Monday, May 31, 2004

Dilema Penerapan UU Hak CIpta

Oleh: Ir. Eddy Satriya, MA *)
satriyaeddy@yahoo.com

Telah diterbitkan pada kolom Majalah Mingguan Masa 7 Oktober 2003

===Seri ICT-New Economy===

Ketika berlaku efektif sejak 29 Juli 2003 yang lalu, Undang Undang (UU) No. 19/2002 tentang Hak Cipta cukup membuat banyak pihak kalang kabut. Secara teoritis, semua langkah telah disiapkan oleh instansi terkait. Namun dalam prakteknya di lapangan banyak pekerja seni, pengusaha di berbagai bidang termasuk usaha kecil dan menengah (UKM) serta masyarakat umum dibuat “tersedak” dan menjadi was-was berusaha. Mereka terlihat gamang karena takut melanggar UU yang beresiko sanksi denda uang dan kurungan.

Namun jika diperhatikan dengan seksama setelah sebulan lebih efektif ternyata DVD, VCD dan CD bajakan masih ditemui di berbagai lapak di Jakarta seperti di Lebak Bulus, Blok M, kawasan perbelanjaan Mangga Dua dan Ratu Plaza, serta mesjid-mesjid yang menggelar pasar kaget seusai shalat Jum’at. Sementara itu pusat photocopy di berbagai pertokoan, universitas, serta sekolah tinggi lainnya masih saja menggandakan buku diktat kuliah dan text book seperti sediakala.

“Biar miskin asal sombong”. Itulah mungkin ungkapan yang dapat menggambarkan langkah yang harus diambil pemerintah melalui UU Hak Cipta untuk melindungi Hak Cipta dan Kekayaan Intelektual (HAKI) di era globalisasi ini. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan. Pertama, Republik ini masih tergolong miskin dan sedang berkutat untuk bisa keluar dari krisis. GDP per capita yang masih berada di kisaran US$ 700.0 menjadi bukti. Kedua, sumber daya manusia (SDM) kita masih tertinggal. Laporan United Nation Development Programme (UNDP) 2003 yang memberikan Human Development Index sebesar 0.682 hanya menempatkan Indonesia di peringkat ke-112 dari 175 negara. Ketiga, angka pengangguran semakin membesar. Pidato Presiden Megawati bulan Agustus lalu menyebutkan bahwa pengangguran telah mencapai 40 juta orang. Keempat, biaya operasional untuk law enforcement bagi aparat kepolisian serta instansi terkait yang tersedia biasanya sangat terbatas. Kelima, produk ilegal seperti DVD, VCD, CD dan perangkat lunak sejenis masih dijual bebas di negara tetangga seperti di Lucky Plaza dan Little India di Singapura, wilayah Patpong dan Mabungkrak Mall di Bangkok, dan kawasan bisnis Makati di Manila. Terakhir, kemajuan di bidang telematika – bentuk konvergensi dari teknologi telekomunikasi, komputer dan multimedia – yang menjadi pemicu ekonomi baru telah membuka peluang yang nyaris tanpa batas untuk membajak karya orang lain. Kualitas hasil bajakan pun semakin sempurna.

Keenam alasan di atas secara terpisah ataupun jika bersinergi akan menjadi kekuatan besar yang dapat menghambat penegakan UU 19/2002 ini. Usaha melindungi HAKI tanpa prioritas yang disesuaikan dengan kondisi yang ada saat ini dapat merugikan ekonomi nasional serta memperlambat peningkatan kualitas dan daya saing SDM. Sebagai contoh, mahalnya harga perangkat lunak asli bisa menggiring sebagian UKM untuk gulung tikar karena tidak semua bentuk bisnis UKM telematika bisa otomatis bermigrasi ke platform yang open source. Usaha berupa Warung Telekomunikasi (wartel), Warung dan Kafe Internet (warnet), serta game center diperkirakan akan terimbas cukup signifikan. Kondisi ini sekaligus juga menjadi kendala dan biaya tambahan bagi upaya meningkatkan penggunaan komputer di sekolah dan masyarakat luas yang saat ini justru sedang digalakkan pemerintah.

Dalam kenyataannya, sulit dipungkiri bahwa bisnis lapak DVD, VCD dan CD telah memperkerjakan banyak orang. Sekedar ilustrasi, jika di satu lorong seperti tembusan Jalan Sabang ke Jalan Thamrin di Jakarta terdapat 20 lapak, dan jika untuk satu Kotamadya atau Ibukota Kabupaten secara rata-rata mempunyai 5 lokasi seperti di Jalan Sabang tersebut, maka satu kota mampu menyerap 150 tenaga kerja dengan asumsi satu lapak memperkerjakan rata-rata 1,5 orang. Dengan menggunakan data jumlah Kotamadya dan Kabupaten sesuai Keputusan Mendagri No. 5/2002 maka tenaga kerja yang terserap mencapai 60.000 orang. Jumlah ini belum termasuk tenaga kerja yang diserap di Jakarta, ibukota provinsi dan kota besar lainnya yang jika dijumlahkan bisa mencapai lima kali lipat untuk seluruh Indonesia. Jelas suatu jumlah yang cukup besar untuk menambah angka pengangguran jika mereka harus digusur dari lapak-lapak yang sejak krisis telah menjadi tempat menyambung hidup.

Di sisi lain kita juga harus memahami dan tidak bisa menutup mata terhadap kerja keras tanpa lelah dari seniman yang terus berjuang menegakkan rasa penghargaan terhadap karya cipta terutama lukisan, lagu dan film. Pembajakan telah merugikan mereka dan negara dalam jumlah yang tidak sedikit. Jelas ini suatu kondisi yang tidak mudah untuk dihadapi. Kiranya penerapan UU Hak Cipta ini dapat diwujudkan secara lebih bijaksana melalui penyusunan peraturan pelaksana seperti Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah ataupun Keputusan Menteri yang mendahulukan kepentingan nasional yang lebih besar. Partisipasi masyarakat sendiri sangatlah diharapkan agar peraturan pelaksana UU Hak Cipta yang diterbitkan nantinya tidak menggiring para pedagang lapak VCD ini berganti haluan menjadi pemegang kapak di lampu merah!
_____
*) Penulis adalah pemerhati masalah telematika dan new economy, tinggal di Sawangan-Depok.

JABATAN RANGKAP: BENARKAH SEBUAH DILEMA?

Oleh: Eddy Satriya*)
satriyaeddy@yahoo.com

Telah diterbitkan di Portal Ikatan Alumni ITB bulan September 2003

===Seri Reformasi===

Gonjang-ganjing perkara mundurtidaknya para anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang juga berstatus dosen pada saat bersamaan masih menjadi perbincangan didalam berbagai pertemuan. Permasalahan ini muncul kepermukaan pada awal Maret 2003 lalu setelah Pasal 18 Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilu yang akan disetujui menjadi UU Pemilu juga mensyaratkan bahwa anggota KPU (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota) harus tidak sedang menduduki jabatan politik, struktural dan fungsional serta harus menyediakan diri untuk berkerja penuh.

Berbagai media telah membahas masalah yang dihadapi oleh para dosen tersebut dalam beberapa headlines, editorial dan tajuk rencana. Sebagian media cetak dan elektronik mendukung mereka untuk mundur dari KPU dan kembali mengabdi di perguruan tinggi. Sebagian lainnya menyayangkan rencana mundur para dosen tersebut dari KPU. Bahkan ada pula yang menyebutkan UU Pemilu tersebut tidak memperhatikan kondisi di lapangan dan proses penyelesaian peraturan perundangannya dibuat asal jadi (Pembaruan, 5/03/03).

Pada kurun waktu yang bersamaan, masalah dugaan rekayasa finansial penggembosan aset Bank Lippo juga menjadi sorotan. Selain alasan “penggorengan” harga saham, juga karena seorang dosen dari Universitas Gajah Mada (UGM) yang menjadi wakil pemerintah sebagai komisaris perusahaan di bank tersebut berpendapat bahwa laporan ganda keuangan yang dikeluarkan oleh Bank Lippo tidaklah merupakan kesalahan fatal. Pernyataan yang ditolak mentah-mentah oleh pengamat pasar modal Lin Che Wei mengingat besarnya potensial kerugian negara (Kompas, 21/2/03).
Berkaitan dengan jabatan rangkap, kelihatannya eforia berdemokrasi serta saking susahnya merubah pola pikir kearah proses reformasi yang sebenar-benarnya telah menggiring banyak pihak menjauh dari rel reformasi itu sendiri. Kita memahami bahwa pekerjaan di KPU adalah suatu pekerjaan yang sangat mulia dengan tugas dan tantangan berat untuk melayani masyarakat memberikan suaranya. Hal ini dapat terlihat dari uraian tugas dan kewenangan KPU seperti tertera di website KPU (www.kpu.go.id) yang meliputi: merencanakan dan menyiapkan pelaksanaan Pemilu; menetapkan partai-partai yang berhak ikut Pemilu; membentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI); menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan; menetapkan seluruh hasil Pemilu di semua daerah pemilihan, mengkompilasi data hasil Pemilu dan memimpin tahapan kegiatan Pemilu. Jelas suatu rangkuman tugas yang tidak dapat disebut gampang. Dari sebelas anggota KPU termasuk Ketua dan Wakil Ketua, hanya satu orang yang tidak berstatus dosen, yaitu Anas Urbaningrum. Sepuluh anggota KPU lainnya menyatakan pekerjaannya sebagai dosen yaitu sebagai berikut: Nazaruddin Syamsuddin - UI; Ramlan Surbakti –Unair; Mulyana W. Kusumah - UI; Daan Dimara – Uncen; Rusadi Kantaprawira – Unpad; Imam Prasodjo – UI; Chusnul Mar’iyah – UI; Mudji Sutrisno – STF Drikarya dan UI; Hamid Awaludin – Unhas; dan Valina Subekti – UI.

Walaupun belum sampai tenggat waktu, dua orang anggota KPU yaitu Mudji Sutrisno dan Imam Prasodjo telah menjatuhkan pilihannya untuk mundur dari KPU. Pilihan yang sangat melegakan menurut saya. Pilihan yang lebih mencerminkan hati nurani ketimbang silau dengan berbagai fasilitas dan kesempatan yang mungkin menjadi hak orang lain. Sementara itu, Prof. Nazaruddin Syamsudin selaku Ketua KPU sendiri telah mengisyaratkan untuk cuti dari tugas utamanya sebagai dosen dengan alasan pekerjaan di KPU saat ini sangat cocok dengan bidang keahliannya. Suatu teladan yang termasuk langka dilakukan di dalam negeri, namun merupakan prosedur baku dan lumrah bagi seorang dosen untuk menjabat suatu jabatan birokrasi di negara maju seperti Amerika Serikat. Tentu timbul pertanyaan kepada para anggota KPU lainnya yang juga berstatus dosen. Apakah mereka akan mundur atau tetap sebagai moonlighter? Jawabannya tentu terpulang kepada nurani masing-masing. Sebagai orang dewasa yang “melek” hukum dengan kemampuan intelektual di atas rata-rata, tentu mereka punya alasan masing-masing dan diharapkan dapat mengambil sikap yang benar.
***

Sebenarnya phenomena jabatan rangkap adalah sebuah “penyakit” akut yang diwariskan dari zaman orde baru yang tanpa disadari telah melumpuhkan nalar dan membutakan mata, termasuk mata hati. Sejarah perjalanan bangsa ini telah mengajarkan betapa mahalnya harga yang harus dibayar karena “kekeliruan” yang mengizinkan seseorang merangkap berbagai jabatan sekaligus pada era tersebut. Ironisnya kekeliruan itu pula yang masih sulit ditinggalkan dalam era reformasi sekarang ini, bahkan untuk hal tertentu cenderung semakin menjadi-jadi.Bagaimanapun juga manusia punya keterbatasan. Jarum jam saja berdetak maksimal 86.400 kali setiap harinya. Hal ini menunjukkan bahwa betapapun pintarnya seseorang sangatlah sulit mengerjakan berbagai tugas sekaligus secara efisien dan efektif karena pasti akan terkendala oleh jarak dan waktu. Apalagi jika tugas dan jabatan itu menyangkut hajat hidup orang banyak.

Penegakan hukum telah pula menjadi agenda nasional. Kalau dua butir terakhir Pasal 18 UU Pemilu sebagai produk hukum utama telah jelas melarang jabatan rangkap dan menegaskan keharusan berkerja penuh bagi seluruh anggotanya, hal apa lagi yang harus menjadi kerancuan? Menjadi dilema? Sesungguhnya kerancuan dan dilema itu ada pada diri kita. Apakah bijak membiarkan atau mendorong seorang dosen utama berkerja rangkap dan serabutan? Padahal mereka sangat diperlukan untuk memperbaiki sektor pendidikan yang carut marut. Tulisan saya berjudul “Dosen, Peneliti, dan Birokrat” (Sinar Harapan, 11/1/03) menegaskan betapa tidak mudahnya jabatan birokrasi bagi seorang dosen, karena sangat rentan terhadap kemungkinan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan bahkan terkadang tergolong intellectually harassing jika sudah menyentuh “zona” keproyekan.

Dengan berbagai keterbatasan sumber daya yang ada, diperkirakan kegiatan KPU akan sarat dengan proyek dan berbagai kegiatan outsourcing lain yang membutuhkan jam terbang. Terlebih lagi jika alokasi dana Pemilu yang relatif besar itu “harus” dihabiskan dalam waktu yang terbatas. Situasi yang tentu saja mempertaruhkan kemuliaan intelektual seorang dosen yang menjadi anggota KPU. Sementara sukses tidaknya Pemilu 2004 adalah sangat kritikal dan tidak layak dipertaruhkan untuk suatu jabatan rangkap.

