan masyarakat pengguna jasa. Sektor infrastruktur ekonomi, termasuk telekomunikasi, juga telah lama menggunakan kedua indikator ini untuk menyatakan bagus tidaknya tingkat pelayanan jasa bagi pengguna. A&R suatu jasa publik digolongkan bagus apabila bisa melayani penggunanya kapan saja. Artinya, pengguna jasa di wilayah yang memang sudah terlayani dapat menggunakan jasa tersebut 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu. Namun ketersediaan harus diiringi pula oleh keandalan. Keandalan suatu layanan disebut sempurna apabila setiap kali menggunakannya, maka sipengguna jasa terlayani dengan baik tanpa mengalami kegagalan layanan.

Sektor telekomunikasi termasuk jenis jasa yang menuntut tingkat A&R tinggi. Idealnya bisa mencapai tingkat 99.999 persen untuk ketersediaan dan keandalan. Artinya suatu operator telekomunikasi, misalnya operator telepon tetap atau seluler, hanya diizinkan 0,001 persen mengalami kegagalan dalam penyediaan jasanya. Dalam hitungan waktu, operator tersebut dikatakan mempunyai kinerja baik apabila mengalami kegagalan menyediakan jasanya tidak lebih dari 5.26 menit (0.001 x 0.01 x 365 x 24 x 60) dalam setahun. Sektor telekomunikasi biasanya menuntut tingkat ketersediaan yang cukup tinggi, yaitu minimal 99.99 persen. Demikian pula keandalan sistem juga diharapkan sebaik mungkin.

Mengapa A&R penting dan dituntut setinggi mungkin? Karena memang suatu keharusan. Idealnya, tidak bisa ditawar-tawar, mutu layanan suatu jasa haruslah mendekati sempurna. Bisa anda bayangkan seseorang yang dalam bahaya maut karena ancaman perampok  yang sangat ganas didalam rumah atau tokonya, kemudian berhasil meraih gagang telepon untuk menghubungi “emergency line” 112 (kalau di USA 911). Tetapi akhirnya terpaksa kehilangan harta benda dan bahkan nyawa anggota keluarga atau anak buahnya karena sambungan telepon tidak berfungsi sehingga gagal memperoleh pertolongan. Seandainya telepon berfungsi, sambungan sering pula tidak berhasil tersambung dengan baik. Juga, sebagian kita mungkin pernah mengalami peristiwa darurat lainnya seperti kecelakaan, opersi mendadak, kematian, ataupun kelahiran, yang harus dikomunikasikan kepada anggota keluarga melalui ponsel namun harus kecewa karena tiba-tiba saja sambungan ponsel anda tidak memperoleh sinyal di area yang tadinya tidak punya masalah sinyal. Contoh peristiwa di atas tidaklah mengada-ada, tapi itulah gambaran betapa pentingnya para operator telekomunikasi untuk memperhatikan A&R sesuai standard of procedure.

Dalam era kompetisi yang semakin ketat di sektor telekomunikasi saat ini, para operator semakin tidak dapat mengabaikan faktor A&R ini. Menjadi pertanyaan sekarang, bagaimanakah kondisi A&R operator telekomunikasi kita? Hal ini tidaklah mudah dijawab. Kelihatannya regulator telekomunikasi saat ini masih belum maksimal memantau dan memacu A&R yang tinggi kepada operator. PT. Telkom sebagai operator telepon tetap terbesar di Indonesia sejak lama terus berjuang keras agar mereka benar-benar bisa menjadi World Class Operator yang memiliki tingkat A&R tinggi, disamping harus mencapai indikator lain seperti efisiensi sumber daya manusia (SDM), kecepatan perbaikan gangguan, dan lain-lain. Successful Call Ratio (SCR) sebagai salah satu varian untuk mengukur keandalan sambungan suatu operator, diperkirakan baru mencapai sekitar 80% atau bahkan lebih rendah, baik untuk incoming call maupun outgoing call.

A&R yang akurat dan tinggi juga berarti pendapatan (revenue). Operator seluler terlihat cukup menyadari hal ini dan terus meningkatkan keandalan sistem mereka. Karena itu kita saksikan ekspansi besar-besaran yang terus dilakukan oleh para operator seluler seperti Telkomsel, Indosat group (IM3 dan Satelindo), Excelcom, dan lain-lain guna meningkatkan ketersediaan jasa mereka. Sekarang sangatlah mudah bagi pelanggan untuk berpindah-pindah operator. Jasa layanan sambungan prabayar yang telah menjadi salah satu penyumpang pendapatan utama operator, terus berlomba memberi berbagai kemudahan untuk memanjakan pelanggan mereka agar tidak pindah ke operator lain.

Perilaku pelanggan jasa telekomunikasi Indonesia menarik pula untuk dicermati. Sebagian besar pelanggan mungkin belum memahami benar arti A&R ini. Namun dalam keseharian mereka tanpa sadar telah mempraktekkan bahwa mereka harus memiliki A&R setinggi mungkin. Kalau bisa lebih dari 100 persen. Karena itu sampai sekarang sangat banyak pengguna jasa telekomunikasi yang kemana-mana menenteng lebih dari satu pesawaat ponsel dari operator atau jenis layanan yang berbeda. Tanpa sadar mereka telah “mengakali” kondisi belum bagusnya tingkat A&R yang ada saat ini. Dengan memiliki dua operator seluler berbeda, mereka merasa aman dalam mendapatkan layanan telekomunikasi seluler. Bukan lagi 100%, tetapi bahkan mungkin 150% atau lebih. Jika kondisi ini terus dibiarkan berlangsung tentu merupakan pemborosan yang cukup besar, baik dari sisi penyedia jasa ataupun dari sisi konsumen.

Gejala yang sama juga terjadi dalam ber-Internet. Banyak pengguna Internet yang tidak merasa aman jika hanya menggunakan satu email account. Rata-rata kebanyakan kita tidaklah merasa tenang kalau hanya menggunakan email account dari ISP langganan domestik. Karena itu kita masih merasa perlu memiliki lagi email account  seperti dari Yahoo, Hotmail dan lain-lain. Memang belum ada penelitian yang akurat tentang perilaku ini. Namun dari pengamatan sehari-hari, kiranya hal tersebut dapat dilihat secara kasat mata.

