Friday, December 21, 2007

DISKUSI AKHIR TAHUN TELEMATIKA INDONESIA

TEMPORARILY POSTED

Untuk detail undangan tgl 27 Desember 07 silakan klik disini.

Hasil seminar dan bahan pengantar telah di posting di file Milis Mastel-Anggota dan Telematika. Notulen dapat diclick disini.

Tks,

Eddy Satriya

Wednesday, November 21, 2007

Memindahkan Ibukota, Membangun Indonesia

http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=149692


Kemacetan secara perlahan namun pasti menjadi momok baru kehidupan di berbagai kota besar di Indonesia. Mendekati Lebaran, Oktober 2007, kemacetan dalam dan seputar Ibu Kota semakin menyiksa. Kemacetan yang tidak lagi membedakan hari kerja dan libur tersebut sudah menular ke Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan kota besar lainnya di Pulau Jawa. Pasca-Lebaran, kemacetan di Jakarta bukannya berkurang, melainkan semakin menjadi-jadi.

Kemacetan yang menyulitkan masyarakat dalam beraktivitas sosial dan ekonomi itu ditanggapi beragam. Berbagai solusi bermunculan, seperti pembatasan kendaraan berdasarkan jenis, tahun produksi, nomor pelat mobil, dan kepemilikan. Berbagai kebijakan diambil pemerintah, seperti pembangunan jalur bus khusus dan monorel hingga jalur angkutan air serta moda transportasi lain dengan kapasitas sarana dan prasarana transportasi massal. Pada pertengahan Oktober 2007, guna mengantisipasi kemacetan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Gubernur DKI Jakarta untuk mencari solusi kemacetan jangka pendek. Jika ada, apakah solusi jangka pendek tersebut? Bagaimana dengan kemacetan yang sehari-hari terjadi di jalan tol, baik di dalam kota ataupun antarkota?

Sebelum membahas solusi tersebut, kita bersepakat bahwa kemacetan
merugikan individu, kelompok masyarakat dan bangsa yang sedang membangun. Bangsa ini telah rugi besar. Mulai kehilangan waktu, terbuangnya bahan bakar, kehilangan berbagai kesempatan transaksi ekonomi, hingga penurunan produktivitas dan daya saing. Kerugian itu diperparah peningkatan tekanan mental (stres) di perjalanan, tingginya kecelakaan serta maraknya kriminalitas, termasuk menyuburkan praktik KKN.

Sesungguhnya kemacetan di Jakarta dan sekitarnya bukan masalah yang berdiri sendiri dan tiba-tiba muncul, melainkan merupakan aggregat kebuntuan berbagai kebijakan yang saling terkait, lalu menjadi benang kusut. Kebuntuan itu bukan hanya sektor yang terkait kemacetan, seperti transportasi, permukiman, dan pekerjaan umum, melainkan di berbagai kebijakan daerah dan regional, terutama penataan ruang.

Sulit menyikapi kebijakan pembangunan jalan raya dan jalan tol yang menggusur permukiman dan lahan subur. Bagaimana bisa diterima akal sehat jika kebijakan yang diambil malah menyemarakkan KKN? Mungkin luput dari perhatian betapa aparat pesta 'menilang' kendaraan karena melanggar three in one. Sementara itu, taksi tidak bebas beroperasi. Sebab, adakalanya dari arah dan jam tertentu, taksi tidak boleh berbelok ke jalan protokol di Bundaran Hotel Indonesia, bahkan dilarang keluar dari pintu belakang Bandara Soekarno-Hatta. Penumpang taksi harus membayar parkir ketika masuk pusat perbelanjaan, rumah sakit, dan perkantoran. Masih banyak kebijakan yang justru mendorong penggunaan kendaraan pribadi.

Bagaimana mencerna kebijakan yang mengizinkan berdirinya pusat perbelanjaan di kawasan Semanggi yang secara pelan dan pasti mengikis fungsi Jembatan Semanggi yang pernah menjadi kebanggaan nasional. Menjamurnya perumahan dan apartemen tanpa aturan juga memperparah kemacetan. Pemutarbalikan fungsi lahan dan tata ruang hingga ke Serang, Karawang, dan Bogor akan meningkatkan kemacetan yang mengepung pintu masuk dan keluar Jakarta.

Uraian tersebut hanya contoh betapa parahnya sebab dan akibat yang terkait dengan kemacetan di Jakarta. Karena itu, meski terus dicari, solusi jangka pendek mengatasi kemacetan menjadi kurang relevan.

Apa yang bisa dilakukan? Salah satu langkah tersisa adalah solusi jangka panjang yang memberikan kesempatan untuk cooling down dalam proses perencanaan. Kita sudah sering terjebak dalam solusi jalan pintas. Ide-ide penyelesaian cenderung hasil olah pikir sesaat namun sesat, yang justru menjauhkan kita dari sasaran yang dituju.

Memindahkan ibu kota seperti pernah direncanakan Presiden Soekarno kelihatannya perlu dipertimbangkan kembali untuk dapat menyelesaikan masalah kemacetan di Jakarta dan sekitarnya dan kota-kota besar di Pulau Jawa.

Pindah ke mana dan bagaimana? Memindahkan ibu kota ke kota lain di Pulau Jawa tidak akan menyelesaikan masalah, mengingat daya dukung Pulau Jawa yang semakin terbatas. Karena itu, pilihan hanyalah memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa. Alternatif itu bukan hanya untuk memecahkan masalah kemacetan, melainkan secara bersamaan menjadi solusi untuk berbagai sektor lain dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan infrastruktur, pelayanan jasa publik, dan tata kelola pemerintahan yang pada akhirnya akan memberikan kualitas kehidupan lebih baik. Janganlah dilupakan bahwa kehidupan dan kemerdekaan yang kita nikmati sekarang bukan hanya warisan generasi pendahulu kita, melainkan juga titipan generasi mendatang.

