Wednesday, November 19, 2008

KONSULTAN NASIONAL : Dibunuh atau dimatikan?

[Online edition!]

Kembali mengingat masa lalu bagi saya merupakan refleksi pemikiran yang mesti dilakukan secara berkala. Baik karena kebiasaan, ataupun bisa juga karena ada pemicunya.

Hari ini (Selasa 18 Nov 2008) bagi saya menjadi suatu hari yang cukup berat. Betapa tidak, di tengah mendung kelabu, terkadang rintik hujan juga menyertai, dan sesekali hujan deras juga mengguyur jalanan yang harus saya tempuh sendirian di mobil. Hanya iringan musik dari radio ataupun usb plug-in yang menghibur saya menyetir di tengah kemacetan ibukota. Kemana pun pergi, kepadatan lalu lintas menghadang.

Dalam suasana seperti itu saya mendapat "teguran" dari seorang pejabat di RI ini. Teguran itu cukup keras yang pada dasarnya mempertanyakan "mengapa saya mencantum kan nama satu PT di dalam undangan yang baru saja kami fax dan transmit ke berbagai pihak.

Terjebak dalam "kegilaan" lalu lintas di Jakarta, terus terang membuat saya tegang setelah menerima teguran itu. Pada saat itu saya anggap positif saja, dan saya mencoba dengan tenang menjelaskan via telepon. Seperti saya sampaikan tadi, kondisi lelah, capek, hujan, serta macet yang menumpuk menjadi satu berhasil mengalahkan nalar saya pada siang itu. Akhirnya saya menjawab :"Baik pak, akan kami ralat, dan kami fax kan segera kepada undangan lainnya!" jawab saya halus dan berusaha tenang. Namun terus terang saya agak gelisah, karena pejabat bersangkutan menyebutkan ia dapat telepon dari banyak orang. Kok kantor saya mencantumkan nama suatu PT dalam suatu undangan resmi?

Namun setelah agak tenang dan ketika saya memarkir kendaraan terlebih dahulu di tempat aman (tidak terlalu aman dan tenang juga karena ada petugas parkir mengusir saya), otak saya mulai berpikir agak jernih. Apa salahnya?

Kalau kenyataannya memang beberapa personil dari PT itu akan mempresentasikan draft hasil kajiannya? SAya sendiri akan menjadi pengantar dan sekaligus moderator guna mengundang komentar dan memandu diskusi. Tujuan meminta personil konsultan adalah memberikan kenyataan bahwa hasil kajian mereka memang sangat diperlukan, jika memang nanti reaksi peserta demikian. Atau sebaliknya, tidak penting. Bisa juga sekaligus memberikan feed back bahwa mereka berada dalam kondisi yang tidak bagus kinerjanya. Sekali lagi itu tentu akan tercermin dari tanggapan peserta.

Salahkah kalau kita membayar mereka dan meminta mereka untuk memaparkan? Ataukah apakah selalu benar jika pejabat yang membayar (maksudnya negara yang bayar lho) yang memaparkan untuk kondisi laporan yang belum final? Saya sendiri "binun" ketika teguran itu datang.

Terlepas dari itu semua, saya masih berbulat pendapat bahwa sudah waktunya kita menampilkan konsultan nasional kita apa adanya. Bukan sebaliknya, justru membatasi ruang gerak mereka. Dalam arti, jika kita benar-benar mau membina SDM kita menjadi lebih handal dalam berbagai sektor ekonomi maupun kehidupan nyata, maka sudah seharusnya kita mendorong konsultan nasional tampil kedepan di berbagai forum. Hanya karena saya cantumkan PT, apakah itu memang tidak patut. Tapi kalau saya ganti dengan "Prof X atau DR.X atau Mr. X, peneliti dari Universitas Anu..kok jadi boleh dan tidak masalah? Apalagi kalau akhir-akhir ini saya juga sering mendapat undangan atau datang ke rapat pembahasan suatu kajian atau diskusi dengan pembicara Mr.atau Mrs. Joe Cologne Yr (contoh) Chief Economist XXX Bank, France, UK, USA atau Prof. Sakukurata otakumati matakubuta dari Japan, malah disanjung-sanjung dan tidak pernah ada protes. Mengapa kalau saya mengundang dengan pembicara MR. X, dari PT.Y, Cimahi....saya dapat teguran itu?

Akh..pantasan saja bangsaku menjadi kuli saja di rumah sendiri. Bayangkan, apa yang bisa dikerjakan oleh Konsultan kita sekarang, jika semua kerjaan sudah di swakelola? Jika semua diskusi dan seminar di dominasi Prof Doktor dari Perguruan Tinggi/Universitas. Lalu anak-anak kita, anakmu, dan anak-anak mereka sendiri, kalau lulus mau kerja dimana? Sungguh saya sedih hari ini, tapi sementara belum berdaya.

