Showing posts with label Reforms. Show all posts
Showing posts with label Reforms. Show all posts

Tuesday, August 09, 2011

E-Budget Telat, Korupsi Anggaran Melesat!

http://hukum.kompasiana.com/2011/07/26/e-budget-telat-korupsi-anggaran-melesat/


Masih ingat dengan Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional atau disingkat DeTIKnas? DeTIKnas dibentuk melalui Keppres 20/2006 pada tanggal 13 November 2006. Ia diluncurkan secara resmi langsung dari Istana Kebun Raya, Bogor, Jawa Barat dengan tujuan antara lain untuk menyiapkan menyiapkan bangsa kita menjadi bangsa maju yang salah satu pilarnya adalah TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) atau dikenal juga dengan Information and Communication Technology yang disingkat dengan ICT.
Salah satu flagship programnya dulu adalah E-Budget, yang bertujuan untuk memperlancar proses pelaksanaan APBN dan mengikis praktek KKN yang mungkin menyertai mulai dari proses usulan, perencanaan, pembahasanan, penetapan alokasi dan pelaksanaan APBN itu sendiri. APBN yang menjadi salah satu komponen utama untuk menggerakan ekonomi nasional, khususnya ekonomi riil memang harus dijauhkan dari praktek KKN yang sudah terkenal jahat dan merugikan rakyat.
Sebagai ilustrasi, ada baiknya kami uraikan kembali sekilas praktek-praktek KKN yang sering terjadi seputar APBN. Berkaca ke masa lalu, yaitu ke era orde baru, tidak bisa dimungkiri lagi bahwa dalam mata rantai usulan suatu proyek hingga ke pelaksanaannya, bahkan pada tahap revisi - jika memang proyek memerlukan- memang terjadi proses KKN. KKN yang merupakan singkatan dari Kolusi, Kolusi, dan Nepotisme memang sudah menjadi praktek sehari-hari ketika itu.
Suatu proyek ketika itu dimulai dengan adanya usulan pembangunannya dari satu unit terkecil, bisa di daerah bisa di pusat. Untuk proyek milik atau yang dikerjakan dan berlokasi di daerah, maka unit terkecil katakanlah Bagian X di suatu Dinas Y di Provinsi Z yang akan melaksanakan harus bekerja ekstra keras. Dari awal hingga akhir. Bagian X itu harus beradu argumentasi dengan proyek-proyek lain yang jumlahnya bisa ratusan di dalam suatu kabupaten/kota, lalu ditingkat provinsi. Karena itu, untuk mengawal usulan proyek itu diperlukan dana dan upaya tersendiri.
Biasanya dana yang diperlukan untuk mengawal itu bisa merupakan uang kas pelaksana proyek yang sudah disiapkan dari proses “persiapan” anggaran tahun sebelumnya. Namun kerap terjadi dana untuk menggolkan proyek itu merupakan dana “talangan” dari calon kontraktor atau konsultan yang nantinya akan direkayasa memenangkan tender.
Dana untuk mengawal itu biasanya akan keluar untuk berbagai tempat atau pos, yang  jumlahnya sangat banyak dan berjenjang. Jika usulan proyek, dulu disebut DUP (Daftar Usulan Proyek) dimaksud bisa lolos untuk tingkat kabupaten/kota, maka tiba saatnya DUP itu bersaing lagi dengan proyek2 lain di dalam suatu sektor tertentu yang melibatkan Bappeda dan Sektor dimaksud. Kemudian usulan yang lolos ditingkat provinsi, harus diadu lagi dengan ribuan DUP lain di dalam sektor yang sama. Proses ini biasanya dibahas di tingkat Biro Perencanaan sektor terkait, yang kemudian ditetapkan oleh Sekjen Kementerian atau Departemen di zaman lalu.
Menariknya, proses penetapan usulan di tingkat eselon 1 Kementerian tersebut, biasanya ditetapkan oleh Sekjen, juga sangat ketat. Hanya Pimpro -sekarang di kenal dengan Pejabat Pembuat Komitmen (P2K)- yang benar2 menguasai medan dan rimba peranggaran inilah yang akan mampu menggolkan usulan itu untuk tingkat yang lebih tinggi nantinya. Dulu dibahas dan diusulkan lagi ke Bappenas dan Depkeu (Kemkeu). Setelah disetujui oleh Keuangan dan Bappenas, maka masing2 proyek yang sudah menjadi bagian terkecil untuk di eksekusi, masih harus melalui proses pembahasan yang terkadang“intelectually harrasing” di Kantor Ditjen Anggaran. Dulu pembahasan ini melibatkan pejabat Bappenas dan Depkeu, sekarang peran Bappenas telah digantikan oleh DPR, sementara Depkeu tetap menjalankan fungsi mereka dalam pembahasan dan penetapan nilai akhir proyek.
Jika dalam pelaksanaannya, proyek mengalami masalah dan atau mengalami perubahan, maka harus pula dilakukan revisi proyek yang melibatkan 3 pihak tadi, Sektor, Kemkeu (dulu Depkeu) dan DPR.  Demikian seterusnya, suatu siklus yang tidak mudah memang. Sangat melelahkan dan akhirnya sering  ”dibereskan” dan “dipercepat” dengan fulus berupa uang suap. Uang ini sering dibungkus dengan berbagai istilah, seperti uang transport - kalau kecil- dan tentu saja suap dalam jumlah besar jika membutuhkan pembelokan sasaran, jumlah atau ruang lingkup, dan lokasi.
Sekali lagi, siklus ini sangat panjang dan di setiap tingkatan berpotensi untuk diselewengkan.
****
Kembali ke E-Budget, maka proyek E-Budget yang menjadi tanggung jawab Kemkeu telah ditetapkan menjadi salah satu flagship program dari DeTIKnas. Diharapkan pelaksanaan E-Budget di setiap sektor atau Kementrian dan puluhan kantor pemerintah lainnya, termasuk komisi-komisi dan badan-badan yang dibentuk untuk menjalankan roda pembangun akan dapat memangkas praktek KKN tadi.
Ketika program E-Budget itu dicanangkan dan disiapkan, maka Kemkeu yang bertanggung jawab ketika itu masih harus membereskan sistem anggaran mereka terlebih dahulu. Namun setelah ditunggu hingga tahun 2009 -ketika itu masih dibawah Menkeu Ibu Sri Mulyani Indrawati (SMI), hingga kini program E-Budget ini belum berhasil direalisasikan oleh Kemkeu.
Kita bukan mau berandai-andai. Namun kenyataan yang kita hadapi memang memilukan. Ketiadaan E-Budget telah mempercepat dan mempermarak terjadinya jual beli proyek. Bukan hanya berbagai kasus yang terakhir melibatkan Bendahara Umum Partai Demokrat Moh. Nazaruddin, namun ratusan kasus yang bermuara dari penyelewengan anggaran untuk proyek APBN, telah menjadi berita sehari-hari. Ada gubernur, bupati, anggota DPR dan DPRD yang harus mendekam dipenjara atau menjadi buron.  Seandainya E-Budget telah konsisten dilakukan oleh Kemkeu, tentulah peluang dan ratusan kejadian dan kasus seputar APBN ini bisa dicegah.
APBN bukan hanya meliputi rupiah murni yang menjadi sumber investasi dan pembiayaan proyek pembangunan. Ia juga meliputi bantuan/pinjaman/maupun hibah dari negara donor. Biasanya total dana yang melibatkan pinjaman atau bantuan asing skala nya lebih gigantic. Dan inilah yang menyeret banyak Pimpro atau P2K ataupun pimpinan Kementerian masuk penjara. Kita menyaksikan mulai dari profesor doktor di Kementerian Kesehatan hingga petinggi partai politik dan pejabat biasa setingkat Dirjen atau Deputi. Termasuk mantan pejabat tinggi di lembaga lembaga tambahan yang baru dibentuk seperti KPPU, hingga purnawirawan yang seharusnya sudah bisa hidup tenang di usia pensiun mereka.
Sayangnya penyelewengan APBN ini bukannya berkurang, malah makin menggejala dan menggila. Namun ada hikmah besar yang tidak boleh kita lupakan. Jika program E-Budget dapat dilaksanakan dan dikombinasikan dengan e-procurement yang sudah dijalankan oleh LKPP yang dulu menjadi bagian Bappenas, maka jelas lah bahwa pada tahun 2030 nanti kita memang akan bisa menjadi The Best Ten Economy in the World. Tidak perlu menunggu hingga Republik ini berusia seratus tahun hingga tahun 2045. Paling tidak itulah hasil salah satu report terbaru Standard Chartered Bank. Mereka meramalkan India berada di posisi ketiga, dan Indonesia pada posisi ke 6, melampaui German, UK, Mexico dan Perancis. Kita hanya kalah dari CHina, US, Brazil, India dan Jepang.
Jika seorang Nazaruddin bisa memanfaatkan berbagai produk ICT, mulai dari SMS, Black Berry Mesanger, TElepon Interview via Media, hingga conference via Skype, maka sudah selayaknya pemerintah juga menegaskan kembali pentingnya E-Budget, dan melaksanakannya secepat mungkin baik via DeTIKnas ataupun tidak.
Pilihan ada pada kita, jadi buat apa menunda-nunda lagi. Only time will tell.
______

Mungkinkah Kita Punya Satu Saluran Darurat (911)?

http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/14/mungkinkah-kita-punya-satu-saluran-darurat-911/


Pagi itu saya baru menghabiskan satu putaran jogging di komplek perumahan. Ketika lewat di depan rumah, saya dengar anak bungsu saya berteriak-teriak memanggil Mamanya. Tidak ada sahutan, ia terus berteriak dan semakin kencang serta histeris. Segera saya bergegas masuk rumah, masih dengan sepatu terpasang.  Di kamar kami, isteri saya terkapar tidak sadarkan diri. Ada busa keluar dari mulutnya. Panik! Itulah yang saya rasakan meski saya sempat menenangkan diri sejurus lamanya. Mau telepon? ke siapa dan nomor berapa? Kalau kejadiannya waktu kami sekolah dulu di salah satu negara bagian di Amerika Serikat sana, pastilah saya otomatis sudah menyuruh pembantu atau anakku itu menelpon 911. Sungguh, itu jelas suatu prosedur darurat yang rutin dan harus dilakukan, sementara saya tentu akan bisa leluasa membantu memberikan P3K/First Aid terhadap korban.
Selintas, saya memang ingat ada satu nomor untuk polisi di Indonesia kalau tidak salah 112, juga ada nomor lain untuk ambulance. Namun ketika kejadian itu terus terang saya tidak yakin dan tidak tahu harus menelpon siapa, dan nomor berapa. Sayapun memutuskan segera membawa isteri yang sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri ke unit gawat darurat sebuah rumah sakit yang  terdekat dari rumah. Sambil menjaga kesadaran isteri bisa pulih, sayapun mengoleskan wewangian di hidungnya.
Alhamdulillah, dalam perjalanan ke Rumah Sakit, isteri saya mulai siuman dan segera dimasukkan ke instalasi gawat darurat. Setelah pernafasannya dibantu dengan oksigen, perlahan isteri saya sudah siuman dan kemudian istirahat sambil diperiksa dan diberikan tindakan medis lebih lanjut oleh dokter jaga.
***
Sekelumit cerita di atas memberikan gambaran dan kepastian bagi saya bahwa bangsa kita belum siap dan memang masih tertinggal dalam hal melayani warganya untuk kondisi-kondisi darurat. Apakah itu terkait kesehatan seperti yang saya alami, terkait kejahatan dengan kekerasan atau maling biasa, terkait terorisme ataupun kebakaran dan bencana alam lainnya. Kemajuan dunia telekomunikasi nasional yang sudah cukup baik, belum diikuti oleh aplikasi layanan berstandar nasional ataupun dunia yang sebenarnya logis dan tidak mengada-ada. Meski saat ini Indonesia sudah berada di atas rata-rata dalam hal penyediaan fasilitas telekomunikasi seluler, integrasi layanan yang menguntungkan bagi masyarakat masih sulit diwujudkan karena kelihatannya masih sangat tergantung kepada interest berbagai pihak seperti operator dan kantor2 tertentu sesuai layanan yang harus diberikan.
Pernah kah anda bayangkan ketika suatu saat anda mengalami musibah, katakan kebakaran atau ada kompor meledak, rumah tersambar petir ataupun di suatu malam anda memergoki maling sedang menyatroni rumah atau mobil tetangga? Siapakah yang akan anda hubungi dan di nomor berapa? Memang sekarang sudah ada info terkait dengan mengirimkan sms kalau tidak salah ke nomor 7070, atau saluran dan sambungan lain. Namun bagi saya tetap saja masih membingungkan, karena setiap jenis layanan memiliki nomor berbeda.
Ambil saja contoh berikut. Kota Lahat di Sumatera Selatan mencantum kan No 113 untuk Pemadam Kebakaran, 112 untuk Polisi, dan 123 untuk gangguan listrik (PLN), sementara kota Magelang memiliki no 113 untuk Pemadam Kebakaran, 118 untuk Ambulance, 110 untuk Polisi, 362019 untuk PLN. Surabaya memisahkan Ambulance dengan Ambulance kecelakaan menggunakan dua nomor berbeda pula dan seterusnya. Berbeda kota atau pulau berbeda pula prosedurnya. Padahal semuanya berujung kepada urusan nyawa dan harta benda yang tidak bisa dipisahk2kan seperti penomoran tersebut.
Karena itu sudah seharusnya pemerintah pusat atau kementerian terkait segera mengatur merapikah hal ini. Terserah instansi mana yang harus mengomandani, harus jelas penunjukkannya sehingga tanggung jawabnya masing2 menjadi jelas, sebagai apa dan mengerjakan apa. (Who does what).
Sudah semestinya berbagai nomor yang terlibat untuk kondisi darurat tersebut dapat diintegrasikan menjadi satu nomor saja, lalu dari pengelola nomor tersebut lah semua tanggung jawab diberikan secara terpisah. Kita tidak usah malu meniru sesuatu yang baik. Katakanlah kita berhasil menetapkan nomor 911 sebagai nomor utama pengaduan kondisi darurat, maka operator 911 kemudian bertugas meneruskan permintaan layanan darurat tersebut kepada institusi terkait. Operator harus mampu mengidentifikasi layanan apa yang dibutuhkan korban atau pelapor lalu meneruskannya kepada Ambulance, Pemadam Kebakaran, Polisi, Layanan darurat medis, atau layanan lainnya.
Sesungguhnya ini bukanlah hal yang sulit dan bukanlah sebuah mimpi besar, tetapi sesuatu yang seharusnya sudah tersedia beberapa tahun lalu untuk bangsa sebesar Indonesia ini.
Jadi, janganlah tunggu kepanikan itu datang lagi kepada anda tanpa anda sendiri mengerti harus menghubungi satu nomor “sakti” yang sangat berguna di tengah kepanikan yang terjadi.
Pertanyaannya sekarang, mau kah kita? Atau anda merasa perlu terlebih dahulu mengalami peristiwa panik yang tidak anda inginkan itu datang? Semoga tidak. Amin!
_____
Catatan: Tulisan ini terinspirasi dari hasil diskusi dengan seorang rekan wartawan Media Indonesia, Jakarta.

