Monday, February 23, 2009

Guillain-Barré Syndrome, perlu diwaspadai oleh kita orang Indonesia..!

Terus terang saya gak tahu mau memulai dari mana menulis notes kali ini. Mungkin dari urutan kronologis lebih baik dan memudahkan saya.

Karena hari Senin kemaren (16/2) Haniy masih merasa sakit dipahanya dan sulit berjalan, saya meminta Mamanya untuk membawa ke dokter anak yang bagus. Pilihan dijatuhkan ke RS Puri Cinere di Jakarta Selatan. Sementara saya meski agak sedikit was-was tetap berangkat pagi itu sekitar jam 6 menuju kantor, mengingat sedang banyak kerjaan dan kebetulan gak bisa ditinggal, termasuk finalisasi buku infrastruktur yang menjadi semacam never-ended project. Biasa nulis buku memang begitu katanya.

Karena kami PNS kere, he he, untuk mengirit bensin dan tenaga, dengan seorang teman komplek yang kebetulan juga tinggal satu komplek, maka hari itu giliran dia yang membawa mobil. Berbarengan seperti ini sering juga kami lakukan ketika masih tugas di bappenas dulu. Irit duit, irit tenaga, dan juga bisa saling tolong dengan membawa siapa saja memenuhi mobil dinas. Apalagi juga membantu untuk 3 in 1, sehingga jarak Sawangan-Bappenas atau Lap Banteng bisa ditempuh rata-rata 1,5 jam saja. Kecuali kalau hari hujan besar dan macet. Pergi bareng, pulang pun bareng. Namun tidak bisa selalu bareng, karena jika masing2 sore ada rapat atau pagi, dua-duanya terpaksa bawa mobil. Indah bukan?

Nah dalam perjalanan pulang, menjelang magrib, di sekitar tugu sisingamangaraja, saya dikabari isteri bahwa Haniyfa Azalea Satriya, putri saya ketiga terserang GBS. Hal ini setelah dianjurkan dokter anak untuk dicek oleh dokter syaraf. Dugaan terakhir dari spesialis syaraf setelah memeriksa kondisi Haniy adalah GBS. Isteri saya pun tidak terlalu mengerti, karena awam. Tapi kabar yang sampai kesaya itu segera saya diskusikan dengan teman SMA saya yang kebetulan dokter juga. Ia pun menjelaskan apa itu GBS, dan dengan gamblang menceritakan kondisi "termudah" yang akan kami hadapi antara lain harus melakukan Plasmapheresis dan Imunoglobulin therapy, yaitu pemisahan plasma darah dan penambahan obat untuk daya tahan tubuh. Singkat kata, GBS itu adalah terjadinya kondisi sistem daya tahan tubuh menyerang sistem syaraf, terutama otot (maaf kalau keliru bisa lihat di link nanti atau google). Yang berakibat kepada kelumpuhan otot yang dimulai dari paha, terus bisa naik ke lengan, dada, dan akhirnya menghambat gerak otot pernafasan yang tentu saja berakibat sangat fatal. Kematian atau lumpuh total/sebagian.

Mendengar penjelasan teman saya, maka saya pun lemas. Apalagi ketika ia bercerita bahwa ongkos yang diperlukan..SANGAT..SANGAT
BESAR. Dan alat hanya tersedia sangat terbatas. Team yang bagus menurut teman saya ada disebuah rumah sakit dibilangan elit di daerah jakarta selatan. atau bisa juga yang agak murah di Dharmais. Ibarat mendengar petir di siang bolong, saya hanya bisa menyebut "astagafirullah" dan saya lanjutakan dengan bacaan lain penenang hati.

