Showing posts with label regulation. Show all posts
Showing posts with label regulation. Show all posts

Monday, June 02, 2008

Penertiban DKI Hambat Teknologi Komunikasi



Menara Seluler
Penertiban DKI Hambat Teknologi Komunikasi

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/02/01032484/penertiban.dki.hambat.teknologi.komunikasi

Kompas/ Senin, 2 Juni 2008

Percepatan pembangunan infrastruktur yang digalakkan pemerintah akan mengalami hambatan lagi. Kali ini hambatan justru datang dari pemerintah daerah. Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 89 Tahun 2006 tentang Menara Bersama, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memerintahkan pembongkaran sekitar 1.700 menara seluler di wilayah Jakarta (Kompas, 28/5).

Sementara itu, pembangunan sektor teknologi komunikasi informasi, khususnya telekomunikasi, terus dipacu mengingat Indonesia memang tertinggal dalam hal penetrasi. Keterbatasan infrastruktur telekomunikasi telah mengurangi akses masyarakat terhadap informasi dan pengetahuan yang diperlukan dalam menghadapi globalisasi.

Ketika internet menyediakan potensi tak terbatas dalam mengakses informasi dan pengetahuan, Indonesia baru memiliki pelanggan internet sekitar 2 juta orang dan hampir 20 juta pengguna. Suatu jumlah yang tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain yang setara.

Namun, rakyat Indonesia dan pemimpinnya sudah selayaknya bersyukur mengingat kekurangan infrastruktur telekomunikasi selama ini telah dapat dikejar melalui pengembangan sistem telekomunikasi bergerak atau yang lebih dikenal dengan seluler, baik melalui platform GSM, CDMA, dan jenis lainnya.

Stagnasi pembangunan telepon tetap, yang hanya mampu sampai angka 10 juta satuan sambungan hingga akhir tahun 1999, dijembatani dengan pembangunan sistem seluler hingga mencapai total sekitar 100 juta pengguna pada kuartal ketiga 2007. Lompatan penetrasi yang menakjubkan guna menyambut datangnya era ekonomi baru.

Demi efisiensi

Percepatan pembangunan tersebut memungkinkan rakyat memiliki berbagai jenis perangkat telekomunikasi dalam genggaman mereka. Meski sebarannya masih belum merata, di samping untuk berkomunikasi, dewasa ini kita saksikan pula berbagai lapisan masyarakat telah menggunakan telepon seluler untuk kegiatan ekonomi.

Sebut saja petani, pedagang sayur atau sembako yang dengan cepat telah mampu mengetahui perubahan harga di pasar tanpa jeda waktu. Begitu pula penjual bakso, siomay, nasi goreng keliling, hingga berbagai jenis makanan dari restoran cepat saji berskala internasional telah memanfaatkan fasilitas komunikasi canggih ini untuk melayani pelanggan mereka.

Karena itu, turunnya perintah pembongkaran 1.700 menara seluler dari Pemprov DKI tentu saja akan merugikan konsumen. Meski akhirnya beberapa menara harus digabungkan demi efisiensi, transisi masa pembangunannya dipastikan akan menimbulkan masalah.

Menjadi pertanyaan, apakah langkah pembongkaran tersebut memang alternatif yang harus dilakukan? Dan mengingat peraturan tersebut diterbitkan tahun 2006, apakah menara yang harus dibongkar adalah menara yang dibangun setelah peraturan gubernur itu diterbitkan? Ataukah semua yang melanggar keindahan dan perizinan?

Kita memahami keinginan Pemprov DKI menata bangunan. Namun, kita juga menyaksikan sendiri banyak bangunan lama, baru, dan yang sedang berjalan, secara kasatmata juga mengganggu keindahan ataupun memiliki izin yang mungkin bermasalah.

Apalagi banyak bangunan yang sangat mengganggu dan menghambat lalu lintas yang merugikan masyarakat dalam jumlah dan skala ekonomi jauh lebih besar tanpa sedikit pun upaya penertiban, apalagi pembongkaran oleh Pemprov DKI.