Reformasi Syarat2 Pendaftaran Ketua KPK untuk Menjaring Calon Terbaik.

http://hukum.kompasiana.com/2011/06/13/reformasi-syarat2-pendaftaran-ketua-kpk-untuk-menjaring-calon-terbaik/


Ditengah kesibukan, saya masih sempat mengikuti sekelumit berita tentang pemilihan atau tepatnya pendaftaran calon Ketua KPK yang akan habis masa jabatannya. Berita itu menguak kembali memori saya ke tahun lalu dan beberapa tahun silam ketika KPK mencari Ketuanya yang baru dan Ketua pengganti Antasari Azhar yang sekarang menjalani hukuman.
Penasaran, saya mencoba membuka situs www.depkumham.go.id yang memuat syarat2 pendaftaran untuk menjaring calon Ketua KPK yang baru. Setelah membaca dengan seksama, saya kembali lemas dan resah. Karena syarat2 yang ada saya rasakan masih sangat jauh dari syarat ideal untuk menjaring calon terbaik. Di antara syarat2 itu, kembali terpampang bahwa untuk pendafatar, masih saja harus: (a) menyerahkan Fotokopi Ijazah yang dilegalisir oleh perguruan tinggi yang bersangkutan/instansi yang berwenang baik S1, S2, maupun S3; (b) Surat Keterangan Catatan Kepolisian asli dan masih berlaku. Meski tidak perlu lagi menyampaikan SUrat Keterangan Bebas Terpidana dari Pengadilan Tinggi setempat seperti syarat pendaftar beberapa tahun lalu, dua syarat (a) dan (b) di atas bagi PNS dan Karyawan BUMN jelas masih belum reformatif.
Mengapa demikian?
Jika seorang PNS atau pegawai BUMN yang setiap tahun menjalani penilaian dari pimpinannya dengan berbagai perangkat birokrasi yang ada, maka memintakan Surat Keterangan Catatan Kepolisian jelas kurang tepat dan memboroskan waktu dan biaya. Tahun lalu saya pernah mencoba mengurus ke kantor Polisi di daerah domisili, maka saya tidak bisa serta merta mendapatkan SUrat dimaksud, tanpa harus mendatangi dan secara berjenjang meminta surat keterangan terlebih dahulu ke RT, RW, hingga Kelurahan, sebelum sampai di Polres atau Polda. Jelas ini memboroskan waktu dan biaya, karena seperti pengakuan salah seorang mantan Ketua KPK dulu, ia memang terpaksa harus memberikan sekedar Rp 80 ribu untuk mempercepat pengurusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian, meski dengan menyuruh supir katanya. Belum lagi dulu harus membayar hingga beberapa Ratus Ribu Rupiah untuk Keterangan Bebas Terpidana yang sekarang sudah ditiadakan.
Sedangkan untuk menyerahkan legalisir ijasah, tentu saja ini juga memboroskan waktu pengurusan dan memakan biaya. Saya pernah berargumentasi dengan Panitia Pendaftaran tahun lalu di Kemkumham di Kantor mereka di Kuningan. Saya berargumentasi, kalau saya harus melegalisir lagi, misalnya ke luar kota seperti ke Bandung, maka saya harus minta izin atau cuti untuk mengurusnya, karena biasanya tidak bisa diwakilkan. Kalau pun mau tidak datang sendiri atau “cincai2″, artinya kita kembali harus melakukan “salam tempel” atau baca penyuapan untuk justru menjadi Ketua KPK yang salah satu tugasnya adalah mencegah atau menumpas penyuapan.
Tahun lalu di depan panitia pendaftaran saya beradu argumentasi, sekedar memberikan pandangan bahwa tidaklah perlu menyerahkan fotocopy ijasah yang masih berlaku/legalisir. Cukup foto copy biasa saja. Nanti setelah diproses dan lolos berbagai tahapan, panitia bisa saja mencek ulang keaslian ijasah tersebut. Begitu pula saya pernah “adu urat syaraf” dengan panitia bahwa tidaklah berguna bagi PNS dan karyawan BUMN meminta SUrat Keterangan Kepolisian. Bukankah mereka sudah tercata rekam jejaknya setiap tahun. Untuk pegawai swasta atau pensiunan bolehlah karena ada tenure mereka tidak lagi memiliki atasan dan rekam jejak untuk jangka waktu tertentu.
Seperti sudah diduga, argumentasi-argumentasi di atas ditepis kan begitu saja oleh panitia. Atau kalaupun diproses, sayapun tidak lulus seleksi administrasi. Tidak apa-apa, karena saya mendaftar bukan untuk menjadi Ketua KPK, tetapi untuk memperbaiki proses rekrutmen guna menjaring calon2 terbaik, bukan hanya dari masyarakat biasa, tetapi juga dari PNS dan karyawan BUMN.
Kondisi yang mungkin tidak pernah menjadi “concern” pimpinan KPK ataupun petinggi di Kemkumham itu sudah seharusnya diakhiri, biar terjaring calon2 yang bersih, beratitude bagus dan berdedikasi tinggi. Bukan untuk memperoleh orang2 yang hanya menjadi “kutu loncat” ataupun masuk KPK dengan motivasi yang tidak sejalan dengan visi dan misi pemberantasan KKN di Republik ini.
Tulisan ini hanyalah untuk menggugah para pendekar hukum di Republik ini agar benar2 bisa berpikiran dan bertindak reformatif, bukan “keukeuh bertahan” dengan pakem2 lama yang sudah sangat tidak sejalan dengan tuntutan jaman.
_______
Lampiran 1: Syarat2 Pendaftaran Calon Ketua KPK saat ini





PENGUMUMAN PENDAFTARAN
SELEKSI CALON PIMPINAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
NOMOR: 01/PANSEL-KPK/V/2011
Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Mengundang Warga Negara Republik Indonesia yang terbaik untuk menjadi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, sesuai dengan Pasal 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus memenuhi syarat:
a.    Warga Negara Republik Indonesia;
b.    Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.    Sehat jasmani dan rohani;
d.    Berijazah Sarjana Hukum atau Sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan atau perbankan;
e.    Berumur  sekurang-sekurangnya  40  (empat puluh)  tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan;
f.    Tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g.    Cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
h.    Tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
i.    Melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
j.    Tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan
k.    Mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendaftaran Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi diselenggarakan mulai tanggal 30 Mei 2011 s/d 20 Juni 2011 pada jam 09.00 WIB s/d 16.00 WIB (hari kerja). Berkas pendaftaran hanya dapat diajukan oleh yang bersangkutan dan ditujukan kepada Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dibuat di atas kertas bermeterai cukup (Rp. 6.000,-).
Permohonan pendaftaran harus sudah diterima oleh Panitia selambat-lambatnya tanggal 20 Juni 2011 jam 16.00 WIB dengan melampirkan:
a.    Daftar Riwayat Hidup;
b.    Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan Fotokopi NPWP, dengan membawa aslinya;
c.    Fotokopi Ijazah yang dilegalisir oleh perguruan tinggi yang bersangkutan/instansi yang berwenang baik S1, S2, maupun S3;
d.    Surat Keterangan pengalaman kerja dari instansi tempat bekerja;
e.    Pas foto terbaru 3 (tiga) lembar ukuran (4×6) dengan latar belakang berwarna merah;
f.    Surat Keterangan sehat jasmani dan rohani dari dokter pada Rumah Sakit;
g.    Surat Keterangan Catatan Kepolisian asli dan masih berlaku;
h.    Surat Pernyataan di atas kertas bermeterai Rp. 6.000,- dan bertanggal yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
i.    Surat Pernyataan di atas kertas bermeterai Rp. 6.000,- dan bertanggal, bahwa apabila terpilih menjadi anggota Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersedia:
1)    Melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya;
2)    Tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota komisi;
3)    Melaporkan harta kekayaannya.
Surat Pendaftaran dapat disampaikan langsung kepada Sekretariat Panitia Seleksi atau dikirimkan melalui pos tercatat, dengan alamat:
Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
d/a. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Jl. HR Rasuna Said Kav. 6-7 Kuningan Jakarta Selatan. Telp/fax. (021) 5274887.
Pendaftaran Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dipungut biaya.
Jakarta, 28 Mei 2011
Ketua Panitia Seleksi
ttd
PATRIALIS AKBAR, SH, MH.
Lampiran 2: Artikel “Sapu Campur Debu” (Majalah Forum, 11 Juli 2004)
Ditulis oleh Eddy Satriya
“Mohon maaf, Bapak menyogok berapa untuk menjadi anggota KPK?”. Demikian pertanyaan saya kepada salah seorang anggota Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang hadir sebagai pembicara dalam sebuah diskusi tanggal 1 Juni 2004 lalu. Pertanyaan tersebut sudah ada dibenak saya dan terus bergelayutan selama hampir 9 bulan. Persisnya sejak membaca iklan Pengumuman Pendaftaran Calon Pimpinan KPK di berbagai media cetak bulan Oktober tahun lalu. Oleh karena itu saya merasa beruntung mendapat undangan dan berkesempatan hadir dalam diskusi bertemakan Pegawasan Anggaran dan Pemberantasan Korupsi Pasca Pemilu Legislatif yang diadakan di sebuah hotel di kawasan Jakarta Selatan itu. Selain pembicara dari KPK, hadir pula mantan Menteri zaman Orba yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), rekan pengamat politik yang sedang pulang kampung dari tugas belajarnya, dan wakil pimpinan dari Partai Keadilan Sejahtera.
Pertanyaan - mungkin lebih tepat unek-unek - tersebut cukup mengganggu saya. Betapa tidak, ditengah hingar-bingar berbagai slogan dan program pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah maupun himbauan berbagai komponen masyarakat, tidak terlihat terobosan yang dapat diandalkan. Malah sebaliknya korupsi yang diperkuat oleh dua komponen jangkar lainnya, kolusi dan nepotisme, telah menjelma menjadi sebuah trio KKN yang semakin “ngetop” dan mewabah di tengah masyarakat. Sifat permisif, ketidakpedulian, tingkat upah yang tidak sepadan, lemahnya penegakan hukum, pelecehan terhadap jam terbang, serta rangkap jabatan untuk peran yang sesungguhnya menjadi hak orang lain, telah semakin memperburuk keadaan.
Pertanyaan yang menggangu itu muncul tatkala membaca berbagai persyaratan yang diharuskan oleh Panitia Seleksi yang dibentuk Ditjen Peraturan Perundang-Undangan, Departemen Kehakiman dan HAM. Salah satu syarat yang mengusik saya adalah butir No. 7, yaitu keharusan pemohon melampirkan Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) dari Kepolisian. Disamping mengusik nalar, persyaratan tersebut terasa menggelikan. Kentara sekali persyaratan itu diambil begitu saja dari persyaratan administrasi yang telah menjadi standar keharusan di masa lalu. Tidak tersentuh reformasi, meski iklan seleksi tersebut ditandatangani oleh nama-nama yang disegani dalam percaturan hukum di Indonesia.
Dengan membuang jauh-jauh a priori bahwa berurusan dengan kepolisian sebaiknya dihindari, maka rasa keingintahuan saya jadi semakin memuncak. Saya jadi ingin tahu bagaimana calon-calon pimpinan KPK menghadapi dan memenuhi persyaratan tersebut. Apakah mereka mampu bertahan untuk tidak menyogok ketika harus menjadi pemberantas sogok-menyogok? Juga, apakah mereka mau menghindari jalan pintas ketika berhadapan dengan kerumitan birokrasi untuk selembar surat? Walaupun bisa menduga apa yang akan terjadi, tetap saja pikiran saya baru akan lega setelah mendengar jawaban langsung dari anggota KPK terpilih tersebut.
Pertanyaan di atas, selain diawali dengan permohonan maaf juga saya dahului dengan pertanyaan untuk memastikan bahwa pembicara tidak sedang menderita penyakit jantung. Setelah memberikan penjelasan, akhirnya pertanyaan itu pun dijawab dengan jujur oleh anggota KPK tersebut.
“Ya, tapi saya suruh supir saya!”, ujarnya menjelaskan bahwa ia memang memberikan bayaran lebih untuk mendapatkan SKKB. Ditambahkannya pula bahwa uang pelicin untuk SKKB tersebut relatif kecil dibandingkan dengan surat lain yang harus dimintanya dari sebuah kantor sesuai wilayah domisili. Untuk surat keterangan asli yang tidak diuraikan lebih rinci, ia harus membayar sekitar Rp 200 ribuan ditambah Rp 50 ribu untuk setiap rangkap yang dilegalisir. Segera saya ungkapkan rasa terima kasih yang dalam atas keterbukaannya.
Sore itu pikiran saya terasa lega karena pertanyaan yang terus membayangi selama sembilan bulan itu terjawab sudah. Setelah beramah tamah dengan pembicara dan peserta lain, sayapun segera mencari taksi dan kembali ke kantor menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tadi saya bengkalaikan. Kemacetan dan kepulan asap knalpot di kawasan Pasar Rumput, Manggarai mengingatkan saya kepada karya sastra “Deru Campur Debu” yang pernah saya baca ketika di SMA dulu. Hari ini saya meminjam judulnya dan menuliskan “Sapu Campur Debu!”
***
Argo taksi menunjukkan angka Rp 12 ribuan. Namun ketika menunggu kembalian uang Rp 20 ribuan yang saya berikan, sang supir dengan datar menjawab bahwa ia tidak punya uang receh. Sayapun segera bergegas turun. Padahal, sekelebatan terlihat uang lima ribuan tersembul di bawah bungkus rokok di dekat asbak mobil.
Mengambang dalam lift kantor membuat pikiran saya melayang. Sekarang gantian, kalau tadi pikiran saya dipenuhi pertanyaan, maka tiba giliran potongan lirik lagu pop yang dinyanyikan Utha Likumahua ditahun 1980-an yang terus mengiang, menyesaki dada dan pikiran saya. “Kita kan hidup di Indonesia, bukan disana……!”