Disamping kasus jabatan rangkap dosen UI di lembaga KPU serta dosen UGM yang juga menjadi Staf Ahli Menteri Keuangan, Pelaksana Tugas suatu Badan di Departemen Keuangan, dan komisaris pemerintah untuk Bank Lippo di atas, kiranya telah banyak contoh disekitar kita tentang peliknya jabatan rangkap ini dalam kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia yang benar-benar mendambakan perbaikan disegala bidang. Misalnya, tersendatnya proses penyelesaian RUU Advokat yang sangat ditunggu dalam rangka pelaksanaan reformasi bidang hukum menurut Atur Toto, seorang pemerhati masalah hukum dan politik, tidak lepas dari tarik ulur tentang pasal RUU Advokat yang juga secara tegas melarang adanya pejabat publik termasuk anggota DPR merangkap menjadi advokat. Permasalahannya, sebagian anggota Komisi II DPR juga berprofesi sebagai advokat (Swara.Net, 25/11/02). Menteri Perhubungan Agum Gumelar akhir-akhir ini juga terpaksa menginstruksikan salah seorang Dirjennya untuk mundur dari komisaris PT. Telkom guna mempercepat pembentukan badan regulasi yang sudah lama ditunggu masyarakat dan pelaku bisnis telematika. Kenaikan tarif listrik yang secara perlahan tapi pasti menyulitkan, sangat menyulitkan, kehidupan rakyat berpenghasilan tetap tanpa kecuali juga menarik dicermati. Dari sisi kemasyarakatan, kenaikan tarif listrik ini juga menyiratkan suatu ironi. Betapa tidak, kepala sebuah lembaga penelitian ekonomi dan kemasyarakatan dari sebuah universitas negeri terkemuka di Jakarta yang biasanya membela “wong cilik” justru ternyata juga menjadi komisaris di PT. PLN (Persero).
***

Dari kasus jabatan rangkap di KPU dan Bank Lippo serta beberapa contoh lain seperti diuraikan di atas, rasanya sangat sulit untuk menerima jabatan rangkap itu sebagai sebuah dilema. Karena rangkapnya tidak hanya dua, tapi bisa tiga, empat dan terkadang lima atau lebih. Sekaligus. Juga hendaknya jangan diibaratkan makan buah simalakama. Lebih tepat kiranya kita sebut tawaran jabatan rangkap sebagai pilihan untuk mencukupi hidup, menimba ilmu dan berkarir. Karena hidup memang sering harus memilih, kita doakan para dosen dan siapapun yang mendapat tawaran jabatan rangkap untuk mampu memilih yang terbaik bagi dirinya, keluarga dan bangsanya. Mengharapkan turunnya berbagai peraturan hanyalah menunda momentum perbaikan bangsa. Selayaknya pula dimulai membiasakan budaya malu dan “tepo seliro” terhadap sekitar 40 jutaan orang penganggur yang juga harus menghidupi anggota keluarganya. Saya hanya bisa berdoa agar langkah yang telah diambil Prof. Syamsudin, Mudji Sutrisno dan rekan saya Imam Prasodjo bisa membuka mata hati anggota KPU yang lain. Mereka jelas tidak mungkin bolak-balik tanpa keringat dengan kecepatan cahaya dari Depok, Surabaya, Makassar, Bandung, dan Papua ke Jalan Imam Bonjol, Jakarta. Karena mereka juga manusia biasa seperti kita, bukan superman.
_________

*) PNS biasa, tinggal di Sawangan - Depok.

OTOKRITIK: MENGAPA TELEMATIKA INDONESIA MASIH TERPURUK?

Oleh:
Eddy Satriya (satriyaeddy@yahoo.com)
PNS biasa, pemerhati Telematika

Catatan: tulisan ini adalah personal unpublished paper yang dibuat sekitar Agustus 2002

Telah diterbitkan di Portal Ikatan Alumni ITB Bulan April 2003


===Seri ICT===

1. PENDAHULUAN

Perubahan tatanan ekonomi diberbagai belahan dunia yang utamanya dipicu oleh kemajuan-kemajuan di bidang Information and Communication Technology (ICT) atau dalam bahasa Indonesia saat ini lebih dikenal dengan istilah telematika telah membawa perkembangan baru dalam struktur industri telematika di banyak negara. Telematika didefinisikan sebagai bentuk konvergensi teknologi informasi (IT), telekomunikasi, multimedia dan penyiaran. Gelombang deregulasi, liberalisasi dan privatisasi yang dimulai sejak era tahun 1980-an telah banyak mempengaruhi regulator dan para pengambil keputusan dalam menata industri mereka. Beberapa negara anggota ASEAN telah mendeklarasikan visi mereka dalam persiapan pengembangan sektor telematika jangka panjang. Sebagai contoh Singapura telah menetapkan Singapore One, sementara itu Malaysia telah pula terkenal ke seluruh dunia dengan Malaysia Super Corridor nya.

Indonesia juga mengalami gelombang perubahan yang sama. Privatisasi dan deregulasi khususnya di subsektor telekomunikasi telah dimulai sejak awal tahun 1990-an. Jauh-jauh hari proses pembenahan dan restrukturisasi telah disusun dan dijalankan khususnya di lingkungan PT. Telkom dan PT. Indosat. Setelah berlaku efektifnya UU Telekomunikasi yang baru No.36 Tahun 1999, maka pasar telekomunikasi yang dulunya didominasi oleh PT. Telkom untuk penyelenggaraan jasa telekomunikasi dalam negeri dan PT. Indosat untuk sambungan internasional, sekarang telah terbuka bagi new entries. Jumlah Penyedia Jasa Internet (ISP) disisi lain, juga berkembang setiap tahunnya.

Namun demikian, pelayanan telekomunikasi nasional dan telematika secara umum dirasakan masih sangat tertinggal baik dari sisi penetrasi, kualitas dan jangkauan pelayanan. Demikian pula bagi sebahagian pelaku bisnis telematika, berbagai peraturan yang telah diterbitkan oleh pemerintah, dirasakan masih belum bisa memberdayakan sektor telematika yang sebenarnya mempunyai potensi sangat besar dalam memberikan kontribusinya untuk pembangunan nasional. Tulisan ini mencoba memaparkan sekilas permasalahan telematika Indonesia dan sekaligus mengajukan usulan langkah tindak lanjut guna perbaikan dalam waktu dekat.

2. STATUS TERAKHIR TELEMATIKA INDONESIA PRASARANA TELEMATIKA

Hingga akhir Juni 2002, jumlah sambungan telepon tetap yang beroperasi (lines in service) baru mencapai sekitar 7,5 juta satuan sambungan (ss) atau dengan tingkat kepadatan telepon 3,5 per 100 penduduk (PT. Telkom, 2002). Dengan tingkat kepadatan tersebut Indonesia tertinggal cukup jauh jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia yang pada akhir tahun 1999 saja telah mencapai kepadatan 20,3; Singapura 48,2; Thailand 8,6; dan Philippines 4,0. Negara kita hanya sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan beberapa negara di Asia Tenggara lain seperti Vietnam yang mempunyai kepadatan 2,7; Laos 0,7 dan Myanmar 0,6 (World Bank, 2001).

Sementara itu jumlah sambungan telepon bergerak (mobile phones) diperkirakan juga berhasil mencapai angka 7 juta pelanggan. Tanpa disadari, sistem telepon bergerak telah menjadi solusi sementara bagi sebahagian masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan prasarana telekomunikasi. Diperkirakan jumlah sambungan telepon bergerak ini akan terus meningkat dan dalam waktu dekat akan mampu melewati jumlah sambungan telepon tetap (fixed lines). Hal tersebut dimungkinkan antara lain karena telah berjalannya kompetisi yang telah hampir mendekati ideal dalam penyelenggaraan jasa telepon bergerak dan relatif semakin murahnya biaya ekuivalen instalasi jaringan telepon bergerak per satuan sambungan dibandingkan dengan telepon tetap.

Terhambatnya pelaksanaan Kerja Sama Operasi antara PT.Telkom dan Mitranya dalam melakukan pembangunan dan operasional prasarana telekomunikasi di luar area Jakarta dan Surabaya maupun lambatnya perluasan jaringan pintar yang mampu meneruskan lalulintas telepon dengan kecepatan tinggi, juga mempengaruhi jumlah pelanggan dan pengguna jasa Internet. Sampai saat ini jumlah pelanggan Internet di Indonesia diperkirakan telah berjumlah 500 ribu pelanggan dengan total pengguna Internet sekitar 4 juta orang. Kebanyakan pengguna Internet memanfaatkan jaringan dan fasilitas Internet di perkantoran serta melalui warung Internet (Warnet). Sementara itu cakupan layanan fasilitas telekomunikasi hingga kwartal I tahun 2001 telah berhasil melayani 76 persen kecamatan dan 39,2 persen dari jumlah seluruh desa yang ada (Dephub, 2002).


REFORMASI SEKTORAL
Langkah-langkah kebijakan untuk reformasi sektor telekomunikasi berlandaskan kepada prinsip-prinsip reformasi nasional yang telah ditetapkan dalam TAP MPR. Kemudian langkah-langkah tersebut diformulasikan dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004 yang telah ditetapkan pula sebagai UU No. 25 tahun 2000. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari prasarana dasar lainnya, maka pembangunan telematika dalam menghadapi situasi krisis diarahkan kepada usaha-usaha untuk (a) mempertahankan tingkat jasa pelayanan, (b) melanjutkan restrukturisasi dan reformasi serta (c) meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa pelayanan sarana dan prasarana telematika.
Reformasi sektor telematika, khususnya telekomunikasi telah dipersiapkan cukup lama dan telah dilaksanakan secara serius sejak awal tahun 1999 sesuai Buku Cetak Biru Kebijakan Pemerintah tentang Telekomunikasi Indonesia yang diterbitkan Departemen Perhubungan maupun dengan diundangkannya UU baru Telekomunikasi No. 36 yang telah berlaku efektif sejak bulan September 2000. Adapun tujuan reformasi sektor antara lain adalah untuk meningkatkan kinerja sektor, melaksanakan transformasi struktur industri dari monopoli menjadi industri yang pro kompetisi, memfasilitasi pembukaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan, mendapatkan tambahan dana untuk pembangunan nasional melalui privatisasi, meningkatkan kerjasama dengan swasta lokal maupun asing, menyediakan dan memperbanyak akses publik terhadap jaringan telekomunikasi, serta meningkatkan transparansi dalam regulasi guna mengembalikan kepercayaan investor.
Berdasarkan Cetak Biru dan UU Telekomunikasi No.36, maka langkah-langkah kebijakan reformasi tersebut kemudian dituangkan kedalam beberapa program dan kegiatan-kegiatan utama. Pertama, mewujudkan reformasi sektor telekomunikasi pada tingkat makro yang dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan antara lain: menghapus monopoli; menghilangkan diskriminasi dan hambatan bagi partisipasi swasta dalam penyediaan jaringan dan layanan telekomunikasi; serta melakukan kajian ulang atas peran pemerintah.
Selanjutnya, membenahi kerangka regulasi atau peraturan perundangan sebagai prerequisite untuk industri telekomunikasi yang lebih baik. Hal ini dilaksanakan melalui berbagai kegiatan seperti: memperbaiki iklim bisnis telekomunikasi yang pro kepada kompetisi; memisahkan pelaksanaan operasi telekomunikasi dari proses pengambilan keputusan dan fungsi regulasi; memperhatikan faktor biaya dan mekanisme pasar dalam penentuan tarif, meningkatkan transparansi dalam proses pemberian lisensi; menghindarkan praktek diskriminasi berdasarkan kepemilikan (ownership); melaksanakan mekanisme interkoneksi antaroperator; menyiapkan aturan Universal Service Obligation (USO), memastikan operator menyediakan akses yang sama (equal access); meyakinkan dilaksanakannya standard dan teknologi internasional secara netral untuk peralatan; dan memberikan jaminan perlindungan kepada konsumen.
Ketiga, merestrukturisasi industri telekomunikasi melalui kegiatan-kegiatan: menghentikan pemisahan jasa telekomunikasi dasar dan non dasar; melaksanakan terminasi dini terhadap hak eklsusif operator yang ada saat ini; dan mempersiapkan suasana kompetisi penuh bagi berbagai jenis jasa pelayanan setelah 2010.
Terakhir, melaksanakan liberalisasi lingkungan berusaha yang dijalankan melalui kegiatan-kegiatan yang difokuskan kepada pembukaan pasar telekomunikasi dan penghapusan diskriminasi atas dasar kepemilikan negara dalam saham penyelenggara.

PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PERATURAN
Pelaksanaan pembangunan dan pengembangan telematika nasional juga memerlukan visi dan misi yang tepat serta berbagai langkah koordinasi yang melibatkan seluruh stakeholder. Untuk mendukung pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan telematika di Indonesia telah dibentuk organisasi dan berbagai perangkat pengaturannya. Pada tahun 1997 telah dibentuk pertama kalinya Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) melalui Kepres No.37. Kemudian TKTI diperbaharui lagi keanggotaan, tugas dan fungsinya melalui Kepres No. 50 Tahun 2000, yang langsung diketuai oleh Wakil Presiden RI.
Di bawah koordinasi TKTI telah dihasilkan beberapa perangkat peraturan dan kerangka kerja telematika Indonesia. Pada Februari 2001, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) berkerja sama dengan Universitas Indonesia telah melaporkan hasil kerja pembuatan National Information Technology Framework (NITF) yang berisikan kerangka kerja dan acuan pengembangan telematika untuk tingkat nasional. Di dalam NITF diuraikan kembali visi, misi, tujuan, strategi dan kebijakan rencana pengembangan telematika nasional.
Pada bulan April 2001 juga telah diterbitkan Inpres No.6 yang berisikan instruksi presiden untuk pengembangan dan pendayagunaan telematika Indonesia. Isi pokok Inpres ini antara lain memberikan instruksi dalam menjadikan telematika untuk mempersatukan bangsa dan memberdayakan masyarakat; peranan telematika dalam dan untuk masyarakat; pentingnya infrstruktur informasi nasional; peningkatan sektor swasta dan iklim usaha; peningkatan kapasitas dan teknologi, petunjuk untuk melaksanakan Government Online, dan usaha-usaha untuk memperkuat TKTI. Sebelum Inpres ini juga telah diterbitkan Inpres No.1 dan No.2 tahun 2001 yang juga berkaitan dengan telematika, yaitu tentang penunjukkan kawasan Kemayoran sebagai pusat pengembangan telematika nasional dan tentang penyusunan operating system komputer berbahasa Indonesia.
Inpres 6 tahun 2001 telah dilengkapi dengan 75 program kerja sebagai rencana tindak lanjut (action plan) yang telah disusun secara bersama-sama yang melibatkan departemen terkait dan berbagai lapisan masyarakat telematika. Rencana tindak lanjut tersebut telah dikategorikan atas empat bidang yaitu kebijakan dan peraturan perundangan, pengembangan sumberdaya manusia, infrastruktur dan aplikasi telematika.
Pembangunan telematika memasuki proses kelembagaan yang sangat penting dengan diserahkannya pengelolaan dan pengembangan telematika kepada Kementrian Negara Komunikasi dan Informasi (Meneg Kominfo) dalam Kabinet Gotong Royong Presiden Megawati Soekarno Puteri. Perintah tersebut disampaikan Presiden dalam Sidang pertama Kabinet Gotong Royong setelah pelantikan personilnya. Pada saat ini Kantor Meneg Kominfo telah pula selesai menyusun personil mereka dan sedang menyiapkan beberapa program kerja baik untuk jangka panjang maupun untuk jangka pendek yang dinamakan dengan Program 100 Hari.
Sementara itu pihak swasta Indonesia baik yang dimotori oleh KADIN, koperasi maupun berbagai asosiasi di bidang telematika yang terkesan tidak mungkin menunggu kesiapan pemerintah telah mulai dan terus melaksanakan berbagai program dan kegiatan di bidangnya, baik berkerja sama dengan instansi pemerintah, universitas, sekolah maupun dengan berbagai Usaha Kecil Menengah (UKM). Juga tidak ketinggalan beberapa Pemerintah Daerah, yang kebetulan mempunyai pimpinan yang telah memahami potensi telematika, berhasil mengembangkan berbagai aplikasi telematika untuk meningkatkan pelayanan publik. Contoh keberhasilan Pemda yang sering diangkat dalam berbagai event telematika nasional maupun regional adalah Pemda Kabupaten Takalar di Sulawesi Selatan. Pemda Takalar berhasil memanfaatkan e-government yang telah mampu memberikan pelayanan satu atap yang prima bagi masyarakat dalam pengurusan KTP, SIM, Akte Kelahiran dan berbagai jenis pelayanan publik lainnya. Begitu pula langkah-langkah strategis pengembangan e-government telah dilaksanakan oleh Pemda Kabupaten Kutai Timur, Batam dan beberapa Pemda lain yang telah siap-siap dengan program andalan masing-masing.

