Monday, May 30, 2005

Ekonomi Kemunafikan

Oleh: Eddy Satriya*)

Catatan: Artikel ini telah diterbitkan dalam Majalah Warta Economi Edisi 30 Mei 2005

Kebebasan pers dan kemajuan TI memberikan kontribusi yang besar bagi masyarakat dalam memperoleh dan menyebarkan informasi. Informasi dengan mudah diperoleh melalui media cetak, elektronik, situs Internet, dan bahkan telepon seluler. Namun, akibat terpaan jutaan bit informasi, kita sering luput justru pada beberapa informasi penting. Salah satunya adalah berita berjudul ”APBN 2005 Catat Surplus Sebesar Rp 17,90 Triliun” (Kompas, 27 April 05).

Terus terang saya sempat bingung ketika membaca berita itu. Kebingungan saya kian membuncah setelah beberapa hari kemudian. Bukan karena semata-mata isi berita, tetapi justru karena minimnya reaksi dan perhatian pemuka masyarakat.
Dalam berita itu diuraikan bahwa Dirjen Perbendaharaan Negara merasa arus kas negara sangat aman karena hingga akhir Maret 2005 surplus anggaran tercatat sebesar Rp 17,90 Triliun. Sang Dirjen menganggap angka ini jauh lebih baik dibanding tahun sebelumnya yang defisit sebesar Rp 6,17 Triliun. Dengan demikian, kita benar-benar aman menjaga anggaran sesuai dengan target-target APBN. Beliau juga membandingkan saldo rekening pemerintah di Bank Indonesia (BI) yang mencapai Rp 25,38 Triliun, dengan saldo tahun lalu yang hanya berjumlah Rp 16,30 Triliun. Pada bagian lain diuraikan pula betapa penerimaan negara dari bea masuk dan pajak semakin membaik. Khusus untuk pajak bahkan disebutkan bahwa penerimaannya hingga April 2005 tercatat 20% lebih tinggi dari tahun sebelumnya.

Beberapa pertanyaan berputar-putar dalam benak saya. Ada apa ini? Mengapa para Dirjen di bawah Departemen Keuangan (Depkeu) tiba-tiba memainkan ”paduan suara” yang melenakan?

Informasi yang tersirat dari pemberitaan tersebut sungguh sangat sayang untuk dilewatkan. Ada beberapa hal yang harus dicermati sehubungan dengan berita pelaksanaan APBN 2005 yang telah memasuki bulan kelima.

Pertama, betapa ganjil dan aneh rasanya ketika seorang pejabat tinggi dengan bangga memaparkan bahwa APBN 2005 surplus! Padahal banyak pelaku bisnis baik kalangan pemerintah, swasta dan lapisan masyarakat tahu bahwa hingga pertengahan Mei 2005 ini nyaris belum ada proyek atau kegiatan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang cair atau telah dilaksanakan. Singkat kata, tentu saja APBN surplus. Penerimaan terus digenjot, sementara pengeluaran nihil. Parahnya lagi, kondisi keterlambatan ini sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Padahal di zaman orde baru, bagaimanapun rumitnya persiapan dan pembahasan anggaran di Depkeu, penyerahan Daftar Isian Proyek (DIP) kepada pemerintah daerah dan kantor departemen selalu dapat ditepati pada setiap tanggal 1 April sebagai awal tahun anggaran.

Kedua, sebagai konsekuensi logis dari minimnya pengeluaran pemerintah (government spending) maka hal ini akan mengancam kelangsungan ekonomi masyarakat di sektor riil. Lihatlah hotel-hotel sepi dari berbagai acara seminar dan pembahasan program pembangunan. Para pengusaha katering sudah mulai mengurangi jumlah pegawai mereka. Restoran menegah dan kecil, warung, serta usaha jasa seperti foto copy dan transportasi banyak yang tutup sementara karena proyek- proyek yang belum jalan. Para pegawai negeri sipil (PNS) dan swasta yang berpenghasilan tetap dan mengharapkan honor tambahan dari pelaksanaan proyek pemerintah semakin ”mantab” (makan tabungan) dan ”matang” (makan utang), sebagaimana diselorohkan salah seorang rekan saya yang sedang menunggu gaji pertama di salah satu Komisi di Jakarta. Keterlambatan turunnya anggaran ini juga akan berpengaruh terhadap kinerja beberapa Badan dan Komisi bentukan pemerintah yang tugasnya mempercepat perbaikan iklim investasi dan kepastian hukum. Beberapa kantor terpaksa harus gelap gulita karena sambungan listriknya diputus PT. PLN setelah menunggak 5 bulan. Rendahnya pengeluaran pemerintah memperlambat roda ekonomi yang pada akhirnya menurunkan pendapatan dan daya beli masyarakat.