Friday, November 27, 2009

Idul Adha, Menteri PPN/Ka Bappenas, dan listrik itu.


Tidak pelak lagi. Salut dan terkejut saya pagi tadi, 27 November 2009. Ternyata dalam kesyahduan peringatan Idul Adha yang ditandai dengan shalat sunat IDUl Adha berjamaah di Mesjid AL-Ikhlas Komplek Bappenas CInangka, telah hadir pula untuk pertama kalinya Menteri Negara PPN/Ka Bappenas beserta rombongan pejabat. Untuk pertama kalinya seorang Menteri shalat Idul Adha berjamaah di komplek Bappenas, barbaur dengan para pegawai yang tentu saja sangat senang dan bangga kedatangan tamu istemewa tersebut.

Dilengkapi dengan tenda sederhana untuk berjaga-jaga dari hujan yang semakin rajin turun, komplek Bappenas terlihat cukup semarak. Tidak seperti biasanya jalan menuju pintu mesjid dari arah timur dan selatan terlihat dijaga oleh beberapa petugas berseragam. Mereka mengarahkan para jamaah untuk mencari tempat duduk dan shalat nya masing2 nanti. Tidak jauh dari mesjid, di halaman gedung serba guna telah berjejer pula hewan kurban yang terdiri dari belasan ekor sapi dan sekitar 45 ekor kambing telah disiapkan untuk menjadi simbol kesetiaan seorang Nabi Ibrahim AS yang dengan ikhlas telah bersedia mengorbankan anaknya Nabi Ismail AS.

Jam baru menunjukkan sekitar 06.35 pagi. Para jemaah penghuni komplek sedang bersiap-siap menuju masjid dan lapangan yang telah disediakan untuk tempat pelaksanaan Shalat Idul Adha 1430 H yang seperti biasa dimulai jam 07.00. Namun ketika suara takbir berkumandang dengan lantang melalui pengeras suara, tiba-tiba "cesssssss" listrik dikomplek mati yang diiringi dengan berhentinya pula kumandang takbir tadi.

Seolah kembali kezaman "baheula", maka seketika itu pula pengurus mesjid sibuk karena di dalam mesjid sudah hadir Menteri PPN/KA BAppenas Ibu Armida Alisyahbana (maaf kalau salah eja!) beserta suami. Juga rombongan beberpa pejabat Bappenas yang jarang bertandang ke komplek, juga tampak hadir. Ada yang eselon 1, juga ada eselon 2 dan di bawahnya. Bahkan juga terlihat ada pensiunan dari komplek Bappenas yang lain juga datang. Beberapa pejabat dari Pemda Sawangan dan kepolisian juga terlihat hadir.

Karena tidak menyediakan genset ataupun "TOA", maka setelah nyaris 16 tahun sejak mesjid berdiri, prosesi shalat Ied yang dimulai dengan kumandang takbir dan shalat berjamaah dilalui dengan "hening" tanpa ada pengeras suara. Tidak ajal, ada bbrp "Bilal" yang harus menjadi "amplifer" ucapan imam. Mulai dari Takbir hingga Salam penutup. Begitu pula setelah selesai shalat, proses kutbah Ied juga dilalui dengan "berbisik" karena jemaah yang diluar mesjid nyaris tidak mendengar suara khatib.

Beruntung sekitar pukul 07.25 listrik kembali menyala, sehingga sebahagian kutbah masih bisa diikuti oleh para jamaah.

Namun mungkin karena kehadiran Ibu Menteri, beberapa proses silaturahmi yang biasanya dilaksanakan persis setelah shalat tidak dilaksanakan oleh panitia. Acara berikutnya langsung kepada acara protokoler serah terima hewan kurban berupa sapi yang disampaikan langsung oleh Ibu Menteri kepada Ketua Mesjid rekan saya tercinta Rahmat M, yang kemudian dilanjutkan langsung dengan acara sarapan lontong sayur olahan ibu2 PKK serta acara hiburan musik dari Majelis Taklim, Mesjid AL Ikhlas.

***

TERLALUHHH. Mungkin itulah komentar yang pantas, sangat pantas, yangharus disampaikan kepada PT.PLN yang tega "mematikan" aliran listrik PERSIS PADA JAM ORANG MELAKUKAN SHALAT IED ADHA. Sungguh, disamping kegembiraan yang telah dibawa dan dibagi bersama oleh Ibu Menteri PPN/Ka BAppenas, jelas matinya aliran listrik membuat malu para pengurus mesjid dan tuan rumah. Namun apa mau dikata. Memang begitulah kenyataan yang ada saat ini. Suatu yang busuk tidak mungkin bisa ditutupi terus menerus. Jelas ini menjadi tugas nyata kita semua, termasuk pimpinan teras Bappenas untuk secepatnya menyusun program2 nasional agar keluar dari krisis yang semakin tidak jelas ujung pangkal dan wujudnya ini. Sudah selayaknya Bappenas beserta jajaran ESDM dan kementerian lain terkait bertindak tegas dan lugas. Krisis listrik kali ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Bukan hanya karena listrik sudah menjadi kebutuhan primer, tetapi juga sangat menentukan dalam menarik investasi yang sangat dibutuhkan berbagai sektor pembangunan mengingat berbagai kemampuan pemerintah dan swasta nasional sudah nyaris sampai kepada titik jenuhnya. Karena itu investasi asing baik langsung ataupun tidak langsung harus terus ditingkatkan. Kondisi yang harus dipenuhi terlebih dahulu tentu adalah tersedianya infrastruktur, termasuk listrik yang bisa diandalkan, karena memang handal.

Semoga "insiden" matinya listrik di komplek Bappenas CInangka persis pada saat Shalat Idul Adha yang dihadiri oleh seorang Menteri KIB-II ini dapat menjadi "pengingat" bagi pejabat setingkat menteri. Dan terus terang, krisis listrik kali ini tidak sesimple yang anda dan kita duga. Ia semakin komplek dan sangat memusingkan jika tidak segera diselesaikan. Atau insiden sejenis mungkin boleh juga "diharapkan" terjadi pada rapat penting kabinet, atau ketika menteri terkait sedang hajatan, atau dirjen sedang mantu. Namun biasanya setahu saya kalau pejabat punya hajat, biasanya genset PLN sudah stand bye, seperti dulu pernah saya saksikan dengan mata kepala sendiri. Di siang bolong, listrik di komplek sang dirjen tetap nyala, sementara genset dengan kapasitas besar juga standbye.

Tapi tidak tadi pagi di komplek Bappenas CInangka, ketika kami semua melaksanakan shalat Idul Adha 1430H.

Bagaiamana di rumah dan mesjid anda? semoga tidak sama.

--sawangan, depok, Idul Adha 1430H--

Friday, May 29, 2009

PERSAHABATAN BAGAI KEPOMPONG (To all the friends I've loved before...!)

[di dahului dengan permohonan maaf, tulisan ini bukan mengenai sara, tapi adalah tentang persahabatan dan pergaulan di Minangkabau, silakan di komentari dan diberitahu saya mana yang boleh mana yang gak untuk disampaikan. Juga mohon ditambahkan nama2 teman lain yang saya sudah lupa. Selamat bernostalgia]

Jam gadang itu, tak ada 4 nya!

SMP ku..dimana aku dipanggil pak Katua oleh Toni si "bandel" karena
hobbynya memang jadi ketua kelas melulu


Adalah Lo Kok An yang membuat gue penasaran...(maaf ..saya tidak pakai bahasa Indonesia yang benar kali ini..saya pakai lu-lu-gue-gue). Betapa tidak dia sudah berganti nama menjadi Andi Leo, bukan hanya di fesbuk, tetapi tadi di telpon katanya juga dalam keseharian ketika diharus kan oleh peraturan kewarganegaraan.

Nah mumpung fesbuk masih bisa diakses, gue ingin menuliskan semacam kenang2an gue untuk lu lu teman gue mulai dari TK Kuntum Mekar, SD Francsiscus, SMP Xaverius, dan SMAN 1 di kota kelahiran gue..kota Bukittinggi tercinta.

Mungkin tidak banyak yang tahu, betapa sebalnya gue ketika zaman GUsdur diberikan semacam "keleluasaan" bagi warga keturunan Tiong Hoa (maaf kalau istilah keturunan sudah tidak dianjurkan..) tapi gue terpaksa pakai sebagai bagian keprihatinan itu. Gue sebal bukan diberikannya kesempatan lebih atau dijadikannya hari libur Imlek sebagai libur nasional. Bukan pula karena setiap Imlek selalu disinggung masalah kebebasan WNI keturunan atau bukan.

Yang gue paling sebal adalah ketika membaca tulisan-tulisan yang menyatakan bahwa warga keturunan sekarang sudah sama dengan WNI asli. Hati-hati, sekali lagi, bagi gue dari dulu itu sudah tidak masalah karena di Bukittinggi dari kecil hingga besar gue gak pernah merasa ada perbedaan. Sungguh, bagi gue tulisan atau komentar itu terlalu dibesar2kan. Karena dari dulu di Bukittinggi semua orang akrab. Tidak pernah ada orang minang bentrok atau ribut dengan orang Cina (maaf gue pakai istilah itu aja ya..) silakan nanti dikomentari sebaiknya pakai istilah apa. Karena setahu saya sejak kecil orang Cina Minang dan orang Minang asli selalu berdampingan. Mulai dari pasar bawah, pasar atas, dikampung cina sendiri, atau dijalan Komidi (apa sih nama jalannya sekarang) hingga ke pasar banto dan ruko2 dimanapun. SIngkat kata setahu saya..orang cina dan minang yang sama-sama pedagang selalu tenteram dan tidak pernah ribut seperti di daerah lain atau juga negara lain.

Mau contoh yang gue alami?