3. PERMASALAHAN SEKTOR TELEMATIKA

Memperhatikan berbagai kondisi terakhir pengembangan telematika Indonesia seperti diuraikan di atas, tentulah menimbulkan pertanyaan mengapa telematika Indonesia relatif masih tertinggal dan terlambat kemajuannya. Sedangkan berbagai program reformasi sektor telematika yang telah disertai kegiatan-kegiatan pokok dan berbagai peraturan perundang-undangannya telah pula efektif. Pada pelaksanaan Pelita VI, subsektor telekomunikasi bahkan telah menjadi salah satu indikator keberhasilan kemajuan nasional dalam pengikutsertaan swasta membangun prasarana publik yang sangat diperlukan dalam pembangunan ekonomi nasional. Menjadikan kondisi ekonomi dunia dan ekonomi Indonesia yang masih dalam kabut krisis sebagai “kambing hitam” tentu bukanlah cara yang bijak untuk memperbaiki kondisi telematika di tanah air. Berikut ini diuraikan berbagai hambatan, maupun permasalahan yang diperkirakan telah mengganggu kelancaran pembangunan bidang telematika. Hal-hal tersebut antara lain adalah:

a) Berlarut-larutnya penyelesaian masalah Kerja Sama Operasi (KSO)

Kerjasama Operasi yang sempat dipuji-puji oleh berbagai organisasi tingkat dunia seperti Bank Dunia, ternyata telah benar-benar menjelma menjadi mimpi buruk bagi perkembangan telekomunikasi di tanah air. Seharusnya permasalahan KSO telah terpantau sejak awal karena sudah disediakan anggaran khusus untuk pemantauan kemajuan pelaksanaan KSO di kelima wilayah yang dikoordinir oleh Ditjen Postel. Niat baik PT.Telkom yang memahami kesulitan mitranya telah diwujudkan dengan melaksanakan revisi Memorandum of Understanding KSO melalui antara lain pengurangan jumlah sambungan telepon yang harus dibangun dari 2 juta ss menjadi hanya 1,2 juta ss, serta perubahan berbagai perjanjian tentang pembagian pendapatan dan penghasilan KSO, termasuk kewajiban untuk riset dan pengembangan serta pelaksanann Universal Service Obligation (USO). Namun niat baik saja dalam bisnis telekomunikasi ternyata tidaklah cukup. Ada perselisihan tajam dalam hal managemen yang tadinya dianggap sepele dan cenderung diabaikan ternyata menjadi masalah besar sekaligus pemicu sengketa yang sangat tidak sehat terutama sekali di wilayah Jawa Barat. Berbagai usaha telah dilakukan untuk “mendamaikan” pihak PT. Telkom dengan Mitranya. Tim penyelesaian permasalahan KSO ini telah dibentuk pada tahun 2001 yang beranggotakan pejabat teras dari Kantor Menko Perekonomian, Meneg BUMN, dan Ditjen Postel. Saat ini sengketa KSO telah mulai menuju penyelesaian untuk semua wilayah, meskipun diperkirakan masih menyimpan potensi konflik dan masalah pelik apabila menyangkut berbagai permasalahan detail.

b) Belum dijalankannya program reformasi secara konsisten

Kurangnya konsistensi dan keseriusan menjalankan program-program reformasi telekomunikasi tidak pelak lagi menjadi penyebab utama terjadinya berbagai permasalahan bisnis telekomunikasi. Kompetisi terlihat masih semu. Rencana pembentukan Badan Regulasi Mandiri (Independent Regulatory Body-IRB) dan beberapa item lain yang telah tertuang dalam LOI dengan Internatinal Monetary Fund masih jauh dari realisasinya. Berbagai kegiatan dalam program reformasi seperti diuraikan dalam bab terdahulu belum berjalan sebagaimana yang diharapkan dan tidak ada pemantauannya. Kesemuanya itu kembali menjadi penghalang bagi tumbuhnya iklim yang kondusif dan kompetitif bagi berbagai pihak swasta yang ingin berpartisipasi dalam bisnis telematika. Berubah-ubahnya peraturan dan tidak transparannya pemberian lisensi menjalankan bisnis Voice Over Internet Protocol (VOIP) dan permasalahan alokasi frekuensi 2,4 Ghz hanyalah beberapa contoh yang ada saat ini. Dihentikannya begitu saja rencana transaksi silang antara PT. Telkom dan PT. Indosat dalam rangka mencari solusi jangka panjang KSO untuk wilayah Jawa Tengah awal bulan Februari 2002, kiranya juga menunjukkan ketidakkonsistenan atau tidak profesionalnya pengambilan keputusan rencana besar yang telah cukup lama dikerjakan. Hal ini semakin menambah daftar panjang kebijakan yang berubah-ubah dari pemerintah tentang pengembangan telekomunikasi nasional.

c) Kurangnya koordinasi dengan instansi terkait

Setelah menurunnya kinerja pembangunan prasarana telekomunikasi dalam Pelita VI, sampai saat ini belum terlihat langkah-langkah efektif untuk menyelesaikan permasalahan keterbatasan penyediaan sambungan telepon. Sebagai perbandingan, selama Pelita V telah berhasil dicapai tingkat instalasi sentral telepon dengan kapasitas hampir 500.000 ss per tahun. Kemampuan instalasi tersebut tidak bisa dipertahankan apalagi ditingkatkan dalam kurun waktu Pelita VI. Pencapaian sasaran pembangunan kapasitas telepon secara kebetulan tertolong oleh komitmen-komitmen negara donor yang telah disepakati dimasa-masa akhir Pelita V. Dalam suatu pertemuan Masyarakat Telekomunikasi Indonesia bulan Februari 2002 yang lalu, Menteri Perhubungan menyatakan bahwa pemerintah telah mentargetkan pembangunan telepon tetap sebanyak 4 juta ss sampai tahun 2005 dengan rincian PT. Telkom berkewajiban membangun sebanyak 1,9 juta ss, PT. Indosat sebanyak 1,6 juta ss dan sisanya oleh operator lain. Sayangnya rencana lebih detil tentang distribusi pembangunan per propinsi, jenis sentral atau paketnya, rencana instalasi tahunan, dan sumber pembiayaan belum tersedia. Juga belum terlihat rencana penggelaran jaringan kabel dan fasilitas transmisi yang sangat vital guna menunjang kesuksesan rencana tersebut. Dengan kata lain rencana pembangunan ini kurang dikoordinasikan dengan berbagai instansi terkait. Lagi pula dengan dijalankannya otonomi daerah, diperkirakan masih akan timbul berbagai kendala karena adanya ketidakseragaman peraturan daerah, seperti aturan galian dan pengurukan tanah.

d) Kurangnya awareness terhadap potensi telematika sebagai salah satu penggerak roda ekonomi

Bidang telematika di banyak negara berkembang ataupun hampir semua negara maju telah jauh-jauh hari disadari sebagai salah satu sektor potensial dalam menggerakkan ekonomi suatu bangsa. Gejala ini belum menjadi kenyataan di Indonesia. Hal ini tercermin dari masih kecilnya belanja telematika sebagai persentase dari GDP total. Untuk Indonesia, belanja telematika baru mencapai 1,4 % dari total GDP. Sementara itu Malaysia telah mencapai 5,2 %; Phillipines 2,71 %; Singpura 7,7 %; Vietnam 7,4 %; Thailand 2,13%; Amerika Serikat 8,87 %; dan Jepang 7,6 % (World Bank, 2001). Secara kelembagaan juga dapat dirasakan dengan masih belum adanya suatu departemen teknis yang ditugasi untuk mengelola sekaligus secara terintegrasi bertanggung jawab terhadap pengembangan telematika nasional.

e) Terlambatnya penyusunan peraturan pelaksanaan UU Telekomunikasi No 36/1999

Berbagai peraturan pelaksanaan UU telekomuniasi seperti Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri (Kepmen) maupun Keputusan Dirjen (Kepdirjen) yang telah direncanakan tidak berhasil dirampungkan tepat waktu. Hanya beberapa PP dan Kepmen saja yang berhasil direalisasikan hingga saat ini. PP dan Kepmen yang ada pun masih dirasakan bermasalah oleh banyak pelaku bisnis telematika. Bahkan sering terdengar beberapa pelaku bisnis telematika sudah menghendaki revisi UU Telekomunikasi No.36 tahun 1999 pada beberapa bagian.

f) Kenaikan tarif yang tidak disertai alasan yang meyakinkan

Dinaikkannya tarif telekomunikasi yang telah tertunda-tunda pada saat yang tidak tepat semakin menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap otoritas telekomunikasi. Di dalam berbagai diskusi diketahui bahwa kenaikan tarif sangat diperlukan untuk menambah dana pembangunan prasarana telekomunikasi. Padahal masyarakat telematika menyaksikan kedua “raksasa” telekomunikasi Indonesia, yaitu PT. Telkom dan PT. Indosat masih untung cukup besar dan ironisnya akhir-akhir ini mengucurkan triliunan Rupiah guna mempersiapkan diri menghadapi persaingan di bisnis multimedia dan telepon bergerak dimasa datang (bukan bisnis inti mereka pada saat ini).

Sangatlah janggal menyaksikan Dirjen Postel dan Menteri Perhubungan yang menyatakan bahwa sektor telekomunikasi sejak tahun 1985 tidak lagi mendapatkan APBN sebagai salah satu alasan atau pertimbangan untuk menaikkan tarif. Padahal sukses pembangunan fasilitas telekomunikasi yang antara lain telah berhasil melaksanakan otomatisasi sentral telepon untuk seluruh ibukota kabupaten atau kotamadya pada kurun waktu Pelita VI, pada dasarnya ditunjang oleh Pinjaman Luar Negeri yang merupakan komponen RAPBN bersama-sama dengan komponen rupiah murni. Artinya, walaupun hutang pinjaman tersebut telah di “two-step-loan” kan ke PT. Telkom, resiko pinjaman antar pemerintah (G to G) dalam valuta asing masih ditanggung oleh pemerintah Indonesia (baca: rakyat Indonesia). Padahal jika merujuk kepada program reformasi sektoral, terlihat bahwa kenaikan tarif haruslah berdasarkan kepada cost of production dan mekanisme pasar.

g) Terputus-putusnya pengelolaan TKTI

Tim Koordinasi Telematika Indonesia telah mengalami empat kali pergantian kepala negara dan hampir sepuluh kali perubahan struktur kabinet sejak dibentuk melalui Kepres No.30 tahun 1997 oleh Presiden Soeharto. Walaupun telah diperbaharui keanggotaan, tugas dan fungsinya melalui Kepres No. 50 tahun 2000 dan telah cukup banyak kemajuan yang dicapai TKTI, kepengurusan TKTI susungguhnya “ terombang-ambing” dari satu kantor ke kantor lain tergantung personil kunci yang ditugasi mengelolanya. TKTI memulai perjalanannya dari Kantor Menteri Koordinator Produksi dan Distribusi (Menko Prodis) dizaman orde baru. Kemudian pembangunan telematika diatur dari Kantor Menteri Koordinasi Ekonomi Keuangan dan Pengawasan Pembangunan (Menko Ekuwasbangpan). Selanjutnya pada masa awal kerja Kabinet Pembangunan VII, TKTI diurus dari Kantor Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin). Pada era Presiden Abdurahman Wahid yang memperbaharui Kepres pembentukan TKTI, pengelolaan TKTI lebih banyak diatur dari Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meneg PAN). Demikian pula di bawah kepemimpinan Presiden Megawati, TKTI dikendalikan dari Kantor Kementrian Negara Komunikasi dan Informasi (Meneg Kominfo). Saat ini kelihatannya ada pula rencana untuk “menyempurnakan” organisasi TKTI. Kesemuanya itu tentulah akan berdampak terhadap kinerja sektor telematika karena seringnya terjadi transisi pengelolaan. Sedangkan bisnis telematika membutuhkan penanganan yang konsisten namun harus dilaksanakan dengan cepat sesuai tuntutan teknologi.