Memindahkan ibu kota ke Palangkaraya merupakan salah satu alternatif. Alternatif lain, ke kota-kota yang selama ini sudah menderita karena akumulasi berbagai konflik, seperti Poso (Sulawesi), Ambon (Maluku), dan Banda Aceh (Sumatra). Namun, guna menegakkan aspek pemerataan pembangunan, ada baiknya ibu kota dipindahkan setiap 40 atau 50 tahun.
Bukankah kita menginginkan pemerataan pembangunan yang lebih baik sehingga dapat mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat? Tuntutan percepatan realisasi otonomi daerah juga diharapkan akan terjawab. Di sisi lain, pengurangan beban pembangunan Pulau Jawa akan terjadi, lebih khusus lagi, Jakarta secara bertahap bisa ditata ulang dan disiapkan menjadi salah satu pusat bisnis di Asia Tenggara.

Pemindahan ibu kota secara berkala mungkin 'ide gila' jika dilihat dari kaca mata sekarang. Tapi, apakah kita tidak kalah gila membiarkan terus berdirinya rimba beton di sentra Jakarta dengan menggusur lahan hijau dan ruang terbuka? Bukankah kita juga sudah cukup gila membiarkan para pejabat menunda pembangunan, menyimpan dana dalam SBI, dan penyalahgunaan wewenang lainnya, untuk kemudian justru membelanjakan uang yang dihasilkan daerahnya antara lain untuk membeli properti di Jakarta? Masihkah kita bisa menalar ketika rumah demi rumah di daerah Menteng, Pondok Indah, Kemang dan beberapa lokasi strategis lainnya justru beralih kepemilikan ke tangan pengusaha dan pejabat daerah, atau pejabat pusat yang kembali ke Jakarta setelah 'panen' di daerah?

Kita telah melupakan bahwa salah satu sumber masalah nasional adalah tidak meratanya penyebaran penduduk yang diikuti perbedaan tingkat sosial. Jakarta dan Jawa jelas masih menjadi 'gula yang mengundang semut'. Jika memang mencari solusi kemacetan, mulailah dengan menyelesaikan akar permasalahan. Apalagi jika langkah yang diambil juga bisa membangun Indonesia seutuhnya untuk jangka panjang dan menyejahterakan generasi mendatang. Pemindahan ibu kota tidak harus serentak karena sangat sulit dari berbagai sisi. Tetapi bertahap. Bukankah kita sekarang sedang menyiapkan infrastruktur informasi dan komunikasi berupa rencana penggelaran serat optik Palapa Ring di wilayah timur Indonesia? Penggunaan infrastruktur informasi yang berkapasitas dan berkecepatan tinggi itu akan menurunkan biaya operasi dan memudahkan komunikasi dengan ibu kota baru. Kembali, masalahnya bukan bisa atau tidak bisa. Tetapi maukah kita? Semoga, bersama kita memang bisa maju dan jaya!

Penulis: Eddy Satriya, Senior Infrastructure Economist. Bekerja pada Menko Bidang Perekonomian

Friday, November 02, 2007

"Open Sourcing" oil and gas sector

Eddy Satriya, Jakarta

Jakarta Post 2 Nov 2007 http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20071102.E03

It is no big surprise that Indonesia's Upstream Oil and Gas Regulatory Body (BP Migas) is now struggling to select the best consultant to "fix" its financial report. Nor did we wonder when the Downstream Oil and Gas Regulatory Body (BPH Migas) and the Directorate General of Oil and Gas recently came into dispute over a tendering process.

What does really matter is that while the oil price has recently reached a historical high of US$93 per barrel, our government has been preoccupied with non-technical concerns instead of focusing efforts on increasing production back to 1.3 millions barrel per day. Sadly, the country fails again to maximize revenues from oil and gas production, and the government is still trapped by fuel and electricity subsidies.

The government said it had prepared several measures to cope with the impact of rising oil prices, but the question remains on how to get out of the oil price trap.

In fact, there are only two options left. First is to reduce oil-based energy consumption, and second is to increase oil production. The first option, however, is almost impossible due to gross energy efficiency.

The government should launch concerted efforts to increase oil production, which has long remained below one million barrels a day.
But increasing oil production quickly is not an easy task, since it often takes five to seven years before explorations lead to oil output. Moreover, we need unconventional ways to jack up our production.

Take Rob McEwen, for example, the chief executive officer of Goldcorp Inc., Canada. McEwen struggled to keep his Toronto-based gold mining company from bankruptcy due to a series of strikes, mountains of debt and an extremely high cost of production.

When most of the analysts assumed that the company was dying, McEwen borrowed a page from Linux, the computer operating system company that saw astonishing development after opening and sharing the source code for its computer programs.

In order to arrive at accurate estimates of gold's value and exact location, McEwen decided in March 2000 to put all of his company's geology data in a digital file and share it with the world. He unveiled "Goldcorp Challenges" with a total $575,000 in prize money to the winner with the best methods and estimates.

More than 1,400 scientists, engineers and geologists around the globe downloaded the company's data and completed a virtual exploration. The winners successfully developed a more powerful 3-D graphical depiction of the mine without ever visiting the site.
In short, by applying an open source approach McEwen successfully kept Goldcorp Inc. from bankruptcy while also showing the world that exposing super-secret data doesn't necessarily harm a company's interests.

In Indonesia, what really matters now is changing the mindset of the officials in charge of oil and gas development.

Despite the fact that Indonesia is no longer a net oil exporting country, the government should continue focusing efforts on improving governance in the hydrocarbon sector. Only with such new approaches will the national oil and gas industry regain their roles in the national economy. Failing to do so will destroy all opportunities to increase oil production and cash more dollars for the state budget.

Therefore, all stakeholders of the oil and gas industry have to work to identify and remove constraints while also introducing "more open" approaches to increase oil reserves and pump the production rate back at least 1.3 million barrels per day.
Since gas price is practically pegged to oil price, the same approach must also be applied to natural gas business and its product. This is the essence of sectoral reform in oil and gas industry.