Terbayang dimata saya. Air matapun pelan-pelang tergenang. Kalau saya harus kehilangan Haniyfa, yang karena satu hal sangat dekat dengan saya. Kebayang, tidak ada lagi suara lembut memanggil bapaknya yang lagi asyiik FBing agar naik ke kamarnya untuk memijit punggungnya. Akh..akan kah aku kehilangan tangan2 mungil itu secepat ini? Ia baru8 tahun Juli ini. Untunglah air mata bisa kutahan,karena teman saya keburu membelokkan mobil, memasuki pelataran parkir Al-Azhar seiring tibanya waktu magrib. Di tempat penitipan sepatu, saya sempat melihat dipajang dua kotak obat dengan nama generik (?) Nigeva Savita(?). Namun karena udah mau qamat, saya pun bergegas ke atas, sambil menitipkan sama penjaga agar satu kotak dipisahkan, mungkin nanti akan saya ambil. Terkadang kami sering juga melakukan magrib di daerah selatan, sambil cari makan malam. Sebenarnya saya lebih senang perjalanan diteruskan dulu karena bisa melewati kemacetan lebih awal di Antasari. Tapi suara hati saya juga senang magrib di Al Azhar karena sudah lama juga tidak shalat di mesjid Buya Hamka itu.

Benar saja, ketika wudhu saya ketemu Antok, teman sekelas di ITB. Dari ke jauhan juga saya lihat ada pak Juanda mantan Plt Dirut PT.PLN yg saya kenal baik. Sayangnya sehabis shalat isteri saya menelpon dan meminta kepastian apakah Haniy jadi Rawat Inap, malam itu juga. Sayapun kemudian bergegas keluar menjawab telpon yang di "silent" serta juga konsultasi dengan adik sepupu yang dokter. Mohon maaf untuk Antok karena gak sempat silaturahmi ditempat yang indah itu. Adik saya yang dokter ini menyarankan tetap berpegang dengan diagnoses dokter bahwa diasumsikan GBS hingga terbukti tidak. Membuktikannya adalah dengan test cairan yang diambil dari punggung (saya pun miris mendengar ketika itu). DAlam perjalanan saya dan istri pun tetap komunikasi yang akhirnya memutuskan pulang dulu, itu juga karena tidak menyiapkan diri untuk Rawat Inap, dan rs pun masih penuh, tidak ada kamar kosong.

Maka malam haripun sesampai dirumah kami hanya bisa berpandangan, berpegangan, dan bertangisan tanpa terlihat anak2. Namun ketika saya sampai duluan, saya sudah sempat memberitahukan kepada kedua kakaknya akan kondisi adik mereka, meski cuma sekilas.

Tidurpun tak nyenyak, takut kalau haniy terserang lebih cepat dari yang kita duga. Sayapun pasrah dan (maaf tidak sempat lagi FBing seperti biasa ketika pulang kantor sekedar say hi untuk friends..) segera beribadat. Malampun terbangun, saya sempatkan tahajud.

Ketika bangun pagi hari, Haniy belum ada kemajuan,masih sakit katanya meski untuk berdiri. SAya teringat obat di penitipan yang akhirnya dengan bismillah saya beli juga plus buku 100 tahun Buya. Saya minta Haniy meminum obat itu berupa kapsul, karena berfungsi juga untuk menahan stamina. Karena susah, akhirnya kapsul dibuka, dan obat berupa minyak cair itupun disendokkan kemulutnya. Haniy pun kemudian minta digendong ke kamar mandi, karena mau pipis dan BAB katanya.

Tak berapa lama, kami berkemas untuk persiapan ke rawat inap. Namun setelah dicek hingga pukul 10 tadi pagi, kamar di rs Cinere masih penuh. Akhirnya sianya kami putuskan ke RS Fatmawati saja, yang penting dia bisa dirawat dari pada di rumah. Kesibukan juga bertambah, ketika saya ingat Haniy belum tercover insurance. Anak ketiga PNS tidak diakui sebagai "anak negara" yang mestinya juga menjadi tanggungan. Saran dari seorang rekan yang dokter agar tanggungan askes diubah. Askes kakaknya dipindah ke Haniy. Tetapi itupun tak mudah dan setelah di cek tidak mungkin. Aturan is aturan. Itulah birokrasi. Sayapun diam-diam browsing untuk mencari asuransi (meski pun ragu..apa ada asuransi yang bisa langsung mau dan mencover dgn kondisi seperti itu). Satu-satunya cara adalah dengan mengeluarkan Putty, kakaknya yang perempuan (anak ke2 saya) dari list tanggungan kantor karena ia adalah anak "Amerika" yang kebetulan lahir di negerinya OBama itu. I hope this will work..begitu gumam saya. Selanjutnya putty digantikan adiknya. Proses ini paralel sedang diproses siang tadi, gak tahu bisa apa gak untuk askes.

