Monday, June 23, 2008

Monday, June 02, 2008

Penertiban DKI Hambat Teknologi Komunikasi



Menara Seluler
Penertiban DKI Hambat Teknologi Komunikasi

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/02/01032484/penertiban.dki.hambat.teknologi.komunikasi

Kompas/ Senin, 2 Juni 2008

Percepatan pembangunan infrastruktur yang digalakkan pemerintah akan mengalami hambatan lagi. Kali ini hambatan justru datang dari pemerintah daerah. Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 89 Tahun 2006 tentang Menara Bersama, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memerintahkan pembongkaran sekitar 1.700 menara seluler di wilayah Jakarta (Kompas, 28/5).

Sementara itu, pembangunan sektor teknologi komunikasi informasi, khususnya telekomunikasi, terus dipacu mengingat Indonesia memang tertinggal dalam hal penetrasi. Keterbatasan infrastruktur telekomunikasi telah mengurangi akses masyarakat terhadap informasi dan pengetahuan yang diperlukan dalam menghadapi globalisasi.

Ketika internet menyediakan potensi tak terbatas dalam mengakses informasi dan pengetahuan, Indonesia baru memiliki pelanggan internet sekitar 2 juta orang dan hampir 20 juta pengguna. Suatu jumlah yang tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain yang setara.

Namun, rakyat Indonesia dan pemimpinnya sudah selayaknya bersyukur mengingat kekurangan infrastruktur telekomunikasi selama ini telah dapat dikejar melalui pengembangan sistem telekomunikasi bergerak atau yang lebih dikenal dengan seluler, baik melalui platform GSM, CDMA, dan jenis lainnya.

Stagnasi pembangunan telepon tetap, yang hanya mampu sampai angka 10 juta satuan sambungan hingga akhir tahun 1999, dijembatani dengan pembangunan sistem seluler hingga mencapai total sekitar 100 juta pengguna pada kuartal ketiga 2007. Lompatan penetrasi yang menakjubkan guna menyambut datangnya era ekonomi baru.

Demi efisiensi

Percepatan pembangunan tersebut memungkinkan rakyat memiliki berbagai jenis perangkat telekomunikasi dalam genggaman mereka. Meski sebarannya masih belum merata, di samping untuk berkomunikasi, dewasa ini kita saksikan pula berbagai lapisan masyarakat telah menggunakan telepon seluler untuk kegiatan ekonomi.

Sebut saja petani, pedagang sayur atau sembako yang dengan cepat telah mampu mengetahui perubahan harga di pasar tanpa jeda waktu. Begitu pula penjual bakso, siomay, nasi goreng keliling, hingga berbagai jenis makanan dari restoran cepat saji berskala internasional telah memanfaatkan fasilitas komunikasi canggih ini untuk melayani pelanggan mereka.

Karena itu, turunnya perintah pembongkaran 1.700 menara seluler dari Pemprov DKI tentu saja akan merugikan konsumen. Meski akhirnya beberapa menara harus digabungkan demi efisiensi, transisi masa pembangunannya dipastikan akan menimbulkan masalah.

Menjadi pertanyaan, apakah langkah pembongkaran tersebut memang alternatif yang harus dilakukan? Dan mengingat peraturan tersebut diterbitkan tahun 2006, apakah menara yang harus dibongkar adalah menara yang dibangun setelah peraturan gubernur itu diterbitkan? Ataukah semua yang melanggar keindahan dan perizinan?

Kita memahami keinginan Pemprov DKI menata bangunan. Namun, kita juga menyaksikan sendiri banyak bangunan lama, baru, dan yang sedang berjalan, secara kasatmata juga mengganggu keindahan ataupun memiliki izin yang mungkin bermasalah.

Apalagi banyak bangunan yang sangat mengganggu dan menghambat lalu lintas yang merugikan masyarakat dalam jumlah dan skala ekonomi jauh lebih besar tanpa sedikit pun upaya penertiban, apalagi pembongkaran oleh Pemprov DKI.

Belum hilang ingatan ketika sebuah hotel mewah di Jakarta Selatan bermasalah dengan jumlah lantainya, pembangunan pusat perbelanjaan di jantung kota yang justru mengganggu fungsi jembatan Semanggi yang berujung kepada makin parahnya kemacetan, atau pembangunan underpass sekaligus overpass di sebuah pusat perbelanjaan terkenal di Jakarta Selatan justru tidak memberikan fasilitas penyeberangan bagi pejalan kaki.

Kita menyaksikan bangunan baru pengganti Hotel Indonesia yang telah berhasil menyulap lapangan tenis, kolam renang, dan fasilitas olahraga menjadi pertokoan mewah, justru diberikan izin menggunakan entrance dan exit di jalur protokol utama yang membuat pengendara mobil atau roda dua di jalur lambat harus ekstra hati-hati.

Mengambil kesempatan

Memerhatikan situasi terakhir ini, diperkirakan penertiban menara seluler akan berdampak buruk bagi pelayanan jaringan ponsel. Sekarang saja—setelah perang tarif—sudah terdengar banyak keluhan akan tingkat keberhasilan panggil (succesfull call ratio) dari pengguna jasa.

Jika pembongkaran dan perbaikan fisik perangkat menara baru memakan waktu rata-rata dua bulan saja, bisa dibayangkan kerugian yang harus ditanggung konsumen dan operator.

Sekali lagi, kita memahami maksud penertiban dari Pemprov DKI. Adalah bijak untuk mengurangi jumlah menara tersebut di samping kemudian membatasi pengeluaran izin baru yang tidak mempertimbangkan keindahan dan efisiensi penggunaan menara bersama.

Dikhawatirkan penertiban oleh Pemprov DKI ini dapat menyulut keinginan serupa beberapa pemprov atau pemkot di daerah, terutama di beberapa kota besar yang telanjur pula menjadi rimba menara seluler.

Jika DKI mengambil alasan estetika dan keindahan, pemprov atau pemkot lain bisa saja mengambil kesempatan dengan berbagai alasan berbeda. Kalau ini terjadi, bisa dibayangkan hambatan dan kerugian yang akan menghadang saat kita harus bergerak cepat membangun infrastruktur telekomunikasi menyongsong ekonomi baru.

Memang diperlukan sinkronisasi, koordinasi, dan kerja sama yang baik melaksanakan pembangunan yang mengatasnamakan kepentingan publik. Semoga keinginan yang betapa pun benar secara konseptual bisa diserasikan dengan kebutuhan riil masyarakat dan disesuaikan dengan kondisi nyata di lapangan.

Eddy Satriya Mantan Sekdekom PT Telkomsel, Sekarang Bekerja di Kantor Menko Perekonomian. Blog: eddysatriya.blogspot.com Email: satriyaeddy@gmail.com