The country has already suffered from an "oily" system. The reluctance in putting relevant information on the table -- such as the volume of gas reserves -- has halted the East Kalimantan-Java Gas Pipeline project. Also, a lack of openness in policy implementation on LNG usage priority has closed down tens of factories in Java and Sumatra at a time when we've renewed our commitment to Japanese industries by promising millions of tons of LNG cargoes for the next ten years.

Finally, I'm reminded of the question of one my macroeconomics professors in the U.S. During my first fall semester in 1995, he asked me about what the first Iraq war meant to me as an Indonesian. I replied, "Thank God, it improved my salary and the country cashed in on oil windfall for economic development". Indeed, rocketing oil prices are supposed to make Indonesia prosperous, not impoverished.

The writer is a senior infrastructure economist at the Coordinating Ministry for Economic Affairs. The views here are personal. He can be contacted at satriyaeddy@gmail.com.


=============================
Due to a very efficient editing process on The JP, I would be very happy to provide additional reference as the followings:
· It is not a big surprise to know that Indonesia’s Implementing Body for Oil and Gas Upstream Business (BP Migas) was now struggling to select the best consultant to ”fix” its financial report (Kompas, 25/08/07).
· As reported, the government might have taken several actions to anticipate consequences of the increase on oil price to the national economy (Media Indonesia, 24/10/07).
· Seeking the way out to increase oil production absolutely is not an easy task. Pumping up production capacity needs 5 to 7 years in practice as admitted by Minister Purnomo Yusgiantoro (Kompas, 27/10/07).
· For the case of Indonesia, and considering other socio-economic and recent political situation, the only way to do is to think from “out of the box” as Rob McEwen did. Rob McEwen, CEO of Goldcorp Inc. of Canada, has successfully found the way out in keeping his company exist. As Don Tapscott and Anthony D. Williams explain in “Wikinomics: How Mass Collaboration Changes Everything” (2006, p.7-9),


+++++++++++

Tuesday, August 14, 2007

Reformasi (Birokrasi) Itu Mudah

Telah terbit dalam Kolom Warta Ekonomi Edisi 6 Agustus 2007

Proses refomasi birokrasi dianggap semakin kehilangan arah dan tidak terpadu sebagai kesatuan utuh program reformasi nasional guna menuju kondisi berbangsa yang lebih baik. Sementara itu berbagai publikasi dari PERC dan Transparansi Internasional menunjukkan semakin menurunnya daya saing nasional, yang menempatkan Indonesia dalam tier atau kelompok terbawah bersama negara berkembang dari Asia dan Afrika.

Berbagai kantor pemerintahan dan swasta boleh saja mengklaim bahwa mereka telah melakukan pembenahan organisasi dan tata kerja. Begitu pula, berbagai kampanye tentang pelaksanaan good government atau good corporate governance terus didengungkan. Namun kenyataan di lapangan dan laporan masyarakat menunjukkan fakta yang berlawanan. Pengurusan berbagai jasa publik seperti KTP, SIM, dan Surat-Surat lain, termasuk pembayaran beberapa jenis pajak, masih belum mengalami perbaikan substantif. Meski ada perbaikan dan kemajuan, kecepatannya masih kalah dengan proses pembusukan yang terjadi. Kondisi birokrasi yang agak menggembirakan justru diperlihatkan beberapa daerah yang beruntung memiliki pemimpin reformis seperti Kabupaten Sragen (Jateng) dan Jembrana (Bali).

Jika dibandingkan dengan negara maju ataupun dengan anggota ASEAN, maka berbagai data juga menunjukkan bahwa kita semakin tertinggal dalam proses perizinan dan kemudahan berinvestasi. Hengkangnya investor dan diputuskannya beberapa kontrak besar menjadi bukti yang semakin memperparah tingkat pengangguran.

Kondisi birokrasi memang harus segera diperbaiki. Urgensi perbaikan birokrasi ini telah ditegaskan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (Menpan) yang mengungkapkan bahwa reformasi birokrasi masih jauh dari harapan karena belum adanya kesamaan persepsi (Tempo Interaktif, 12/3/07). Menpan baru-baru ini juga telah mengungkapkan bahwa pemerintah sedang menyiapkan aturan reformasi birokrasi, termasuk penggodokan RUU Administrasi Pemerintahan, Kepegawaian Negara, dan Pengawasan Nasional (Koran Tempo, 17/7/07).

Mestinya tidak perlu menunggu habisnya separuh waktu kerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Seyogyanya reformasi birokrasi telah dilaksanakan menyusul selesainya Pendaftaran Ulang PNS pada tahun 2003 lalu. Memperhatikan situasi ini, diperkirakan reformasi birokrasi akan terkendala oleh waktu dan masa bakti kabinet, terlebih lagi jika mengingat kantor Menpan juga dititipi untuk mengurusi permasalahan lain seperti pemilihan anggota KPK dan penyusunan program investasi bersama BKPM.

***

Lalu apa yang mesti dilakukan saat ini? Melihat kompleksnya permasalahan, pelaksanaan reformasi birokrasi memaksa kita memilih strategi yang tepat. Mereformasi birokrasi juga berarti memutus lingkaran setan atau mata rantai KKN di birokrasi. Saya lebih memilih untuk meningkatkan kesejahteran PNS yang diiringi dengan sanksi tegas bagi pelanggar aturan. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut.