Satu yang pasti, dulu ketika saya baru lulus dari perguruan tinggi, kerja dimana saja sebagai yunior engineer sudah menunggu dimana-mana. Sekarang? sampai botak juga kalau gak punya koneksi, maka lamaran hanya ada di tumpukan. memang peluang selalu ada. Tetapi, apakah konsultan lokal kita memang harus "dibunuh" atau "dimatikan"?

Mungkin ada rimbun daun dan semilir angin yang mau menjawab kegundahan saya ini. Adakah?

(Di dingin Sawangan, Selasa 18 Nov 2008)

Wednesday, November 05, 2008

Maka Nikmat Tuhannmu yang mana lagi yang kau dustakan?

Tidak seperti biasa. Rabu kemaren saya tidak membawa mobil ke bandara. Capek dan karena agak lama (3hari) menjadi tidak ekonomis. Maka sayapun memutuskan naik taksi saja dari rumah. Habis Rp 130 ribuan...buseet..ini juga gak ekonomis. Tapi lumayan tidak stress nyetir dan saya menikmati perjalanan, hingga sampai Batam. Di jemput dan langsung rapat serta meninjau lapangan yang didahului diskusi di lokasi proyek Egov Batam, di Batam Center. Transportasi di Batam gak ada masalah. Hingga kembali Sabtu pagi, mengingat libur, kami memutuskan naik taksi saja ke Bandara. Hanya Rp 100 ribu termasuk tips sudah. Untuk berdua terasa ekonomis dan pantas.

Hanya karena membiasakan batasan budget bekerja, sesampai di Jakarta saya pilih naik Damri saja ke Lebak Bulus, nanti bisa disambung taksi, atau juga bisa naik angkot 106. Toh hari Sabtu tidak terlalu macet. Mengapa Damri? kok gak taksi saja langsung ke BSD-Pamulang- dan sampai di rumah pondok cabe? Saya sebal, karena kalau taksi dan lewat belakang, harus nyogok ...gak banyak Rp 5000.0 baru bisa lewat. Kalau mobil pribadi saya pernah terabas saja dan bunyikan klakson mobil hingga Satpam nya pontang panting bercarut bungkang. "rasain lu" kata saya. Maka dengan Damri pun saya nyaman melanjutkan perjalanan, sambil tidur lagi dalam perjalanan. lebih nyaman.

Sampai lebak bulus karena ketiduran, saya terpaksa turun dalam terminal. gak sempat turun sebelum lebak bulus untuk ambil taksi. Menggeret koper..saya nemplok aja di angkot. Supirnya sewot karena ada koper kecil mengambil jatah seat orang lain. "Tenang bang, saya bayar untuk 2 orang, yang penting kau jalan dulu aja lah!" Angkot biru 106 pun meluncur, meliuk, menyeset (istilah di Pdk Cabe jika angkot harus menyalib mobil lain meski lebar jalan terbatas) dan menyalib dengan sangat manis mobil-mobil pribadi yang membuat pengemudinya menggerutu. Saya tertawa dan kesal. Tertawa bisa jalan cepat, kesal...akh ketika saya bayangin kalau yang disalib dan didesak angkot itu adalah mobil yang saya kendarai sehari-hari. Yang pasti, naik angkot asyiik punya. Bayar murah, kurang dari Rp 5000, tapi duluan sampai. Mobil pribadi selalu macet-macet-macet.

Menggeret koper ketika turun dari terminal Lbk Bulus...

Hati senang, sambil mendengar celotehan dua orang ibu muda yang menggunjingkan anak tetangga mereka yang keburu hamil. "pantesan ia jarang keluar sekarang ya, dan itu teteknya (maaf) dan pinggulnya kan tambah besar" demikian yang satu bicara. "Iya...kalau sekarang baru ia percaya, dari dulu saya ingatkan dianggap angin lalu. tapi kasian juga ibunya". Obrolan itu berlanjut makin seru ketika salah seorang ibu tadi mengingatkan anaknya agar tidak tertidur di angkot, karena kepala sianak "kejedut" cukup keras ke kaca belakang mobil. Ibu yang satu berbaju kaos merah melanjutkan omelannya. Kali ini ia mengomeli bosnya yang gak datag, sehingga si ibu yang kerjanya menjual nasi bungkus "mobile" di dalam terminal itu terpaksa uring2-an akhirnya pulang ke rumahnya di daerah pondok cabe. "Iya kalau gak dagang bos gua gak pernah ngomong" ketusnya.

Seketika pikiran saya buyar. Karena kemudian naik anak-anak sekolah di dekat sebuah pertigaan di jalan Cirendeu. Astaga...pas di depan saya duduk seorang anak SD berseragam biru dengan tulisan SD UIN. Anak pertama berambut panjang, begitu pula anak kedua. Anak kedua segera memegang tangan saya "Papa..lho kok.." katanya terbengong. Saya apalagi...., berkaca mata hitam dan bertopi, membuat tampang saya barangkali seperti "gali". Pelan anak pertama berbisik ke temannya itu, "Siapa Put?" begitu kira-kira pertanyaannya. "Ayahku" jawab Putty.