Singkat kata, ditengah kerepotan demi kerepotan, juga ada teman isteri (tetangga) yang membesuk kerumah, akhirnya kami siap-siap berangkat ke Fatmawati saja. karena kebetulan dokter syaraf di cinere itu juga praktek disana. Ketika di kamar, kebetulan saya masih sempat menggendong Haniy, namun saya coba minta ia berdiri sendiri dan melangkah pelan. ternyata dia bisa meski 2 langkah kecil. namun saya sendiri tidak terlalu "excited", karena bayangan sudah akan rawat inap. Ketika haniy sudah dimobil dengan Mamanya, telpon adik saya masuk dari Payakumbuh. "Da dulu si Bunai (anaknya juga pernah) begitu, bahkan ada seminggu. Kami latih saja dia berjalan" kata Nov adik saya yang dinas di Pemkot.

Siirrrr, saya segera ke mobil yang sudah siap jalan, dimana mesin ada ac nya sudah hidup dari tadi. Segera saja saya turunkan haniy dan saya bujuk agar ia mau berjalan. "Alhamdulillah" ia berjalan beberapa langkah di teras rumah. Saya suruh bolak balik. Bisa. saya suruh berdiri lurus. Bisa. "alhamdulillah!!" saya gendong dia, mamanya pun senyum mau menangis tapi. Mesin mobilpun saya matikan. saya minta ia berjalan sendiri kedalam. Bisa dan dia juga sudah masuk kamar mandi sendiri kata ibunya.

Segera saya telpon teman saya dokter yang dinas di Fatmawati tadi, dan saya ceritakan. Ia tetap menyarankan dibawa ke dokter serta meminta saya browsing di Internet dan mempelajari GBS. Memang GBS merupakan syndrome, dari pada penyakit. Demikian yang saya baca. tapi untuk memastikan walaupun belum menginginkan pemeriksaan cairan otak yang diambil dari tulang punggung, saya sebentar lagi juga akan tetap membawa Haniy yang sekarang tertidur. Akan saya konsultasikan lagi ke dokter syaraf lalu ke dokter anak yang kemaren tidak mau menangani mendengar gejala yang disampaikan isteri. Semoga bermanfaat buat dia dan saya. Saya pun tidak tahu bagaimana pasti kemajuan ini bisa diperoleh Haniy yang sekarang tertidur lelap. Saya pun tidak mengerti, apakah karena obat, atau karena pengaruh demamnya sudah hilang di otot2, ataukah sebab lain. tapi sesuatu yang pasti semua ini tentulah atas izinMU ya Allah....tiada Tuhan selain engkau, engkaulah tempat kami meminta pertolongan. maafkan lah hambaMu yang hina dan penuh kenistaan ini. jauhkanlah kami dari cobaan yang tak akan kuat kami menerimanya ya ALlah. Amin ya rabbal alamin.
Kami pun masih menunggu perkembangan, tapi paling tidak tadi siang Haniy sudah ada kemajuan, semoga ini bisa berlanjut sehingga benar-benar terjauh dari penyakit berbahaya.

(lanjutan)

Akhirnya kami tetap memeriksa Haniy selasa sore ke dokter syaraf (dewasa) yang kemaren mendiagnosa Haniy terkena GBS. Dokter memberikan advice dan obat persediaan. Setelah selesai kontrol kami lanjutkan ke dokter spesialis anak yang mentest juga seluruh gerak motorik Haniy. Ia pun merasa puas dan menyatakan tidak ada apa-apa terkait dengan kelumpuhan. Namun untuk 2nd opinion kami pun di rujuk untuk malam itu juga segera konsul lagi ke dokter spesialis syaraf (anak) lalu kembali ke dokter anak tadi. Perjuangan untuk menentukan jenis penyakit sekaligus penenang batin baru selesai setelah hampir jam 9.30. Haniy menjadi pasien terakhir sang dokter anak yang sangat favorit rupanya dirumah sakit di selatan jakarta itu. Sang dokter sempat juga tertunda datangnya sehingga haniy mulai gelisah dan nangis karena harus visit ke ruangan.

