Monday, April 18, 2005

Untung Malaysia Semakin Angkuh

Oleh: Eddy Satriya*)



Kolom Majalah Mingguan FORUM KEADILAN No. 50/24April 2005

Rasa geram, penasaran dan marah menjadi satu di dalam hati setiap kali membaca pemberitaan tentang betapa Malaysia semakin menyepelekan bangsa Indonesia. Dahulu, seperti ditulis Amarzan Loebis, Malaysia tanpa tahu malu telah menjadikan Stambul Terang Bulan menjadi lagu kebangsaan mereka (Tempo, 14-20/3/05). Padahal lagu tersebut sepanjang pengetahuan saya tidak memiliki irama Mars sedikitpun. Perilaku tidak tahu diri itupun mereka teruskan melalui tindakan sepihak dalam berbagai kancah politik sehingga memaksa Presiden Soekarno mencanangkan propaganda “Ganyang Malaysia” pada tahun 1963. Sejarawan Anhar Gonggong dalam satu diskusi pernah mengingatkan bahwa Malaysia juga tidak memperlihatkan sikap kooperatif ketika terjadinya pembajakan pesawat Garuda Woyla dua puluh empat tahun silam. Sikap tersebut telah memaksa pesawat naas itu terpaksa mendarat di Don Muang, Bangkok.

Terakhir, lalu lalang kapal-kapal perang Malaysia terus berupaya menggagalkan pembangunan mercusuar di Karang Unarang, Nunukan, Kalimantan Timur. Kapal perang mereka tak henti-hentinya memancing kesabaran Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk memulai insiden demi insiden (Kompas, 10/4/05). Diperkirakan provokasi sejenis dengan berbagai varian masih akan diteruskan Malaysia dalam kesempatan yang berbeda.

Jika dicermati dalam satu dekade terakhir, niscaya akan terekam betapa Malaysia dengan sangat terprogram, sistematis, dan tentu saja dengan kelicikan tinggi telah memanfaatkan Indonesia demi kemajuan negerinya. Kemajuan ekonomi yang tercermin dari perbedaan tingkat upah telah benar-benar dimanfaatkan bagai sebuah magnet berkekuatan dahsyat untuk menarik tenaga kerja Indonesia (TKI) untuk mendulang Ringgit di sektor perkebunan dan konstruksi. Begitu pula bagi tenaga kerja wanita (TKW) untuk menjadi pembantu rumah tangga (PRT). Tragisnya, setelah mereka memiliki Undang-Undang yang lebih tegas tentang imigrasi, para TKI dan TKW kita yang bermasalahpun diburu laksana hewan liar. Mereka dikenai hukuman tahanan, diambil harta bendanya, untuk kemudian diusir tanpa ampun. Khusus pekerja pria yang ditahan, mereka terkadang juga mendapat hukuman cambuk yang meninggalkan bekas di pantat mereka seperti sering diperlihatkan di layar kaca (Liputan6.com, 2/4/05).

Lemahnya penegakan hukum di Indonesia kelihatannya juga dengan sangat jitu telah dimanfaatkan secara efektif dan efisien oleh para cukong dan tauke yang memang terkenal lihai untuk memasukkan kayu selundupan ke negerinya dan sebaliknya memasukkan berbagai produk secara ilegal seperti gula ke wilayah Indonesia.
***

Dalam skala yang lebih kecil, pengalaman pribadi sayapun seakan menambah bukti-bukti tentang arogansi orang Malaysia. Sewaktu melanjutkan pendidikan di negara bagian Connecticut, USA, berbagai insiden juga sering terjadi yang dipicu oleh rasa congkak teman-teman dari Malaysia. Sering mereka menguliahi -bukan hanya sekedar mengajak- secara berlebihan bahwa kami muslim dari Indonesia sebaiknya mengikuti cara hidup muslim seperti yang mereka lakukan. Mereka terkadang tega menyakiti hati tuan rumah di berbagai pertemuan ketika dengan pongahnya memeriksa asal usul dan tingkat kehalalan makanan yang dihidangkan.

Dalam salah satu pertandingan Bola Volley antar peserta pelatihan di Training Center JICA di Hatagaya, Tokyo, Jepang pada bulan Desember 1999, beberapa teman dari Malaysia dengan sengaja melakukan provokasi yang sangat meremehkan saya serta peserta dari Philipina dan Vietnam. Keributan dapat dihentikan setelah saya menasehati mereka dengan menyebutkan bahwa sebagian besar guru mereka di Malaysia itu berasal dari berbagai wilayah Indonesia seperti Minangkabau dan Bugis. Pernyataan keras yang terpaksa saya teriakkan dalam bahasa Inggris dengan bumbu beberapa f-words ala anak muda di Amerika sana ternyata cukup ampuh dan menciutkan nyali mereka.