Menghadapi situasi seperti diuraikan di atas, sudah seyogyanya operator telekomunikasi ataupun penyedia jasa Internet terus memperhatikan tingkat A&R jasa layanan mereka disamping terus menerus melakukan ekspansi dan penambahan area layanan (aksesibilitas). Di sisi lain, pengguna jasa sudah sepatutnya pula mulai menyadari hal ini dan mampu memilih jenis jasa yang memang diperlukan. Penggunaan perangkat telekomunikasi yang hanya untuk pamer kekayaan atau untuk suatu kegiatan yang tidak ekonomis sudah selayaknya dikurangi. Sebagaimana halnya dengan sektor energi dan sumber daya mineral yang semakin terkuras cadangannya, otoritas pengelola sektor telekomunikasi juga sudah sewajarnya mulai memperhatikan hal ini. Bagaimanapun frekuensi radio, alokasi bandwidth, dan slot orbit satelit komunikasi merupakan sumber daya bernilai ekonomis tinggi yang tidak tak terbatas yang harus digunakan secara hemat dan efisien.

________
*) Senior Infrastructure Economist, bekerja di Bappenas ( eddysatriya.blogspot.com )

Tuesday, July 27, 2004

Pemerintah Diminta Buat Cetak Biru TI

Tuesday, 20 Jul 2004  / Bisnis Indonesia

Jakarta - Pemerintah dinilai perlu menyusun cetak biru teknologi informasi (IT) mengenai pemberdayaan sektor industri dan perdagangan dengan melibatkan semua unsur agar bisa bersaing dalam perdagangan internasional.

Rudy Rusdiah, pengamat masalah telematika mengatakan tim koordinasi telematika Indonesia (TKTI) yang merupakan gabungan dari unsur pemerintah dan swasta perlu memfokuskan pada pemanfaatan penggunaan teknologi telematika bagi kesejahteraan bangsa, terutama untuk memberdayakan sektor industri dan perdagangan.

"Cetak biru IT untuk industri dan perdagangan yang berorientasi ekspor seharusnya dimiliki sebuah negara. Bahkan cetak biru itu harus selalu diperbarui sesuai dengan tren teknologi dan perkembangan ekonomi global," katanya kepada Bisnis kemarin.

Pemerintahan baru mendatang, tambah Rudy, perlu meningkatkan koordinasi pada sektor telematika antara kementerian portofolio dan nonportfolio mengingat banyaknya masalah yang tidak bersifat sektoral seperti single ID system.

Rudy mengatakan kendala dalam menyusun cetak biru IT industri dan perdagangan biasanya datang dari perusahaan besar yang tidak menginginkan perubahan. Padahal, lanjutnya, selama krisis ekonomi berlangsung, industri skala kecil menengah justru lebih berperan dibandingkan perusahaan besar.

Salah satu contoh aplikasi IT dalam industri dan perdagangan, kata dia, adalah barcoding system menggunakan teknologi wireless fidelity (Wi-Fi). Dengan teknologi nirkabel tersebut, data dalam barcode bisa dikirim secara online ke pusat workgroup application server dan langsung masuk database server sebagai executive information system.

"Wireless coding (RFID) merupakan salah satu teknologi yang banyak dipakai pada supply chain dan industri ekspor di negara maju sehingga Indonesia perlu menyiapkan hal itu. RFID bersifat sektoran terutama untuk industri makanan dan elektronika."

Sementara itu Onno W Purbo, pakar telematika mengatakan cetak biru IT untuk industri dan perdagangan dirasa belum terlalu mendesak. "Yang jauh lebih penting adalah bagaimana supaya 100 juta pekerja Indonesia memiliki ponsel dan 5.000 kecamatan di Indonesia telah terhubung sambungan telepon agar terjadi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berbasis IT bukannya mengutamakan ekspor," katanya.

Eddy Satriya, pengamat IT juga mengungkapkan rencana penyusunan cetak biru IT untuk industri dan perdagangan untuk saat ini masih kurang tepat.

"Sektor telematika, khususnya IT, saat ini sedang dalam tahap konsolidasi. Jadi kurang tepat jika harus menambah regulasi atau kebijakan baru sementara beberapa regulasi yang telah terbit masih banyak yang belum diimplementasikan." (02) 

Monday, July 26, 2004

KETIKA KAUM INTELEKTUAL BERPESTA

Forum Keadilan Edisi 14, 1 Agustus 2004
==========seri tulisan reformasi============

Oleh:  Eddy Satriya *)