Pertama, peningkatan kesejahteraan melalui perbaikan struktur gaji. Langkah reformasi birokrasi yang diambil oleh Departemen Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 30/KMK.01/2007 yang berujung dengan perbaikan tunjangan pegawai, tentu perlu diacungi jempol. Namun langkah tersebut perlu segera disempurnakan. Mestinya gaji pokok yang dinaikkan, bukan tunjangan. Menaikkan tunjangan akan menaikkan gaya hidup pegawai dan kemudian membuat mereka terhenyak ketika pensiun, karena besarnya pensiun mengacu pada gaji pokok, bukan tunjangan. Kondisi ini justru bisa memicu pegawai untuk ber-KKN. Jika memungkinkan frekuensi pemberian gaji juga ditambah dan rasio gaji tertinggi dengan yang terendah diturunkan sebagaimana dilakukan Jepang. Sudah sepantasnya pula pemerintah memikirkan untuk memberikan gaji paling kurang 15 atau 16 kali yang sangat berguna ketika hari besar agama, hari masuk sekolah anak-anak dan cuti datang.

Kedua, penataan tugas pokok dan fungsi organisasi, sistem managemen kantor, Sumber Daya Manusia agar lebih efisien. Untuk langkah ini Kantor Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas kiranya dapat menjadi contoh. Diam-diam, semenjak bergulirnya reformasi Bappenas telah menata diri. Langkah awal yang dilakukan adalah ”menarik diri” dari proses pembahasan RAPBN di Ditjen Anggaran yang sarat dengan praktek KKN dan berkonsentrasi dalam aspek perencanaan. Peran Bappenas sekarang digantikan oleh DPR. Di samping itu Bappenas juga telah menghapuskan jabatan eselon IV yang diganti dengan pengembangan jabatan fungsional perencana (JFP) yang bisa memberikan tambahan penghasilan yang lebih baik melalui pelaksanaan berbagai kegiatan perencanaan secara lebih profesional. Langkah ini meniru organisasi serupa di beberapa negara maju seperti Korea Selatan dan Amerika Serikat. Intinya adalah melegalkan penambahan kesejahteraan pegawai dan menghindari praktek-praktek yang selama ini dijalankan banyak departemen dengan menggunakan sumber dana diluar mekanisme APBN.

Ketiga, memanfaatkan teknologi secara tepat dalam pengelolaan anggaran dan pelayanan publik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa budaya ”tatap muka” telah menjadi batu sandungan dalam perbaikan sistem pelayanan publik yang sarat KKN. Karena itu pemerintah sudah masanya memperbanyak penggunaan aplikasi-aplikasi elektronik yang dapat memutus mata rantai terjadinya praktik KKN. Sudah semestinya pemerintah SBY-JK mempercepat pelaksanaan e-Anggaran, yaitu pemanfaatan telematika dan data base informasi dalam proses usulan, analisis, pembahasan dan penetapan alokasi anggaran baik untuk APBN maupun APBD. Di samping mengurangi praktek KKN, pemanfaatan aplikasi telematika ini akan dapat merekam jejak langkah proses perencanaan dan evaluasi pembangunan, baik sektoral maupun regional.
Disamping ketiga langkah di atas yang berfokus kepada peningkatan kesejahteraan pegawai dalam memenuhi kebutuhan hidup minimal dan pemanfaatan teknologi, beberapa lainnya yang perlu diambil pemerintah antara lain adalah: membatasi rangkap jabatan di pemerintahan; menyediakan nomor telepon layanan sebagai call-center atau alamat email untuk memberikan masukan ataupun pengaduan; dan memberikan sanksi tegas bagi pimpinan atau pegawai yang melanggar.

Pemilihan langkah untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan pegawai terlebih dahulu adalah untuk menangkal semakin besarnya kerugian negara akibat KKN. Pengalaman penulis menunjukkan bahwa pelaku KKN punya seribu satu cara untuk membobol seribu aturan yang ada. Mengingat reformasi birokrasi adalah subyek yang cukup kompleks, kelenturan dalam melaksanakan reformasi juga diperlukan. Menunggu untuk memulai reformasi birokrasi adalah kesalahan besar.

Sungguh, reformasi birokrasi itu sesungguhnya mudah. Masalahnya bukan bisa atau tidak, tetapi mau atau tidak kita memulainya.
________

*)Pemerhati Reformasi, PNS di Kantor Menko Perekonomian. Pendapat pribadi.
Dapat dihubungi di satriyaeddy@gmail.com

Monday, July 16, 2007

DENGAN PSO MENJEMBATANI KESENJANGAN INFRASTRUKTUR

Bapak dan Ibu Yth.

Bagi yang ingin mendapatkan buku PSO diatas versi PDFnya silakan klik disini.

Mohon saran dan komentarnya dengan bebas dapat disampaikan kepada kami dengan address sbb:

Asdep Telematika dan Utilitas
Deputi V
Kantor Menko Perekonomian
Gedung PAIK Lt 7
Jl Lapangan Banteng TImur 2-4
Jakarta 10710, INDONESIA
Tel: 62.21.3456714
Fax: 62.21.3456817
Email: rudydharmanto@ekon.go.id dan frista@ekon.go.id

Wassalam,

Eddy

Monday, April 16, 2007

STOP PERPELONCOAN, TITIK

Oleh: Ir. Eddy Satriya, MA *)

satriyaeddy@yahoo.com

Catatan: Artikel ini ditulis akhir Sept 2003 dan belum sempat dipublikasikan di media cetak

Rasa mual, sedih, putus asa, amarah dan geram bercampur menjadi satu dalam diri saya tatkala menonton tayangan Televisi (TV) swasta SCTV pada Minggu malam 21 September 2003 lalu. Diperlukan ketenangan diri dan “syaraf baja” untuk menyaksikan tayangan yang mengupas kejadian amoral di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) tersebut hingga tuntas. Walaupun terkadang samar karena kejadian yang direkam dengan kamera video amatir itu berlangsung malam hari, namun apa yang tertayang dilayar kaca tersebut semuanya bisa terlihat dengan jelas dan dimengerti.

