Wednesday, June 15, 2005

“YOU PAY PEANUT, YOU’LL GET MONKEY”

Oleh: Eddy Satriya*)


Catatan: Telah diterbitkan di Kolom Majalah Forum Keadilan 19 Juni 2005

Setahun setelah kebakaran besar pertama kali menghabiskan Pasar Atas Bukittinggi pada tahun 1972, karena suatu alasan, keluarga saya pindah ke sebuah kawasan perladangan bernama Padang Leba, di pinggiran kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Kasus busung lapar di NTB dan NTT baru-baru ini mengingatkan saya akan sulitnya kehidupan kami pada waktu itu. Meski kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak-anak dapat terpenuhi, tidak urung kami mengalami juga kondisi makan nasi sehari sekali yang terkadang diselingi dengan lemper terbuat dari dedak padi yang biasa diolah menjadi makanan ayam.

Namun kondisi sulit tersebut masih lebih baik dibanding tetangga, keluarga seorang prajurit ABRI, yang tinggal di seberang ladang. Sangat sering terdengar pertengkaran yang ditingkahi bentakan, pemukulan dan tangisan yang disebabkan oleh kesulitan hidup dan minimnya kesejahteraan Sang Prajurit. Saya tak tahu lagi nasib keluarga tersebut beserta seorang anak mereka karena setahun kemudian kami kembali ke Bukittinggi.

Kesejahteraan sebahagian besar prajurit TNI (dulu ABRI) sejak puluhan tahun lalu memang memprihatinkan. Karena itu dialog antara Panglima ABRI almarhum Jenderal M. Yusuf yang secara langsung menanyakan kondisi prajurit di lapangan seperti sering disiarkan TVRI di tahun 1980-an, selalu saja menimbulkan decak kagum dan simpati. Dialog seperti itu memang sudah jarang terdengar. Namun itu bukan berarti pimpinan TNI tidak memperhatikan kesejahteraan prajurit.

Salah satu perhatian yang pernah diberikan oleh negara kepada prajurit TNI/Polri adalah melalui perbaikan asrama prajurit melalui dana Bantuan Presiden sebesar Rp 30 Milyar. Namun bantuan Presiden Megawati pada bulan Februari 2002 untuk memperbaiki asrama yang sudah parah kondisinya di empat lokasi itu malah berbuntut menjadi masalah politik yang menyulut debat di DPR. Perbaikan kesejahteraan prajurit yang berujung dengan usulan Tim Verifikasi Komisi I DPR kepada Presiden Megawati untuk memecat Mensesneg Bambang Kesowo itupun akhirnya terkenal dengan istilah “Asramagate” (Pikiran Rakyat, 13/7/02).

Bukan hanya sekali dua rencana baik yang diajukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan aparatnya dimentahkan oleh berbagai pihak. Ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) dengan taktis dan secara bertahap telah menaikkan gaji serta tunjangan jabatan PNS di awal pemerintahannya, protes malah datang dari pihak KORPRI sendiri. Alhasil, kenaikan tunjangan jabatan yang sudah dicicipi oleh PNS itu kemudian diturunkan lagi ke tingkat yang hanya sekedar menutupi tingkat inflasi.
Rendahnya tingkat gaji dan tunjangan resmi PNS sering menjadi bahan guyonan, terkadan cemeehan yang mengkaitkannya dengan “sabetan”. Seorang pejabat karena saking senangnya, pernah memamerkan Surat Keputusan (SK) kenaikan pangkatnya menjadi IVc yang telah lama dinantikan. Seorang teman setelah membaca SK itu secara serius berkomentar bahwa telah terjadi kesalahan fatal dalam SK yang membuat Sang Pejabat kaget. Ketika ditanyakan apanya yang salah, teman tersebut ternyata “meledek” bahwa yang salah adalah gaji tercantum yang hanya berjumlah sekitar Rp 1,5 juta per bulan.

Rendahnya gaji dan kesejahteraan juga diperburuk dengan berkurangnya beberapa fasilitas dan tunjangan. Hingga awal 1990-an, sebahagian dana APBN telah dialokasikan untuk pemeriksaan kesehatan rutin tahunan (general check up) bagi seluruh pejabat eselon III ke atas. Sebelum terjadi krisis, fasilitas kesehatan tersebut telah dihentikan dan dibatasi. Alhasil, banyak PNS yang tidak memerhatikan kesehatannya karena alasan ekonomi dan sering berakhir dengan timbulnya penyakit-penyakit berat yang menggerogoti produktivitas mereka. Kualitas dan kemudahan pelayanan Asuransi Kesehatan (Askes) juga tidak membaik. Ada beberapa anggota keluarga pegawai di kantor saya yang terserang kanker tidak tertolong lagi karena tidak mampu berobat secara layak dan teratur.

Karena itu tidaklah sulit memahami betapa korupsi telah mampu mengalahkan nalar dan moral sebahagian PNS, termasuk guru besar dan intelektual sekalipun. Juga tidaklah sulit memahami masih banyaknya aparat yang justru terlibat dalam peristiwa kejahatan seperti pemalsuan uang, judi, penyelundupan dan penebangan liar. Transisi demi transisi dan ketidakjelasan prioritas telah memperburuk situasi. Merunut beberapa pidatonya, kita percaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah sangat memahami permasalahan ini. Namun, tiada yang tahu kapan pastinya akan datang angin perubahan kesejahteraan PNS.

Dituntut bekerja keras, disiplin tinggi, dan loyal sungguh bukan hal yang gampang untuk dijalani PNS saat ini. Di sisi lain, ratusan direktur perusahaan milik pemerintah (BUMN), komisaris, politisi, pegawai beberapa Badan dan Komisi yang minim prestasi terus berfoya-foya dengan gaji dan tunjangan sangat tinggi.
Kiranya sangat tepat jawaban yang disampaikan salah seorang pembantu Presiden SBY dalam menjawab pertanyaan delegasi asing tentang bisnis tentara dan korupsi aparat dalam Infrastructure Summit 18 Januari 2005 lalu di Jakarta. “You pay peanut, you’ll get monkey!”

________

*)Penulis adalah PNS di Bappenas. Berdomisili di Sawangan-Depok.