Denny JA sebagai salah seorang intelektual muda Indonesia - kita sebut saja begitu sesuai dengan istilah yang digunakannya - menjelang Pemilu Presiden lalu terlihat seperti "orang kebakaran jenggot". Bukan karena kesibukan barunya mendampingi salah satu pasangan Capres dan Cawapres, tetapi karena harus memberikan berbagai penjelasan terhadap tuduhan pengkhianatan intelektual atas dirinya. Tercatat antara lain Arvan Pradiansyah dari Jakarta (Tempo, 13/06/04) dan Eman Rahman dari Bekasi (Tempo, 27/06/04) yang mengutarakan tuduhan tersebut sekaligus meragukan indepedensi Denny. Tuduhan-tuduhan itu ditangkis Denny baik melalui Lembaga Survey Indonesia - LSI (Tempo, 20/06/04) ataupun langsung melalui dua artikel sejenis dengan judul berbeda yang terbit pada hari yang sama. (Media dan Pembaruan, 28/06/04).
Denny membela diri antara lain dengan menyatakan bahwa kaum intelektual sebenarnya tidaklah mungkin terus-terusan "berumah di atas angin", berdiri di atas semua golongan, dan pada saatnya nanti sesuai perkembangan politik mereka harus mengambil posisi yang tegas. Sementara staf LSI mencoba memberikan klarifikasi tentang penggunaan hasil survey dan independensi Denny.
Tuduhan dan sanggahan yang silih berganti tersebut sangatlah menarik untuk ditelaah lebih dalam, sehingga bisa didapat suatu benang merah persoalan yang merupakan bagian dari puluhan permasalahan nasional saat ini.
Pengkhianatan intelektual dari berbagai sudut pandang telah sering dibahas. Dalam tulisan ini saya ingin membahasnya dari sudut praktis di lapangan, khususnya terkait dengan aspek kehidupan berbangsa dan bernegara kita dalam enam tahun terakhir ini. Phenomena intelektual memanfaatkan ilmu dan keahliannya untuk memperoleh imbalan, baik berupa kepuasan kerja karena gagasannya bisa diwujudkan ataupun imbalan materi, sesungguhnya bukanlah phenomena baru. Tidak ada yang salah disitu. Masalah baru muncul jika para intelektual lupa dengan alur dan patut. Yaitu ketika mereka menggunakan ilmu pengetahuannya yang tidak sesuai dengan alur atau melanggar nilai kepatutan yang berlaku di tengah masyarakat.
***
Semakin tingginya intensitas dan kualitas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) tidak pelak lagi telah menjadi salah satu sebab utama keterpurukan bangsa Indonesia setelah terbebas dari rezim otoriter. Selain lemahnya hukum, KKN juga disebabkan oleh rendahnya gaji resmi birokrat atau aparatur negara yang diserahi mandat kekuasaan. Rendahnya gaji atau tingkat upah ini telah memaksa mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup atau mempertahankan gaya hidup yang sudah diraih sebelumnya dengan berbagai cara.
Ada yang memilih cara yang benar sehingga menghasilkan tambahan penghasilan yang halal, tapi lebih banyak lagi yang menggunakan cara-cara berbau KKN yang sangat merusak. Mental KKN yang berdayarusak maha hebat ini disadari atau tidak juga telah merambah banyak kaum intelektual: baik yang muda atau yang tua; di lingkungan swasta, birokrasi maupun akademisi; dan di pusat maupun di daerah. Ketika krisis ekonomi tidak kunjung reda dan teratasi, maka alternatif utama yang dijadikan objek KKN adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), baik rutin ataupun pembangunan. APBN telah menjelma menjadi "shabu-shabu" bagi sebagian besar mereka yang bersinggungan dengannya. Semakin dihisap, semakin mencandu, dan semakin tinggi pula tingkat ketergantungan mereka.
Pucuk dicinta ulam tiba, hajatan besar pesta demokrasi datang tepat pada waktunya. Karena itulah dalam Pemilu 1999 kita lihat banyak sekali kaum intelektual dari berbagai kalangan tampil mengaktualisasikan dirinya dalam kancah politik, baik secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi. Ujung-ujungnya jelas, tidak harus duit, tetapi kesempatan "kerja" di berbagai posisi pemerintahan. Karena itu di awal pemerintahan Megawati, banyak Departemen, Kantor Menteri Negara, dan Lembaga Non Departemen yang "ketitipan" kaum intelektual sebagai Staf Ahli dan lain-lain. Jika posisi struktural sudah penuh, mereka diangkat sebagai staf khusus. Dalam prakteknya staf khusus ini sering lebih dominan daripada staf resmi yang ada di Kementerian, Kantor Wakil Presiden, maupun di lingkungan Istana. Jika ada kunjungan Presiden atau Menteri keluar negeri, kaum intelektual biasanya lebih berkibar. Maklum, namanya juga intelektual. Ada pula intelektual yang memilih karir politik, baik coba-coba alias "kutu loncat" ataupun secara serius menekuninya.
***
Kelihatannya pengalaman Pemilu 1999 terulang lagi. Apalagi suasana dan sistem Pemilu untuk Capres dan Cawapres 2004 sangatlah kondusif. Karena itu sekarang banyak kita saksikan kaum intelektual kembali memainkan peran yang sama dengan skala yang lebih dahsyat dan terkadang nyaris tanpa memperlihatkan rasa malu.
Saya pernah merasa geli sendiri ketika memenuhi undangan diskusi yang mengambil tema mengatasi pengangguran dan pemberantasan kemiskinan di Gedung The Habibie Center, Jakarta Selatan pertengahan Juni 2004 lalu. Dari lima pembicara yang direncanakan, ternyata hadir tiga pembicara yang diperkenalkan moderator sebagai Tim Ahli pasangan Capres-Cawapres tertentu. Geli karena mereka menyampaikan progam untuk mengatasi pengangguran, tapi sehari-harinya mereka malah mengambil kesempatan kerja orang lain. Kebetulan ketiga pembicara tersebut tanpa sungkan juga sempat bercanda menunjukkan bahwa mereka pernah atau sedang merangkap sebagai komisaris di tiga Bank berbeda, disamping sebagai Tim Ahli pasangan Capres-Cawapres di musim kampanye, serta jabatan lainnya.
Disamping geli, juga timbul rasa heran dan iba saya. Betapa seorang akademisi dari sebuah universitas terkenal dari Yogyakarta yang selama ini cukup independen dan sering mengajukan koreksi atau kritik terhadap berbagai kebijakan ekonomi pemerintah, ternyata juga tidak mampu menahan daya tarik politik. Jika beberapa bulan lalu dia masih mengkritisi kebijakan ekonomi pemerintah, maka sekarang justru menjadi tim ahli Capres dari partai yang berkuasa.
Pembicara lainnya tidak jauh berbeda. Serasa baru kemaren mereka "menghakimi" kebijakan pemerintah tentang privatisasi, penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan lain sebagainya. Sekarang tiba-tiba saja mereka sudah "pasang badan" menjadi Tim Ahli Capres-Cawapres tertentu.
***
Rangkap jabatan - mulai dari akademisi, menjadi birokrat, ditawari posisi komisaris, merangkap direktur lembaga penelitian, Ketua Tim "ABCD", pembina LSM, anggota komisi, dan yang paling "gres" menjadi Penasihat Dewan Komisaris BUMN - adalah pola baku yang diwariskan orde baru. Lika-liku rangkap jabatan ini pernah saya uraikan secara rinci dalam "Dosen, Peneliti, dan Birokrat" (Sinar Harapan, 11/1/03) serta "Jabatan Rangkap: Benarkah Sebuah Dilema?" di portal Ikatan Alumni ITB (2/8/03) yang bisa juga diakses di situs eddysatriya.blogspot.com .
Sekarang jelas bahwa masalah utamanya bukan lagi sekedar pengkhianatan intelektual. Menjadi pertanyaan kemudian, "Adilkah kita menyalahkan intelektual muda dalam kondisi memprihatinkan seperti ini?" Di satu sisi jalan pintas tersedia, senior berbuat serupa, bisnis pers dan kemajuan multimedia sangat mendukung untuk "menjual" figure intelektual guna menaikkan rating stasiun radio dan televisi, faktor jam terbang diabaikan, rasa hormat kepada pemimpin dan orang tua semakin terkikis. Di sisi lain, aturan tidak jelas.
Jika Denny mengambil contoh praktek intelektual di Amerika Serikat, maka ada baiknya kita melihat ke Timur. Seorang akademisi di Kyoto University, Jepang, untuk sementara terpaksa melepaskan tugas profesornya. Ia memilih mempertahankan jabatan sebagai Direktur di salah satu pusat penelitian ketika menerima tawaran menjadi Direktur Jenderal dalam kabinet baru. Keputusan itu harus diambilnya karena di universitasnya hanya diperbolehkan menyandang maksimal dua jabatan.
Lantas apa yang harus dilakukan? Sudah sebaiknya kita segera mengakhiri status quo ini dalam arti nyata. Tingkat upah atau gaji, termasuk untuk profesi yang banyak diemban oleh para intelektual, harus segera diperbaiki. Selain itu, rangkap jabatan harus dibatasi misalnya maksimal dua atau tiga posisi dengan aturan, pengawasan, dan sanksi yang jelas. Adalah ironi - maaf sudah sering saya ulang - tatkala TNI sudah melakukan reposisi dan mengakhiri Dwi Fungsi ABRI, pemerintahan sipil justru "melanggengkan" multi fungsi dan jabatan rangkap.
Rasanya tidaklah perlu menghentikan aktivitas Denny JA seperti dikeluhkan Bung Arvan dan Erman, ataupun menyetop "pesta" kaum intelektual lainnya yang sudah terlanjur berjalan dalam ajang kampanye Capres-Cawapres yang kini memasuki babak baru untuk pertama kalinya. Menjadi apapun seorang intelektual adalah pilihannya untuk bertahan hidup, mempertahankan gaya hidup atau belasan alasan lainnya. Sementara aturan yang tegas belum ada, kita hanya bisa meminta mereka untuk kembali memahami alur dan patut, serta lebih jujur mendengarkan nuraninya. Bak kata pepatah "Janganlah tongkat yang membawa rebah!"
Mau dan mampukah anda intelektual Indonesia? Semoga.