Memang ada yang berhasil menahan pukulan tangan dan tendangan sambil meringis, namun banyak pula yang terjengkang. Ada yang “melingker” seperti ular sambil memegang perutnya yang baru saja kena pukulan tangan sejenis “hook” yang diayun sekuat tenaga dari bawah, ada pula yang terjungkir balik ke belakang setelah menerima tendangan melayang dibagian dada, atau bahkan ada yang tidak bisa bangun lagi setelah dipukul dengan dua tangan yang diayunkan dari atas kebagian dada untuk kemudian digotong keluar arena. Bahkan ada yang tega bertindak pengecut memukul dari belakang lalu kabur disaat senior lainnya menghajar dari depan. Sungguh tiada kata dan tata bahasa manapun yang bisa dan pantas digunakan untuk menggambarkan rentetan siksaan yang dilakukan oleh para senior terhadap yuniornya di lingkungan kampus perguruan tinggi kedinasan tersebut. Untunglah acara ekslusif itu ditayangkannya menjelang tengah malam.

Tak karuan, setelah melihat tayangan tersebut, maka saya pun tidak mampu lagi membaca berbagai tulisan-tulisan yang mengupas berbagai siksaan yang dialami siswa STPDN ataupun bilur-bilur kepiluan yang dirasakan oleh keluarga siswa yang harus mengurus putra-putrinya korban kekejaman gerombolan senior STPDN.

Kemudian pikiran sayapun tiba-tiba melayang kembali ke awal tahun 80-an persisnya tahun 1982. Saat itu debu abu letusan gunung Galunggung menyelimuti kota Bandung. Suara teriakan dan hardikan tak henti-hentinya terdengar dari dalam Taman Ganesha, persis di depan pintu gerbang Institut Teknologi Bandung (ITB). Tak lama berselang terdengar pula suara nyanyian dan suka cita. Rasa ingin tahu sebagai seorang mahasiswa baru yang datang dari daerah mendorong saya untuk melihat langsung apa yang terjadi disana. Bersama beberapa teman, dari celah rimbunnya tanaman dan bunga bisa disaksikan bahwa di dalam taman itu sedang berlangsung aneka ragam perpeloncoan dari beberapa jurusan di ITB. Senior jurusan “ngerjain” yuniornya yang hendak masuk himpunan. Namun hampir tidak ada terlihat kontak fisik antara senior dan yuniornya. Semua berjalan dengan “sesuai aturan”. Sekali lagi tidak ada pukulan, tamparan apalagi tendangan melayang ala Jacky Chan atau Bruce Lee sebagai bagian dari kontak fisik antara panitia dengan yang dipelonco.

Kemudian terlintas pula berbagai bayangan perpeloncoan yang pernah saya alami. Hampir sama dengan kejadian yang menimpa senior di atas saya, kami pun menjalani berbagai bentuk variasi perpeloncoan untuk masuk himpunan jurusan. Sebagai mahasiswa yang haus akan pengalaman baru dan juga karena keterbatasan dana pendidikan, sayapun memutuskan untuk masuk asrama di jalan Ganesha 15F. Berbagai bentuk perpeloncoan pun kembali saya jalani. Mulai dari harus bangun paling pagi, menjaga tersedianya air, menghidupkan dan mematikan lampu rumah dan taman, mematikan TV dimalam hari dan puluhan bentuk pembinaan mental.

Hukuman tetap ada baik karena kesalahan pribadi ataupun kesalahan kolektif sesama yunior. Namun sekali lagi, tidak ada kontak fisik antara senior dengan yang dipelonco. Mungkin itulah yang membedakan perpeloncoan yang saya dan juga mahasiswa perguruan tinggi lain dengan yang harus dialami oleh mahasiswa yunior di STPDN Sumedang.

***
Rasanya tidaklah banyak manfaatnya pada saat-saat seperti sekarang ini untuk menggali lebih jauh asal usul perpeloncoan. Akan terkesan mubazir dan percuma. Sepatutnyalah kita mengkaji langkah kedepan tentang bagaimana harus memperlakukan perpeloncoan. Harus ada keputusan yang tegas, hitam atau putih. Bukan abu-abu. Terlebih lagi melihat reaksi-reaksi “norak” dari para elite pimpinan yang masih senang berdebat tanpa ada keputusan tegas tentang perpeloncoan. Kita sudah terlalu kejam dan tega menyiksa diri sendiri dalam posisi yang tidak jelas. ?

Hampir setiap orang yang pernah mengenyam pendidikan menengah dan tinggi di Republik ini mengenal perpeloncoan dalam berbagai bentuk dan variasinya. Ada yang mengenalnya sejak masuk sekolah menengah tingkat pertama, sekolah menengah tingkat atas ataupun di saat memasuki perguruan tinggi. Perpeloncoan telah meninggalkan kenangan, nostalgia atau malah”nightmare” bagi setiap orang. Ada yang pro, tentu ada pula yang kontra.

Mengapa kita harus menegaskan sikap menghadapi berbagai bentuk perpeloncoan ini? Ada beberapa alasan. Pertama, darah dan jiwa muda baik untuk senior dan yunior yang dipelonco memang tidak mudah dikendalikan. Hampir dapat dipastikan akan terjadi penyimpangan dari aturan main yang telah disepakati antara pimpinan sekolah dengan panitia. Kedua, tugas-tugas yang diberikan oleh senior walaupun sudah dibuat dengan kreatifitas dan inovasi tinggi untuk berbiaya murah, masih akan dirasakan mahal pada saat kondisi keterpurukan ekonomi masih berlangsung. Kalaupun murah, waktu yang sangat terbatas mengakibatkan biaya tinggi juga. Ketiga, kecenderungan yang ada saat ini berbagai bentuk perpeloncoan sering diadakan diluar sekolah atau kampus sehingga sangat sulit untuk mengontrol. Keempat, persiapan antisipasi untuk menanggulangi berbagai bentuk kecelakaan dengan menyediakan peralatan dan tenaga medik yang memadai sering diremehkan. Terakhir, berbagai bentuk perpeloncoan yang dilaksanakan oleh para senior ini sudah tidak dijumpai lagi di banyak negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang.