MAsih ingat pasti semua kita warga Bukittinggi ketika pasar atas terbakar pertama kali tahun 1972. Ketika itu mungking kita baru kelas 2 atau 3 SD Fransiskus. Gaek atau kakek gue punya toko besi termasuk terbesar di pasar atas. Ketika ganasnya api pertama kali membuka mata gue, masih sangat ingat gue lihat dari simpang mandiangin (anak air) betapa api berkobar. Nenek gue almarhum Mardiana sempat shock, begitu pula Mama Gue Emma Heaven (nama aslinya sangat indah yaitu Emmahaven-artinya pelabuhan teluk bayur)..ikut sedih. Juga Bapak gue dengan Om gue Harmen segera berlari ke pasar atas menyelamatkan barang2 dagangan di toko alat2 besi yang tentu saja sangat berat dan susah diselamatkan. SIngkat kata kami semua sedih karena toko Gaek Marah Sutan Mudo habis dilalap api seisi-isinya, sebagaimana toko toko lainnya.

Gue masih ingat betapa setiap pulang sekolah sering mampir ke toko Gaek dan duduk ikut menunggu toko itu dan mulai ikur membantu berdagang. Yah itu baru ketika gue kelas 2 atau 3 SD. Gue ingat banyak orang datang membeli cangkul, pisau buatan Sei Puar yang sangat bagus, bajak sawah, tapak kaki kuda, dengan paku besi nya yang lucu, tajam persegi melancip dengan kepala paku besar, biar tapaknya tidak lepas. Juga ada sterikaan arang batu bara, juga ada uang-uang logam kuno bernama benggo atau lain2 nya. seingat gue, pulang sekolah jam 10an...jalankaki ke tri arga dan duduk sebentar di jam gadang. Biasa juga ke tri arga kita menjajal musuh-musuh kita dan berantem. Ada yang bergulat (katuak2an) ada yang sportif hanya dengan tinju ada pula gaya bebas boleh pakai kaki dan apa saja., Dengan catatan, jika ada yang kalau, harus segera dipisah dan permusuhan dihentikan.....ha ha..lucu ya. tapi itu jauh lebih hebat dan terhormat dibandung anak sekarang tawuran dan lempar batu sembunyi tangan.

Lanjut ke cerita toko Gaek gue. DI toko itupulalah Eddy kecil selalu membuka berkilo-kilo koran baru dari Malaysia dan SIngapore (Strait Times) setiap pulang sekolah. Di toko besi yang besar itu pulalah ( 4 toko atau kios jadi satu di hoek)..Eddy kecil membuka dan mencoba membaca koran bahasa Inggris itu setiap hari mampir disana. Gue hanya berhenti membuka dan membaca koran itu (meski hanya mengerti sebagian) ketika diajak makan siang. Bisa ke simpang raya atau rumah makan di sekitar bubur kampiun sianok. kadang makan soto haji minah. tapi karena gue sangat senang makan kacang ijo dan gue sangat di sayang Om Gue harmen, maka pastilah bubur kacang ijo dulu kita namakan "kacang padi" di buffet sianok itu menjadi langganan di sore hari.

Kembali dulu kecerita kebakaran. Singkat cerita, meski kami sekeluarga sedih dan Gaek menjadi sakit, begitu pula Nenek, karena punya darah tinggi, sebenarnya kami sangat beruntung. Ternayata barang dagangan kakek nyaris selamat semua. Kok bisa? nah inilah pangkal cerita tentang orang CIna Minang kawan2 ku tercinta itu. Bapak saya ternyata dulu itu jagoan pingpong di kampung cina, Om saya Harmen ikut group body building di tempat groupnya bapak dan keluarga Armen SUtiono (dimana dia sekarang tuh?). Ternyata barang-barang dagangan kakek gue telah diselamatkan oleh teman2 nya termasuk para CIna Minang itu. mereka dengan sigap secara beranting membantu membawa barang dagangan itu ketempat aman. Sudah menjadi biasa seingat saya jika kios sebelah adalah milik orang cina, sementara disebelahnya lagi milik orang minang. Saya ingat kios piring teman gue (SMA 3 Sofni Zein) yang manis di pasar atas, diapit oleh toko orang CIna Minang.

Alhasil, meski sebagian barang hilang, dengan bantuan para teman2 om saya yang sterek karena mereka body building dan kuat2, barang dagangan kakek nyaris bisa kembali seperti sediakala seperti sebelum kebakaran ketika untuk sementara pedagang berjualan dikios sementara. Mau tahukan anda kemana para pedagang dipindah sementara? Mereka dipindah persih memenuhi seluruh jalan AYani dari simpang rumahnya Giap (yang jualan pisang goren) hingga ke dekat Jam Gadang. Artinya, kembali kampung cina menjadi tempat berjualan sementara semua pedagang yang kena musibah. Wow..what an harmony progessio..dizaman lamo yah?

Nah..dengan kekerabatan yang sedemikian erat itu, rasanya tidaklah perlu ikut latah para warga Bukittinggin meniru apa yang terjadi di daerah lain. Saya ingat setiap imlek sebagian teman2 Tionghoa (sorry kadang bosan dengan istilah cina) membawa kue imlek dan kami memakannya di sekolah, begitu pula saya sering kerumah Pak Beng (dulu pernah ketemu di jakarta), Cici Mui, dan Bu Giok yang bbrp tahun lalu pernah saya datangi ke rumah nya di daerah tembok ke arah bukit ambacang. Singkat kata, warga Minang dan CIna di Bukittinggi dari dulu sebenarnya satu. Meski terjadi masalah menyangkut status kewarganegaraan dulu, namun dalam keseharian hal itu tidak pernah dirasa.

Karena itu sekedar mengenang teman2 ku, mungkin masih hidup semua atau sudah ada yang mendahului kita, tulisan ini aku persembahkan. Biar kerukunan kita yang sudah dari dulu terbentuk dapat terus berlanjut hingga ke anak cucu dan anak cucu berikutnya.

Gue beruntung, karen ketika di SMP dulu sering jadi ketua kelas..maka akan gue sebutkan nama dan kenangan satu persatu. Urutannya acak dan tidak menyiratkan prioritas. Lo Kok An yang sekarang berganti naman katanya dengan Andi Leo..nah lu tu ye..dari dulu tukang lawak dan pemain harmonika. Boleh lah kalau kita jumpa lu nyanyiin lagu minang dengan harmonika lu. Anggi atau Iskandar,kami ketemu terakhir ketika melayat ayah Anggi yang meninggal di rumah duka di St Carolus, tahun lalu barang kali ya. Anggi ini juga anak pintar, selalu saingan dengan gue terutama matematik. Ia juga keterima di ITB jurusan Fisika TEknik, tapi tidak diambilnya. Ia lebih memilih arsitek di Unpar, Bandung. Terus ada THio Chin Teng atau Tarsisius THio..gue ingat lu teman gue yang baik juga gak banyak kurenah (he he tingkah)..agak tinggi dan tentu saja rambutnya lurus. Ada juga Oei Bian Cin yang membantu ortu jualan onderdil motor mobil di bawah janjang 40 dekat Sate Mak Tuah dulu. Juga SIlviani Tanoto (ini dari dulu namanya demikian). SIl selalu saingan ama gue di kelas jadi juara satu dan dua bergantian ya Sil. Nah saya salut sekali ketika tahu SIl memilih mengambil IKIP di PEkan baru. Kemaren gue kehabisan waktu mencari dia belum hasil. Ortu Silviani berjualan kerupuk balado yang enak dan gurih, dibungkus khusus dengan kertas putih berbentuk segitiga. Tinggal di dekat tanjakan mau naik ke benteng.

Ada juga Tan Sian Lie dipanggil Sian yang manis dan besar badannya. orangnya riang dan lucu. Namanya kalau tidak salah berganti jadi Yanti Gunaawan yang menawan. Tak kulupa si manis Kwe Sin Liu yang pakai nama Theresia. Juga Lie Kim Ai...yang selalu heboh.,riang dan gak bisa diam. Nah siapa lagi ya..? oh ya Pek Tek SIong (yang agak kecil dan dekil he he..) tapi dia jagoan basket juga dan sepaktakraw. Armen Sutiono sudah disebut tadi di depan yang sering gue kalahkan main catur dan pingpong he he. Juga ada si TEnok Welly Kasna di simpang tembok yang berjualan limun. Sayang limun kota atau lokal sudah habis dibabat coca cola dan teh botol. Tenok sama dengan saya masuk PP II di IPB angkatan 19. tapi ia tetap d IPB, saya berlabuh lagi ke ITB karena terlalu stres dan tidak kerasan dengan suasana belajar di IPB.

Masih banyak beberapa teman kita lagi yang keturunan. nanti akan saya sambung. Juga ketika gue pindah setahun ke payakumbuh sangat banyak teman cina disana. Salah satunya ada si ENg yang manis dan baik sama gue. Reno Dewi mungkin masih ingat karena kami sempat sekelas di Payakumbuh. Yang bareng dengan Lo Kok An juga adalah Johan Irwan, sang jago basket smp xaverius kami. Saya gak tahu nama asli Johan karena sudah pakai nama itu dari dulunya. Ada juga Hendri Utama yang dari dulu suka berantem dan gangguin anak perempuan...hehe. Sorry Hendri Utama kalau gak salah teman gue ketika di SD Pius Payakumbuah.

Disamping keturunan cina, gue juga gak lupa bbrp teman yang keturunan India dan lucu2..yaitu Mimi (Jailani) dan Pupa (ZUlfa..saja namanya) yang tadi bereuni SMA3 Bkt.

Ondeh Mandeh..maaf kawan. Juga ada teman2 kita dari Medan dan kabupaten2 di Sumut. Masih ingat Burhan Simare-mare yang kalau sekolah harus bertongkat kalau tidak salah karena memang ada kekurangan. Ada pula Sampe Sinaga dari pelosok serta Albert Situngkir (Malantong). Ini ada cerita, ketika bahasa Indonesia si Albert ini dapat giliran mengisi titik-titik dari pada kata kerja aktifitas atau sifat sebuah kata yang mendahuluinya. Contoh: Kambing mengembik, Sapi melenguh, nah..giliran dia harus mengisi dan membacakan jawaban kata depan yang muncul pas gilirannya adalah Balon. Jelas kami kesulitan, apalagi dia yang baru pindah dari SUmut (maaf kota nya saya gak tahu). Kelas hening sejenak. Nah dari pada diam dan bisu, saya yang duduk bersama dia SMP Xaverius kelas 2 mebisikkan kata "Malantong" sebagai ganti kata "Meletus". Mendengar jawaban mantap dari Albert dengan logat Medan yang kental tentu saja seiisi kelaspun meledak tertawa. Termasuk guru bahasa Indonesia pengganti Ibu Kartini itupun terdiam, tapi tidak bisa marah.

Sejak itu kami panggillah Albert ini dengan marga baru "MAlantong" yang artinya adalah meledak atau meletus dalam bahasa Minang yang kental. Dimana dikau sekarang teman2 ku? SAya mengerti engkau tentu harus menjalani hidup yang sulit pada masa itu karena dikirim dari SUmut untuk juga "mengabdi" di gereja di Bukittinggi yang sebagai imbalan dapat bersekolah. SUngguh suatu kenangan berbagi yang indah bagi gue..(sorry gue lagi neh biar konsisten).

Demikian kawan2 gue persembahkan note ini sekedar mengingat kenangan lama gue ketika menghabis kan masa2 kecil SD, SMP, dan SMA di Bukittinggi tercinta. Sekali lagi, kami dari dulu bersaudara dan merasakan pertemanan yang lain dari kebiasaan orang sekarang.

Jika anda ribut2 menyuruh kerukunan dilaksanakan, kami di Bukittinggi telah menikmatinya. Sekali lagi, kami telah menikmatinya. Sungguh suatu pelajaran dan perjalan hidup yang kemudian memberi bekal ketika harus hidup di Jawa dan juga di negeri orang, jauh di seberang dunia dengan adat, agama, dan kebiasaan berbeda. Alhamdulillah ya Allah..kau beri kami teman dari berbagai macam suku bangsa dan semoga persahabatan kami memang seperti kempompong, merubah yang tak mudah menjadi indah serta mampu maklumi teman hadapi perbedaan (lirik "kepompong" nya Sindentosca)!

Amin, Ya Rabbil alamin.

-------------
Catatan: Pasar atas dalam perjalanannya kemudian " terbakar" lagi beberapa kali sejak tahun 1972 yang tentu saja menyisakan duka dan kesengsaraan bagi sebagian besar keluarga pedagang di Bukittinggi. Hingga sekarang mestinya pasar itu harus di cek lagi kekuatan strukturnya.



Evitriyeti, Anggi, Tan Sian Lie (Yanti Gunawan), dan Siti Mariah isteriku,
ketika di rumah duka St Carolous, jakarta.