Ketika menunggu dokter anak tadi, saya juga didekati oleh seorang Ibu muda yang mempunyai anak yang baru saja terserang step. Ia menanyakan kenapa anak saya, dan saya pun menceritakan dari A-Z kami pun berpisah setelah itu. Semoga ibu Farah juga dapat mengatasi kegundahannya karena anaknya yang berumur 4/5 tahun masih dalam perawatan.

Akh..indahnya berbagi..kami pun berpisah.
(Nama-nama dokter sengaja tidak kami cantumkan untuk menghidari kesalahan atau pencemaran nama baik di kemudian hari..notes ini hanyalah untuk media berbagi sesama kita, di FB ataupun bukan).


Semoga bermanfaat.

Ada bbrp link terkait ttg GBS, sebagai berikut:
http://www.ninds.nih.gov/disorders/gbs/detail_gbs.htm
http://www.scribd.com/doc/12502746/Penyakit-GuillainBarre-Syndrome-Berbahaya
http://www.scribd.com/doc/12502428/Guillain-Barre-Membuat-Sutini-lumpuh

Monday, February 09, 2009

Haruskah kita bercuriga setelah membantu orang?

Setelah selesai shalat magrib di mushalla lantai 1, di pusat perbelanjaan (kayaknya gak tepat deh) fx di bilangan Senayan Area kemaren (24jan), saya bergegas kembali mau mengambil sepatu. Saya kadang-kadang mmg tidak bisa khusyu shalat atau segera setelah shalat kembali buru-buru jika tidak ada tempat penitipan sepatu atau sandal. Bukan apa-apa. Dulu pernah nyeker setelah pulang dari mesjid karena sandalnya "tertukar" orang. Mau ngambil sembarang sandal, pasti juga nyusahin orang lain.

Kebetulan sepatu saya itu termasuk yang paling awet. Mungkin memang karena bahan kulitnya bagus. Atau juga mungkin tinggal satu-satunya "harta karun" saya yang mengingatkan saya dulu pernah sampai menemani seorang teman Indonesia yang ngotot minta di antar berburu barang-barang hingga ke pusat perbelanjaan Hariman di pinggiran kota NY. Di musim dingin lagi. Mungkin juga karena saya meninggalkan anak saya bermain di lantai atas.

Yang pasti ketika saya ambil sepatu itu dari bawah bangku kayu saya liat agak basah oleh cairan berwarna coklat. Ketika itu pula seorang pria sambil kesel berlalu dan membuang eskrimnya yang berwarna coklat dan pink ke tempat sampah sambil mengomel kepada seorang pria lain yang duduk memasang jaket anaknya. Rupanya pria pertama kesal, karena anak kecil itu telah menjatuhkan eskrimnya yang "ditarok" di pojok bangku, persis di atas sepatu saya. Untung sepatu saya tidak "terbanjur" oleh eskrim yang tumpah itu. Hanya kecipratan.

"Salah sendiri!" pria kedua juga ikutan ngomel dan seperti bercerita kepada saya "Masak mas narok eskrim di pinggir bangku, jadinya kesenggol anak saya"
" Iya ya pak, mestinya titipin saudara yang tidak shalat atau habisin dulu ya" saya menjawab "salam dia".

Memang logikanya demikian. Tidak salah rasanya kalau saya bersimpati sama bapak yang kedua, yang baru saja kena omel. Kasian juga saya melihatnya, sementara sang anak hanya terdiam.

Sambil beriringan di lorong di lantai 1 fx plaza itu kami keluar kembali kearah mall. Pria tersebut mengakrabkan diri dengan saya dan ia menjulurkan tangannya untuk bersalaman. "Dengan pak siapa?", tanyanya.
"Oh saya Eddy pak".
"Begini pak..saya tadi sial dua kali neh"
"Ada apa pak" tanya saya penasaran. Ia pun bercerita meski buru-buru sambil jalan bahwa ia tadi apes karena gak sengaja menyerempet orang hingga orang itu masuk got.
"Bapak naik motor?" tanya saya.
"Ya pak"
"Lha motor sama motor serempetan, kan sudahbiasa pak..mestinya damai ajah" lanjut saya.
"BUkan pak, ia menyeberang jalan tiba-tiba. sampai saya dikerubut banyak tukang ojek, padahal saya mau ke depdiknas ada janji" jawabnnya sambil menunjuk ke balik gedung dimana berkantor megah gedung Depdiknas.
"Duh untung bapak udah beres ya sekarang" jawab saya sambil berlalu karena teringat anak saya masih dititipin main di lantai 7 sama si Mbak. Sementara Mamanya masih nungguin kakaknya di depan melihat band yang lagi manggung.