Wednesday, July 14, 2004

G-8, Indonesia, dan Telematika

SUARA PEMBARUAN, 14  Juli 2004
=======Seri Tulisan ICT========

Oleh Eddy Satriya

PERTEMUAN puncak para pemimpin kelompok negera maju (G8) di Sea Island, Georgia, Amerika Serikat (AS), yang berlangsung tanggal 8 - 10 Juni 2004 lalu, mengagendakan penghapusan utang bagi negara miskin, peran Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Irak, dan kerangka kesepakatan perdagangan global. Pertemuan puncak tersebut juga telah merekam saling sindir antara Presiden AS George W Bush dan beberapa pemimpin negara Eropa tentang pertumbuhan ekonomi. Namun ada satu wacana yang menggugah saya, yaitu pandangan yang disampaikan oleh pemimpin Italia.

Dalam pertemuan itu, PM Italia Silvio Berlusconi menyampaikan niatnya untuk mengundang Cina dan India dalam pertemuan G-8 selanjutnya. Berlusconi berpendapat bahwa membicarakan prospek ekonomi global di masa depan tidaklah masuk akal tanpa melibatkan kedua negara besar di Asia tersebut. Usulan PM Italia ini sudah seharusnya kita cermati dan antisipasi dalam menyongsong era globalisasi dan kompetisi yang sebenar-benarnya.

Meski banyak ekonom meragukan statistik ekonomi kedua negara, khususnya Cina, tidak bisa dimungkiri bahwa potensi ekonomi dan pasar yang besar memang telah membuat keduanya semakin tidak bisa diabaikan. Usulan Berlusconi tersebut saya katakan menggugah, karena di samping kemajuan di berbagai sektor ekonomi, Cina dan India sebenarnya masih merupakan negara yang tergolong middle dan lower income country. Namun keduanya telah berhasil memanfaatkan kemajuan dalam bidang Information and Communication Technology (ICT) untuk mendorong pertumbuhan ekonominya.

ICT yang saat ini sering didefinisikan sebagai konvergensi dari telekomunikasi, teknologi informasi (IT), multimedia dan penyiaran, telah menjadi alternatif industri baru bagi Cina dan India pasca-serangan teroris 11 September 2001. Dalam Bahasa Indonesia, ICT dikenal juga dengan istilah telematika.

Menariknya, kemajuan yang telah diraih Cina dan India dalam telematika sebenarnya dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana, bukan dari suatu program besar pemerintah. Cina mengalami booming kegiatan outsourcing beberapa industri komputer besar AS pada awal 1990-an. Bermula dari tingginya kebutuhan akan tenaga programmer dan operator Electronic Data Processing untuk memproses data dalam penyusunan perangkat lunak, seperti kamus dan ensiklopedi.

Kemampuan sumber daya manusia Asia yang di atas rata-rata untuk bidang eksakta telah sangat membantu perkembangan telematika di daratan Cina. Ditambah lagi banyaknya tenaga muda lulusan universitas di Amerika Serikat dan Eropa yang memilih kembali pulang kampung. India, di sisi lain, sedikit lebih beruntung.