Ketiga, belajar dari berbagai pengalaman dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, maka sisa waktu sekitar tujuh bulan dirasa tak cukup untuk merealisasikan suatu proyek atau kegiatan besar seperti aktivitas konstruksi, rehabilitasi, dan penelitian suatu sistem terpadu. Kondisi ini berpotensi besar untuk menciptakan ”mark-up”, ”kongkalingkong”, dan KKN- yang justru sedang gencar-gencarnya dibasmi pemerintah. Keterbatasan waktu dan keharusan”menghabiskan” anggaran yang sudah disetujui Depkeu dan DPR, sekali lagi, sangat berpotensi untuk diselewengkan, baik secara individu, segelintir personil proyek, ataupun ”berjamaah”.

Terakhir, jika dalam 5 bulan anggaran berjalan sudah berhasil diraih penerimaan bea dan cukai sekitar 30% dari target APBN, dan penerimaan pajak yang relatif tinggi, maka sesungguhnya ekonomi kita sangat menakjubkan. Jika tanpa pengeluaran pemerintah ekonomi sudah berjalan bagus seperti terlihat dari indikator bea masuk dan pajak tersebut, berarti potensi ekonomi swasta tentulah sangat besar dan bagus. Betulkah? Dalam kondisi yang masih didera krisis multidimensi ini, saya agak meragukan itu. Apalagi berbagai fakta tentang kredit macet, hengkangnya beberapa perusahaan multinasional besar ke negeri tetangga, tingginya penyelundupan, merebaknya berbagai kasus KKN, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan besarnya subsidi, hilangnya bahan baku beberapa industri mebel di pasaran dan lain-lain sebagainya sungguh berpotensi menegasikan pertumbuhan yang ada di sektor swasta.

Lantas, bagaimana kita menyikapi kesemuanya itu? Rentetan fakta dan analisis tadi, serta perkembangan terakhir politik ekonomi di dalam negeri, kelihatannya makin menggiring kita kepada suatu bentuk ekonomi yang saya sebut saja: ekonomi kemunafikan. Ini suatu bentuk yang mungkin hanya ada di Indonesia, yaitu ekonomi yang menafikkan kaedah-kaedah dasar yang diajarkan dalam buku-buku teks ekonomi dan nalar sederhana, seperti diuraikan empat poin analisis tadi - yang dimulai dengan permainan kata-kata tentang APBN dan diakhiri dengan permainan angka-angka tentang pencapaian.

Semuanya itu hendaklah segera diakhiri, jika kita memang ingin menjadi suatu bangsa mandiri dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara hakiki. Reformasi pada dasarnya adalah mengikis kemunafikan, tak terkecuali dalam bidang ekonomi.
________

*)Ekonom, bekerja di Bappenas. Tulisan ini adalah pendapat pribadi (eddysatriya.blogspot.com )

FENOMENA MAGIC JAR

Oleh: Eddy Satriya*)


Catatan: Telah diterbitkan di kolom Majalah Trust No.35. Edisi 30 Mei-5 Juni 2005-mengalami editing

Pelaksanaan penyambungan pipa gas ke pembangkit listrik PT. PLN (Persero) di Tanjung Priok dan Muara Karang telah membuat Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan surat yang berisi himbauan untuk menghemat pemakaian energi di kantor-kantor Pemerintah dengan cara mematikan lampu yang tidak diperlukan. Seandainya penghematan energi minimal 50 Watt per pelanggan tidak tercapai, maka untuk mengatasi defisit pasokan listrik PT. PLN terpaksa mengambil langkah pemadaman bergilir di seluruh Jawa dan Bali secara merata. Jika kondisi tersebut menjadi kenyataan, itu berarti suatu kemunduran besar yang memaksa kita kembali ke zaman byar pet belasan tahun lalu. Kondisi ini berpotensi memperburuk iklim investasi yang justru sedang mati-matian diperjuangkan oleh pemerintahan baru di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah dilakukan antara lain melalui penyelenggaraan Infrastructure Summit maupun Road Show ke Eropa dan Amerika Serikat.

Seperti disampaikan Dirut PT. PLN Eddie Widiono, kondisi terparah diperkirakan akan terjadi pada hari Kamis (26/5) dan Jum’at (27/5) yang diperkirakan mengalami defisit sekitar 385 MW (Suara Pembaruan, 26/5/05). Sungguh disayangkan PT. PLN tidak mampu menjaga margin yang aman pada saat beban puncak untuk wilayah Jawa-Bali selama bulan Mei dan Juni 2005. Defisit pasokan listrik ini diperburuk pula oleh lemahnya kemampuan PLN dalam menyinkronkan jadwal perbaikan dan pemeliharaan beberapa pembangkit besar dengan jadwal pemasangan pipa gas serta banyaknya industri yang beralih kepada sambungan PLN setelah terjadinya kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu.