Tuesday, May 26, 2009

Donat Pemberian yang jadi Penyelamat

Facebook | Your Notes


Bagi yang sering berpergian dengan pesawat udara, tentulah terminal 2 Bandara Soekarno Hatta sudah menjadi keseharian. Ketika akan berangkat hari Jumat lalu menuju Pekan Baru, setelah Checked-In, sayapun menuju ke ruangan terminal. Karena waktu masih tersisa sekitar 40menit sebelum jadwal keberangkatan saya pun menjadi ragu. Mau masuk lounge perasaan masih kenyang karena sebelum berangkat sudah sempat makan siang di rumah. Langsung ke ruang tunggu juga "ngapain?", begitu kata hati saya.

Meski gak mantap, saya mengikuti saja kaki melangkah kearah lounge yang bisa dibayar dengan Rp 1 saja dari kartu kredit saya. Maaf, kartu kredit hari gini bagi PNS kiranya mutlak, karena uang SPPD sering telat turun, sementara kita sudah harus berangkat untuk menghadiri rapat atau seminar di luar kota. Dalam seloroh, sering kami "plintir" bahwa kita terpaksa ngutangin negara (maaf bapak dan ibu menteri serta pimpinan..gak enak kedengarannya, tapi itulah kenyataannya..kami sering talangin dulu itu hotel atau biaya perjalanan..baru pulang dibayar oleh pimpro atau P2K).

Sebelum sampai ke lounge yang saya tuju, persis di depan cafe, setelah toko buku Periplus (terminal 2), saya ditahan seorang anak muda yang memberikan donat dibungkus kertas yang sudah agak berminyak. Sedikit lengket, donat polos berlapis gula itu saya terima dengan ragu. "Promosi pak" sergap si anak muda. "nanti mampir ya pak!" lanjutnya lagi ketika saya mengangguk dan mengambil donat itu. Saya juga meragu. Saya mau ke lounge tadinya mau minum yang ada sodanya untuk membuang kembung saya. Memegang donat, saya berpikir, "masak bawa donat ke lounge yang juga banyak makanan disana?" Ah cukup merepotkan. Terlintas untuk membuang saja karena alasan praktis dan saya juga udah jauh dari si anak tadi, tak perlu malu, pikir saya. Namun untuk membuang makanan, sungguh beban berat bagi saya. Di bawa merepotkan karena ada minyak di kertasnya dan lengket gulanya juga terasa di tangan.

Akhirnya resleting back pack saya buka, bagian depannya. Dengan bismillah saya masukkan donat itu sambil mewanti2 diri sendiri agar jangan lupa karena akan bersemut dan tambah repot. Sekilas terlihat tempat sampah. Setan kembali mengganggu saya..buang, tidak, buang, tidak. TOh di lounge banyak makanan. Alhamdulillah saya sementara menang (untung bukan R4ni..ha ha). Akhirnya sang donat "menginap" di tas saya.

Sesampai di Pekan Baru dan setelah kembali ke hotel dari tempat seminar pada Sabtu siang keeseokan harinya, saya memilih istirahat dan tidur siang karena tadi malamnya berkumpul dengan teman2 alumni SMA1 Bukittinggi di Pekan baru. Kangenan membuat kami mengobrol sampai tengah malam lewat. Benar saja, karena masih merasa kenyang kembali dari hotel, saya melewatkan makan siang. Ketika terbangun sekitar pukul 15.00, perut sayapun berontak minta diisi. Lapar sekali. saya cepat buat teh manis. mau pesan makan di hotel..ah pasti begitu2 saja, nasi goreng, mie goreng, bubur dan soto ayam atau sop buntut. Sementara saya pengen sekali mencari sate padang, karena tadi siang ketika kembali kehotel belum ada yang buka.

Singkat cerita, ditengah kebingungan dan kelaparan..saya juga meragukan kalau tidak makan lalu jalan kaki keluar ke arah perpustakaan provinsi yang ingin saya tuju cukup jauh. Ah..saya terpaksa mengalah..dan memutuskan untuk pesan ke kamar saja. Namun alhamdulillah sebelum room service saya dial, teringatlah donat yang kemaren saya masukkan ke dalam bac pack saya. Sungguh tiada kata yang dapat saya ucapkan selain bersyukur. Donat itu telah menyelamatkan saya pada saat yang saya butuhkan. Karena pesan makan hotel jam 15.00 juga gak biasa dilakukan, nanggung.

Di temani secangkir teh yang sudah saya seduh, dalam sekejap donat pun lenyap dalam syukur dan nikmat. Sungguh petuah ortu untuk tidak membuang makanan dan ajaran yang menyebutkan "Berbuat mubazir itu adalah perbuatan syaitan" benar-benar nayata adanya dan wajib diamalkan.

Sungguh donat pemberian si anak muda yang berpromosi (baru sekali itu ia saya lihat disana)..sangat mujarab dan pas dengan kebutuhan saya. Disamping menyelamatkan kantong saya bbrp puluh ribu jika memesan makanan yang saya tidakbenar2 pengen.

Setelah shalat dan menghabiskan teh manis buatan sendiri itu, saya pun dengan mantap meluncur kearah perpustakaan yang berbentuk rehal itu dijantung kota Pekan Baru. Lalu dibelakangnya barulah saya dapat menyantap sate padang dengan segelas air tebu giling murni yang juga tidak kalah nikmat. Ya Allah dengan nikmatmu aku bersyukur..mudahkanlah segala urusan ku. AMin!

hm ada sate eunak juga...nambah 2x, soalnya lapar..belum makan siang

minumannya sari tebu tanpa gula dan es...murni oui!

Wednesday, May 20, 2009

They Screwed up Everything

Facebook | Your Notes

Pak Budiono dilepas dari Kantor Menko Perekonomian oleh para Menteri Ekonomi.
Persis satu tahun sebelum dinobatkan sebagai Cawapres.Pertengahan Mei 08 - Mei 09.


Judul posting di atas adalah jawaban yang diberikan seorang profesor saya ketika kami berdisksusi di salah satu pojok Homer Babbidge Library, University of Connecticut, CT, USA (1995-97). Ketika itu sedang hangat-hangatnya pemilu presiden yang akhirnya dimenangkan kembali oleh Presiden Clinton.

Judul itu pulalah yang kiranya pas, untuk menjawab pertanyaan yang saya ajukan dalam artikel saya dibawah ini. Artikel yang saya tulis lebih dari 6 tahun lalu itu telah menjadi salah satu "master piece" saya yang sangat saya sukai dan paling sering saya forward ke teman2 yang sering meminta artikel baru saya. namun ketika artikel baru saya lagi seret, maka sekedar obat rindu teman2 yang jauh dirantau orang biasanya saya kirimkan artikel lawas itu.

Meski pak Budiono bukanlah termasuk tipikal dosen seperti yang saya maksud dalam tulisan, namun dengan "tidak kuasanya" beliau menolak pinangan dari Presiden SBY, saya merasa berkewajiban untuk menguakkan kembali hubungan antara dosen (profesor), peneliti, dan birokrat. Untuk seterusnya menjadi politisi. Ada dua alasan utama saya menuliskan ini. Pertama adalah untuk mengingatkan mantan bos saya di Bappenas dan di Menko Perekonomian ini agar memikirkan ulang lagi langkah beliau, dalam arti memantapkan lagi tekad beliau untuk masuk ke ranah politik, yang dari dulu sudah sangat terkenal jauh dari bersih dan bebas dari intrik. Kedua adalah, untuk memberikan pemikiran agar beliau tidak sekalipun nanti mengucapkan kata "menyesal" dengan pilihannya menjadi Cawapres. Bagaimanapun juga pak Budiono juga sudah tidak muda lagi. Waktu beliau sebenarnya lebih baik untuk cucu-cucu beliau seperti pernah disampaikan ketika masih menjabat sebagai Menko.

Pilihan sulit itu sudah diambil beliau. Saya hanya tinggal mendoakan agar niat baik beliau untuk turut memperbaiki kondisi bangsa yang semakin carut marut ini bisa terlaksana.

Selamat ber politik pak Bud! Sukses selalu untuk Bapak, Ibu, dan seluruh keluarga. AMin



==============================================

Dosen, Peneliti, dan Birokrat (SInar Harapan 11 jan 2003)

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0301/11/opi01.html

Oleh Eddy Satriya

Menarik sekali menyimak pernyataan Rektor Universitas Indonesia (UI) Usman Chatib Warsa tentang minimnya kehadiran dosen utama dalam program kuliah Strata Satu (S-1) di universitas terkemuka tersebut. Dosen utama yang dimaksudkan adalah dosen berpengalaman yang memiliki tambahan gelar akademik S-2 dan S-3, termasuk para guru besar.
Sang Rektor menyatakan bahwa masalah ekonomi, yaitu kurangnya gaji yang diterima dosen dari pemerintah merupakan penyebab utama, di samping masih belum seimbangnya rasio dosen dan mahasiswa.

Kekurangan gaji akhirnya ditutupi dengan mengajar atau bahkan juga terlibat dalam pelaksanaan proyek di berbagai perguruan tinggi lain. Padatnya jadwal tambahan mengakibatkan dosen bersangkutan mengalami kesulitan dalam membagi waktunya untuk mahasiswa UI sendiri.
Walaupun minimnya kehadiran dosen utama tidak terjadi pada seluruh fakultas, pengakuan jujur oleh rektor yang baru terpilih ini tentu saja mencuatkan keprihatinan yang mendalam bagi kita semua.

Keprihatinan yang patut dan wajar karena kondisi ini ternyata masih saja berlangsung di saat berbagai krisis masih bercokol di bumi Indonesia. Sementara era globalisasi dan perubahan tatanan ekonomi baru dunia dewasa ini semakin menuntut sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang berdaya saing tinggi.
Bagi sebagian rakyat Indonesia yang pernah beruntung mendapat kesempatan sekolah ataupun menjalani pelatihan di luar negeri, terutama di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), tentulah dapat merasakan perbedaan dosen di sana dengan dosen di Tanah Air dalam menjalankan tugasnya.

Mereka memang lebih mampu membagi waktunya untuk tugas mengajar, menghadiri konferensi, tugas administrasi, tugas penelitian serta tugas-tugas lain di negara bagian dimana universitas tersebut berada. Sudah menjadi kebiasaan dosen di AS untuk memampangkan sebuah board yang berisikan informasi tentang telepon dan e-mail dosen bersangkutan guna kemudahan komunikasi serta informasi jam kerja atau office hour di pintu kamarnya.

Jam kerja tersebut tidak saja memuat jadwal kuliah dan praktikum untuk semester berjalan, tetapi juga memuat slot waktunya yang disediakan untuk mahasiswanya. Di atas segalanya, jadwal atau janji yang sudah disepakati biasanya ditepati sang dosen dengan kehadiran kadang-kadang di atas 100 persen.
Jika sang dosen berhalangan, biasanya ia akan berusaha memberitahukan jauh-jauh hari. Tidak jarang mahasiswa menerima telepon bernada minta maaf dari seorang dosen yang karena berhalangan mendadak terpaksa harus membatalkan janji. Saya pribadi pernah mengalami hal tersebut.

Membicarakan perbedaan antara dosen di AS dengan koleganya di Indonesia pada saat-saat sekarang ini untuk sebagian orang mungkin tidak relevan, tidak populer atau bisa dianggap mengada-ada. Namun pengakuan jujur dari rektor baru UI itu dalam upaya memajukan universitasnya dan mewujudkan misi akademiknya di era otonomi kampus, tentu saja merupakan suatu moment yang sangat penting dan perlu ditindaklanjuti. Ada beberapa alasan untuk itu.
Pertama, permasalahan mangkirnya dosen utama dari tugasnya jarang ditindaklanjuti secara nyata. Kasus ini bukanlah masalah UI semata, tapi juga terjadi di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka.

Dengan menyebutkan alasan ekonomi, secara implisit Rektor UI telah mengakui terjadinya penyalahgunaan waktu oleh oknum dosen utama atau dosen senior untuk menutupi kekurangan gajinya.
Jika tidak ditangani secara serius dan bertahap tentulah hal ini akan dapat menghambat program reformasi di perguruan tinggi.
Kedua, dosen senior dengan jam terbang tinggi biasanya mahir menyampaikan informasi yang sangat dibutuhkan untuk membuka wawasan mahasiswa yang kadang-kadang menjadi lebih penting ketimbang bahan kuliah semata.

Seorang teman dekat saya yang lulusan Planologi ITB, pernah menyatakan kekagumannya kepada salah seorang profesornya. Sedikit berlebihan, ia berkomentar bahwa dengan sekali saja menghadiri kuliah sang profesor tersebut, ia merasa sudah mendapatkan pengetahuan luas yang bisa merangkum berbagai bahan kuliah yang diperoleh selama dua sampai tiga tahun di ITB.

Pengalaman saya menjadi dosen tamu di UI dan beberapa PTS di Jakarta menunjukkan bahwa mahasiswa kita memang sebaiknya dibekali dengan berbagai perkembangan aktual yang terjadi di masyarakat dan dunia usaha. Selain itu, sudah selayaknya universitas memberikan perkuliahan yang berkualitas dan tertib administrasi, mengingat mahasiswa di era reformasi ini membayar biaya pendidikan relatif lebih mahal dibandingkan zaman Orde Baru.