Tiba-tiba si bapak dengan anak satu ini seperti berbisik mau minta tolong.
"Pak duh..gak enak neh..., uang saya tinggal dua rebu di dompet"
Saya paham maksudnya dan cepat tanggap.
"Ya anak saya belum makan nih mau pulang segera" ujarnya lagi.
Dengan sigap saya merogoh kantong depan celana sebelah kiri. SAya segera berikan selembar uang yang saya anggap bisa menolong mereka untuk makan sekedarnya sebelum pulang.
"Duh..terima kasih pak Eddy, merepotkan jadinya" tungkasnya.
"Ga papa pak" jawan saya sambil berlalu dan memang saya ikhlas kok pikir saya. (mudah2 an tidak ria menceritakan ini).

"Tapi pak, kalau bisa tolong bantu saya sekian, takut kurang" katanya lagi. Tapi saya pikir uang yang saya berikan udah lumayan cukup untuk sekedar makan.
"PAk kalau takut kurang makannya diluar." jawab saya spontan dan agak memantapkan diri. Pikir saya pasti ada bakso atau mi ayam yang harganya jauh lebih murah jika dibanding dngan harga makanan di food court fx yang memang tergolong mahal. jadi ingat isterinya complain ttg mahalnya harga makanan di mall itu.

SAya mantapkan tidak menambahkan uang lagi kepada si Bapak dan Anak yang habis kena musibah itu secara beruntun. Kena dijalan, menyenggol pejalan kaki. Juga kena omel di mushalla karena anaknya menyenggol eskrim orang lain.

SAmbil berjalan menuju tempat anak saya bermain, saya sempat berpikir. Kenapa orang gak habisin dulu eskrimnya ya, baru shalat. Dan menyimpannya di bangku?
Kenapa pula pria bersama anaknya tadi cerita ttg musibah pertama, lalu minta tolong diberi uang. Meski gak memaksa kok dia minta uang lagi dan memaksa ingin makan di food court?
Ngapain dia dihari libur mau ke Depdiknas, ada janji katanya?
Ah..sekilas secara refleks saya bergumam, apakah ini suatu skenario?
Cepat-cepat saya lupakan ketika itu, karena saya juga ikhlas membantu tadi.

Kalau kejadian tsb benar sebuah skenario, nyantolin kunci motor di saku, membawa anak, membeli eskrim dst..ini adalah pertanda sudah semakin susahnya orang mencari lapangan pekerjaan. Saya jadi ingat juga pengumum di Bali Deli sebelumnya, dimana mereka terpaksa menutup usahanya di fx karena returnnya tidak sebanding dengan "one that we've expeced" sebagaimana tertera dalam selebaran penutupan Bali Deli tersebut per 15 Feb 09.

(sekedar berbagi pengalaman, jika anda mengalami hal yang sejenis, maka anda tentu sudah bisa menempatkan diri...)

Wassalam-Edd
(Diterbitkan awalnya sebagai Notes di Facebook. 26jan09)

Thursday, February 05, 2009

Tak habis-habisnya nikmatMu yang kuterima ...

Mendapat pesan dari Eiko (anak sulung saya) untuk membeli roti unyil di "wall" , telah merubah rencana saya. Tadinya dari hotel di Bogor ingin langsung pulang ke rumah. Setelah tanya sana-sini dengan pegawai hotel maka saya putuskan untuk membeli roti unyil di depan salah satu FO di ujung jalan Pajajaran ke arah utara. Karena kalau membeli di Sukasari akan terlalu 'muter" karena saya dari jalan Paledang, di sisi barat Kebun Raya Bogor. Ternyata sukasari juga sudah pindah, saya dapat informasi tambahan.