5. USULAN LANGKAH PERBAIKAN KONDISI TELEMATIKA

Memperhatikan tantangan dan peluang yang dapat diberikan oleh sektor telematika dalam pembangunan, kondisi terakhir telematika dan berbagai permasalahan baru yang semakin menumpuk di atas permasalahan lama, berikut ini diusulkan langkah-langkah yang diharapkan mampu memulai perbaikan disektor telekomunikasi. Perbaikan diharapkan dapat terlaksana secara bertahap, konsisten namun menyeluruh. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:

a) Persoalan Kerjasama Operasi (KSO)

Setelah terlebih dahulu didiskusikan dan dibahas secara mendalam dengan departemen dan instansi terkait, diusulkan kepada pemerintah agar menegaskan posisinya dalam suatu rencana jangka panjang penyelesaian KSO dan menjelaskan status KSO untuk kelima wilayah secara transparan. Pemerintah bisa saja hands off , mengingat perjanjian kontrak KSO memang antar PT. Telkom dan Mitranya. Erat kaitannya dengan KSO ini adalah status terminasi dini hak eklsusivitas pembangunan prasarana telekomunikasi yang telah diberikan pemerintah kepada PT. Telkom dan PT. Indosat. Hal ini sangat diperlukan dunia bisnis telematika, khususnya telekomunikasi. Diharapkan jika sudah ada kejelasan atas kedua hal tersebut, secara paralel bisa dipikirkan skema investasi transisi dalam rangka penambahan dan perluasan jaringan telekomunikasi, misalnya dengan berbagai varian Pola Bagi Hasil (PBH) yang telah dimodifikasi sebagaimana dijalankan PT. Telkom sebelum masa KSO.

b) Pelaksanaan program-program reformasi subsektor telekomunikasi

Perlu secepat mungkin mengidentifikasi ulang program-program reformasi yang sudah dan belum berhasil dilaksanakan sesuai ketentuan dalam Cetak Biru dan UU telekomunikasi No. 36 tahun 1999. Selanjutnya dibuatkan urutan prioritas kegiatan yang harus dilaksanakan segera dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Menumpuknya berbagai masalah kebijakan dan peraturan perundangan akan semakin mempersulit keadaan dunia bisnis telematika.

c) Koordinasi dengan instansi terkait

Dengan tidak suskesnya skema KSO, tidak ada salahnya Departemen Perhubungan kembali membahas ulang rencana pembangunan sambungan telepon baru yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia ini dengan instansi terkait serta berbagai asosiasi yang terlibat dalam bisnis telematika. Kiranya masukan dari berbagai sumber akan dapat menyempurnakan target pembangunan per subsistem, distribusi per propinsi, jadwal instalasi tahunan dan keperluan pendanaan. Perlu juga ditetapkan strategi penambahan kapasitas telepon, apakah harus mengikuti trend kepadatan telepon internasional, regional di Asia Tenggara atau berdasarkan ketersediaan dana pembangunan.

d) Awareness terhadap peran dan potensi telematika dalam pembangunan ekonomi nasional

Diusulkan pula untuk melaksanakan semacam kampanye tentang potensi telematika dalam konteks pembangunan nasional. Hal ini telah dimulai diberbagai negara berkembang seperti Malaysia, Phillipines dan Thailand. Cakupan aplikasi telematika yang sangat luas seperti bidang kesehatan, pendidikan, potensi untuk mengurangi KKN dan kemungkinan untuk pengurangan kemiskinan masih sangat minim dipahami oleh para pengambil keputusan di tingkat pusat. Sejalan dengan itu juga ada baiknya dimulai budaya telematika bagi kantor atau instansi yang telah mempunyai fasilitas seperti penulisan memo dan undangan rapat yang cukup dilakukan melalui email.

e) Penyelesaian Peraturaan Pelaksana UU Telekomunikasi

Dep. Perhubungan sebaiknya juga memfokuskan diri pada percepatan penyelesaian berbagai peraturan pelaksana UU Telekomunikasi yang masih tersendat. Penyusunan tersebut juga sedapat mungkin mengikutsertakan berbagai kalangan dari bisnis telematika.

f) Penyusunan Tarif Telekomunikasi

Penyusunan tarif telekomunikasi hendaknya mulai dilakukan berdasarkan biaya dan mekanisme pasar sesuai ketentuan yang ada dalam Buku Cetak Biru yang masih relevan dengan situasi saat ini. Hasil bantuan teknik Bank Dunia untuk penelitian tarif melalu Proyek ABC (Activity Based Cost) yang dilaksanakan PT. Telkom sebaiknya mulai didesiminasikan ke berbagai instansi terkait. Tentunya juga relevan mendiskusikan masalah komposisi pembagian keuntungan perusahaan yang memang harus diserahkan kepada pemegang saham BUMN telematika dan porsi yang harus dikembalikan untuk pembangunan dalam penyusunan rencana strategis pembangunan telematika nasional. Juga perlu dikaji ulang oleh Dep. Keuangan apakah sebuah BUMN yang telah IPO atau menjadi perusahaan terbuka masih dapat menikmati pinjaman lunak dari negara donor yang dijaminkan pemerintah (G to G).

g) Tim Koordinasi Telematika Indonesia

Rencana pengembangan telematika Indonesia secara nasional sebaiknya diperjelas melalui penetapan bentuk dan pengelolaan TKTI. Mengingat pentingnya peranan TKTI dalam pengembangan telematika nasional, rencana induk pengembangan telematika nasional sudah dapat dimulai dengan menggunakan berbagai bahan yang tersedia seperti National IT Framework yang telah diserahkan kepada TKTI. Saat ini pemerintah melalui TKTI sedang menyusun rencana induk pengembangan government online.

6. KESIMPULAN

Memperhatikan pembahasan telematika dari pendahuluan hingga usulan perbaikan pembangunan telematika, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a) Mengingat masih rendahnya penetrasi, pasar yang besar dan cakupan wilayah pelayanan jasa telematika yang masih terbatas, maka perkembangan telematika nasional untuk kurun waktu 5 tahun mendatang ini tentulah masih sangat potensial. Namun demikian penambahan kapasitas telematika termasuk telepon sebaiknya memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional (GDP per capita).

b) Posisi pemerintah Indonesia dan rencana jangka panjang penyelesaian KSO hendaklah secepat mungkin diumumkan secara lengkap dan transparan;

c) Program-program reformasi telekomunikasi sebagai syarat utama pemulihan bisnis telematika di Indonesia sebaiknya dilaksanakan secara konsisten dan dilembagakan dalam rencana strategis sektoral maupun dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang disusun setiap tahun oleh Departemen Teknis terkait.

d) Departemen Perhubungan sebaiknya segera meningkatkan kerjasama dan koordinasi pembangunan telematika dengan berbagai instansi terkait, terutama dalam penysusunan program-program pembangunan yang merupakan keperintisan dan tidak quick yielding.

e) Perlu diadakan semacam kampanye untuk meningkatkan awareness terhadap potensi telematika dalam pembangunan nasional terutama bagi kalangan birokrasi, baik tingkat pusat maupun di daerah.

f) Pengembangan telematika dimasa datang hendaklah melibatkan peran masyarakat dan praktisi telematika (ICT proffessional) secara lebih intensif.

Selanjutnya, sudah sepantasnya pula kita menyatukan niat dan tindakan untuk memajukan telematika nasional tanpa memperbesar perasaan bahwa kitalah yang paling benar sementara orang lain menjadi bagian permasalahan. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Esa memberikan bagian solusi krisis nasional melalui telematika. Amin.

__________


Divestasi Indosat: "Gurame Kuah Asam Manis!"

Oleh: Eddy Satriya*)
satriyaeddy@yahoo.com

Telah diterbitkan oleh Harian Umum Pelita tanggal 19 Maret 2003




Gurame kuah asam manis merupakan menu yang paling saya sukai disebuah rumah makan tradisional di jalan Gondang Dia, Jakarta Pusat. Memilih menu terkadang membutuhkan proses pengambilan keputusan yang tidak gampang, apalagi jika kita dalam posisi mengajak rekan bisnis atau kerabat untuk suatu jamuan makan. Pekerjaan ini kelihatannya sederhana namun membutuhkan konsistensi dan pengalaman. Sasarannya jelas, tuan rumah harus puas dengan menu yang pas rasa dan harganya. Disisi lain, para undangan tentu saja diharapkan puas menikmati santapan yang biasanya terbaca pada raut wajah mereka ketika akan pamit pulang.

Proses divestasi saham PT. Indosat juga bisa diibaratkan dengan menentukan menu yang hendak disajikan untuk para undangan dalam suatu jamuan. Tulisan ini mencoba menarik pelajaran dari pelaksanaan divestasi Indosat yang ditinjau dari sisi koordinasi perencanaan restrukturisasi suatu sektor dan implementasinya dilapangan.

Sebenarnya divestasi Indosat hanyalah salah satu konsekuensi dari agenda reformasi telekomunikasi yang meliputi restrukturisasi kerangka hukum, restrukturisasi industri dan liberalisasi lingkungan usaha di bidang telekomunikasi. Reformasi telekomunikasi telah jauh-jauh hari disiapkan oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Perhubungan No. 72 Tahun 1999 tentang Buku Cetak Biru Kebijakan Pemerintah tentang Telekomunikasi.
Pelaksanaan reformasi telekomunikasi sebagai bagian dari program reformasi nasional telah dilengkapi pula dengan terbitnya UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang telah berlaku efektif sejak September 2000.

Sasaran reformasi telekomunikasi sesuai Buku Cetak Biru dan UU Telekomunikasi adalah untuk meningkatkan kinerja sektor, melaksanakan transformasi struktur industri dari monopoli menjadi industri yang pro kompetisi, memfasilitasi pembukaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan, mendapatkan tambahan dana untuk pembangunan nasional melalui privatisasi, meningkatkan kerjasama dengan swasta lokal maupun asing, menyediakan dan memperbanyak akses publik terhadap jaringan telekomunikasi, serta meningkatkan transparansi dalam regulasi guna mengembalikan kepercayaan investor.

Dalam implementasinya, proses reformasi telekomunikasi mengalami berbagai perubahan yang sangat cepat seiring pesatnya perkembangan teknologi telematika yang merupakan konvergensi dari telekomunikasi, teknologi informasi, multimedia dan penyiaran. Dinamisnya sektor ini telah membawa pemerintah untuk melaksanakan terminasi dini hak-hak ekslusivitas pembangunan dan penyelenggaraan prasarana telekomunikasi yang telah diberikan kepada PT. Telkom dan PT. Indosat. Masih banyak perkembangan lain di industri telekomunikasi yang juga memerlukan beberapa perangkat peraturan pelaksana UU Telekomunikasi yang mampu menuntun kepada kompetisi, antara lain aturan interkoneksi, kewajiban pelayanan universal dan penentuan besarnya kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah akibat terminasi dini sendiri.
Pada kondisi yang sangat dinamis seperti ini, pelaksanaan reformasi telekomunikasi beralih kendali dari Departemen Perhubungan ke Kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Melalui Surat Keputusan Menko Perekonomian No Kep-03/M.EKON/01/2002 tertanggal 21 Januari 2002 telah dibentuk Tim Terpadu Restrukturisasi Sektor Telekomunikasi (TTRST) yang beranggotakan pejabat dari berbagai instansi terkait dan berperan untuk menentukan langkah dan pemilihan berbagai opsi restrukturisasi. Tim TRST ini mengatur banyak hal yang menjadi bagian restrukturisasi telekomunikasi, termasuk privatisasi Indosat.

Selanjutnya privatisasi Indosat memasuki tahap paling krusial disaat akan dijualnya sebahagian saham pemerintah. Dalam tahap ini, giliran Kantor Meneg BUMN yang mengambil alih peran utama dan melanjutkan kebijakan restrukturisasi. Kantor ini pulalah yang melaksanakan penjualan saham pemerintah di PT. Indosat dari awal proses divestasi hingga dipastikannya STT Singapore melalui Indonesia Communication Limited (ICL) menjadi pemenang tender penjualan saham tersebut. Tidak diketahui dengan pasti apakah dibentuk tim lintas sektor. Namun hasil kebijakan privatisasi Indosat telah menjadi pengetahuan umum dan hingga saat ini masih menjadi ajang pro dan kontra pendapat dari berbagai lapisan masyarakat. Walaupun ada pengamat ekonomi dari UI mendukung proses divestasi ini dengan alasan perbaikan mutu layanan, namun hampir sebagian besar masyarakat menentang terjualnya saham pemerintah Indonesia kepada pihak STT yang mayoritas sahamnya, ironisnya, juga dimiliki oleh pemerintah Singapura. Perbaikan mutu layanan diperkirakan sulit tercapai karena “Indosat baru” memang tidak melirik kompetisi pelayanan telepon tetap.

Lalu apa dan dimana sebenarnya masalahnya? Bukankan Departemen Perhubungan telah memulainya dengan Cetak Biru yang sudah bagus dan telah menggariskan reformasi telekomunikasi secara terarah? Kemudian dilanjutkan dengan Kantor Menko Perekonomian dengan Tim Restrukturisasi yang tidak kalah bergengsi. Terakhir, proses divestasi Indosat difinalisasi dari Kantor Meneg BUMN yang kelihatannya sarat dengan staf berpengalaman di bidang privatisasi dan transfer aset. Dimana salahnya sehingga akhir tahun 2002 yang seharusnya dinikmati masyarakat Indonesia secara khidmat untuk mengevaluasi dan menyusun berbagai kebijakan agar bisa segera keluar dari krisis ekonomi, menjadi akhir tahun yang “ribet” dengan masalah divestasi Indosat yang ketiga agreement nya (shareholders, share purchase dan escrow) ditandatangani tidak pada hari kerja yaitu Minggu, 15 Desember 2002?

Tidaklah terlalu sulit untuk mencari jawabannya. Semua pihak, Departemen Perhubungan, Kantor Menko Perekonomian dan Kantor Meneg BUMN, tentu saja berhak mengklaim bahwa mereka telah berkerja secara maksimal. Sementara keutuhan benang merah reformasi telekomunikasi adalah masalah lain, dan tidak menjadi prioritas asal target instansi masing-masing tercapai.