Anakku Putty (kiri) dan temannya, pas duduk tepat di depanku di atas angkot 106.

Sungguh nikmat TUhanmu yang mana lagi yang kau dustakan. Seketika saya sentuh muka anak saya dengan halus dan membenarkan jatuhnya rambut dimukanya yang penuh peluh sehabis ekskul Tennis Meja. Alhamdulillah ya Allah...memutuskan naik taksi, tidak membawa mobil sendiri kebandara, telah menggiring aku untuk naik Damri dan Angkot ketika pulang bertugas..dan Engkau giring kami ke pertemuan penuh makna hari ini. Meleset sedikit saja, ia sudah naik angkot lain, yang tidak memungkinkan saya bertemu anak kandung sendiri 20 menit lebih cepat. LAlu kami saling pandang dan ia penasaran bahwa barusan kirim sms kok gak dibalas. Terlihat gigi anakku yang mestinya sudah copot karena goyang, ternyata masih menggantung. "Nanti papa copot ya sampai di rumah!"

Alhamdulillah..."Maka Nikmat Tuhannmu yang mana lagi yang kau dustakan?"

(Syech) Puji, Seto, dan Kita

Entah bagaimana harus menyikapi terbukanya berita telah dinikahinya seorang gadis cilik berumur 12 tahun oleh seorang Syech. Syech Puji menikahi Ulfa di Kabupaten Semarang. LAlu menjadikan isteri mudanya ini (maksudnya berusia muda) sebagai General Manager sebuah perusahaannya.

Tersebarnya berita pernikahan dua anak manusia berlawanan jenis ini sebetulnya adalah hal yang biasa saja. Namun menjadi tidak biasa ketika berita itu tersebar dengan cepat di media cetak dan elektronik yang menggarap isu umur si penganten wanita. Berbagai pro dan kontra (lebih banyak kontra menurut pengamatan saya) terjadi, diulang-ulang, di dramatisir, dan mungkin juga bisa dilebih-lebihkan ke berbagai urusan lain.

Berkembangnya isu ini telah membawa Seto Mulyadi, seorang Ketua Komnas ANak, untuk IKUT CAMPUR dalam persoalan ini. Seto ikut campur sebagai Ketua organisasi yang merasa berkewajiban pula "membereskan" permasalahan ini. Tapi apa mungkin dan apanya yang harus ia "bereskan", dan bagaimana membereskannya, jelas bukan persoalan yang gampang.

Yang kita tahu, menurut pemberitaan, kemudian Syech Puji berjanji akan mengembalikan saja Ulfa ke orang tuanya. Hah? SAmpai disini tentu kita terperangah. Se simple itukah kita menyelesaikan masalah yang menyangkut harga diri, perasaan, dan jiwa manusia? Semudah itukah caranya. APakah SAng ANak itu bisa dianggap sebagai komoditi yang karena ditolak masyarakat bisa dikembalikan begitu mudah ke orang tuanya.

SAya menjadi semakin bertanya-tanya. Bukankah kasus seperti ini sangat banyak terjadi di tanah air. Banyak, namun karena budaya lokal tidak mempermasalahkannya hal tersebut tidak menjadi pemberitaan yang gencar. Seiring berjalnnya waktu, sang anak yang memang sekarang usia 12 tahun bisa saja sudah mendapat haid pertamanya, menjadi peristiwa yang biasa. Paling tidak untuk kelompok masyarakat tertentu di negara kita.

Menjadi pertanyaan, efektifkah KOmnas ANak melibatkan diri dalam kasus seperti ini? Apakah tidak memperburuk masalah? Jika bermanfaat, maka manfaat seperti apakah yang akan diperoeh Sang Syech, Ulfa dan masyarakat banyak?

Waktu akan berbicara dan membuktikannya. Bagi saya, satu yang pasti. JIka keterlibatan kita dalam suatu persoalan justru diperkirakan akan memperkeruh masalah, maka pepatah bijak menganjurkan kita untuk memperhatikan dan mengawas saja terlebih dahulu. SUngguh tak terbayangkan sakitnya hati orang tua Ulfa atau bagi Ulfa sendiri jika dikembalikan keorang tua dalam kondisi sudah tidak perawan dan berbagai permasalahan dan trauma pemberitaan yang tidak mudah dihadapi mereka.

Terkadang kita memang harus bertanya lagi ke diri sendiri..."Untuk apa kudisini?"...ah itu kan sepenggal lirik lagu dari kelompok NAIF. Tapi memang terkadang kita naif.