Seorang rekan saya warga negara India yang juga menjabat sebagai senior economist di Asia Development Bank, pada bulan Juni 2001 membuka rahasia di balik sukses India memajukan industri telematika, khususnya dalam menumbuhkembangkan pusat-pusat riset dan industri IT lokal, baik untuk hardware maupun software.

Ia mengungkapkan bahwa bersamaan dengan booming industri IT di AS pada pertengahan 1990-an, India secara kebetulan baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi secara besar-besaran khusus untuk tenaga di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai universitas terkenal di dunia. Persis seperti program yang pernah dilaksanakan mantan Menristek BJ Habibie dalam merekrut lulusan terbaik SMA dikurun waktu 1980-1990, untuk disekolahkan keluar negeri lalu kemudian ditempatkan dalam beberapa industri strategis ataupun instansi pemerintah.


Faktor SDM

Faktor SDM di Cina dan coincidence yang sangat menguntungkan di India, telah mampu membuka tambahan lapangan kerja baru. Anjloknya harga saham perusahaan IT dan rontoknya perusahaan dotcom pasca WTC New York, juga telah memaksa profesional IT India dan China untuk mencari pekerjaan keluar AS, dan mengambil langkah B to B dan B to C. Bukan Business to Business atau Business to Citizien/Consumer, tapi "Back to Bengalore" dan "Back to Chinnai". Kesemua itu telah memberikan kontribusi besar bagi ekonomi kedua negara.

Bila dilihat perbandingan makro ekonomi dan kondisi telematika, Cina dan India telah maju pesat dalam penyediaan prasarana telekomunikasi yang terlihat dari total pelanggan telepon, maupun dalam hal investasi telekomunikasi, serta aksesibilitas Internet dan TV Kabel. Meskipun sama-sama tergolong negara miskin, Cina dan India jauh meninggalkan Indonesia.

Total pelanggan telepon Cina pada tahun 2001 sudah mencapai 323 juta satuan sambungan (ss), India 40 juta ss, sedangkan kita baru 13 juta ss. Jika menggunakan data awal 2004, pelanggan telepon selular memang meningkat pesat hingga memberikan angka total pelanggan telepon menjadi sekitar 30 juta ss. Namun Cina dan India telah meningkat dengan lebih cepat lagi. Dari sisi pengguna Internet pun kita tertinggal cukup jauh, terutama dari Cina.

Memperhatikan kemajuan India dan Cina, sudah sewajarnya kita melihat pula perkembangan yang telah dicapai Indonesia. Walaupun belum maksimal, Indonesia telah menikmati lumayan banyak peluang bisnis di sektor telematika.

Sebut saja peningkatan jumlah penggunaan komputer di rumah tangga, sekolah dan perkantoran, kemajuan dunia multimedia dan hiburan yang membutuhkan perangkat telematika cukup besar, ritel aksesori telepon selular yang menjamur, dan kebutuhan berbagai jenis perangkat komputer dan telekomunikasi untuk memenuhi hasrat berkomunikasi data yang murah.

Tidak ketinggalan pula manfaat yang telah dinikmati media masa cetak/elektronik dan sektor riil lainnya yang menyerap banyak tenaga kerja. Menjadi pertanyaan sekarang, akankah kemajuan tersebut dapat ditingkatkan, atau setidaknya dipertahankan setelah terbentuknya pemerintahan baru perioda 2004-2009? Mungkinkah suatu saat nanti kita juga menjadi negara yang dipertimbangkan sebagaimana halnya Cina dan India?

Pertanyaan bernada kekhawatiran tersebut sudah sewajarnya mencuat. Walaupun banyak kemajuan yang telah dicapai, masih ada beberapa kendala yang membatasi sampainya jasa telematika dengan mutu layanan yang baik, aksesibilitas yang luas dan harga yang terjangkau kepada seluruh lapisan masyarakat.

Sebut saja kendala geografis, rendahnya daya beli sebagian besar masyarakat, kebijakan yang masih belum pro-kompetisi sesuai amanat Undang-Undang Telekomunikasi No 36 Tahun 1999, mahalnya biaya investasi, rendahnya awareness masyarakat dan pejabat akan potensi telematika, tarif yang belum menunjang, serta belasan kendala lainnya yang tidak akan habis-habisnya dibahas. Kesemuanya itu membuat usaha memperkecil digital divide semakin tidak mudah.

Maju tidaknya telematika Indonesia sesungguhnya selain tergantung kepada upaya pengembangan sektor itu sendiri, juga sangat ditentukan oleh sasaran pembangunan masyarakat (society) seperti apa yang akan dituju dalam jangka menengah dan jangka panjang. Diperkirakan program pembangunan pemerintah mendatang masih akan difokuskan kepada usaha-usaha mempertahankan Negara Kesatuan RI, meneruskan program reformasi kepemerintahan dan kehidupan berpolitik, mengatasi pengangguran, dan meningkatkan pelayanan sosial dasar kepada masyarakat.

Sayangnya setelah meneliti berbagai program pembangunan yang ditawarkan lima pasang capres dan cawapres, kita memang terpaksa mengurut dada karena nyaris tidak ditemukan kata-kata "telekomunikasi", "informasi", apalagi "telematika" dalam rangkaian program mereka.

Namun kondisi itu tidak harus membuat kita pesimistis. Kita juga salah satu bangsa besar dan pernah berjaya dibidang telematika, khususnya telekomunikasi satelit. Kemampuan SDM dibidang eksakta juga tidak kalah dibandingkan Cina dan India. Karena itu semakin menjadi tantangan bagi seluruh stakeholder telematika di Indonesia untuk memberikan masukan kepada pemerintahan baru terpilih nanti.


Penulis adalah pemerhati telematika dan knowledge based economy, bekerja di Bappenas.


Tuesday, July 13, 2004

Keledai Paling Unggul

Majalah Forum Keadilan No. 12, 18 Juli 2004
=======serial tulisan reformasi========

Oleh: Eddy Satriya *)

Syahdan, seluruh penghuni kebun binatang di sebuah kota sedang riuh rendah menyelenggarakan suatu hajatan besar. Hajatan itu adalah pemilihan Raja Kebun yang akan menjadi tumpuan harapan seluruh warga binatang agar bisa segera lepas dari berbagai belenggu keterbelakangan. Warga binatang menyadari sekali bahwa kebun mereka sudah semakin kumuh dan sepi pengunjung. Karena itu, ketika hari pemilihan semakin dekat seluruh warga binatang terlihat makin antusias menyambut pemilihan Raja Kebun.