Terlebih lagi berbagai insentif, fasilitas dan tunjangan untuk mahasiswa seperti bea siswa, keringanan biaya kuliah (SPP), asrama yang bersubsidi, tunjangan percepatan kelulusan dan kredit mahasiswa (KMI) sudah semakin berkurang. Fasilitas tertentu malah telah dihilangkan karena alasan yang kadang-kadang tidak masuk akal.

Terakhir, proses seleksi mahasiswa baru khususnya untuk program S-1 yang konsisten dilaksanakan sejak tahun 1970-an melalui SKALU, PP I, Sipenmaru dan lain-lain, harus diakui telah mampu manjaring calon-calon mahasiswa terbaik di republik ini. Alangkah sia-sianya jika bibit yang bagus tertanam di tanah yang gersang.

Sebenarnya disamping alasan untuk mencukupi kekurangan gaji dan belum optimalnya rasio dosen-mahasiswa, tentu masih ada beberapa alasan lain yang menjadi penyebab mangkirnya oknum dosen senior dari ruang kuliah. Salah satunya adalah menjadi birokrat pada waktu yang bersamaan.
Tatkala sudah memasuki zona birokrasi di negeri yang berperingkat ”sangat meyakinkan” dalam hal korupsi, masalah ini tentu menjadi semakin serius dan memprihatinkan. Sayangnya kondisi ini terlupakan seiring hiruk pikuk berbagai persoalan bangsa terutama sejak memasuki era reformasi dan sejak dimulainya tahap inisiasi pelaksanaan otonomi daerah. Padahal mantan Presiden Abdurrahman Wahid secara gamblang sudah mengingatkan bahwa, ”Banyak Profesor dan Doktor Menjadi Maling.”

Jika dilihat kembali ke masa awal orde baru berkuasa, memang banyak dosen utama yang diminta membantu pelaksanaan tugas pemerintah. Hal ini bisa dipahami karena pada masa itu jumlah SDM dengan kemampuan akademik dan intelektual yang memadai memang masih terbatas.
Ada nama-nama besar seperti Sumitro Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, Sumarlin, dan Emil Salim yang pernah menduduki berbagai jabatan penting terutama di bidang ekonomi seperti Menteri Keuangan, Kepala Bappenas dan Menko Ekuin.

Namun jika diamati lebih saksama di masa-masa akhir berkuasanya Presiden Suharto, jumlah dosen, termasuk yang belum senior, yang menduduki jabatan di birokrasi pemerintah masih relatif besar. Para dosen ini bukan saja menduduki jabatan politis menjadi pejabat negara seperti Menteri,

Gubernur, dan pimpinan di berbagai Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) tetapi juga menduduki jabatan-jabatan struktural yang seyogianya diperuntukan bagi pejabat karier.
Jumlah ini hanya mungkin dapat disaingi oleh aparat militer yang berdwifungsi dan menduduki jabatan serupa di birokrasi. Ironisnya hal ini terus berlangsung sampai sekarang, malah semakin menjadi-jadi seiring dengan banyaknya tambahan Departemen dan LPND baru. Sementara TNI, di sisi lain, sudah mulai mereposisi diri.

Tentu wajar saja kalau timbul pertanyaan. Apakah SDM di Departemen dan LPND saat ini memang tidak berkualitas dan sama kondisinya dengan 30 tahun lalu? Atau bahkan lebih buruk? Presiden Megawati pernah menyebut birokrasinya sebagai birokrasi ”keranjang sampah”.

Patut kiranya menjadi pengetahuan kita bahwa sejak 1980-an telah cukup banyak dana yang digunakan untuk membiayai pengiriman pegawai negeri sipil (PNS) melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu S-2 dan S-3, baik di dalam maupun di luar negeri.
Biaya tersebut umumnya berasal dari pinjaman luar negeri yang jika dijumlahkan dari berbagai sumber bisa mencapai ratusan juta dollar. Tidak terhitung pula PNS yang memperoleh beasiswa dari berbagai lembaga atau foundation internasional lainnya. Perlu pula diingat bahwa biasanya selama bersekolah, gaji PNS tetap dibayarkan oleh negara.

Apakah mereka memang tidak berkualitas atau tidak memperoleh kesempatan sehingga pantas mengisi birokrasi ”keranjang sampah”? Wallahualam. Yang pasti hampir 90 % dari mereka yang disekolahkan tersebut adalah putera puteri bangsa terpilih yang lulus saringan SKALU, PP I dan Sipenmaru.

Dosen yang memasuki birokrasi biasanya akan mengalami ”cultural shock”. Pengalaman yang diperoleh selama mengerjakan proyek-proyek pemerintah di berbagai lembaga penelitian dan konsultan di kampus tidak pernah cukup untuk menghadapi masalah dan tantangan birokrasi yang luar biasa kompleksnya.
Di samping substansi dan teknis, pejabat sehari-harinya juga harus memikirkan masalah manajemen, keuangan, administrasi, kepegawaian, organisasi dan keproyekan. Tugas berat ini tentu saja menuntut dedikasi dan jam terbang tinggi mengingat pelaksanaan reinventing government masih jauh dari memuaskan. Sayangnya hal ini sering dipungkiri dan terkadang di anggap sepele.

Hal terberat akan dihadapi manakala sang dosen berurusan dengan keproyekan. Inilah yang menjadi pusat keprihatinan kita. Pekerjaan management proyek yang meliputi proses penyusunan Daftar Usulan Proyek (DUP), Satuan-2, Satuan-3, pembahasan Daftar Isian Proyek (DIP), revisi serta monitoring pelaksanaannya sangatlah kompleks.

Terkadang pekerjaan ini, khususnya pembahasan DIP di Departemen Keuangan, untuk sebagian orang bisa dikategorikan intellectually harassing. Kemuliaan intelektual yang begitu tinggi dan idealisme yang dimiliki di kampus harus berhadapan dengan permainan ”mark up”, ”kongkalingkong”, nepotisme, intrik dan berbagai bentuk praktik suap menyuap yang sering disingkat dengan KKN yang terkenal itu.
Idealisme tinggi yang biasanya masih terpelihara dan mengkristal dalam sanubari sang dosen pelan-pelan akan ikut lebur, meleleh, mencair dan menguap setelah masuk ”sarang penyamun”.

Tekanan keproyekan kadang bukan hanya datang dari bawah dan samping, tetapi juga dari atas. Baik dalam suatu kantor, maupun dari kantor pemerintah lainnya. Hal yang memang kerap terjadi di masa Presiden Gus Dur dan Megawati yang sarat dengan muatan politik partai.
Seiring dengan jabatan di pemerintahan, berbagai jabatan susulan juga akan bermunculan. Yang paling sering adalah tawaran menjadi komisaris di puluhan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan swasta. Menjadi komisaris, biasanya sang dosen akan terbuai dengan berbagai fasilitas yang memang ”enak tenan” yang bisa melupakan mahasiswa atau rencana untuk menerbitkan buku teks kuliah. Terkadang jabatan komisaris terasa dipaksakan.

Sebagai contoh, seorang profesor ahli pertanian yang menduduki jabatan setingkat direktur atau direktur jenderal bisa saja menduduki jabatan komisaris suatu perusahaan di bidang jasa yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan dengan pertanian. Jam terbang? Itu bisa diatur.
Di zaman orde baru, di saat proses privatisasi dan restrukturisasi yang dimotori Bank Dunia melanda banyak BUMN vital, banyak pula direksi BUMN secara cerdik berhasil ”mendudukkan” sang dosen, yang juga pejabat yang berwenang di sektor terkait, menjadi komisaris BUMN yang dipimpinnya. Taktis memang, karena akan memuluskan urusan direksi disatu sisi, tapi biasanya meninggalkan banyak pemasalahan dengan bawahan sang komisaris di sisi lain.

Sebenarnya ada pekerjaan lain yang berpotensi menyita waktu dosen dan membuatnya mangkir dari tugas. Antara lain sebagai peneliti yang mengerjakan proyek di lembaga penelitian yang ada dilingkungan universitas maupun di luar, dan yang sekarang sedang ”naik daun” adalah menjadi presenter dan pembicara di berbagai acara talk show.

Namun dibandingkan dengan menjadi birokrat, pekerjaan jenis ini tidak terlalu berpotensi KKN dan terkadang memang diperlukan untuk kematangan diri. Namun ketatnya jadwal atau buruknya time management terkadang membuat mereka kurang konsentrasi dan terpaksa mangkir dari tugasnya.
Dengan berbagai kesibukan sang dosen di luar kampus, tidak heran banyak mahasiswa saat ini terlihat bolak balik ke kantor pemerintah untuk berkonsultasi. Bahkan tidak jarang pula mahasiswa terpaksa kuliah di kantor pemerintah tempat sang dosen menjabat. Di pihak lain, dosen utama atau profesor yang berhasil menulis buku atau menerbitkan artikel di jurnal tingkat nasional apalagi internasional selama menjabat di birokrasi, bisa dihitung jari.

Keprihatinan Rektor UI tentang minimnya kehadiran dosen utama di universitasnya tentu juga menjadi keprihatinan rektor-rektor PTN dan PTS lainnya di seluruh Indonesia serta keprihatinan kita semua yang sangat ingin pendidikan tinggi di Indonesia maju secara lebih berarti.
Tulisan ini bertujuan hanyalah untuk menggugah rasa keprihatinan itu untuk kemudian ditindaklanjutinya secara bijak. Tidak lebih tidak kurang.

Mengharapkan regulasi maupun aturan tertulis dari PTN dan berbagai instansi terkait dalam situasi sekarang ini, tentulah akan memakan waktu dan menunda proses perbaikan bangsa. Karenanya menjadi penting sekali mewujudkan kesadaran di dalam hati kita untuk bertindak profesional di dalam tugas, memulai budaya malu KKN dalam arti sebenarnya serta tepo seliro terhadap 40-an juta penganggur terdidik dan tidak terdidik yang juga harus menghidupi keluarganya. Namun, kita tentulah tidak melupakan bahwa masih banyak dosen utama yang sangat menjunjung tinggi profesinya. Salut untuk mereka.

Sebagai penutup, tidak ada salahnya kita simak pertanyaan dari salah seorang profesor ITB yang saya jumpai dalam satu seminar di Bandung beberapa tahun lalu. Beliau menanyakan tentang perbedaan profesor (dosen), peneliti dan birokrat.
Seperti biasa, profesor yang sudah cukup sepuh tidak akan sabar untuk menasihati kita dan tidak perlu menunggu jawaban. Pertanyaan itupun dijawabnya sendiri. Pelan meluncur dari bibirnya, ”Dalam tugasnya, profesor tidak boleh salah dan tidak boleh bohong. Peneliti boleh salah, tetapi tetap tidak boleh bohong. Sedangkan birokrat, boleh salah, boleh bohong!”.

Astaga! Nah, bagaimana jika guru besar menjadi politisi?

Penulis adalah dosen tamu Program Magister Teknologi Informasi di Fasilkom-UI,
tinggal di Sawangan, Depok.

PKSku sayang, PKSku (tidak) malang.

Public Blog Kompasiana» Blog Archive » PKSku sayang, PKSku (tidak) malang.

Sehari, setengah hari, serta dalam hitungan jam menjelang deklarasi pasangan Capres-Cawapres SBY Berbudi pada tanggal 15 Mei 2009 yang lalu, sebagian besar umat Islam, anggota dan kader PKS, termasuk simpatisan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) seperti saya, masih menantikan sepak terjang dan jurus pamungkas pimpinan PKS. Semua menantikan bagaimana “ending” hubungan antara Partai Demokrat (PD) dengan PKS, sehubungan dengan “hanya di sms” nya pimpinan PKS oleh pihak PD terkait dengan rencana penetapan Pak Budiono sebagai Cawapres bagi Susilo Bambang Yudhoyono yang telah lebih dulu diajuka sebagai Capres dari PD.

“Antiklimaks…..!”

Begitulah berbagai komentar akhirnya berdatangan dan beterbangan di berbagai media. Media cetak dan elektronik menggambarkan kekecewaan, hujatan, dan makian yang sangat menyakitkan dialamatkan kepada kubu PKS. Dari sekedar menyebutkan sebagai gertak sambal, tidak konsisten, tidak ada apa-apanya, hingga ungkapan sangat memalukan bisa kita baca dan dengarkan secara langsung. Demikian pula, berbagai hujatan dan nada ketidakpuasan kader atau masyarakat luas benar2 tumpah di berbagai blog, mailing list, maupun di jejaring sosial seperti Facebook.