Perubahan itu membuat saya sedikit memutar jalan. Setelah membeli pesanan roti unyil, saya jadi tergiur juga untuk masuk dan melihat beberapa outlet. Memang sudah lama tidak membeli celana atau baju barang satu atau dua. Muter-muter membuat saya tidak kuat menahan lapar, mana udara juga cukup sejuk yang membuyarkan rencana saya untuk makan di rumah saja (mau ngirit juga sih...karena honor konsineering belum cair..soalnya APBN nya masih ribet pencairannya - makanya jangan heran APBN banyak sisa setiap tahun, tapi tak pernah diperhatikan pengamat ekonomi-sorry Bang Faisal).

Rasa lapar menggiring saya untuk masuk kedai kecil di emperan parkir FO. Pilihan saya jatuh kepada Mie Ayam Ceker. Relatif kosong, saya memilih duduk di salah satu meja dari 3 meja kecil yang tersedia. Meja kedua di tengah di isi oleh seorang ibu dan anak laki-laki nya yang lagi menyantap mie. Si ibu kelihatan sewot ketika si anaknya masih menambahkan saos sambel ke mangkok mienya.
"Ntar mag kamu kambuh lagi!" bentaknya sayup saya dengar.

Tak berapa lama saya pun menyantap mie ayam ceker itu perlahan. Kemudian datang lagi sepasang suami isteri ingin bergabung. Tapi karena meja yang kecil dan sianak diseberang saya juga "meng-occupy" lahan di meja saya, pasangan tadi memilih masuk untuk duduk di dalam kios, dekat kompor. Tapi saya pikir akan tersiksa mereka. Panas dan Sempit.

Alhamdulillah kenikmatan mie tidak mematikan insting dan refleks saya bekerja. Saya geser duduk ke pinggir, lalu kantong plastik belanjaan berisikan kaos kaki Rp 20.000an tiga dan dua buah baju kaos -- malu aku, masih sempat juga belanja -- saya turunkan dekat kaki kanan saya dipinggir tiang penyangga gerobak.

"SIlakan pak kalau mau bergabung!" saya menawarkan.
"Oh ya mas, terima kasih, muat gak?" si ibu menjawab.
"Bisa lah ...tapi mungkin kena gerimis dikit...!" jawab saya sambil memperhatikan tudung penutup kios yang pas di atas kepala si bapaknya duduk.
Untung gerimis berhenti dan mereka pun bergabung dengan saya.

Keakraban semeja, membuat kami ngobrol layaknya orang udah lama kenal.
"Oh..sama-sama orang pemerintah juga ya ...kita ini" celetuk si Ibu setelah beberapa menit ngobrol. Mereka ternyata pegawai Pemda DKI. Pak Ihksan baru saja pensiun, sang isteri masih kerja.
"kami menengok cucu" lanjut mereka sambil menerima cucunya disodorkan oleh seorang anak muda yang baru datang.
Setelah mengumpat akan kondisi riil masyarakat saat ini ia pun bercerita sekilas tentang pemda DKI.

"NAh pucuk dicinta ulam tiba" pikir saya.
Teringat akan posting saya di FB beberapa hari lalu tentang kondisi taman di lapangan banteng yang merana. Kebetulan foto-foto tentang lapangan banteng itu masih ada di HP saya. Lalu saya perlihatkan. Mereka juga ternyata prihatin, dan mengingatkan bahwa baru kemaren gubernur juga "ngamuk" karena kondisi lapangan Monas yang tidak terawat. Setelah senang ngobrol, cerita juga tentang hal-hal lain, termasuk banyak pegawai yang takut jadi Pimpro di DKI, saya pun siap-siap pamit.

"Maaf pak, bu, saya mau cepat-cepat pulang" saya sudahi saja karena sudah kenyang dan juga sudah ngobrol cukup lama. Pak Ikhsan mengeluarkan hp dari kantongnya dan meminta nomor saya. Setelah saya berikan ia pun mensave nomor saya dan menambahkan nama saya dengan lengkap.