Para kontestan calon raja sudah berhasil dijaring melalui proses yang cukup melelahkan. Ada utusan dari macan tutul dan ada pula utusan dari kelompok singa yang terus didorong oleh pendukungnya untuk tetap menjadi raja. Menariknya lagi, kelompok kancil sudah menyiapkan pula Jago Kancil yang sangat cerdik dan berilmu tinggi. Sementara itu, ada pula kelompok akar rumput (grassroot) yang sudah menyiapkan jagonya yaitu Mbah Gajah yang sangat anggun penampilan dan tutur bahasanya. Unggas pun ingin pula agar kelompoknya bisa menikmati posisi tertinggi di kebun itu. Untuk itu mereka kirimkan wakilnya seekor burung beo berbulu hijau metalik dengan noktah-noktah hitam disekitar mata. Terakhir, ada pula binatang yang sampai sekarang belum diketahui spesiesnya yang juga tercatat sebagai kontestan. Walaupun tidak diketahui jenisnya, eksistensi binatang ini terasa sekali.

Kesadaran yang sangat tinggi untuk segera mereformasi kehidupan, telah membawa warga kebun binatang itu kepada keputusan untuk menyerahkan proses pemilihan raja kepada kelompok keledai. Keledai diberi kehormatan dan kepercayaan melimpah karena konon kelompok keledai di kebun itu tergolong binatang yang paling cerdas dan cekatan. Bukan sembarang keledai, tetapi keledai terpilih yang telah lulus dari berbagai proses penyaringan. Ada yang berasal dari Perguruan Mamiri, Perguruan Cenderawasih, Perguruan Jembatan Merah, Perguruan Sangkuriang, dan Perguruan Janur Kuning. Pokoknya kelompok keledai itu dianggap laksana Dewa-Dewi dari negeri Yunani yang sangat diandalkan untuk memperbaiki mutu pemilihan Raja Kebun.

Sebelumnya, pelaksanaan proses pemilihan dilaksanakan oleh sekelompok tikus. Tikus-tikus ini dianggap tidak profesional lagi, suka mengerat kotak suara dan isinya, terkadang juga dituding merekayasa tabel hasil perhitungan. Karena itu secara aklamasi dan seperti babi buta, warga kebun binatang bersepakat mencabut mandat pelaksanaan pemilihan dari kelompok tikus dan memberikan kepercayaan kepada keledai.

Proses pengambilan suara tahap awal telah berlangsung di seluruh pelosok kebun dengan relatif tenang, tertib dan lancar. Namun kericuhan akhirnya pecah juga ketika memasuki tahap penghitungan suara. Ternyata rancangan surat suara yang terbuat dari daun pisang itu bisa menyesatkan pemilih atau tergolong “poorly designed ballot”. Kasusnya mirip dengan yang terjadi di Kebun Binatang disebuah negeri Adidaya pada tahun 2000 lalu. Alhasil, hampir sepertiga surat suara dianggap bermasalah karena coblosan terjadi diluar kotak yang disediakan.

Sungguh suatu kejadian yang bisa membahayakan proses pemilihan raja. Banyak binatang menyalahkan kelompok keledai karena dinilai lalai melaksanakan tugas. Para keledai kelihatannya terlalu sibuk tampil di berbagai panggung pertunjukan dan tidak maksimal melakukan simulasi serta mensosialisasikan tata cara pencoblosan surat suara. Namun banyak juga yang sudah malas memprotes karena keledai di kota itu terkenal paling pintar “ngeles”. Warga hanya bisa mengurut dada, apalagi keledai tersebut berilmu tinggi.

Menyadari kekeliruan tersebut beberapa keledai dengan sigap mengeluarkan maklumat kepada wakil-wakil keledai yang tersebar diseluruh penjuru kota. Pada prinsipnya, semua surat suara yang bermasalah itu harus dihitung ulang dan dinyatakan sah. Tidak lupa, Ketua Para Keledai menyatakan bahwa mereka tidak perlu meminta maaf atas edaran tersebut. Padahal kondisi di lapangan jauh berbeda.

Ada warga binatang yang menyandera kotak suara jika tidak diberi tambahan ransum, ada pula yang tidak mau melaksanakan hitung ulang karena mereka sudah terlanjur mengambil keputusan atas surat suara yang bermasalah. Bahkan ada pula yang merasa takut kalau-kalau kontestan mereka yang sudah menang tipis, bisa-bisa berbalik menjadi kalah.

Para penghuni kebun juga sangat mengkhawatirkan jika ada provokator-provokator yang memanfaatkan situasi kisruh ini untuk kepentingan kontestan tertentu, ataupun untuk memperburuk keadaan kota. Bisa-bisa pekerjaan yang telah menghabiskan ongkos sangat besar itu terancam gagal. Namun untunglah seluruh warga kebun binatang itu tergolong binatang yang berbudaya. Mereka memang lebih mendahulukan kepentingan umum.

Ada seekor burung Cucakrowo yang masih penasaran mengapa keledai yang ditunjuk melaksanakan peristiwa besar itu dan kenapa tidak minta tolong saja pada manusia yang ada diluar kebon. Ketika hal itu ditanyakannya kepada keledai, dengan ringan sang keledai memperlihatkan keunggulannya:”Keledai tidak mau masuk lobang yang sama, tapi manusia sering mengulanginya!”

Dasar keledai.
_________
*)Pemerhati Reformasi, menetap di Sawangan-Depok

&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

Monday, July 12, 2004

'Kaji tarif flat telepon lokal'

Teknologi Informasi

Bisnis Indonesia, 12 Juli 2004

JAKARTA (Bisnis): Pemerintah perlu mengkaji alternatif pemberlakuan tarif flat telepon lokal untuk mempercepat pertumbuhan Internet di pedesaan sebagai salah satu terobosan dalam mengembangkan bidang telematika di Indonesia.
Senior Infrastructure Economist Bappenas dan penulis masalah telematika nasional, Eddy Satriya, mengatakan potensi Internet yang begitu besar dalam berbagai sektor perlu ditingkatkan penyebarannya dengan cara pemberlakuan tarif flat untuk telepon lokal.