Belum berhenti disitu, akademisi mereka pun ikut menggarapnya secara sistematis. Simaklah tulisan Dr. Nazaruddin Zainun, Pensyarah Sejarah Asia Tenggara, Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universiti Sains Malaysia (USM), Pulau Pinang serta Soijah Likin ahli antropologi bebas dan pengamat sosial masalah pekerja wanita Indonesia di Malaysia yang diterbitkan Utusan Malaysia bulan Juni 2004. Artikel yang terbit pasca penganiayaan TKW Nirmala Bonat tersebut sangat menyinggung perasaan. Zainun dan Likin dengan dinginnya menuliskan betapa terbelakangnya kehidupan PRT kita yang menurut mereka tidak fasih berbahasa Indonesia, apalagi Inggris, dan tidak mengenal alat-alat elektronik dalam rumah tangga. Juga digambarkan mereka bahwa keterpurukan ekonomi Indonesia telah membuat banyak orang kampung di Indonesia tidak pernah makan ayam dan ikan sehingga mereka tidak pernah tahu apa rasanya ikan dan ayam. Astaga!

Walaupun artikel tersebut ditulis untuk menggugah pemahaman rakyat Malaysia terhadap perilaku PRT kita, beberapa detil yang diuraikan sungguh sangat menusuk perasaan (http://utusan.com.my/utusan/archive.asp?y=2004&dt=0602&pub=utusan_malaysia &sec=rencana&pg=re_06.htm&arc=hive). Masih banyak artikel di negara tersebut yang mengaitkan masalah imigran Indonesia dengan sifat-sifat dan perilaku negatif masyarakat kita berdasarkan daerah dan suku, serta keterbelakangan pendidikan yang dialami rakyat saat ini. Kesemuanya itu memaksa kita mengelus dada dan menjadi tidak percaya bahwa ditengah kemajuan ekonomi yang mereka capai, ternyata mereka juga mengalami kemunduran akibat kesombongan mereka sendiri dan belum berjalannya proses demokrasi.
***

Lalu apa artinya semua itu untuk kita? Sebagai sebuah bangsa yang besar kita tentu tetap harus waspada dan wajib menjaga kedaulatan serta keutuhan bangsa. Berbagai kekurangan dan ketertinggalan tidaklah harus membuat kita rendah diri. Jika di sisi pertahanan dan keamanan tugas ini telah diembankan kepada pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), maka sudah sepatutnya pula semua intelektual yang tersebar di berbagai wilayah dan sektor pembangunan untuk memulai perannya masing-masing. Selayaknya berbagai kegiatan penelitian terus dikembangkan, baik tentang penataan hubungan dengan Malaysia maupun yang menyangkut penggalangan kesadaran bernegara bagi seluruh lapisan masyarakat.

Kaum intelektual kita tanpa kecuali bisa memulai dengan memperbanyak penelitian dan karya tulis tentang sepak terjang Malaysia, pola hidup dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat perbatasan, serta memberikan analisa kasus TKI, TKW yang ada di Malaysia. Kepada masyarakat simpatisan TKI dan TKW juga diharapkan untuk bisa memperbanyak berdirinya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mampu membantu dan memberikan masukan yang tepat kepada pemerintah. Tidak bisa dipungkiri, masalah TKI, TKW dan PRT kita di luar negeri hingga saat ini lebih sering dibahas secara sporadis oleh kelompok media cetak maupun elektronik dalam laporan khusus mereka. Sangat sedikit penelitian yang pernah dipresentasikan di berbagai pertemuan ilmiah nasional, regional, apalagi internasional.

Walaupun dalam berbagai kejadian dan kesempatan sangat banyak pelecehan dari pemerintah serta rakyat Malaysia terhadap kita, tentu banyak pula kelompok ataupun individu yang masih menjunjung tinggi hak asasi manusia. Di sisi lain, kemelut perbatasan dengan Malaysia ini tentu besar hikmahnya guna melecut diri kita sendiri untuk lebih maju dan menjadi lebih baik.

Untung ada Malaysia yang seperti kacang lupa dengan kulitnya!

________

*) Pemerhati reformasi, menetap di Sawangan-Depok.

Monday, April 04, 2005

Ekonomi Telekomunikasi (Memahami Hubungan Pembangunan Ekonomi dan Telekomunikasi)

Oleh: Eddy Satriya*)




Catatan: Telah diterbitkan di Majalah Biskom Edisi Maret 2005

“…….Sedangkan survey ITU menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 % kepadatan telepon di sektor telekomunikasi akan meningkatkan perekonomian sebesar 3 %….”, demikian suatu penggalan kalimat yang sering dan masih terus digunakan oleh banyak pejabat, pengamat dan pelaku bisnis telekomunikasi di Indonesia. Penggalan kalimat tersebut sering kita baca dan dengar di berbagai media cetak, media elektronik ataupun langsung menjadi bagian pidato dalam berbagai kesempatan. Menjadi pertanyaan, apakah hubungan antara kepadatan telepon dan ekonomi makro tersebut masih berlaku hingga saat ini? Tulisan ini membahas kaitan antara ekonomi suatu negara dengan kondisi infrastruktur telekomunikasi, vice versa, yang sering digunakan untuk keperluan perencanaan.