Ini memang kembali menjadi penomena di era reformasi. Koordinasi semakin menjadi barang langka, disamping jam terbang dalam jabatan birokrasi tidak terlalu dihiraukan. Khusus untuk divestasi Indosat, maka jika kita buka kembali berbagai berita diawal tahun 2001, akan terlihat bahwa PT. Telkom pernah menawarkan untuk membeli saham pemerintah yang ada di PT.Indosat. Hal ini bahkan telah disampaikan dalam beberapa pertemuan dengan komisi IV DPR (Kompas, 25/1/01). Tujuannya adalah menjadikan PT. Telkom sebagai “national champion” dalam industri telekomunikasi Indonesia sebagaimana halnya Korea Telecomm (KT) di Korea Selatan. Sasarannya jelas agar struktur kepemilikan berbagai perusahaan negara tetap dapat dipertahankan dari serbuan perusahaan asing. Tidak seperti kegagalan privatisasi di berbagai negara maju seperti Inggris yang mengalami Wimbledon Effect, yaitu masuknya dominasi asing dalam berbagai perusahaan penyedia jasa publik seperti kelistrikan dan air bersih pada kurun waktu 1979 hingga 1997. Persis sama dengan di dominasinya piala turnamen tenis Wimbledon yang paling bergengsi di dunia tersebut oleh pemain non Inggris (Kagami dan Tsuji, 1999). Bagaimana dan kemana hilangnya berbagai opsi restrukturisasi telekomunikasi seperti pilihan untuk membentuk “national champion” dan lain-lain? Tentulah sulit untuk mencari jawabannya, dan memang sudah terlambat.

Jadi jika diibaratkan dengan memilih suatu menu masakan seperti diuraikan diawal tulisan ini, maka jawabannya ada pada kegagalan kita secara konsisten dalam menyiapkan menu gurame kuah asam manis yang telah diputuskan untuk disajikan. Departemen Perhubungan telah menyediakan ikan gurame dan menentukan menunya, namun instansi berikut mengolah bumbunya bukan untuk kuah asam manis melainkan bumbu untuk sup ikan patin. Sedangkan pada tahap akhir, instansi yang berwenang memutuskan tidak berselera untuk menyajikan gurame kuah asam manis, tapi memperlakukannya sebagai ikan Louhan yang lebih berharga jika dijual hidup-hidup. Alhasil, menu gurame kuah asam manis yang dipilih dari awal hanya menyisakan “asemnya“ untuk rakyat Indonesia, gurame dan kuah manisnya dinikmati oleh Singapura. Ini jelas menjadi pekerjaan rumah pemerintahan baru di masa mendatang, karena divestasi Indosat hanyalah sebutir dari sekian banyak permasalahan dan tantangan di sektor telekomunikasi khususnya dan dalam pengelolaan BUMN pada umumnya.
________

*) Penulis adalah PNS biasa, tinggal di Sawangan-Depok

Friday, May 28, 2004

ELECTRONIC GOVERNMENT

ELECTRONIC GOVERNMENT

Oleh: Ir. Eddy Satriya, MA


Catatan: Telah diterbitkan di Majalah Triwulanan “Perencanaan Pembangunan” No. 30 Edisi Januari-Maret 2003

1. PENDAHULUAN

Perubahan tatanan ekonomi dunia yang dipicu kemajuan di bidang Information and Communication Technology (ICT) telah membawa perkembangan baru dalam struktur industri telematika di banyak negara. ICT dalam bahasa Indonesia ini dikenal juga dengan istilah telematika yang didefinisikan sebagai bentuk konvergensi teknologi informasi (IT), telekomunikasi, multimedia dan penyiaran. Gelombang deregulasi, liberalisasi dan privatisasi yang dimulai sejak era tahun 1980-an telah banyak mempengaruhi regulator dan para pengambil keputusan dalam menata industri telematika mereka. Beberapa negara di dunia termasuk anggota ASEAN telah mendeklarasikan visi, misi, rencana terpadu dan penataan kelembagaan serta regulasi sektor telematika mereka guna menyambut new economy. Indonesia saat ini juga sedang berbenah diri untuk menyambut dan mengambil manfaat dari sektor telematika.

Semakin diperlukannya peningkatan kualitas pelayanan publik telah menjadi pendorong utama rencana pelaksanaan electronic government (e-gov) sebagai salah satu aplikasi telematika di pemerintahan. Disamping itu, berbagai manfaat dan peluang ekonomi yang ditawarkan telematika, bangkitnya kesadaran berdemokrasi seperti tuntutan pelaksanaan otonomi daerah, komitmen pemerintah untuk mengakhiri praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta tuntutan yang semakin gencar agar dilaksanakannya good governance telah pula mempercepat dimulainya pelaksanaan e-gov.

Tulisan ini mencoba memaparkan beberapa prinsip dasar e-gov, manfaat dan tahapan pelaksanaan, tantangan dan kendala yang mungkin dihadapi, serta dukungan yang dapat diberikan pemerintah dalam mempercepat pengembangan e-gov dan langkah untuk memajukan telematika secara umum.

2. TELEMATIKA DAN E-GOVERNMENT DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN
Walaupun masih diperdebatkan untuk bisa disejajarkan dengan Revolusi Industri pada abad ke 17, kemajuan dibidang telematika ini telah memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi kehidupan manusia modern. Perkembangan telematika telah membuka berbagai bentuk tatanan ekonomi baru dan transformasi sosial dimana baik kelompok negara maju maupun negara berkembang dapat memanfaatkan potensi telematika. Peningkatan pembangunan infrastruktur, pembukaan pasar dan system perdagangan baru, hilangnya berbagai monopoli telekomunikasi, dan peningkatan sistem pendidikan untuk seluruh lapisan masyarakat merupakan beberapa perkembangan ekonomi yang cukup mendasar yang dapat diberikan oleh telematika.

Sejalan dengan timbulnya peluang dan tantangan memasuki era new economy, berbagai inovasi dan kemajuan sektor telematika telah meningkatkan kemampuan manusia secara sangat signifikan dalam hal mencari, mengumpulkan, menganalisa, menyimpan serta berbagi informasi. Telematika telah membantu menurunkan biaya untuk mengakses informasi, berkomunikasi dan melaksanakan berbagai kegiatan transportasi. Telematika, terutama melalui Internet, juga sangat berperan dalam mempermudah diseminasi ilmu pengetahuan dan hasil-hasil penelitian. Beberapa potensi dari telematika yang dapat digunakan untuk menunjang proses pembangunan termasuk memberikan kontribusi dalam pengurangan kemiskinan dapat diterangkan sebagai berikut .

Pertama, telematika dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat yang bisa terjadi melalui (a) proses peningkatan efisiensi ekonomi secara luas melalui pendayagunaan telematika pada seluruh sektor ekonomi dan (b) peningkatan produksi dari jenis komoditi ekspor baru yang proses produksinya telah menggunakan telematika.

Kedua, telematika dapat membantu petani dan para nelayan melalui penyediaan informasi pasar yang akurat dan aktual seperti informasi harga, informasi ramalan cuaca, informasi tentang panen, dan lain-lain yang dapat menekan biaya, meningkatkan penghasilan yang pada akhirnya memperbaiki tingkat pendapatan bersih mereka.

Selanjutnya telematika juga dapat digunakan untuk menyediakan pelatihan dan pendidikan berbagai bidang seperti petugas kesehatan, pertanian dan kerajinan rakyat di daerah pedalaman (rural) melalui cara belajar jarak jauh (distance learning) yang tentu sangat bermanfaat bagi penduduk di daerah perdesaan, pedalaman dan perbatasan karena meningkatkan keahlian dan pendidikan mereka.

Keempat, telematika dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan mutu berbagai jenis pelayanan kepada masyarakat. Telematika dapat membantu proses transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam suatu proses pembangunan, maupun memberdayakan berbagai lapisan masyarakat yang selama ini memiliki akses yang terbatas dalam menyampaikan aspirasinya.

Potensi telematika yang besar dalam konteks pembangunan suatu negara pada akhirnya dapat meningkatkan peranan e-gov dalam penyelenggaraan jasa publik untuk semua lapisan masyarakat secara lebih baik dan lebih murah. Namun demikian, sementara berbagai inovasi telematika dapat menyediakan berbagai peluang pembangunan, telematika juga dapat membawa negara-negara yang masih berkembang kepada suatu tantangan yang tidak kecil dan tidak mudah untuk dipecahkan. Disuatu sisi telematika menjanjikan berbagai potensi, disisi lain apabila suatu negara tertinggal cukup jauh dalam memanfaatkan potensi telematika, maka mereka juga berkemungkinan besar akan tertinggal lebih jauh lagi dalam mencapai pertumbuhan ekonomi dan pengurangan tingkat kemiskinan.
Tidak tertutup pula pemanfaatan telematika untuk hal-hal yang dapat menghancurkan kehidupan manusia sendiri. Internet telah digunakan sebagai media komunikasi yang aman dan ekslusif oleh sekelompok anggota sekte terlarang di California pada tahun 1997 yang akhirmya melaksanakan bunuh diri masal. Begitu pula halnya dengan peristiwa 9/11 di New York, peristiwa pengeboman di Bali yang tidak terlepas dari pemanfaatan berbagai media peralatan telekomunikasi canggih serta berbagai virus komputer yang disebarluaskan dan mengakibatkan cost yang tidak sedikit bagi negara, perusahaan maupun individu yang menjadi korban.

D e f i n i s i
E-gov didefinisikan sebagai upaya pemanfaatan dan pendayagunaan telematika untuk meningkatkan efisiensi dan cost-effective pemerintahan, memberikan berbagai jasa pelayanan kepada masyarakat secara lebih baik, menyediakan akses informasi kepada publik secara lebih luas, dan menjadikan penyelenggaraan pemerintahan lebih bertanggung jawab (accountable) serta transparan kepada masyarakat. Bank Dunia memberikan definsi “E-Government refers to the use of information and communications technologies to improve the efficiency, effectiveness, transparency and accountability of government .”

Manfaat e-gov
Beberapa manfaat e-gov adalah (1) menurunkan biaya administrasi; (2) meningkatkan kemampuan response terhadap berbagai permintaan dan pertanyaan tentang pelayanan publik baik dari sisi kecepatan maupun akurasi; (3) dapat menyediakan akses pelayanan untuk semua departemen atau LPND pada semua tingkatan; (4) memberikan asistensi kepada ekonomi lokal maupun secara nasional; (5) sebagai sarana untuk menyalurkan umpan balik secara bebas, tanpa perlu rasa takut. Berbagai manfaat tersebut pada akhirnya diharapkan akan dapat meningkatkan kemampuan kepemerintahan secara umum.

Prinsip Dasar
Dalam pemanfaatannya untuk pembangunan, diperlukan pemahaman bahwa e-gov (1) hanyalah alat; (2) mempunyai resiko terhadap integrasi data yang sudah ada; (3) bukanlah pengganti managemen publik dan kontrol internal pemerintahan; (4) masih diperdebatkan peranannya dalam hal mengurangi praktek KKN; (5) juga masih diragukan untuk dapat membantu mengurangi kemiskinan; dan (6) memerlukan kerjasama antar ICT profesional dan pemerintah.

Sebagai salah satu aplikasi telematika yang termasuk baru di bidang kepemerintahan, maka diperlukan waktu dan proses sosialisasi yang memadai agar para pelaku birokrasi dan masyarakat mampu memahami e-gov untuk kemudian mendayagunakan potensinya dan tidak terjebak kepada paradgima lama, project oriented activities.

Kelembagaan
Dalam konteks pembangunan nasional seperti tercantum dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), pengembangan e-gov yang merupakan bagian aplikasi pemerintah dari telematika dimasukkan kedalam kelompok sarana dan prasarana pembangunan bidang ekonomi. Dalam Bab IV: 63-69 Propenas khusus untuk sarana dan prasarana penunjang ekonomi disebutkan “Pembangunan fisik dan jasa pelayanan sarana dan prasarana meliputi transportasi, energi dan ketenagalistrikan, pengairan (irigasi, air bersih dan sanitasi lingkunan serta pos dan telekomunikasi-informatika.”
Dengan demikian pengembangan e-gov pada khususnya dan telematika pada umumnya telah diantisipasi dalam Propenas sebagai perwujudan dari GBHN. Propenas sebagai rencana jangka menengah diuraikan lagi dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) dan direalisasikan melalui pelaksanaan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).

3. KONDISI e-gov DI INDONESIA SAAT INI
Meskipun telematika menjanjikan berbagai peluang yang sangat potensial, dan berbagai negara di dunia telah memanfaatkannya untuk “memanen” devisa maupun menggerakkan roda ekonomi mereka secara lebih cepat, Indonesia masih tergolong “malu-malu” untuk mengambil manfaat dari telematika atau ICT ini. Hal ini tercermin baik dari masih rendahnya tingkat pembelanjaan telematika yang pada tahun 2000 baru mencapai 1,4% dari GDP total. Sementara itu Malaysia telah mencapai 5,2 %; Phillipines 2,71 %; Singapura 7,7 %; Vietnam 7,4 %; Thailand 2,13%; Amerika Serikat 8,87 %; dan Jepang 7,6 % (World Bank, 2001) . Begitu pula dengan belum padunya, pada tataran praktis, kewenangan lembaga pemerintahan yang menanganinya.

Secara umum kondisi e-gov saat ini di Indonesia masih dalam tahap pengenalan dan tahap awal (initial stage), walaupun beberapa instansi di tingkat pusat maupun daerah sudah ada yang memulai aplikasi e-gov baik untuk pelayanan sesama instansi pemerintah / government (G2G), kepada dunia bisnis (G2B, business), kepada masyarakat luas (G2C, citizen) ataupun untuk keperluan internal (G2E, employee). Upaya-upaya yang telah dan terus diadakan selama ini seperti donors meeting, kegiatan seminar, workshop, kelihatannya masih perlu ditingkatkan dan diintensifkan guna meletakkan proses penyusunan dan rencana pengembangan e-gov kepada jalur yang tepat.

Sejak didengungkannya konsep Nusantara 21 berbagai instansi yang lebih siap telah mulai memasukkan kegiatan telematika atau aplikasi di bidang e-gov ini kedalam program pembangunan institusi mereka dan mendapatkan pendanaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Saat ini banyak instansi pemerintah yang telah mempunyai berbagai sistem informasi, situs web dan fasilitas lain yang pada awalnya bertujuan untuk mendukung program-program pembangunan di lingkungan masing-masing dan guna mendukung kelancaran pelaksanaan tugas sehari-hari.

Instansi tersebut antara lain adalah Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Keuangan, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Biro Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan banyak lagi instansi lainnya termasuk tingkat provinsi ataupun kabupaten.