Belum hilang ingatan ketika sebuah hotel mewah di Jakarta Selatan bermasalah dengan jumlah lantainya, pembangunan pusat perbelanjaan di jantung kota yang justru mengganggu fungsi jembatan Semanggi yang berujung kepada makin parahnya kemacetan, atau pembangunan underpass sekaligus overpass di sebuah pusat perbelanjaan terkenal di Jakarta Selatan justru tidak memberikan fasilitas penyeberangan bagi pejalan kaki.

Kita menyaksikan bangunan baru pengganti Hotel Indonesia yang telah berhasil menyulap lapangan tenis, kolam renang, dan fasilitas olahraga menjadi pertokoan mewah, justru diberikan izin menggunakan entrance dan exit di jalur protokol utama yang membuat pengendara mobil atau roda dua di jalur lambat harus ekstra hati-hati.

Mengambil kesempatan

Memerhatikan situasi terakhir ini, diperkirakan penertiban menara seluler akan berdampak buruk bagi pelayanan jaringan ponsel. Sekarang saja—setelah perang tarif—sudah terdengar banyak keluhan akan tingkat keberhasilan panggil (succesfull call ratio) dari pengguna jasa.

Jika pembongkaran dan perbaikan fisik perangkat menara baru memakan waktu rata-rata dua bulan saja, bisa dibayangkan kerugian yang harus ditanggung konsumen dan operator.

Sekali lagi, kita memahami maksud penertiban dari Pemprov DKI. Adalah bijak untuk mengurangi jumlah menara tersebut di samping kemudian membatasi pengeluaran izin baru yang tidak mempertimbangkan keindahan dan efisiensi penggunaan menara bersama.

Dikhawatirkan penertiban oleh Pemprov DKI ini dapat menyulut keinginan serupa beberapa pemprov atau pemkot di daerah, terutama di beberapa kota besar yang telanjur pula menjadi rimba menara seluler.

Jika DKI mengambil alasan estetika dan keindahan, pemprov atau pemkot lain bisa saja mengambil kesempatan dengan berbagai alasan berbeda. Kalau ini terjadi, bisa dibayangkan hambatan dan kerugian yang akan menghadang saat kita harus bergerak cepat membangun infrastruktur telekomunikasi menyongsong ekonomi baru.

Memang diperlukan sinkronisasi, koordinasi, dan kerja sama yang baik melaksanakan pembangunan yang mengatasnamakan kepentingan publik. Semoga keinginan yang betapa pun benar secara konseptual bisa diserasikan dengan kebutuhan riil masyarakat dan disesuaikan dengan kondisi nyata di lapangan.

Eddy Satriya Mantan Sekdekom PT Telkomsel, Sekarang Bekerja di Kantor Menko Perekonomian. Blog: eddysatriya.blogspot.com Email: satriyaeddy@gmail.com

Tuesday, May 27, 2008

Telah Terbit Versi Digital Buku "DARI DISKUSI AKHIR TAHUN TELEMATIKA INDONESIA"

Dear all,

Dengan ini diberitahukan bahwa telah terbit versi digital buku "DARI DISKUSI AKHIR TAHUN TELEMATIKA INDONESIA" sebagai rangkuman diskusi yang telah kita selenggarakan pada tanggal 27 Desember 2007 yang lalu.

Mohon maaf, karena berbagai keterbatasan kami maka buku tersebut baru bisa sampai ke "hard disk" anda sekarang.

Semoga bermanfaat. Kritik, saran, koreksi atau umpatan silakan layangkan ke alamat atau email seperti tertera di halaman pengantar buku tersebut.

Terima kasih atas partisipasi anda semua, tanpa kecuali.

Wassalam,

Eddy Satriya

Tuesday, May 06, 2008

"Menabrak orang atau motor di jalur cepat, jalan tol dan jalur busway anda boleh jalan terus!". Mungkinkah?