Sekelebatan muncul dipikiran saya, buat apa ia mencatat hp saya? Akh.. barang kali untuk bisnis seperti tawaran MLM dan sejenisnyayang mengandalkan komunikasi. Tapi saya rela, dan waktu memberikan nomor juga tidak berprasangka apapun.

"Mari pak, bu, saya duluan" saya pamit dan buru-buru bergegas kembali ke mobil yang saya parkir di FO sebelah.

Baru keluar parkiran saja, sudah mulai macet.
"Cilaka" pikir saya bisa tambah sore sampai dirumah kalau begini. Sesampai di lampu merah saya pas kebagian paling depan dilajur kanan. MEmang saya harus belok kanan dulu diperempatan tersebut, lalu nanti cari putaran dan berbalik arah ke arah Jambu Dua lalu menuju Parung.

Di lampu merah kebetulan ada polisi yang berdinas mengatur. Cukup padat, tapi tidak parah. Dari pada saya harus mutar jauh dan menambah kemacetan, saya pun minta izin.

"Pak boleh gak U-turn disini?" soalnya kalau ke kanan saya takut juga nyasar karena belum terlalu hapal daerah itu. Setelah melihat situasi, si pak polisi ternyata baik hati dan

"Silakan pak, mumpung kosong!", memang dari arah kiri yang giliran hijau tidak terlalu banyakkendaran yang lewat dan sudah habis. Sayapun buru-buru balik arah dan sambil mengucap terima kasih, saya sempat gak enak hati juga. Jangan-jangan karena mobil saya pelat merah ia "terpaksa" menyetujui, dan saya juga gak enak sama pengguna jalan lain. Tapi apa boleh buat..sudah terlanjur.

Setelah melewati kembali FO dan warung mie ceker tadi, saya harus berhenti di blok berikutnya karena ada lampu merah lain di dekat area hotel Pangrango (tapi saya lupa Pangrango berapa). Pas mau memilih lajur yang disesuai kan dengan arah, HP saya berdering. Biasanya saya tidak pernah mau mengangkat kalau suasana padat seperti di Bogor kali ini. namun insting saya cepat menyuruh saya untuk meraih hp itu.

"Pak Eddy ya...yang tadi makan mie ceker dengan kami" sekilas saya lihat nomornya memang sama dengan misscall ketika pak Ikhsan mencatat no hp saya tadi.

"Betul pak.." jawab saya cepat.
"Belanjaan bapak ketinggalan pak.." suaranya melanjutkan buru-buru.
"Astaga..terima kasih pak saya balik, minta tolong saja si masnya tukang mie ke pinggir jalan pak" pinta saya segera ambil keputusan

"Ya pak udah dipegang si mas (maksudnya pesuruh kios itu)" jawabnya.

Sontak saya pun ambil lajur kanan dan pas hijau saya buru-buru U-turn lagi, yang kalau biasanya mungkin tidak boleh. tapi saya tidak melihat rambu dilarang u-turn.

Akhirnya saya hanya perlu meniupkan klakson sekali saja di depan FO itu,karena si mas nya sudah siap memasukkan belanjaan saya lewat pintu depan. Setelah berterima kasih saya pun tancap gas.

Kembali harus berhenti di lampu merah yang sama dimana polisi tadi juga masih berdiri disitu. Tidak enak hati, sayapun belok kanan saja dan mencari putaran untuk mengatur arah kembali ke Jambu Dua. Tidak tega lagi membuat u-turn di tempat yang dapat mengganggu lalu lintas, meski si polisi mungkin mengizinkan. Tapi tak saya lakukan, takut ia mengira saya orang kurang waras, mutar-mutar di lampu merah di area kerjanya dia.

Alhamdulillah...untung masih belum jauh. Coba kalau sudah sampai Parung. Dan keakraban di meja makan mie ceker tadi telah menggerakan jari-jari pak Ikhsan untuk mencatatkan nomor saya di hp nya, dan juga telah menjadi jalan untuk menggerakan hatinya memberikan pertolongan kepada saya dalam waktu yang singkat tapi tepat.

Maka nikmat Tuhan mu yang mana lagi yang engkau dustakan Eddy?

=====
Tulisan ini adalah Notes di Facebook (published 1/2/09)