Hingga saat ini pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan baik menyangkut kelembagaan maupun untuk rencana pelaksanaan telematika. Pertama, telah dikeluarkan dua Keppres yaitu No. 30/1997 dan diperbaharui dengan Keppres No. 50/2000 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI). Kedua, Bappenas telah menyampaikan hasil kajian National IT Framework (NITF) yang disusun bersama Universitas Indonesia pada bulan Februari 2001 kepada TKTI. Selanjutnya pada bulan April 2001 telah diterbitkan pula Instruksi Presiden No.6 tentang Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di Indonesia. Kedua NITF dan Inpres No. 6 telah memuat rencana dan instruksi pengembangan e-gov. Keempat, guna tindak lanjut pelaksanaan Inpres No.6/2001, telah disusun Action Plans yang salah satu bagiannya mencakup rencana pelaksanaan e-gov. Terakhir, saat ini TKTI sedang mempersiapkan rencana induk pengembangan e-gov di Indonesia. Proses penyusunan rencana induk ini telah berusaha melibatkan hampir semua stakeholders yang terkait dan tinggal merealisasikannya.

4. TAHAPAN, TANTANGAN DAN KENDALA
Disamping menawarkan berbagai peluang seperti telah diuraikan sebelumnya, sebagai salah satu kegiatan baru dalam program pembangunan nasional yang masih membutuhkan pemahaman dari penyelenggara negara (birokrasi), pengembangan e-gov ini juga menghadapi tantangan dan kendala. Namun guna memahami berbagai tantangan dan kendala tersebut, terlebih dahulu akan diuraikan tahapan pelaksanaan e-gov.

Tahapan Pelaksanaan e-gov
Beberapa negara maju maupun yang sedang berkembang, melaksanakan pengembangan e-gov sesuai dengan karakteristik negara masing-masing. Jarang ditemukan negara-negara tersebut melaksanakan tahapan yang sama. Ada negara yang mendahulukan perdagangan (custom) dan e-procurement, ada negara yang memprioritaskan pelayanan pendidikan, ada yang mendahulukan sektor kesehatan, dan ada pula yang mengutamakan kerjasama regional.

Namun demikian dari berbagai langkah dan strategi yang dilaksanakan oleh negara-negara tersebut, secara umum tahapan pelaksanaan e-gov yang biasanya dipilih adalah (1) Membangun sistem e-mail dan jaringan; (2) Meningkatkan kemampuan organisasi dan publik dalam mengakses informasi; (3) Menciptakan komunikasi dua arah antar pemerintah dan masyarakat; (4) Memulai pertukaran value antar pemerintah dan masyarakat; dan (5) Menyiapkan portal yang informatif.

Membangun sistem e-mail dan jaringan biasanya dapat dimulai dengan menginstalasi suatu aplikasi untuk mendukung fungsi administrasi dasar seperti sistem penggajian dan data kepegawaian. Meningkatkan kemampuan organisasi dan publik dalam mengakses informasi bisa dimulai dengan pengaturan workflow yang meliputi file, image, dokumen dan lain-lain dari satu works station ke work station lainnya dengan menggunakan managemen bisnis untuk melaksanakan proses pengkajian, otorisasi¸ data entry, data editing, dan mekanisme pedelegasian dan pelaksanaan tugas.

Sementara itu menciptakan komunikasi dua arah bisa dilaksanakan dengan menginformasikan satu atau lebih email address, nomor telepon dan facsimile pada website untuk meningkatkan minat dan kesempatan masyarakat dalam menggunakan pelayanan dan memberikan umpan balik. Pertukaran value antar pemerintah dan masyarakat memang harus dimulai secepatnya karena telematika sangat mendukung pelaksanaan pembangunan dan proses interaksi bisnis secara lebih flexible dan nyaman dimana dimungkinkan terjadinya proses pertukaran value atau tata nilai dan informasi dengan pihak pemerintah. Pertukaran value yang dimaksud bukan hanya tata nilai dan budaya, tapi juga secara nyata memulai terjadinya transaksi elektronis, seperti transfer dana antar rekening bank melalui ATM dan Internet sebagai bagian proses pelayanan publik.
Menyiapkan sebuah portal sebagai ujung tombak pelaksanaan e-gov diperlukan untuk mengintegrasikan informasi dan jenis pelayanan dari berbagai organisasi pemerintah sehingga dapat membantu masyarakat dan stakeholder lainnya dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Portal ini sebisa mungkin haruslah dapat membimbing segenap lapisan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam menjelajah dunia informasi baik ditingkat pusat, provinsi ataupun Kabupaten / Kota. Portal yang baik biasanya menambahkan links kepada website lainnya dalam menyempurnakan pelayanan kepada masyarakat, menyediakan box untuk keluhan dan umpan balik, dan tentu saja juga di update secara berkala.

Beberapa konsep e-gov di berbagai negara telah memasukkan tahapan demokrasi digital yang memungkinkan partisipasi masyarakat dilaksanakan melalui perangkat telematika seperti pemilihan wakil rakyat, pemilihan gubernur dan presiden serta sistem penghitungan suara. Namun untuk Indonesia demokrasi digital belumlah terlalu mendesak untuk dilaksanakan dalam jangka pendek maupun menengah. Karena hal ini membutuhkan waktu dan proses sosialisasi yang cukup lama untuk meyakinkan penduduk memberikan suaranya melalui sebuah mesin, betapapun canggihnya. Pelaksanaannya di beberapa negara maju sekalipun termasuk di Amerika Serikat sendiri, banyak mengalami hambatan dan kegagalan. Ingat plesetan semboyan negara bagian Florida setelah ricuhnya proses penghitungan komputer hasil pemilihan suara untuk menentukan presiden Amerika Serikat tahun 2000 yang lalu, “Welcome to Flori-duh, land of changing chads, butterfly ballots and undervotes!” . Begitu pula jika mempertimbangkan eforia politik dan “pesta” demokrasi yang masih sangat kental dan dalam tahap sangat awal. Semua rakyat dapat menyaksikan melalui pesawat televisi bagaimana wakil-wakilnya melaksanakan proses voting pemberian suara untuk Presiden dan Wakil Presiden. Walaupun telah disediakan alat, tapi karena faktor kepercaayaan dan kesiapan, proses voting tetap dilakukan dengan cara manual dan tradisional.

T a n t a n g a n
Dari berbagai tahapan pelaksanaan e-gov tersebut di atas, sudah banyak instansi di Indonesia termasuk swasta dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah, serta Badan Hukum Milik Negara yang telah memulai tahapan-tahapn itu, bahkan ada yang telah sampai kepada tahapan terakhir. Namun tidak sedikit pula yang melakukan “lompatan” ke tahap akhir tanpa mengoptimalkan terlbih dahulu tahapan-tahapan sebelumnya. Diperkirakan pelaksanaan e-gov di kemudian hari masih akan mengalami tantangan yang meliputi: (1) Bagaimana meningkatkan awareness terhadap potensi telematika secara umum, dan potensi e-gov secara lebih khusus; (2) Bagaimana memprioritaskan e-gov dan mendiseminasikannya untuk bangsa yang kebetulan saat ini sedang mengalami banyak permasalahan lain yang rumit dan bahkan pada bagian tertentu jauh lebih kompleks; (3) Juga bagaimana menciptakan kesadaran di lingkungan birokrasi pemerintah baik pusat dan daerah agar “rela” melaksanakan shifting the paradigm; (4) Bagaimana membangun kepercayaan publik terhadap dapatnya terselenggara suatu proses transaksi yang aman melalui telematika; (5) Bagaimana memfokuskan, memilih dan menetapkan aplikasi prioritas secara nasional baik secara sektoral maupun regional; dan (6) Bagaimana menjaga kesinambungan updating informasi serta menyempurnakan secara berkala sistem e-gov yang telah dibangun dan dioperasikan.

K e n d a l a
Disamping peluang, pelaksanaan e-gov masih terkendala oleh beberapa hal dasar, antara lain: (1) Krisis ekonomi nasional yang masih belum memperlihatkan tanda-tanda membaik; (2) Belum tersedianya sarana dan prasarana telematika yang memadai (lihat Kotak 1); (3) Terbatasnya kemampuan pendanaan pemerintah dan relatif mahalnya biaya investasi awal; (4) Belum berjalannya reformasi sektor telematika khususnya telekomunikasi sebagaimana yang diharapkan; (5) Masih belum adanya suatu departemen teknis yang ditugasi secara utuh mengelola sektor telematika sementara TKTI masih belum bisa berperan optimal; (6) Koordinasi yang tidak mudah diwujudkan antar lembaga yang kebetulan saat ini secara parsial mempunyai tanggung jawab mengembangkan telematika; dan (7) masih belum menentunya struktur tarif yang ada saat ini.

5. DUKUNGAN DAN PERAN PEMERINTAH
Memeperhatikan berbagai tantangan dan kendala yang dihadapi dalam rangka mewujudkan pembangunan e-gov, disamping kinerja yang telah dicapai selama ini oleh pemerintah, masyarakat dan pihak swasta dibidang telematika, masih ada beberapa hal yang dapat diupayakan oleh pemerintah. Menyiapkan pendanaan baik berupa RAPBN (melalui rupiah murni dan bantuan luar negeri) dan RAPBD serta alokasi lain adalah langkah pertama yang dapat dilaksanakan pemerintah. Penggunaan anggaran tentulah harus selektif kepada daerah atau instansi dan program yang memang telah siap melaksanakan e-gov.

Kedua adalah dukungan atau lebih tepatnya kewajiban pemerintah dalam menyiapkan perangkat regulasi yang transparan, adil, predictable dan mampu menciptakan iklim dunia usaha yang kondusif. Banyak kasus membuktikan bahwa beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan oleh regulator terkesan plin plan, kurang mengikuti trend teknologi dan sering tertinggal dari kemajuan yang ada di masyarakat, kurang dikoordinasikan dengan instansi terkait lainnya dan peraturan yang sudah ada, serta kurang transparan. Selanjutnya, pemerintah tentu saja dapat mempercepat pelaksanaan e-gov dengan bersungguh-sungguh memecahkan permasalahan yang dihadapi saat ini dalam penambahan kapasitas dan mutu infrastruktur telekomunikasi. Dengan kata lain, reformasi sektor telekomunikasi harus dilanjutkan secara serius sehingga bisa menciptakan kompetisi yang sehat antar operator yang pada akhirnya disamping bertambahnya kapasitas juga akan menurunkan tarif dan biaya yang harus ditanggung konsumen.

Pemerintah juga dapat memberikan dukungan sesuai tahapan pelaksanaan e-gov. Sebagai contoh adalah (1) Memulai dan melanjutkan secara bertahap pembangunan fasilitas email dan jaringan di segenap instansi pemerintah; (2) Memperbaiki dan menyesuaikan struktur atau bahagian organisasi berdasarkan jasa atau jenis pelayanan yang diberikan kepada publik sehingga dapat diintegrasikan dengan sistem informasi dan jaringan yang sedang dibangun. (3) Memulai pengembangan web site untuk setiap instansi (telah banyak dilakukan saat ini) dan membuat public data bank agar dapat di -share antar instansi; (4) Mereformasi sektor publik dan mendorong inovasi di sektor perbankan sehingga pertukaran “value” dan transaksi bisa berlangsung; (5) Melakukan pelatihan, kontes dan lomba pengembangan web site dan sistem pelayanan publik secara berkala.

Memperhatikan menurunnya perekonomian global, besarnya pasar dalam negeri serta belum jenuhnya pengembangan telematika nasional, kiranya pemerintah dapat pula terus memperluas kerjasama asing, baik regional, bilateral, maupun multilateral dengan negara lain. Namun tentu saja dengan tujuan utama untuk meningkatkan pembangunan telematika nasional, khususnya e-gov, yang memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi perusahaan dalam negeri.

Memperbanyak titik-titik akses prasarana telematika bagi masyarakat di daerah terpencil dan tertinggal serta memberikan insentif bagi pengusaha yang dapat mendukung pelaksanaan e-gov di daerah juga merupakan langkah yang dapat difasilitasi pemerintah. Tidak kalah pentingnya, pemerintah secara bertahap juga sudah bisa memulai pembenahan dan penyesuaian kurikulum dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, sehingga bisa mengakomodasi penyiapan lulusan yang tidak lagi “gagap” teknologi telematika. Upaya lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah secara bertahap menyusun standard penggunaan field dalam sistem data base nasional seperti ID card, data lokasi (provinsi, kota, kabupaten, kecamatan dan seterusnya) dan data lainnya yang memang diperlukan untuk sharing.

Di samping berbagai upaya yang dapat dilaksanakan pemerintah, maka sebagai suatu sektor yang termasuk “modern”, pelaksanaan e-gov tidaklah dapat dilepaskan dari partisipasi masyarakat dan pihak swasta. Hal ini sudah merupakan salah satu prinsip dasar pelaksanaan e-gov. Berbagai kemajuan terutama di daerah seperti di Takalar, Kutai Timur dan Bali tidaklah bisa dilepaskan dari partisipasi yang pantang menyerah ICT professional baik yang ada di masyarakat, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Hukum Milik Negara.

6. PENUTUP
Memperhatikan perkembangan e-gov di Indonesia saat ini dan juga beberapa hasil diskusi, seminar, dan lokakarya yang pernah diselenggarakan berbagai institusi pemerintah dan swasta, serta juga memperhatikan aspirasi para ICT Professional yang sudah tidak sabar menunggu realisasi e-gov di Indonesia, maka disamping terus memberikan dukungan, pemerintah sebaiknya segera menetapkan beberapa program prioritas aplikasi e-gov yang paling siap dilaksanakan baik di tingkat pusat maupun di daerah. Tentu saja start small dan sederhana.

Masih minimnya kapasitas prasarana dan penyebaran yang tidak merata serta adanya berbagai kendala janganlah sampai membuat kita pesismis. Inovasi dalam pengembangan e-gov sangatlah diperlukan. Karena itu keberadaan fasilitas sistem telekomunikasi bergerak kiranya juga bisa dimanfaatkan tanpa harus terpaku kepada fixed telepon yang memang stagnan pembangunannya .
Diharapkan dengan langkah-langkah nyata tersebut, e-gov tidak hanya terdengar gaungnya dari seminar ke seminar, tapi benar-benar terasa gaungnya melalui peningkatan mutu dan efisiensi pelayanan kepada masyarakat luas secara lebih nyata dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam pengurusan KTP, Akte Kelahiran, IMB, sertifikat tanah, pembayaran berbagai jenis pajak dan pengurusan surat-surat kendaraan bermotor. Selayaknya rakyat di daerah lain juga mulai bisa memperoleh perbaikan pelayanan publik seperti yang dinikmati oleh saudaranya di Kabupaten Takalar dan Kutai Timur.
_______


Referensi dan Catatan Akhir

Divestasi Indosat: Pelajaran atau Musibah?