Memahami kelemahan PLN di atas serta belum berhasilnya pemerintah mendorong masyarakat secara maksimal untuk menggunakan sumber-sumber energi alternatif seperti angin, gas, sel surya, panas bumi, ataupun jenis energi baru dan terbarukan lainnya, maka sudah sepatutnya pula masyarakat dihimbau untuk berpartisipasi seperti isi surat Sekjen ESDM di atas. Pada akhirnya, memang pelanggan jugalah yang diharapkan untuk mengurangi pemakaian listrik pada saat beban puncak. Peran masyarakat ini telah diakui oleh General Manager Pusat Penyaluran dan Pengaturan Beban PLN yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat selama tiga hari telah menghemat listrik sebesar 4.200 MW atau senilai Rp 3,8 milyar (Kompas, 27/5/05).

Sementara itu, reaksi pelanggan listrik terhadap kemungkinan terjadinya pemadaman bergilir cukup beragam. Ada yang mengkhawatirkan prospek usaha mereka seperti para penjual makanan jadi, Warung Tegal (Warteg), dan restoran yang sangat bergantung kepada listrik PLN dalam menjaga kesinambungan suplai bahan makanan. Ada pula masyarakat yang mencemaskan akan matinya ikan-ikan hias mereka. Demikian pula rasa cemas pengusaha jasa persewaan komputer, warung telekomunikasi, dan warung Internet yang khawatir akan rusaknya beberapa peralatan mereka jika terjadi pemadaman bergilir. Apapun reaksi masyarakat -mencemaskan sumber nafkah atau sekedar hobi mereka-, suatu yang pasti adalah ”Societies collapse when the energy flow is suddenly impeded” seperti diuraikan oleh Jeremy Rifkin (2002) dalam bukunya ”Hydrogen Economy”.

Pengaruh globalisasi serta kebutuhan untuk memenuhi gaya hidup praktis telah mendorong penggunaan energi secara boros dan tidak efisien melalui penggunaan peralatan yang mengonsumsi daya besar. Mahalnya perumahan dan sulitnya transportasi telah memaksa banyak orang memilih apartemen atau mengontrak di dalam kota yang membutuhkan pendingin ruangan, mesin cuci, microwave dan lemari es berdaya besar. Peningkatan pendapatan biasanya diikuti pula oleh keinginan memperoleh hiburan di dalam rumah dengan membeli berbagai jenis peralatan hiburan seperti stereo set, DVD/VCD, komputer, dan perangkat elektronik lainnya.

Praktek boros energi juga semakin terlihat dengan banyaknya pusat-pusat perbelanjaan (mall) dan apartemen yang cenderung tertutup rapat oleh beton –mungkin untuk alasan keamanan dan terhindar dari teror bom- sehingga konsumsi energi untuk pendingin ruangan dan pencahayaan cenderung meningkat. Parahnya lagi, sikap tidak hemat energi di Indonesia telah menjangkiti bukan hanya orang berpunya, tetapi hampir merata dari kampung hingga kota.

Fenomena Magic Jar mungkin bisa menjelaskan betapa masyarakat semakin tidak hirau dengan ketersediaan energi. Dalam “Kongres Energi Nasional” bulan November 2004 lalu di Jakarta, pernah saya sampaikan bahwa untuk hanya sekedar bisa memakan nasi panas, masyarakat kita telah memborong jutaan Magic Jar. Meski rata-rata setiap Magic Jar mengonsumsi 50 Watt, penggunanya nyaris tidak pernah mematikan pemanas nasi tersebut. Singkat kata, kebanyakan pengguna Magic Jar memakainya 24 jam sehari. Dengan asumsi sepertiga saja dari 30 juta pelanggan PLN atau rumah tangga menggunakan satu pemanas nasi, akan memberikan angka 10 juta x 50 Watt x 24 jam = 12 Giga Watt Hour. Padahal penggunaan Magic Jar atau Rice Cooker juga bisa dihemat dengan mengatur waktu masak dan waktu bersantap, tanpa harus memanaskan semangkok nasi sepanjang hari. Magic Jar creates magic Watthour!

Memperhatikan surat edaran ESDM yang hanya menghimbau pemadaman lampu di kantor-kantor pemerintah serta masih rendahnya budaya hemat energi di kalangan masyarakat, maka sudah selayaknyalah pemerintah, PT.PLN serta seluruh pemimpin masyarakat memulai kembali upaya-upaya pemahaman pentingnya budaya hemat energi yang selama ini terlupakan. Budaya hemat energi hendaklah terpadu dan menyeluruh, mengingat banyak kantor-kantor pemerintah sekarang yang semakin dilengkapi oleh berbagai peralatan tambahan seperti televisi, radio, dan microwave. Begitu pula untuk masyarakat pengguna listrik, budaya hemat energi sebaiknya dimulai sedini mungkin dan berkelanjutan. Semoga kita tidak kembali ke zaman gelap.

________

*)Kasubdit Energi di Bappenas. Pendapat pribadi.