Betapa tidak, berbagai kader PKS sebelumnya masih menyatakan ketersinggungan harga diri partai mereka diperlakukan secara “feodal” oleh penguasa. Mereka mencaci maki secara langsung ataupun tidak langsung sikap penguasa yang tidak mau menggunakan jalur komunikasi saling menghargai. Banyak teman saya simpatisan PKS yang sampai detik terakhir masih yakin bahwa pimpinan mereka akan bersikap tegas terhadap SBY. Namun apa mau dikata. Fakta yang ada di layar kaca ketika pencanangan “SBY Berbudi” jelas memperlihatkan bahwa “PKS akhirnya menyerah kepada Yudhoyono” sebagaimana headline Media Indonesia keesokan harinya. Presiden PKS yang beberapa jam sebelumnya

Tidak dapat saya bayangkan harga diri para kader yang dari dulu berusaha konsisten, harus diletakkan dimana setelah kejadian di Sabuga, Bandung itu. Memang politik tetaplah politik. Terus terang karena politik bukanlah ranah yang familiar buat saya, saya tidak ingin mengomentari lebih jauh tentang keterpurukan PKS akibat inkonsistensi para elite mereka ketika harus bersikap menghadapi incumbent.

“Mabuk Kemenangan dan Tidak Mau Dikritik”

Sejak menuai hasil yang diatas rata-rata partai lain dan tergolong memuaskan dalam Pemilu 2004 lalu, saya mengamati bagaimana senangnya para elite dan kader PKS. Tokoh mereka menjadi Ketua MPR, dan beberapa lainnya masuk ke jajaran Kabinet Indonesia Bersatu, meski belum memegang posisi kunci. Dari berbagai kejadian dan “event” yang digelar, kader PKS juga memperlihatkan dominansi mereka dalam berorasi, turun kejalan dan dalam melakukan berbagai aksi damai. Seperti halnya penomena AA Gym ketika jaya dulu, jangan kan orang muslim, kaum non muslim Indonesia saja merasa nyaman dengan kehadiran PKS yang meski mengusung Islam sebagai ideologi partai, namun tetap memperhatikan kemajemukan serta “tepo seliro” dengan penganut agama lain.

Dari berbagai keberhasilan tersebut, kelihatannya mereka terlena. SIkap egaliter yang dibiaskan oleh sebagian kader partai yang berasal dari Sumatera lama-lama dilupakan. Pelan-pelan sikap feodal yang dulu mereka dobrak kembali bersemi dalam keseharian mereka. Sesuatu yang alami sebenarnya. Namun Seperti pernah saya alami sendiri ketika mau beranjang sana ke salah satu tokoh PKS yang kebetulan menjadi pejabat negara di salah satu kota. Keinginan saya untuk bersilaturahmi sebagai warga kota itu dan membawa tokoh masyarakat setempat setelah waktu magrib yang syahdu, ditampik begitu saja. Setelah diterima dirumah sang tokoh, saya ditanya oleh “Ring-3″ mereka tentang keperluan apa dan maksud tujuan lainnya untuk bertemu.

Meski sedikit kesal karena sudah menelpon sebelumnya (nomor telepon rumah saya dapatkan dari tokoh PKS lainnya yang menjadi sahabat saya di DPD) saya berusaha tetap tenang. Berbagai pertanyaan diajukan kepada saya tentang maksud dan tujuan. Saya pun menceritakan tujuan saya beranjang sana dan bersilaturahmi. Namun setelah beberapa pertanyaan lain diajukan, dan saya jawab, tetap saja akhirnya kami diminta datang di hari lain. Singkat kata, meskipun sang Pejabat tokoh PKS itu ada di rumah, kami tidak layak untuk ditemui berdasarkan kriteria para “punggawa” di RIng 2 atau 3.

Kakak ipar saya sedikit angot. Iya juga tidak menduga seperti itu. Ia kecewa. Segera ia meminta saya untuk memberikan saja kartu nama kantor saya yang mempunyai logo Burung Garuda. Saya sabarkan ia. Saya datang kesini sebagai penduduk warga kota sang Pejabat kita, bukan sebagai pejabat dari kantor saya.

Dengan langkah gontai kami pun pulang kembali. Perjalanan saya yang menempuh waktu kurang lebih 1,5 jam dari Sawangan pun sia-sia. Kakak ipar saya masih saja mengomel dan mengungkapkan kekecewaaannya. Besoknya setelah ditolak bertemu dengan sang tokoh PKS yang sebelumnya sudah pernah berkenalan di Mesjid Komplek Perumahan kami di Sawangan, saya menyampaikan kejadian itu kepada tokoh lainnya agar di ambil langkah2 perbaikan. Karena bagaimanapun sikap feodal yang telah berupaya diruntuhkan oleh pendiri PKS dengan kombinasi sikap egaliter dan ketaatan beragama bagi para kadernya sebaiknya tetap dikikis habis.

Kejadian itu sekitar pertengahan tahun 2006. Ternyata saya dan kakak ipar saya saat ini tidak sendiri. Mungkin belasan juta atau puluhan juta mungkin simpatisan PKS merasakannya saat ini. PKS menjadi partai tak berdaya dihadapan PD. Tokoh-tokoh PKS tidak ada bedanya dengan partai lain. Politik memperlihatkan “nature of business” nya dengan jelas.

Mudah-mudahan para elite PKS cepat sadar dan mampu mengoreksi diri. Baik ketika harus tegas berhadapan dengan penguasa, ataupun mampu lebih merakyat dan mengayomi ketika mengurus rakyatnya.

Semoga ini bukan akhir segala nya bagi PKS. Bagaimanapun PKS masih menjadi andalan umat Islam untuk menjaga tegaknya ajaran AL Quran dan Sunat Rasulnya di bumi Indonesia. InsyaAllah.

Thursday, January 08, 2009

Dua-Dua (sudahkah anda berbuat baik hari ini?)

Agak dingin, begitulah kondisi udara di pagi hari tanggal 7 Januari 2009. Paling tidak selama perjalanan saya dari Cinangka (Sawangan) ke kantor di lapangan Banteng. Seperti biasa, minum banyak air putih di tambah jus, telah membuat saya harus menepikan kendaraan. Jika memilih jalur arteri Pondok Indah, maka SPBU dekat bank permata adalah sasaran "tembak" untuk buang air kecil (BAK). Sedangkan jika lewat Blok A, maka SPBU sebelum pasar Blok A adalah pemberhentian alternatif saya.

Tadi pagi, meski perjalanan tidak terlalu macet, saya kembali harus mampir di SPBU arteri Pondok Indah. Ketika masuk sudah tercium gelagat tidak baik. Dua mobil berbaris sudah terparkir, begitu pula beberapa motor. "Celaka nih" pikir saya. "Pasti antri".

Benar saja, setelah memarkir mobil di tempat yang agak kosong dekat tempat pengisian, saya mendapati sudah 3 orang berjaket, dan ada juga yang masih memakai helm dikepalanya, berbaris. Antri BAK, mungkin juga BAB. Ada yang agak tenang, tapi ada pula yang sudah mulai bergoyang. Tidak jelas memang goyangnya. Karena memang gak ada musik. Asyiikkk, ada yang mulai geram karena yang sedang didalam kelihatannya tidak ingat kalau 4 orang sudah antri. Tidak jelas yang digumamkannya. Tapi jelas dia mengomel.

Pas giliran saya antri paling depan, datang lagi 3 orang "peserta lomba" yang kedinginan. membuka jaket dan helm dua diantaranya juga mulai bergoyang. Jika goyang mendengarkan music jazz mungkin lebih teratur dan "smooth", goyangan mereka juga demikian. Tapi lucu. Goyangannya tidak horizontal atau meliukan badan ke kanan dan kekiri, tapi goyangannya turun naik (maaf bukan goyangan orang lagi "gituan") tetapi persis kayak teman saya yang sering ikut nimbrung joget 17 agustusan. Kedua tangan dikepal, disimpan di dada. Lalu pantatnya turun naik diikuti gerak badan yang lain menyesuaikan.

"Duh cepetan dong!" begitu keluhan orang kedua setelah saya yang mulai tidak sabar. Saya juga udah konsentrasi tinggi untuk bertahan. Takut gak tahan BAK, barabe kan. Orang di belakang saya mulai gak sabaran, ia pun mengetok pintu alumunium standard WC SPBU Pertamina. Saya kalah cepat mencegahnya, takut juga karena BAK bisa berantem nih sama orang-orang pengguna jalan. Persis pengalaman saya ketika ke Bogor beberapa tahun lalu. Ceritanya, terjadi perang mulut setelah orang di dalam kakus keluar karena di gedor oleh yang nunggu. Maka carut bungkang pun keluar karena gedorannya ternyata "menghentikan" laju fluida si orang tersebut. Alhasil, saya hanya senyum simpul menyaksikan dua orang akhirnya berantem. Yang satu sudah gak bisa tahan, sedangkan satunya jadi tidak bisa mendorong 'fluida"nya keluar gara-gara gedoran. Bisa jadi pikir saya, kalaupun saya di gedor orang lagi BAB atau BAK, mungkin juga mengalami harl serupa.

Kembali ke cerita tadi pagi, pas giliran saya, spontantly saya menawarkan kalau ada yang mau "menemani" saya masuk ke dalam. Dengan satu syarat. BAK, bukan BAB. Kontan banyak yang ngacung, tapi tentu saja saya pilih yang pas dibelakang saya. Saya tawarkan karena hafal SPBU nya yang punya dua lobang. Satu di kloset yang tentu menjadi hak prerogatif saya, satunya lagi di lobang air dekat pintu keluar.

ALhasil jadilah pagi itu menjadi hari pertama -seumur-umur setelah dewasa - saya di temani orang lain BAK. Untuk keluar, saya harus setia menunggu karena terhalang dipintu. Soalnya "partner' saya punya kandungan yang lebih banyak atau mungkin debitnya kecil.

Alhamdulillah, saya keluar dengan lega. Juga mendapat terima kasih dari "partner" yang tidak sempat saya kenal. Senyum simpul menghiasi bibir saya ketika kembali ke mobil. Dan saya tidak kuat lagi menahan senyum itu untuk menjadi sebuah derai ketawa yang menyegarkan ketika saya lirik, setelah saya, mereka juga masuk berombongan. Dua-Dua.

Untung tadi yang antri lelaki semua.

===

Menjelang magrib, lapangan banteng, jakarta pusat.
Dipublish juga di FB Eddy Satriya


Dua dah masuk, dua tinggal diluar. Ada yang gulung celana -siap-siap- ada yang goyang pantat..susah emang nahan pipis ya..Mas

Sunday, October 12, 2008

Otokritik: Tentang Panik itu.

(Hanya untuk edisi online, tidak dipublish dimedia cetak. Back-to-back edition dengan kritiking.blogspot.com)

Birokrasi diciptakan bertujuan antara lain untuk mengatur dan memberikan pelayanan publik oleh negara kepada penduduknya. Untuk itu ia diberi upah sepadan agar pelayanan bisa sampai dan diberikan sesuai standar dan aturan yang telah ditentukan. Singkat kata, dalam menjalankan tugasnya, birokrasi biasanya tidak sebebas kelompok swasta atau berbagai entitas bisnis lainnya. Karena itu dari dulu dikenal rigiditas birokrasi.

Namun dalam perkembangannya, seiring dengan berjalannya reformasi, terjadi juga berbagai perubahan. Dari dulu birokrasi sering dikambinghitamkan dalam munculnya berbagai persoalan ditengah-tengah bangsa dan rakyatnya. Birokrasi dan aparatnya sering dipersalahkan. Karena itu, untuk memperbaiki pelayanan birokrasi, sering pula ditempuh berbagai jalan pintas yang dianggap "boleh-boleh saja" mengingat tujuannya mulia. Namun kebiasaan memilih dan menggunakan jalan pintas ini tidak diiringi denganperbaikan dan perubahan sistem pelayanan secara sistematis dan berdasarkan aturan yang ada.

Salah satu yang paling sering dilanggar atau dilakukan adalah melaksanakan pekerjaan diluar jam kerja. Beberapa kantor pemerintah sangat sering melakukan ini, termasuk Kantor Kepresidenan, Wapres, Sekneg hingga berbagai kantor Kementerian/Lembaga (KL). Semua nya dilakukan dengan berbagai alasan. Celakanya lembur atau kerja diluar hari kerja dan jam kantor sering sekali kebablasan. Dulu ketika pekerjaan harus dilakukan diluar kota, tidak ada masalah karena Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) masih memberikan biaya yang diperlukan dalam bentuk lumpsum yang bisa cukup flexible digunakan. Namun sejalan dengan perbaikan kondisi PNS dan perbaikan sistem penganggaran, sekarang SPPD beralih ke sistem "at cost", yang belum sepenuhnya "at cost". Seperti biasa, kondisi transisi memang akan selalu membawa korban.