Oleh: Eddy Satriya *)


Telah di terbitkan pada Harian Umum Suara Karya tanggal 21 Februari 2003 hal V


Seperti sudah diperkiraan banyak orang, gonjang ganjing divestasi 41,94 % saham atau 434,25 juta lembar saham pemerintah di PT. Indosat Tbk dengan nilai Rp 5,62 triliun pada akhir tahun 2002 lalu secara perlahan mulai tenggelam di tengah hiruk pikuk berbagai persoalan bangsa lainnya. Protes dan ketidakpuasan dari berbagai lapisan masyarakat yang ditujukan kepada jajaran Menteri Negara BUMN telah dijawab dengan sikap tegar diiringi alasan yang meyakinkan ala Laksamana Sukardi selaku Menteri Negara yang mengurusi sekitar 160-an BUMN di republik ini.

Namun ribut-ribut divestasi Indosat ini diperkirakan akan segera menghangat kembali setelah dimulainya proses pemanggilan dan pemeriksaan terhadap pihak-pihak terkait dalam kasus pencemaran nama baik Laksamana Sukardi, juga pemeriksaan atas Dirut Indosat sehubungan dengan pengaduan dugaan tindakan pidana penyelewengan penjualan saham oleh Indonesian Telecommunication Watch (ITW). Bahkan mantan Presiden Gus Dur kembali “menghangatkan” suasana dengan pernyataan bahwa Indosat ternyata dijual ke Israel (Pembaruan,25/1/03). Sementara itu Serikat Pekerja (SP) Indosat di berbagai daerah masih tetap mengancam akan terus melaksanakan berbagai aksi sampai tuntutan mereka yaitu pembatalan transaksi saham Indosat dikabulkan.

Memperhatikan perkembangan terkini, rasanya peluang untuk membatalkan transaksi saham tersebut tidaklah terlalu besar, karena tentu saja akan berurusan dengan badan arbitrase internasional yang diperkirakan akan memakan waktu lama serta menghabiskan dana yang tidak sedikit pula.

Setelah proses divestasi terlaksana, lalu pelajaran apa yang dapat ditarik oleh bangsa Indonesia terutama sektor telekomunikasi untuk masa yang akan datang? Nyaris tidak banyak pelajaran dan hikmah, sebaiknya kita sebut saja sanksi atau musibah. Pertama, rakyat Indonesia dipastikan akan semakin lama memperoleh tambahan sambungan telepon tetap dalam jumlah yang memadai. Bukan hanya untuk daerah industri dan berbagai kota besar yang telah lama menunggu, tetapi juga bagi masyarakat yang berada di daerah perdesaan, perbatasan, kawasan terpencil dan daerah yang tidak quick yielding. Dengan masuknya Singapore Technologies Telemedia (STT) yang tidak “melirik” bisnis telepon tetap, PT. Indosat telah ber-reinkarnasi menjadi perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang sekaligus menggugurkan keharusannya sebagai agent of development seperti disaat menyandang status BUMN. Berkurangnya pembangunan sambungan telepon tetap, berarti juga mengurangi investasi dan aktivitas ekonomi di sektor terkait seperti penyediaan kabel telepon, pembangunan gedung dan sarana penunjang, penambahan kapasitas transmisi, pekerjaan konstruksi menara, jasa konsultan dan pengawas, serta penyerapan tenaga kerja kasar untuk galian maupun penarikan kabel telepon yang padat karya.

Kedua, tertundanya proses kompetisi dalam penyediaan dan pelayanan jasa telepon tetap. Hal ini tentu tidak bisa dielakkan, sebab pada tataran praktis PT. Telkom untuk sementara waktu kembali memonopoli penyelenggaraan jasa telepon tetap. Karena monopoli tidak pernah ingkar janji, maka masyarakat diperkirakan masih harus membayar tarif jasa telekomunikasi dengan harga yang relatif tinggi dibandingkan dengan kemampuan dan daya beli masyarakat saat ini.

Selanjutnya, dikhawatirkan akan terjadi peristiwa “KSO babak II”. Perbedaan budaya antara pegawai Indosat dengan personil baru dari STT tentu berpotensi terhadap terjadinya benturan budaya kerja. Kecemburuan dari pegawai atau pimpinan lama terhadap berbagai hal tentulah tidak mudah untuk diabaikan begitu saja. Di sisi lain, wajar pula jika pihak STT melalui tambahan beberapa pos direksi baru berupaya mengamankan investasi mereka dengan menempatkan orang-orangnya. Sebagai sebuah perusahaan yang bertaraf internasional, maka personil yang ditempatkan bisa saja berasal dari berbagai kebangsaan. Celakanya, dari pengalaman KSO (Kerja Sama Operasi) antara PT. Telkom dan mitranya diketahui bahwa para pekerja asing tidak selalu lebih baik dibanding pekerja lokal.

Keempat, maraknya gelombang demonstrasi, pemogokan dan berbagai bentuk ancaman lainnya dari pegawai yang tergabung dalam SP Indosat tentu juga akan merugikan ekonomi nasional. Berbagai buku teks Labor Economics telah mengajarkan bahwa dalam suatu aksi pemogokan atau strike, selain pengguna jasa yang setia maka kedua pihak yakni pekerja dan pemilik perusahaan juga akan mengalami kerugian. Disamping itu, aksi jalanan dan demonstrasi biasanya sangat sensitif dan mudah direkayasa menjadi berbagai varian yang dapat memperkeruh suasana dan menghambat proses reformasi nasional.

Terakhir, dengan berubahnya status Indosat menjadi PMA tentu saja mempengaruhi posisi PT. Telkom, sebagai satu-satunya penyelenggara telekomunikasi milik pemerintah, dalam menjalankan fungsi agent of development. PT. Telkom semakin mempunyai alasan yang kuat untuk melepaskan diri dari Universal Service Obligation (USO), yaitu kewajiban menyediakan pelayanan universal. Akibatnya pemerintah harus melaksanakan pembangunan prasarana telekomunikasi di daerah USO dengan menggunakan RAPBN, RAPBD dan dana lainnya dengan dalih telekomunikasi perdesaan yang sebenarnya tidak selalu identik dengan USO. Sedangkan RAPBN, khususnya komponen rupiah murni saat ini sangat dibutuhkan oleh berbagai sektor sosial ekonomi lainnya seperti pendidikan dan kesehatan untuk membantu rakyat kecil agar cepat terbebas dari himpitan krisis ekonomi yang semakin berat.
***

Tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi dampak divestasi ini? Ada beberapa langkah yang harus segera diambil. Pertama, secara transparan pemerintah hendaklah menegaskan kembali kewajiban PT. Telkom dan PT. Indosat untuk membangun dan meningkatkan kapasitas telepon tetap. Dari berbagai media masa diketahui beredar banyak versi kewajiban untuk membangun telepon tetap, baik oleh Telkom maupun Indosat. Dalam rapat kerja Masyarakat Telematika (Mastel) pada bulan Februari 2002 yang lalu di Jakarta, Menteri Perhubungan secara resmi telah mentargetkan pembangunan telepon tetap sebesar 4 juta satuan sambungan (s.s.) hingga tahun 2005. Sebanyak 1,9 juta s.s. diwajibkan kepada Telkom, 1,6 juta s.s. kepada Indosat dan sisanya oleh operator lain yang belum ditetapkan hingga kini. Angka-angka tersebut kelihatannya telah mengalami perubahan, namun tidak jelas aturan perubahannya dan berapa kewajiban akhir masing-masing pihak untuk membangun sampai tahun tertentu. Diharapkan dengan ditetapkannya target, pelaksana, dan skema pembangunan, maka penetrasi telepon tetap dapat ditingkatkan secara lebih cepat.

Kedua, mengundang secepat mungkin kompetitor baru yang independen terhadap Telkom dan Indosat dalam penyediaan dan penyelenggaraan jasa telekomunikasi tetap. Hal ini dirasakan sangat mendesak untuk menciptakan kompetisi yang sehat dan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Undang-Undang No. 36/1999 tentang Telekomunikasi telah mendorong kearah kompetisi. Namun setelah berlaku efektif selama 2 tahun lebih, kompetisi jasa telepon tetap masih merupakan mimpi dan terasa semu. Pelayanan jasa telekomunikasi terasa semakin memburuk. Aturan interkoneksi yang sangat dibutuhkan pelaku bisnis masih belum tuntas. Telepon darurat seperti untuk keamanan (110), ambulan (118), kebakaran (113), dan PLN (123) jika diakses dari sistem telekomunikasi bergerak (STB) akan tulalit. Begitu pula beberapa nomor toll free (0 800). Expatriat asing banyak mengeluhkan buruknya layanan telekomunikasi yang berbuntut kepada biaya tinggi. Hal-hal tersebut di atas hanyalah beberapa contoh kasus yang sering diabaikan oleh operator maupun regulator. Kompetisi secara alamiah akan menguntungkan pelanggan, sebagaimana telah dicontohkan dalam bisnis STB dan angkutan udara.

Langkah berikutnya adalah memulai sosialisasi akan terjadinya interaksi berbagai budaya kerja dalam Indosat yang sekarang kembali menjadi perusahaan multinasional di Indonesia. Langkah ini cukup penting dan tidaklah dapat dianggap sepele mengingat sumber daya manusia (SDM) Indosat selama ini lebih banyak berkerja untuk menghasilkan keuntungan bagi perusahaan serta menjadi manager atau direktur diberbagai anak perusahaannya. Pengamatan saya menunjukkan bahwa SDM Indosat agak tertinggal dalam jenjang pendidikan tingkat Strata-2 (S-2) dan S-3, terutama lulusan universitas berkualitas di luar negeri. Indosat termasuk BUMN besar yang minim menyekolahkan karyawannya ke luar negeri.

Keempat, sebaiknya pemerintah dan pimpinan Indosat sesegera mungkin mengadakan pendekatan yang simpatik kepada karyawan pendemo untuk mencari cara-cara yang elegan guna menampung aspirasi karyawan. Komunikasi sangat diperlukan dalam kondisi seperti sekarang ini. Alangkah baiknya jika manajemen Indosat mengintensifkan diskusi dengan karyawan, lalu mensosialisasikan rencana jangka menengah dan jangka panjang perusahaan.

Terakhir, Departemen Perhubungan sebaiknya terus melaksanakan kajian yang mendalam sebelum mengeluarkan Keputusan Menteri atau Peraturan Pemerintah tentang USO. Kiranya harus dikaji secara seksama siapa sebaiknya yang membiayai USO; apakah pemerintah, operator melalui penjualan izin operasi atau pelanggan melalui pengenaan pajak tertentu atas jenis jasa yang digunakannya. Efisiensi hendaklah menjadi faktor pertimbangan yang utama. Perlu juga dikaji mekanisme pengoperasian dan pemeliharaan USO jika harus ditunjuk suatu badan usaha. Alangkah baiknya jika Dephub juga bisa memulai secara transparan menginformasikan sudah berapa banyak dana USO yang terkumpul hingga saat ini, jika ada, dan bagaimana pengelolaannya.
***

Meskipun telah cukup banyak sanksi dan musibah bagi rakyat Indonesia dengan adanya kasus divestasi Indosat ini, tentu sebaiknya kita juga memperhatikan beberapa pelajaran yang sangat berguna. “Alam takambang” sebaiknya memang dijadikan guru. Pertama, menjadi hal yang mendesak kiranya untuk menetapkan suatu grand scenario pembinaan dan arah yang ingin dituju dalam
pengelolaan BUMN kita.

Kedua, adalah penting memperhatikan kesiapan masyarakat untuk menerima suatu hal yang baru baik hal teknis maupun praktek bisnis. Kasus Special Purchase Vehicle (SPV) yang banyak diributkan orang adalah contoh kurangnya sosialisasi dan transparansi bagi masyarakat. Selanjutnya, dalam kemampuan keuangan yang terbatas, tentu saja pilihan buy back atau buy out seperti yang dilakukan PT. Telkom terhadap beberapa mitranya sebaiknya dihindari.

Terakhir, sebaiknya kita tetap optimis karena dari berbagai pembahasan baik melalui seminar, opini maupun talk show diketahui bahwa Indonesia ternyata memiliki banyak ahli telekomunikasi dan mempunyai berbagai lembaga dengan analisis canggih dari berbagai sudut pandang. Walaupun terkadang terasa membingungkan.
________
*) Mantan Konsultan PT.Telkom Periode Pelita IV, sekarang berkerja di Bappenas.

Dosen, Peneliti dan Birokrat

Oleh: Eddy Satriya *)

Telah diterbitkan pada Harian Sore Sinar Harapan tanggal 11 Januari 2003
Dapat di download di koran Sinar Harapan 11 Januari 2003.
atau dilihat di website saya.

Menarik sekali menyimak pernyataan Rektor Universitas Indonesia (UI) Usman Chatib Warsa tentang minimnya kehadiran dosen utama dalam program kuliah Strata Satu (S-1) di universitas terkemuka tersebut. Dosen utama yang dimaksudkan adalah dosen berpengalaman yang memiliki tambahan gelar akademik S-2 dan S-3, termasuk para guru besar. Sang Rektor menyatakan bahwa masalah ekonomi yaitu kurangnya gaji yang diterima dosen dari pemerintah merupakan penyebab utama, di samping masih belum seimbangnya rasio dosen dan mahasiswa. Kekurangan gaji akhirnya ditutupi dengan mengajar atau bahkan juga terlibat dalam pelaksanaan proyek di berbagai perguruan tinggi lain. Padatnya jadwal tambahan mengakibatkan dosen bersangkutan mengalami kesulitan dalam membagi waktunya untuk mahasiswa UI sendiri (Media Indonesia, 10/12/02, hal 25).

Walaupun minimnya kehadiran dosen utama tidak terjadi pada seluruh fakultas, pengakuan jujur oleh rektor yang baru terpilih ini tentu saja mencuatkan keprihatinan yang mendalam bagi kita semua. Keprihatinan yang patut dan wajar, karena kondisi ini ternyata masih saja berlangsung disaat berbagai krisis masih bercokol di bumi Indonesia. Sementara era globalisasi dan perubahan tatanan ekonomi baru dunia dewasa ini semakin menuntut sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang berdaya saing tinggi.