Berbagai pertimbangan di atas dan kondisi negara yang sangat membutuhkan banyak perhatian di berbagai sisi kehidupan diharapkan mampu membuka mata para pengambil keputusan tentang aturan pendidikan. Hendaknya Kantor Kementerian Pendidikan Nasional (Diknas) bisa menginstruksikan secepat-cepatnya kepada semua jajarannya mengkaji ulang kondisi ini. Jujur saja, pekerjaan tidaklah layak untuk diproyekkan yang harus menunggu siklus perencanaan dan pembiayaan pembangunan selama satu tahun. Stop perpeloncoan.
________
*) Penulis PNS biasa, tinggal di Sawangan-Depok.

Monday, March 26, 2007

Tukul, DPR, dan "Laptop Mania"

Harian Kompas 26 Maret 2007
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0703/26/iptek/3410764.htm


Akhirnya, salah satu aplikasi telematika, yaitu rencana pengadaan dan pemanfaatan laptop untuk anggota DPR, berhasil juga menjadi topik diskusi di berbagai lapisan masyarakat. Sayangnya diskusi yang bergulir bernada miring dan sinis. Tidak kurang dari pengamat politik Arbi Sanit dan rekan saya pengamat telematika Roy Suryo menyiratkan bahwa belum saatnya (semua) anggota DPR memiliki laptop (Kompas, 24/3).

Munculnya tanggapan sinis tersebut kelihatannya disebabkan oleh belum pahamnya sebagian masyarakat akan manfaat alat ini, di samping mahalnya harga per unit yang mencapai Rp 21 juta seperti direncanakan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR. Lalu, tentu menjadi pertanyaan, apakah laptop memang bermanfaat untuk anggota Dewan?

Jika seorang pelawak Tukul Arwana saja bisa mengoptimalkan nilai tambah laptop sehingga secara menakjubkan menjadi presenter top, mengapa kita justru membatasi penggunaannya? Mengapa harus apriori atau ada diskriminasi?

Laptop juga sudah digunakan para eksekutif di berbagai tingkatan birokrasi, termasuk di daerah. Janggal rasanya jika kita memprotes anggota DPR, sementara dalam sepuluh tahun terakhir miliaran rupiah, bahkan secara agregat mencapai triliunan rupiah, telah dibelanjakan untuk membeli laptop di seluruh instansi pemerintah dengan harga yang tidak jauh beda dengan patokan BURT DPR.

Apalah artinya uang Rp 12 miliar dibandingkan dengan berbagai pengeluaran lain seperti pembelian mobil-mobil ber-cc besar untuk aparat yang semakin memboroskan energi? Kurang tepat pula rasanya mengaitkan biaya pengadaan laptop untuk membangun sekolah yang sudah punya anggaran yang masih berlebih di Depdiknas.

Harga laptop bervariasi, sekitar Rp 2,5-Rp 25 juta per unitnya, tergantung fasilitas dan teknologi yang digunakan. Panitia lelang DPR bisa saja memilih berbagai kombinasi fasilitas dan sistem yang digunakan untuk mendapatkan harga optimal pada kisaran Rp 15 juta yang bisa dicapai lebih dari tiga merek yang ada saat ini.

Dengan demikian, harga Rp 21 juta per unit yang dijadikan pagu oleh BURT DPR tidak perlu dipermasalahkan atau dikhawatirkan akan mengarah kepada praktik kolusi dan antikompetisi yang melanggar Keppres 80/2003 (Koran Tempo, 24/3). Jika lelang bisa berlangsung dengan baik, bukan tidak mungkin akan terjadi penghematan yang cukup signifikan.

Memang, mungkin saja tidak semua anggota Dewan mampu menggunakan laptop saat ini. Namun, bukankah pemanfaatan laptop, sebagaimana halnya PDA dan ponsel, semakin hari semakin mudah? Banyak user friendly menu yang terus disediakan berbagai merek untuk konsumennya di tengah persaingan yang makin sengit. Juga kita tahu, tidak semua anggota Dewan old fashioned dengan teknologi telematika.

Banyak pula anggota Dewan yang masih muda dan sudah terbiasa dengan berbagai kemajuan pesat bidang ini. Pemberian laptop dapat memicu terjadinya persaingan antaranggota Dewan dalam berkarya. Terlebih lagi, berkomunikasi, berselancar di internet, mengolah kata, foto dan video saat ini sudah menjadi kebutuhan sehari-hari.

Jika seperlima saja dari anggota Dewan bisa menggunakan komputer, dan setengah dari jumlah itu terbiasa menggunakan situs pribadi atau blog seperti yang digunakan selebriti untuk mengomunikasikan buah pikirannya, maka itu kemajuan besar untuk lembaga legislatif.
Bukanlah mimpi tentunya jika setelah pengadaan laptop akan mulai banyak anggota Dewan yang berkomunikasi dengan konstituennya dan masyarakat yang diwakilinya melalui internet. Apalagi jika di gedung DPR pada saatnya nanti bisa dilengkapi dengan fasilitas wireless LAN, tentu komunikasi berbagai proses dan hasil keputusan politik bisa dengan cepat diinformasikan ke berbagai penjuru.

Demikian pula jika anggota Dewan sudah semakin terampil menggunakan laptopnya, berbagai hasil kunjungan mereka ke daerah dalam bentuk narasi ataupun foto dan video bisa dengan cepat di-posting di situs mereka melalui sambungan internet yang tersedia di berbagai hotel, kafetaria, warnet ataupun fasilitas bandara.

Sebagai penutup, ada baiknya kita renungkan penggalan kumpulan puisi dari TS Eliot, penulis terkenal kelahiran Amerika Serikat pemenang Nobel bidang literatur tahun 1948, yang mempertanyakan: "Where is the life we have lost in living? Where is the wisdom we have lost in knowledge? Where is the knowledge we have lost in information?"