"Dengan adanya pemberlakuan tersebut maka akan mendorong beberapa Internet Service Provider [ISP] untuk membuka cabangnya di daerah mengingat potensi Internet yang cukup besar. Potensi tersebut antara lain dalam hal penyebaran ilmu pengetahuan, teknologi, riset, e-governance dan ekonomi," ujarnya kepada Bisnis akhir pekan lalu.

Selama ini, lanjut dia, berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dalam hal restrukturisasi dan informasi masih cenderung lambat dan belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat.

"Upaya tersebut antara lain terlihat dalam UU No. 36 tentang Telekomunikasi, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), kebijakan Duopoli dan cetak biru tentang Telekomunikasi," ujarnya.

Dia menambahkan, pemberlakuan tarif flat pada telepon lokal perlu dilakukan dengan sistem segmentasi pada perumahan, korporasi dan fasilitas masyarakat.

Pemberlakuan tarif flat tersebut, tambah Eddy, juga bisa memberdayakan unit Usaha Kecil Menengah (UKM), mengurangi pengangguran dan bisa mendorong masyarakat untuk berhadapan dengan informasi dari luar.

"Saat ini jumlah sambungan telepon tetap adalah sekitar 10 juta sementara pelanggan Internet sekitar satu juta orang, maka dengan adanya terobosan baru tersebut dapat meningkatkan jumlah pelanggan secara signifikan, sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat," tandasnya.

Sementara di tempat terpisah, Heru Nugroho, pengamat Internet dan telematika mengatakan pemberlakuan tarif flat telepon lokal belum bisa diwujudkan saat ini mengingat pengkajiannya memerlukan proses panjang, sementara regulasi, teknis dan kesiapan mental penyelenggara belum memadai.

"Bila tarif flat telepon lokal diberlakukan untuk mendorong perkembangan Internet, maka diharapkan fungsi telepon selain untuk komunikasi suara juga untuk Internet. Sementara saat ini penyelenggara jaringan belum mampu memberikan tarif flat untuk koneksi Internet," katanya.

Menurut Heru, sebagian besar keluarga di Indonesia hanya memiliki satu sambungan telepon, sehingga kurang memadai dalam hal memacu perkembangan Internet melalui pemberlakuan tarif flat lokal. (02)


Tuesday, July 06, 2004

SAPU CAMPUR DEBU ---------seri tulisan reformasi -----------

Oleh: Eddy Satriya *)


Catatan: Telah diterbitkan di Majalah Forum Keadilan 11 Juli 2004

“Mohon maaf, Bapak menyogok berapa untuk menjadi anggota KPK?”. Demikian pertanyaan saya kepada salah seorang anggota Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang hadir sebagai pembicara dalam sebuah diskusi tanggal 1 Juni 2004 lalu. Pertanyaan tersebut sudah ada dibenak saya dan terus bergelayutan selama hampir 9 bulan. Persisnya sejak membaca iklan Pengumuman Pendaftaran Calon Pimpinan KPK di berbagai media cetak bulan Oktober tahun lalu. Oleh karena itu saya merasa beruntung mendapat undangan dan berkesempatan hadir dalam diskusi bertemakan Pegawasan Anggaran dan Pemberantasan Korupsi Pasca Pemilu Legislatif yang diadakan di sebuah hotel di kawasan Jakarta Selatan itu. Selain pembicara dari KPK, hadir pula mantan Menteri zaman Orba yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), rekan pengamat politik yang sedang pulang kampung dari tugas belajarnya, dan wakil pimpinan dari Partai Keadilan Sejahtera.

Pertanyaan - mungkin lebih tepat unek-unek - tersebut cukup mengganggu saya. Betapa tidak, ditengah hingar-bingar berbagai slogan dan program pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah maupun himbauan berbagai komponen masyarakat, tidak terlihat terobosan yang dapat diandalkan. Malah sebaliknya korupsi yang diperkuat oleh dua komponen jangkar lainnya, kolusi dan nepotisme, telah menjelma menjadi sebuah trio KKN yang semakin “ngetop” dan mewabah di tengah masyarakat. Sifat permisif, ketidakpedulian, tingkat upah yang tidak sepadan, lemahnya penegakan hukum, pelecehan terhadap jam terbang, serta rangkap jabatan untuk peran yang sesungguhnya menjadi hak orang lain, telah semakin memperburuk keadaan.

Pertanyaan yang menggangu itu muncul tatkala membaca berbagai persyaratan yang diharuskan oleh Panitia Seleksi yang dibentuk Ditjen Peraturan Perundang-Undangan, Departemen Kehakiman dan HAM. Salah satu syarat yang mengusik saya adalah butir No. 7, yaitu keharusan pemohon melampirkan Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) dari Kepolisian. Disamping mengusik nalar, persyaratan tersebut terasa menggelikan. Kentara sekali persyaratan itu diambil begitu saja dari persyaratan administrasi yang telah menjadi standar keharusan di masa lalu. Tidak tersentuh reformasi, meski iklan seleksi tersebut ditandatangani oleh nama-nama yang disegani dalam percaturan hukum di Indonesia.

Dengan membuang jauh-jauh a priori bahwa berurusan dengan kepolisian sebaiknya dihindari, maka rasa keingintahuan saya jadi semakin memuncak. Saya jadi ingin tahu bagaimana calon-calon pimpinan KPK menghadapi dan memenuhi persyaratan tersebut. Apakah mereka mampu bertahan untuk tidak menyogok ketika harus menjadi pemberantas sogok-menyogok? Juga, apakah mereka mau menghindari jalan pintas ketika berhadapan dengan kerumitan birokrasi untuk selembar surat? Walaupun bisa menduga apa yang akan terjadi, tetap saja pikiran saya baru akan lega setelah mendengar jawaban langsung dari anggota KPK terpilih tersebut.