Bagi sebagian rakyat Indonesia yang pernah beruntung mendapat kesempatan sekolah ataupun menjalani pelatihan di luar negeri, terutama di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), tentulah dapat merasakan perbedaan dosen disana dengan dosen di tanah air dalam menjalankan tugasnya. Mereka memang lebih mampu membagi waktunya untuk tugas mengajar, menghadiri konferensi, tugas administrasi, tugas penelitian serta tugas-tugas lain di negara bagian dimana universitas tersebut berada. Sudah menjadi kebiasaan dosen di AS untuk memampangkan sebuah board yang berisikan informasi tentang telepon dan e-mail dosen bersangkutan guna kemudahan komunikasi serta informasi jam kerja atau office hour di pintu kamarnya. Jam kerja tersebut tidak saja memuat jadwal kuliah dan praktikum untuk semester berjalan, tetapi juga memuat slot waktunya yang disediakan untuk mahasiswanya. Di atas segalanya, jadwal atau janji yang sudah disepakati biasanya ditepati sang dosen dengan kehadiran kadang-kadang di atas 100 per sen. Jika sang dosen berhalangan, biasanya ia akan berusaha memberitahukan jauh-jauh hari. Tidak jarang mahasiswa menerima telepon bernada minta maaf dari seorang dosen, yang karena berhalangan mendadak terpaksa harus membatalkan janji. Saya pribadi pernah mengalami hal tersebut.

Membicarakan perbedaan antara dosen di AS dengan koleganya di Indonesia pada saat-saat sekarang ini untuk sebagian orang mungkin tidak relevan, tidak populer atau bisa dianggap mengada-ada. Namun pengakuan jujur dari rektor baru UI itu dalam upaya memajukan universitasnya dan mewujudkan misi akademiknya di era otonomi kampus, tentu saja merupakan suatu moment yang sangat penting dan perlu ditindaklanjuti. Ada beberapa alasan untuk itu.
Pertama, permasalahan mangkirnya dosen utama dari tugasnya jarang ditindaklanjuti secara nyata. Kasus ini bukanlah masalah UI semata, tapi juga terjadi di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka. Dengan menyebutkan alasan ekonomi, secara implisit Rektor UI telah mengakui terjadinya penyalahgunaan waktu oleh oknum dosen utama atau dosen senior untuk menutupi kekurangan gajinya. Jika tidak ditangani secara serius dan bertahap tentulah hal ini akan dapat menghambat program reformasi di perguruan tinggi. Kedua, dosen senior dengan jam terbang tinggi biasanya mahir menyampaikan informasi yang sangat dibutuhkan untuk membuka wawasan mahasiswa yang kadang-kadang menjadi lebih penting ketimbang bahan kuliah semata. Seorang teman dekat saya yang lulusan Planologi ITB, pernah menyatakan kekagumannya kepada salah seorang profesornya. Sedikit berlebihan, ia berkomentar bahwa dengan sekali saja menghadiri kuliah sang profesor tersebut, ia merasa sudah mendapatkan pengetahuan luas yang bisa merangkum berbagai bahan kuliah yang diperoleh selama dua sampai tiga tahun di ITB. Pengalaman saya menjadi dosen tamu di UI dan beberapa PTS di Jakarta menunjukkan bahwa mahasiswa kita memang sebaiknya dibekali dengan berbagai perkembangan aktual yang terjadi di masyarakat dan dunia usaha. Juga, sudah selayaknya universitas memberikan perkuliahan yang berkualitas dan tertib administrasi, mengingat mahasiswa di era reformasi ini membayar biaya pendidikan relatif lebih mahal dibandingkan zaman orde baru. Terlebih lagi berbagai insentif, fasilitas dan tunjangan untuk mahasiswa seperti bea siswa, keringanan biaya kuliah (SPP), asrama yang bersubsidi, tunjangan percepatan kelulusan dan kredit mahasiswa (KMI) sudah semakin berkurang. Fasilitas tertentu malah telah dihilangkan karena alasan yang kadang-kadang tidak masuk akal. Terakhir, proses seleksi mahasiswa baru khususnya untuk program S-1 yang konsisten dilaksanakan sejak tahun 1970-an melalui SKALU, PP I, Sipenmaru dan lain-lain, harus diakui telah mampu manjaring calon-calon mahasiswa terbaik di republik ini. Alangkah sia-sianya jika bibit yang bagus tertanam di tanah yang gersang.
****

Sebenarnya disamping alasan untuk mencukupi kekurangan gaji dan belum optimalnya rasio dosen-mahasiswa, tentu masih ada beberapa alasan lain yang menjadi penyebab mangkirnya oknum dosen senior dari ruang kuliah. Salah satunya adalah menjadi birokrat pada waktu yang bersamaan. Tatkala sudah memasuki zona birokrasi di negeri yang berperingkat “sangat meyakinkan” dalam hal korupsi, maka masalah ini tentu menjadi semakin serius dan memprihatinkan.

Sayangnya kondisi ini terlupakan seiring hiruk pikuk berbagai persoalan bangsa terutama sejak memasuki era reformasi dan sejak dimulainya tahap inisiasi pelaksanaan otonomi daerah. Padahal mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) secara gamblang sudah mengingatkan bahwa “Banyak Profesor dan Doktor Menjadi Maling” yang pernah dijadikan headline oleh koran sore Terbit pada bulan Juni 2000.

Jika dilihat kembali kemasa awal orde baru berkuasa, memang banyak dosen utama yang diminta membantu pelaksanaan tugas pemerintah. Hal ini bisa dipahami karena pada masa itu jumlah SDM dengan kemampuan akademik dan intelektual yang memadai memang masih terbatas. Ada nama-nama besar seperti Sumitro Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, Sumarlin dan Emil Salim yang pernah menduduki berbagai jabatan penting terutama di bidang ekonomi seperti Menteri Keuangan, Kepala Bappenas dan Menko Ekuin. Namun jika diamati lebih seksama dimasa-masa akhir berkuasanya Presiden Suharto, jumlah dosen, termasuk yang belum senior, yang menduduki jabatan di birokrasi pemerintah masih relatif besar. Para dosen ini bukan saja menduduki jabatan politis menjadi pejabat negara seperti Menteri, Gubernur, dan pimpinan di berbagai Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) tetapi juga menduduki jabatan-jabatan struktural yang seyogyanya diperuntukan bagi pejabat karir. Jumlah ini hanya mungkin dapat disaingi oleh aparat militer yang berdwifungsi dan menduduki jabatan serupa di birokrasi. Ironisnya hal ini terus berlangsung sampai sekarang, malah semakin menjadi-jadi seiring dengan banyaknya tambahan Departemen dan LPND baru. Sementara TNI, disisi lain, sudah mulai mereposisi diri.
Tentu wajar saja kalau timbul pertanyaan. Apakah SDM di Departemen dan LPND saat ini memang tidak berkualitas dan sama kondisinya dengan 30 tahun lalu? Atau bahkan lebih buruk? Sehingga Presiden Megawati pernah menyebut birokrasinya sebagai birokrasi “keranjang sampah”. Patut kiranya menjadi pengetahuan kita bahwa sejak 1980-an telah cukup banyak dana yang digunakan untuk membiayai pengiriman pegawai negeri sipil (PNS) melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu S-2 dan S-3, baik di dalam maupun di luar negeri. Biaya tersebut umumnya berasal dari pinjaman luar negeri yang jika dijumlahkan dari berbagai sumber bisa mencapai ratusan juta dollar. Tidak terhitung pula PNS yang memperoleh beasiswa dari berbagai lembaga atau foundation internasional lainnya. Perlu pula diingat bahwa biasanya selama bersekolah, gaji PNS tetap dibayarkan oleh negara. Apakah mereka memang tidak berkualitas atau tidak memperoleh kesempatan sehingga pantas mengisi birokrasi “keranjang sampah”? Wallahualam. Yang pasti hampir 90 % dari mereka yang disekolahkan tersebut adalah putera puteri bangsa terpilih yang lulus saringan SKALU, PP I dan Sipenmaru.
***

Dosen yang memasuki birokrasi biasanya akan mengalami “cultural shock”. Pengalaman yang diperoleh selama mengerjakan proyek-proyek pemerintah di berbagai lembaga penelitian dan konsultan di kampus tidak pernah cukup untuk menghadapi masalah dan tantangan birokrasi yang luar biasa kompleksnya. Disamping substansi dan teknis, pejabat sehari-harinya juga harus memikirkan masalah managemen, keuangan, administrasi, kepegawaian, organisasi dan keproyekan. Tugas berat ini tentu saja menuntut dedikasi dan jam terbang tinggi mengingat pelaksanaan reinventing government masih jauh dari memuaskan. Sayangnya hal ini sering dipungkiri dan terkadang di anggap sepele.

Hal terberat akan dihadapi manakala sang dosen berurusan dengan keproyekan. Inilah yang menjadi pusat keprihatinan kita. Pekerjaan management proyek yang meliputi proses penyusunan Daftar Usulan Proyek (DUP), Satuan-2, Satuan-3, pembahasan Daftar Isian Proyek (DIP), revisi serta monitoring pelaksanaannya sangatlah kompleks. Terkadang pekerjaan ini, khususnya pembahasan DIP di Departemen Keuangan, untuk sebagian orang bisa dikategorikan intellectually harassing. Kemuliaan intelektual yang begitu tinggi dan idealisme yang dimiliki di kampus harus berhadapan dengan permainan “mark up”, “kongkalingkong”, nepotisme, intrik dan berbagai bentuk praktek suap menyuap yang sering disingkat dengan KKN yang terkenal itu. Idealisme tinggi yang biasanya masih terpelihara dan mengkristal dalam sanubari sang dosen pelan-pelan akan ikut lebur, meleleh, mencair dan menguap setelah masuk sarang-sarang penyamun. Tekanan keproyekan kadang bukan hanya datang dari bawah dan samping, tetapi juga dari atas. Baik dalam suatu kantor, maupun dari kantor pemerintah lainnya. Hal yang memang kerap terjadi di masa Presiden Gusdur dan Megawati yang sarat dengan muatan politik partai.

Seiring dengan jabatan di pemerintahan, berbagai jabatan susulan juga akan bermunculan. Yang paling sering adalah tawaran menjadi komisaris di puluhan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan swasta. Menjadi komisaris, biasanya sang dosen akan terbuai dengan berbagai fasilitas yang memang “enak teunan” yang bisa melupakan mahasiswa atau rencana untuk menerbitkan buku teks kuliah. Terkadang jabatan komisaris terasa dipaksakan. Sebagai contoh, seorang profesor ahli pertanian yang menduduki jabatan setingkat direktur atau direktur jenderal bisa saja menduduki jabatan komisaris suatu perusahaan di bidang jasa yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan dengan pertanian. Jam terbang? Itu bisa diatur.

Di zaman orde baru, di saat proses privatisasi dan restrukturisasi yang dimotori Bank Dunia melanda banyak BUMN vital, banyak pula direksi BUMN secara cerdik berhasil “mendudukkan” sang dosen, yang juga pejabat yang berwenang di sektor terkait, menjadi komisaris BUMN yang dipimpinnya. Taktis memang, karena akan memuluskan urusan direksi disatu sisi, tapi biasanya meninggalkan banyak pemasalahan dengan bawahan sang komisaris di sisi lain.

Sebenarnya ada pekerjaan lain yang berpotensi menyita waktu dosen dan membuatnya mangkir dari tugas. Antara lain sebagai peneliti yang mengerjakan proyek di lembaga penelitian yang ada dilingkungan universitas maupun di luar, dan yang sekarang sedang “naik daun” adalah menjadi presenter dan pembicara di berbagai acara talk show. Namun dibandingkan dengan menjadi birokrat, pekerjaan jenis ini tidak terlalu berpotensi KKN dan terkadang memang diperlukan untuk kematangan diri. Namun ketatnya jadwal atau buruknya time management terkadang membuat mereka kurang konsentrasi dan terpaksa mangkir dari tugasnya.
Dengan berbagai kesibukan sang dosen di luar kampus, tidak heran banyak mahasiswa saat ini terlihat bolak balik ke kantor pemerintah untuk berkonsultasi. Bahkan tidak jarang pula mahasiswa terpaksa kuliah di kantor pemerintah tempat sang dosen menjabat. Di pihak lain, dosen utama atau profesor yang berhasil menulis buku atau menerbitkan artikel di jurnal tingkat nasional apalagi internasional selama menjabat di birokrasi, bisa dihitung jari.
***

Keprihatinan Rektor UI tentang minimnya kehadiran dosen utama di universitasnya tentu juga menjadi keprihatinan rektor-rektor PTN dan PTS lainnya di seluruh Indonesia serta keprihatinan kita semua yang sangat ingin pendidikan tinggi di Indonesia maju secara lebih berarti. Tulisan ini bertujuan hanyalah untuk menggugah rasa keprihatinan itu untuk kemudian ditindaklanjutinya secara bijak. Tidak lebih tidak kurang. Mengharapkan regulasi maupun aturan tertulis dari PTN dan berbagai instansi terkait dalam situasi sekarang ini, tentulah akan memakan waktu dan menunda proses perbaikan bangsa. Karenanya menjadi penting sekali mewujudkan kesadaran di dalam hati kita untuk bertindak profesional di dalam tugas, memulai budaya malu KKN dalam arti sebenarnya serta tepo seliro terhadap 40-an juta penganggur terdidik dan tidak terdidik yang juga harus menghidupi keluarganya. Namun demikian kita tentulah tidak melupakan bahwa masih banyak dosen utama yang sangat menjunjung tinggi profesinya. Salut untuk mereka.

Sebagai penutup, tidak ada salahnya kita simak pertanyaan dari salah seorang profesor saya di ITB yang saya jumpai dalam satu seminar di Bandung beberapa tahun lalu. Beliau menanyakan tentang perbedaan profesor (dosen), peneliti dan birokrat. Seperti biasa, profesor yang sudah cukup sepuh tidak akan sabar untuk menasihati kita dan tidak perlu menunggu jawaban. Pertanyaan itupun dijawabnya sendiri. Pelan meluncur dari bibirnya, “ Dalam tugasnya, profesor tidak boleh salah dan tidak boleh bohong. Peneliti boleh salah, tetapi tetap tidak boleh bohong. Sedangkan birokrat, boleh salah, boleh bohong!”. Astagafirullah.
Nah, bagaimana jika guru besar menjadi politisi?
________

* Dosen tamu Program Magister Teknologi Informasi di Fasilkom-UI, tinggal di Sawangan - Depok.