Eliot dengan jelas merangkai perlunya kita memiliki informasi untuk menguasai ilmu pengetahuan guna mencapai wisdom dalam menjalani kehidupan di dunia.

Sejalan dengan tuntutan kehidupan di era globalisasi yang bercirikan terciptanya masyarakat berbasiskan ilmu pengetahuan, maka kemampuan untuk memiliki informasi dan menguasai ilmu pengetahuan adalah suatu keharusan. Kemampuan tersebut hanya bisa dicapai jika kita bisa mengkompilasi data dan mengolahnya menjadi informasi yang bermanfaat. Laptop adalah salah satu alat menuju ke sana.

Eddy Satriya
PNS di Kantor Menko Perekonomian. E-mail: satriyaeddy@gmail.com

Friday, March 09, 2007

MENYOAL KONVERSI MINYAK TANAH KE BAHAN BAKAR GAS

Oleh: Eddy Satriya (satriyaeddy@gmail.com) *

Telah diterbitkan dalam Downstream Indonesia Edisi Feb 2007

Subsidi energi, baik listrik maupun BBM, telah menjadi momok menakutkan bagi pengambil keputusan di Republik Indonesia ini. Pemerintah dipusingkan bukan hanya oleh rumitnya merancang pembangunan dan menentukan prioritas dalam penyusunan RAPBN, tetapi juga dengan besarnya subsidi – terutama BBM – yang harus ditanggung setiap tahun. Karena itulah, pemerintah bersama DPR telah bersepakat untuk menghapuskan subsidi BBM secara bertahap seperti tertuang dalam UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Meskipun demikian, subsidi minyak tanah dikecualikan. Dengan kata lain, meski telah menerapkan harga pasar untuk bensin dan solar, pemerintah masih mensubsidi minyak tanah untuk keperluan masyarakat berpendapatan rendah dan industri kecil.

Namun subsidi minyak tanah dalam dua tahun terakhir masih terasa memberatkan karena besarnya volume yang harus disubsidi, seiring dengan berbagai krisis dan transisi yang terjadi dalam managemen energi nasional. Kondisi ini diperberat pula dengan bertahannya harga minyak dunia pada kisaran USD 50-60 per barel. Karena itu, langkah pemerintah untuk melakukan konversi penggunaan minyak tanah kepada bahan bakar gas dalam bentuk Liquefied Petroleum Gas (LPG) bisa dianggap sebagai salah satu terobosan penting dalam mengatasi rancunya pengembangan dan pemanfaatan energi, sekaligus mengurangi tekanan terhadap RAPBN.

Dari berbagai sumber diketahui bahwa pemerintah berencana untuk mengkonversi penggunaan sekitar 5,2 juta kilo liter minyak tanah kepada penggunaan 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010 mendatang yang dimulai dengan 1 juta kilo liter minyak tanah pada tahun 2007 (detik.com, 19/1/07). Langkah ini bisa dipahami cukup strategis mengingat setelah penghapusan subsidi bensin dan solar, permintaan akan minyak tanah tidak memperlihatkan penurunan. Karena itu, salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi pemakaian minyak tanah.
Sayangnya, rencana konversi kepada LPG ini terasa mendadak dan tidak terencana secara komprehensif. Tak heran berbagai masalah dalam pelaksanaannya muncul seakan tiada henti. Mulai dari ribut-ribut tender kompor gas yang dilakukan oleh Kantor Menteri Koperasi dan UKM, belum jelasnya sumber pendanaan dan besarnya subsidi yang mencapai ratusan milyar Rupiah, rendahnya sosialisasi kepada masyarakat yang justru sedang giat-giatnya memproduksi kompor murah berbahan bakar briket sesuai program pemerintah sebelumnya, ketidaksiapan infrastruktur seperti stasiun pengisian dan depot LPG, hingga kaburnya kriteria pemilihan lokasi uji coba dan kelompok masyarakat penerima kompor dan tabung gas gratis.

Belum habis berbagai kontroveri tersebut, muncul pula masalah lain dalam proses tender kompor gas. Yaitu adanya aturan baru dimana kompor gas harus memiliki dua tungku. Padahal peserta tender sebelumnya telah mengantisipasi dan diminta menyiapkan penawaran hanya satu tungku sesuai aturan dari Departemen Perindustrian (Kompas, 3/2/07).

***
Lalu bagaimana langkah ke depan?

Tidak semua rencana baik bisa berjalan mulus. Apalagi dalam era demokrasi yang penuh transisi. Berbagai niat dan semangat untuk mengukir sejarah tidak cukup hanya dibekali upaya biasa, tapi juga menuntut perjuangan ekstra dan kerjasama. Itulah salah satu kaedah proses perencanaan saat ini. Karena itu demi kelangsungan program konversi yang bertujuan baik, maka proses perencanaan dan program pelaksanaannya sebaiknya dibenahi dari sekarang sebelum mengalami kegagalan atau menciptakan dampak yang lebih buruk.

Ada dua masalah utama yang perlu pemikiran ulang. Pertama, dampak penghapusan subsidi untuk bensin dan solar kelihatannya luput dari perhatian pemikir negeri ini. Anjuran kiai dan puluhan cendekiawan Indonesia dengan berbagai iklannya di media cetak dan media elektronik untuk bersabar menghadapi “penyesuaian” harga BBM ternyata tidak mangkus.