Sudah terlalu sering kita dengar dan maklumi jika terjadi tabrakan atau kecelakaan maka yang akan berlaku di tempat perkara pada awalnya sudah sangat jelas dan pasti, yaitu "hukum rimba". Akan terjadi kuat-kuatan argumentasi, jika perlu otot. Selain adu argumentasi atau otot, biasanya aturan dasar juga berlaku yakni "Yang kecil selalu lebih benar dari yang besar". Alhasil, jika anda adalah pengendara motor menabrak pejalan kaki, maka pejalan kaki selalu benar dan harus diberi kompensasi. Begitu pula jika anda mengendarai mobil atau truk, maka jika anda menabrak pengendara motor atau mikrolet, maka mereka pasti benar dan wajib disantuni. Hukum rimba ini juga menyiratkan bahwa yang kelihatannya lebih mampu atau kaya harus memberi kompensasi kepada yang kelihatannya lebih miskin. Absurd bukan? Tapi itulah hidup di jalanan Indonesia dan itulah aturan yang umum berlaku di TKP.

Kondisi pelaksanaan aturan di TKP ini menjadi menarik untuk disimak dan dicermati apabila suatu kecelakaan yang membawa korban meninggal ditempat terjadi. Seperti pagi ini Selasa (6/5/08) sekitar pukur 1016 WIB persis di atas jembatan kereta di dukuh atas di jalur busway dari arah Blok M menuju Bundaran HI. Saya yang berkendara disamping jalur busway sangat kaget ketika Busway arah HI mendadak berhenti sangat cepat sehingga ban depannya mengeluarkan asap persis sekitar 15 meter di depan kanan saya. Pada awalnya saya yang merayap pelan karena di HI ada demo menyangka bahwa pengemudi busway menghindari batu besar bekas pembatas yang samar saya lihat ada di pinggir kiri kolong bus. Semakin dekat, saya kaget luar biasa...astagafirullah...., itu bukan batu, tetapi adalah sepasang sepatu kets olah raga dari seseorang (gak tahu laki atau perempuan) dengan celana jins biru yang sudah tidak bergerak lagi. Perlahan saya pelankan kendaraan kijang saya, dan persis di depan busway saya saksikan kaca depan retak2 dan juga sebahagian depan mobil bus penyok. Kesimpulannya, busway yang naas itu telah menabrak seseorang di jalur busway yang kemudian tergeletak di bawah kolong. Kaki yang tidak bergerak sangat jelas terlihat dari pinggir mobil saya. Malangnya, saya yang biasa membawa kamera, hari itu apes karena kamera saya tinggal di rumah. Ketika itu saya juga sedang mendengarkan radio elshinta, dan langsung menepi sebentar menenangkan diri tanpa tahu harus berbuat apapun. Saya hanya sempat mengirimkan sms ke stasiun radio tersebut lalu buru-buru menuju kantor karena sudah ditunggu rapat. Mau membantu? macet dan bingung tidak menuntun saya untuk berhenti.

Menjadi pertanyaan sekarang, patutkah si pengemudi busway disalahkan? Jika sudah jelas-jelas penjalan kaki berjalan atau berada pada tempat yang salah...masihkah ia tetap benar? Masihkah hukum yang kecil harus menang? Kenyataannya di beberapa referensi dan UU yang terkait memang demikian, siapa saja yang menghilangkan nyawa orang lain di jalan raya wajib bertanggung jawab. Demikian penjelasan seorang rekan saya yang menjadi polisi lalulintas.

Mungkinkah peraturan tersebut di rubah? Tatkala seorang kenalan saya menabrak mati penyeberang jalan tol di wilayah jagorawi pada 2004 silam, maka ia harus habis2an menanggung renteng semua akibat kematian penyeberang jalan tadi. Sementara ybs telah membayar tol yang harusnya bebas hambatan.

Di tengah rendahnya disiplin di negeri ini, kiranaya hukum haruslah tetap adil dan memihak kepada kebenaran. Saya pernah membayangkan jika saja berbagai cara sudah tidak mempan dan berbagai jenis sosialisasi tidak berarti, maka pendekatannya memang harus pakai cara yang tidak biasa. Maka saya membayangkan ada Perda No sekian tahun sekian yang berbunyi sbb " Menabrak orang atau motor di jalur cepat, jalan tol, dan jalur busway anda boleh jalan terus!!"

Mungkinkah?

With all respect to every life.

Eddy

Link berita di detik.com Pejalan Kaki diseruduk bus trans jakarta di dukuh atas