Pertanyaan di atas, selain diawali dengan permohonan maaf juga saya dahului dengan pertanyaan untuk memastikan bahwa pembicara tidak sedang menderita penyakit jantung. Setelah memberikan penjelasan, akhirnya pertanyaan itu pun dijawab dengan jujur oleh anggota KPK tersebut.
“Ya, tapi saya suruh supir saya!”, ujarnya menjelaskan bahwa ia memang memberikan bayaran lebih untuk mendapatkan SKKB. Ditambahkannya pula bahwa uang pelicin untuk SKKB tersebut relatif kecil dibandingkan dengan surat lain yang harus dimintanya dari sebuah kantor sesuai wilayah domisili. Untuk surat keterangan asli yang tidak diuraikan lebih rinci, ia harus membayar sekitar Rp 200 ribuan ditambah Rp 50 ribu untuk setiap rangkap yang dilegalisir. Segera saya ungkapkan rasa terima kasih yang dalam atas keterbukaannya.

Sore itu pikiran saya terasa lega karena pertanyaan yang terus membayangi selama sembilan bulan itu terjawab sudah. Setelah beramah tamah dengan pembicara dan peserta lain, sayapun segera mencari taksi dan kembali ke kantor menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tadi saya bengkalaikan. Kemacetan dan kepulan asap knalpot di kawasan Pasar Rumput, Manggarai mengingatkan saya kepada karya sastra “Deru Campur Debu” yang pernah saya baca ketika di SMA dulu. Hari ini saya meminjam judulnya dan menuliskan “Sapu Campur Debu!”
***
Argo taksi menunjukkan angka Rp 12 ribuan. Namun ketika menunggu kembalian uang Rp 20 ribuan yang saya berikan, sang supir dengan datar menjawab bahwa ia tidak punya uang receh. Sayapun segera bergegas turun. Padahal, sekelebatan terlihat uang lima ribuan tersembul di bawah bungkus rokok di dekat asbak mobil.

Mengambang dalam lift kantor membuat pikiran saya melayang. Sekarang gantian, kalau tadi pikiran saya dipenuhi pertanyaan, maka tiba giliran potongan lirik lagu pop yang dinyanyikan Utha Likumahua ditahun 1980-an yang terus mengiang, menyesaki dada dan pikiran saya. “Kita kan hidup di Indonesia, bukan disana……!”

_________
*)Pemerhati Reformasi, menetap di Sawangan-Depok ( eddysatriya.blogspot.com )

&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

Friday, July 02, 2004

'Semua sektor perlu gunakan ICT'

2 Juli 2004

JAKARTA (Bisnis) : Pemerintah dinilai perlu menerapkan teknologi komunikasi dan informasi (ICT) pada semua bidang dengan menitikberatkan sektor perekonomian guna terbentuknya sistem perekonomian baru yang disebut dengan ekonomi informasi.
Eddy Satriya, senior infrastructure economist BAPPENAS, mengatakan ICT harus menjadi tulang punggung bagi terbentuknya Ekonomi Informasi mengingat salah satu fokus pembangunan nasional saat ini adalah sektor perekonomian.

"ICT bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai tambah masyarakat, swasta dan Pemerintah melalui e-commerce dan pemberdayaan Internet," katanya kepada Bisnis, kemarin.

Menurut Eddy, ICT juga bisa menjadi sarana untuk mengurangi penyimpangan dana yang selama ini terjadi dalam kegiatan ekonomi, sehingga implementasi e-governance tidak dapat ditunda lagi.

Pemerintah, lanjut dia, perlu membenahi pola pikirnya terhadap ICT dengan melihat pentingnya peranan ICT dalam proses pembangunan ekonomi nasional.

"Untuk mewujudkan implementasi ICT dalam semua sektor pembangunan terutama masalah ekonomi, maka perlu dibentuk lembaga nondepartemen yang berisi para praktisi dan profesional yang tidak membawa kepentingan politik apapun," ujarnya.

Lembaga tersebut, lanjut Eddy, akan lebih leluasa bergerak dibandingkan bentuk departemen seraya meminta agar jangka waktu lembaga itu sebaiknya selama lima hingga sepuluh tahun saja.

Berkaitan dengan implementasi ICT setelah terbentuknya pemerintahan baru, dia mengkhawatirkan ICT diperkirakan masih belum mendapat perhatian serius mengingat pemerintahan mendatang masih konsentrasi meneruskan program reformasi kepemerintahan dan kehidupan berpolitik, mengatasi pengangguran dan meningkatkan pelayanan sosial dasar kepada masyarakat.

"Tapi dengan dibentuknya lembaga tersebut, ICT diharapkan bisa lebih berkembang seperti yang terjadi di Thailand dengan NECTEC-nya. Lembaga tersebut berfungsi menyatukan visi dan misi semua departemen tentang ICT sehingga melahirkan kebijakan yang sinergis dan berkelanjutan," tandasnya.

Eddy melanjutkan kalangan swasta tidak perlu terpengaruh dengan kebijakan pemerintah yang tidak mendukung perkembangan ICT. Pengurangan PPNBM (Pajak Pertambahan Nilai atas barang Mewah), tambahnya, merupakan salah satu langkah untuk menggerakkan ICT. "Pengurangan PPNBM dapat memacu impor komputer dan infrastruktur ICT lainnya," tandasnya.

Menurut dia, pembentukan operator telekomunikasi kecil berbiaya murah di beberapa daerah diyakini bisa meningkatkan perekonomian daerah setempat.

Sementara di tempat terpisah, Mujiono, deputi telematika Kementerian Kominfo, mengatakan saat ini terdapat program Intra Government Information System (IGASIS) yang menghubungkan Departemen Ristek, Kominfo, Sumber Daya Mineral dan Energi, Pertanian dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan secara online dan terintegrasi.

"Kami mulai menerapkan ICT dalam sistem pemerintahan melalui IGASIS, sehingga dapat melahirkan kebijakan yang sinergis untuk mewujudkan e-governance," katanya. (02)



&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&