Al hasil, kondisi birokrasi yang terjadi saat ini sangat tergantung kepada "penafsiran" pemimpinnya dilapangan. Meeting bisa dengan seenaknya dilaksanakan jam 7 malam, atau 5 sore ketika pegawai dan sistem birokrasinya sudah mau pulang ke rumah masing-masing. Ah..dianggap biasa. Atau bisa diadakan di hotel di tengah kota dan berlangsung 1 hari penuh atau 2 hari penuh. Ada yang disediakan penginapan, terkadang, seperti yang saya alami minggu lalu, meeting yang menyita waktu dan tenaga di adakan di sebuah hotel di daerah kota, tapi tidak disediakan penginapan. Honor yang diberikan juga hanya cukup untuk biaya transportasi atau membeli bensin dan membayar parkir yang mencapai Rp 20.000 satu haru. Sungguh suatu siksaan bagi yang rumahnya jauh dari kota. Dan berbagai variasi lainnya yang sangat sering tidak sejalan dengan aturan maupun tata cara pembiayaan kegiatan pemerintah.

Kebiasaan-kebiasaan ini sering diperburuk oleh kondisi pimpinan yang kebetulan juga ketua suatu partai atau organisasi sosial dan kemasyarakatan, dimana sempitnya waktu membuat tugas utamanya di pemerintahan sering dinomorduakan. Tidak jarang justru "prime time" ketika semua staf sedang fresh dilewatkan begitu saja karena pimpinan asyik masyuk rapat dengan partai atau organisasi yang dipimpinnya. Baru setelah pimpinan loyo di sore hari, buru-buru rapat dengan stafnya yang juga sudah loyo menunggu di kantor seharian dan sibuk memikirkan cara menghindari kemacetan.

Suatu yang sangat memprihatinkan juga terjadi di era kabinet sekarang, setelah pemerintah melegalkan staf khusus di berbagai tingkatan pemerintahan. Staf khusus ini bisa disetarakan dengan pejabat struktural hingga ketingkat eselon 1, meski umur, pengalaman, dan kepangkatan jauh dari cukup. Namun "power" yang dimiliki dan kedekatan dengan pimpinan, menteri misalnya, telah membuat pejabat karir atau struktural menjadi pasif dan lebih memilih "cari aman" dengan tetap tampil manis tapi sebetulnya tidak melakukan porsi kerja birokrasi yang menjadi tugasnya. Jelas ini suatu langkah yang "smart di tengah kebodohan" karena pejabat tersebut akan tetap terpakai, dimana jabatannya tidak hilang karena tidak terjadi gesekan dengan staf khusus. Namun jelas jika dilihat dari sisi mikro-birokrasi pejabat bersangkutan memilih jalur "produce zero". Kan lebih baik karena dengan tidak memproduksi apa-apa, tidak terjadi kerugian, tapi jabatan tetap di tangan. Bandingkan jika pejabat bersangkutan memilih lebih kreatif dari staf khusus tadi, bisa tergusur dia dari jabatan dan pulang tinggal membawa gaji yang hanya cukup untuk membayar tagihan telepon, listrik, Internet, dan bensin.


Dari uraian dan kondisi di atas, maka ketika pemerintah justru mengadakan rapat dihari libur panjang (Minggu 5 Oktober, diluar hari kerja dan diluar jam kerja) dalam rangka antisipasi krisis jelas ini memberikan sinyal yang salah kepada investor dan spekulan. Apalagi esok Seninnya (6 Okt) nyaris seluruh media cetak dan elektronik seolah sepakat memampangkan headlines "bla..bla...tidak perlu panik...bla..bla". Jelas kondisi ini tidak logic. Rapat dadakan diadakan di hari libur, kok beritanya menyatakan tidak perlu panik dan pemerintah disiratkan tidak panik? Jelas sekali lagi sinyal yang salah, apalagi dilihat dari aturan birokrasi yang berlaku. Tapi sayang memang semua sudah terlanjur terjadi. Maka bagaikan air bah...goyangan dan sentimen negatif dan positif bergantian menerpa bursa dan mempuruk kesan akan kemampuan pemerintah mengendalikan krisis yang semestinya bisa dilakukan dengan lebih "cool".

Perlu kiranya juga untuk tetap diingat bahwa perjanjian jual beli divestasi saham Indosat dulu dengan Temasek (SPV nya ICL) juga dilaksanakan di luar hari kerja dan jam kerja, persisnya di Minggu malam di penghujung tahun itu. Namun perjanjian yang ditandatangani tidak dalam "office hour", bisa diakui seseatu yang "official". Poin saya adalah, praktek-praktek di zaman lalu juga belum terlalu berubah banyak dilantai bursa dan sektor finansial kita hingga saat ini.


Makanya janganlah heran bursa yang belum tahu persis kondisinya ditutup, dibuka, batal dibuka, dan masih tertutup hingga minggu depan. Begitu pula kondisi yang masih sangat belum mature sudah disebutkan sebagai sesuatu yang sudah sangat predictable dengan pernyataan di headline seperti hari ini "Tidak akan Menjelma Menjadi Krisis"(Kompas, 11/10/08). Mengapa kita harus langsung demikian yakin. Tidak adakah ruangan untuk merendah diri dan tidak berlaku arogan ditengah ketidakpastian dunia yang sangat "unpredictable" ini.

Beginilah nasib bangsa jika birokrasi yang memang di seluruh dunia diperlukan untuk mengatur kehidupan kenegaraan, justru diperlakukan dengan sikap munafik. Di pandang sebelah mata. Apakah mungkin berbagai data akurat akan bisa didapat ketika para pejabatnya sendiri sedang libur panjang? Dan justru hasil sesaat ini sekarang menjadi trend untuk digunakan dalam proses pengambilan berbagai keputusan penting. Al hasil, seperti kata salah seorang teman saya di facebook nya, "pemerintah panik karena keseringan menyatakan jangan panik dan tidak perlu panik." Sementara PR tidak pernah dikerjakan secara profesional dan satu kesatuan atau tim.

Panik? Ah mudah-mudahan teman saya itu keliru.

E. Satriya
Pemerhati Reformasi Birokrasi

_______

Monday, September 01, 2008

Kebebasan Pers, Telematika, dan Nasionalisme

Senin, 1 September 2008 | KOMPAS

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/01/00571878/kebebasan.pers.telematika.dan.nasionalisme
Bisa juga dilihat di : http://www.scribd.com/doc/12772677/KOMPAS-Cetak-Kebebasan-Pers-Telematika-Dan-Nasionali


Menahan geram, saya terpaksa mengucapkan kata-kata yang tergolong kurang sopan sebagai jawaban getir atas pertanyaan seorang wartawan tentang penayangan rekaman percakapan yang diduga berasal dari kokpit pesawat Adam Air yang jatuh di Majene, awal tahun 2007.

Betapa tidak, rekaman teknis pilot dan kopilot yang semestinya digunakan kalangan sangat terbatas telah diberitakan sedemikian rupa di layar kaca tanpa menghiraukan dampaknya terhadap keluarga para penumpang dan awak pesawat. Ditambah dengan teknik editing dan kombinasi visual kepanikan di kokpit pesawat, tak pelak lagi tayangan itu semakin eyes catching, membuai penonton melupakan aspek kemanusiaan bagi keluarga korban. Apalagi, terhadap kepentingan umum yang lebih luas, seperti dampak ekonomi sanksi larangan terbang oleh Uni Eropa terhadap penerbangan nasional.

Seiring proses demokratisasi yang berjalan cepat, saat ini pers nasional memang sedang menikmati surga kebebasannya. Namun, selayaknya kebebasan itu juga disesuaikan dengan kepatutan dan hukum yang berlaku.
Penyebarluasan isi ”black box” Adam Air tersebut menegaskan tingkat profesionalisme pers kita. Yang cukup mengherankan pula kenyataan bahwa hingga saat ini belum terdengar langkah konkret dari pihak kepolisian, Departemen Perhubungan, hingga Komisi Penyiaran Indonesia terhadap insiden ini.

Berlandaskan etika
Pemberitaan yang mengumbar kesedihan berlebihan serta berita tragis, seperti kasus Adam Air, bukan hanya sekali ini terjadi. Sudah sering. Dahulu ketika musibah tsunami melanda Aceh, jelas kita menyaksikan reporter dari sebuah stasiun teve berhasil ”menggiring” seorang korban yang kehilangan anak gadis dan belasan anggota keluarga lainnya untuk menyanyikan lagu kesayangan sang anak. Belum puas, reporter tersebut masih membujuk sumber berita itu untuk menyanyikan satu bait lagu lagi yang tentu saja tak mampu dilanjutkan oleh sang ayah.

Di tengah kebebasan pers yang harus dijunjung tinggi, tidak ayal lagi rentetan kupasan kejadian musibah pesawat di Indonesia ini tentu saja patut diduga berkorelasi dengan dijatuhkannya berbagai travel ban oleh beberapa negara, bahkan hingga larangan terbang maskapai penerbangan nasional—tanpa kecuali—ke Benua Eropa.

Menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana seharusnya media massa dan insan pers menyikapi suatu bahan pemberitaan? Apakah memang sudah tidak ada lagi pertimbangan yang berlandaskan etika, kepatutan, hingga hukum tentang suatu kebenaran isi berita sebelum disebarluaskan?

Alasan pembenaran
Kemajuan dunia telematika atau sekarang dikenal juga dengan teknologi komunikasi informasi) memang menjanjikan berbagai kemudahan dan ketersediaan aplikasi yang sangat canggih. Saking canggihnya, terkadang bisa menggiring orang untuk lupa diri akan waktu, tanggung jawab, hingga kepatutan.

Kemudahan berselancar di internet serta tersedianya berbagai search engine dan portal berita media massa modern dunia di layar komputer, selain mempermudah tugas para wartawan, juga meningkatkan persaingan dalam bisnis berita ini.

Namun, ketatnya tingkat persaingan dan kemampuan berinovasi yang berkaitan erat dengan rating dan jumlah iklan, tentu saja tidak pantas menjadi alasan pembenaran untuk menyebarluaskan berita yang kurang pada tempatnya.

Saya mengalami kejadian cukup menegangkan pada Februari 2001 dalam penerbangan malam Jakarta-Singapura menggunakan Singapore Airlines (SQ). Meski tidak banyak penumpang di baris belakang yang melihat langsung percikan api di mesin sebelah kiri, proses berlangsungnya kebakaran yang dimulai ledakan itu jelas sangat menakutkan.

Jerit histeris seorang ibu kepada suaminya yang panik di depan saya ketika melihat percikan dan bunga-bunga api membuat suasana semakin mencekam, hingga akhirnya terdengar suara pilot yang mengumumkan bahwa mesin yang terbakar tersebut berhasil dipadamkan. Meski pesawat terlambat sekitar 30 menit dari jadwal, saya sendiri mengalami shock berat pertama kali yang membuat saya mematung di Bandara Changi sekitar 20 menit menunggu bagasi. Padahal, sudah lebih dari setengah jam koper yang saya cari-cari itu tergeletak dihadapan saya.
Namun, sungguh menakjubkan. Nyaris tidak ada pemberitaan menghebohkan tentang insiden terbakarnya mesin pesawat SQ itu keesokan harinya, apalagi tayangan berulang-ulang ala televisi di Indonesia.

Pembodohan
Bukan perkara mudah menyikapi kemajuan telematika yang bisa disalahgunakan tanpa mempertimbangkan rasa kemanusiaan di tengah kebebasan pers saat ini. Kemajuan telematika secara psikologis menggiring penggunanya untuk malas berpikir ulang serta melakukan check dan recheck karena semuanya serba mudah dan serba cepat.

Untuk kasus ”black box” Adam Air seperti diuraikan di atas, bukan pribadi atau keluarga korban yang dirugikan, melainkan juga ekonomi dan martabat bangsa. Berbagai usaha perbaikan yang dilakukan Garuda Indonesia ataupun pemerintah menjadi sia-sia.
Pasar penumpang domestik dan luar negeri menjadi sasaran empuk berbagai penerbangan asing dengan kualitas layanan tidak selalu jauh lebih baik daripada Garuda atau maskapai penerbangan nasional lainnya.

Jebolnya ruangan penumpang pesawat Qantas yang terpaksa mendarat darurat di Manila serta jatuhnya Spanair sehabis tinggal landas baru-baru ini mengingatkan kita bahwa kecelakaan bisa mengintai dan terjadi di mana pun, baik di Medan, Yogyakarta, Madrid, atau di atas udara Hongkong. Di atas itu semua, nasionalisme sebaiknya tetap menjadi pertimbangan yang tidak boleh dilupakan dalam implementasi berbagai kebijakan.

Telematika dengan berbagai perangkat regulasi yang ada sekarang, termasuk Undang-Undang Penyiaran dan keberadaan Dewan Pers, hendaknya mampu meluruskan berbagai pelanggaran yang berlindung di balik kedok kebebasan pers.
Terkadang, seperti sering dihujat masyarakat, kebebasan itu juga sangat kental dengan pembodohan hingga usaha-usaha penipuan berupa undian melalui telepon atau SMS yang entah kapan akan ditertibkan. Semoga telematika bisa digunakan untuk kemajuan ekonomi dan meningkatkan martabat bangsa, bukan sebaliknya.

Eddy Satriya Asdep Telematika dan Utilitas di Menko Perekonomian.
Dapat dihubungi di eddysatriya.wordpress.com