Penggunaan data terbaru, pemahaman karakteristik suatu sektor serta kaitannya dengan ekonomi suatu negara sangatlah penting dalam suatu proses perencanaan pembangunan. Tidak terkecuali di sektor telekomunikasi. Kaitan tersedianya fasilitas telekomunikasi dengan peningkatan pembangunan ekonomi suatu negara pertama kali dibahas secara akademis oleh A. Jipp dalam tulisannya berjudul “Wealth of Nations and Telephone Density” yang diterbitkan “Telecommunication Journal” edisi Juli 1963.

Model yang pakai Jipp ini kemudian digunakan oleh Communication Committee for International Telecommunication and Telegraph (CCITT) pada tahun 1965. Dengan menggunakan cross-sectional data diperoleh hubungan antara kondisi makro ekonomi dengan kepadatan telepon negara-negara di dunia, sebagai berikut:

Ln d = -3.1329 + 1,405 Ln g

dimana d adalah kepadatan telepon, g adalah GNP per kepala capita, dan Ln adalah natural log. Hubungan tersebut dapat diartikan bahwa untuk setiap tambahan 1 % kenaikan GDP per capita suatu negara akan memberikan kontribusi tambahan 1,4 % kepadatan sambungan telepon. Hubungan ini juga berlaku untuk kebalikannya, karena antara kepadatan telepon dan GNP memang terdapat hubungan kausalitas yang dalam ilmu ekonometrik dikenal juga dengan Granger Causality (Gujarati, 1995).

Menjadi menarik untuk melihat hubungan sebaliknya dengan menggunakan data yang lebih mutakhir. Sekedar memberikan gambaran sesuai dengan tujuan tulisan ini, penulis pernah melakukan penelitian dengan menggunakan data Bank Dunia yang ada dalam “World Development Indicators” untuk tahun 1998, 1999 dan 2003 dengan hasil sebagai berikut:

• Ln g = 6.1797 + 0.7847 Ln d (1998)
• Ln g = 5.9395 + 0.8176 Ln d (1999)
• Ln g = 5.0574 + 0.9239 Ln d (2003)

dimana semua koefisien adalah signifikan serta besaran keterwakilan R-square di atas 0.8.

Dari hasil regresi di atas terlihat bahwa setiap penambahan 1 % kepadatan telepon memang masih memberikan pengaruh positif kepada makro ekonomi suatu negara (peningkatan GNP per capita). Namun perlu dicatat bahwa peningkatan atau kontribusinya kedalam makroekonomi tidaklah sebesar pada kurun waktu 1965-1970 yang memberikan angka sebesar 3%, melainkan hanya mendekati angka 1 % persen saja. Hal ini bisa dimaklumi mengingat pertumbuhan ekonomi dunia mengalami krisis global yang diakibatkan dari krisis finansial yang berawal dari sebagian negara di Asia, termasuk Indonesia.

Dengan menggunakan hasil regresi diatas, cateris paribus, bisa dipahami sekarang bahwa setiap peningkatan 1 % kepadatan telepon sebagai bentuk investasi di sektor telekomunikasi, tidak lagi memberikan sumbangan peningkatan ekonomi makro berupa GNP per capita sebesar 3%. Penggunaan hubungan kausalitas antara kepadatan telepon dan GNP per capita haruslah dilakukan hati-hati karena hanya berlaku untuk tahun tertentu. Hubungan tersebut tidak dapat digeneralisir seperti sering diucapkan oleh banyak orang dalam berbagai pertemuan dalam pembahasan telekomunikasi.

Perlu dicatat kepadatan telepon yang digunakan dalam persamaan-persamaan di atas adalah untuk telepon tetap. Kajian antara telekomunikasi dan makroekonomi ini dapat diperluas untuk telepon selular, gabungan telepon tetap dengan selular (total) serta untuk jumlah pelanggan internet. Pendekatan ini pernah digunakan untuk menentukan jumlah satuan sambungan telepon tetap pada kurun waktu Repelita VI (1993-98) dahulu yang memberikan jumlah sambungan telepon yang akan dibangun mencapai 3.8 juta satuan sambungan. Namun angka tersebut kemudian ditingkatkan menjadi 5 juta ss setelah tercapai kesepakatan antara Bappenas, Depparpostel dan Depkeu melalui perencanaan jangka menengah lima tahunan. Kenyataan menunjukkan, sasaran pembangunan prasarana telekomunikasi Repelita VI memang bisa dicapai, walau terjadi penurunan komponen Kerja Sama Operasi (KSO) dari 2 juta ss menjadi hanya 1,2 juta ss.

Sekali lagi, sebagai penutup, hubungan antara kepadatan telepon tetap dengan kondisi makro ekonomi suatu negara memang bisa diprediksi dengan menggunakan cross-sectional data, namun harus terlebih dahulu melakukan regresi kedua besaran dengan menggunakan data terbaru. Pendekatan sederhana ini bisa digunakan dengan menggabungkan berbagai data telekomunikasi yang tersedia seperti telepon tetap, telepon seluler, termasuk pelanggan internet dan penggunaan personal computer (PC). Semoga pembaca tidak lagi terkecoh oleh pernyataan-pernyataan sejenis yang kurang didasari kepada data empiris.

________
*) Senior Infrastructure Economist, bekerja di Bappenas. (eddysatriya.blogspot.com)