Himpitan dan kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat miskin seperti nelayan di pesisir dan penduduk yang hidup didaerah sungai seperti di Jambi, Sumatera Selatan, sebagian Jawa, dan sebagian besar Kalimantan, menuntut kreativitas agar bisa bertahan hidup. Mahalnya solar untuk melaut telah memaksa nelayan memodifikasi ribuan mesin kapal agar tetap bisa dioplos dengan minyak tanah supaya ekonomis, meski harus mengganti beberapa onderdil secara berkala. Sedangkan bagi rakyat pengguna transportasi sungai, mesin tempel perahu mereka juga harus direkayasa agar bisa menggunakan minyak tanah yang lebih murah. Meski secara ekonomi terjadi pengurangan subsidi untuk bensin dan solar, namun secara nasional penggunaan dan permintaan minyak tanah bukannya menurun. Malah sebaliknya, permintaan naik berlipat-lipat yang tercermin dengan banyaknya antrian minyak tanah disepanjang tahun 2005 dan 2006 di seluruh wilayah nusantara, termasuk di ibukota Jakarta. Hal ini telah diperburuk pula oleh ulah spekulan, pengoplos, dan buruknya distribusi Pertamina.




Kedua, apabila pemerintah masih akan terus melakukan konversi minyak tanah dengan berbagai kondisi makro seperti di atas, maka pelaksanaannya menuntut pembenahan. Koordinasi menjadi kata kunci. Demikian pula, harus jelas institusi penanggung jawab program utama (executing agency) dan institusi pelaksana untuk setiap sub program (implementing agency). Saat ini peran, fungsi dan tugas masing-masing institusi yang terlibat masih rancu. Setidaknya ada beberapa institusi yang terlibat, antara lain: Departemen ESDM, PT. Pertamina, BPH Migas, Depertemen Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Badan Usaha (swasta), LSM, dan Pemerintah Daerah. Menjadi penting untuk meluruskan peran dan tugas masing-masing agar tidak terjadi tumpang tindih dan saling tuding.



Untuk mewujudkan kerjasama dan koordinasi yang baik antar instansi sudah sepantasnya dibetuk Tim Terpadu untuk melaksanakan program konversi ini. Mengingat jumlah masyarakat miskin yang terus bertambah, maka sangat diperlukan kecermatan dalam menentukan lapisan masyarakat yang akan menjadi sasaran konversi ini. Untuk skala nasional tentu saja tingkat kesulitannya akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan skala uji coba yang sekarang sedang dilaksanakan di beberapa kecamatan di wilayah DKI Jaya dan Tangerang.

***
Konversi penggunaan minyak tanah memang harus dilaksanakan secara berkesinambungan mengingat masih tingginya permintaan dan ketergantungan nasional terhadap BBM. Program ini harus berkelanjutan dan tidak bisa sporadis mengingat pemerintah masih kesulitan menaikkan produksi minyak ketingkat 1,3 juta barel per hari, sementara penggunaan bahan bakar gas dan batu bara masih terkendala oleh infrastruktur.

Penggantian jutaan kompor minyak tanah menjadi kompor gas tentu memerlukan biaya cukup besar. Apalagi jika itu akan diberikan secara cuma-cuma. Untuk jangka panjang strategi pembiayaan mutlak harus dipikirkan. Diusulkan agar biaya konversi pemakaian minyak tanah ini bisa diambilkan dari berbagai retribusi dan pendapatan negara bukan pajak lainnya (PNBP) yang jumlahnya cukup besar di sektor Migas. Sedangkan pengelolaanya dalam jangka panjang bisa saja di embankan kepada badan usaha tertentu atau dikembalikan ke Pertamina dengan menggunakan pola Public Service Obligation sehingga mengurangi rantai birokrasi dan dapat meringankan beban pemerintah ditengah keterbatasan sumber daya manusia yang ada saat ini.

Sebagai penutup tidak kalah pentingnya adalah program sosialisasi kepada masyarakat agar dapat mensukseskan program ini. Karena itu ukuran tabung gas dan kepastian rancangan kompor hendaklah dibuat sedemikian rupa sehingga memang sesuai dengan kebutuhan mereka. Khusus untuk ukuran tabung gas, kiranya perlu dipikirkan ulang secara seksama, hingga tidak terjadi salah persepsi nantinya bagi sebagian masyarakat miskin yang tentu juga memiliki tingkat pendidikan yang agak terbatas dibandingkan dengan masyarakat luas lainnya. Kedua hal ini sangat perlu diperhatikan untuk menghindarkan berbagai masalah sosial yang belum diantisipasi pemerintah pada saat ini.
_______

*) Senior Infrastructure Economist, menetap di Depok. Dapat dihubungi di satriyaeddy@gmail.com

Lagu juga Menunjukkan Bangsa


Oleh: Eddy Satriya*)

Peristiwa ini terjadi awal April 2006 lalu ketika saya menyetel lagu Lately yang disenandungkan penyanyi berkulit hitam Salena Jones. Beberapa saat setelah bagian awal lagu yang dipopulerkan Stevie Wonder itu mengalun, puteri kedua saya yang sedang asyik menggambar tiba-tiba bertanya: ”Pa, itu lagu Tulus pakai bahasa Inggris ya?”. Saya tidak langsung menjawab, dan ia pun meneruskan mewarnai beberapa gambar favoritnya. Pertanyaan anak saya yang baru duduk di Taman Kanak-Kanak itu sangat mengusik. Bukan karena anak-anak sekarang lebih memahami lagu remaja atau orang dewasa, tetapi karena anak saya ternyata juga merasakan “kemiripan” antara lagu pop Tulus yang menjadi salah satu hit sebuah group band negeri ini dengan Lately.

Kebetulan saya memang sudah lama penasaran. “Kemiripan” itu telah saya rasakan ketika saya diminta mengiringi Tulus. Insting dan jari tangan saya dengan otomatis mengikuti alur chords Lately, salah satu lagu favorit saya sejak pertama kali saya dengar bulan Agustus 1982. Bagi pemusik lintas generasi, mengiringi Tulus dengan gitar atau piano tentu tidak akan mengalami kesulitan karena susunan bait dan alur chords lagunya memang nyaris sama. Belum lagi kalau ditinjau dari isi lagu. Lirik-lirik Tulus yang meragukan ketulusan hati sang kekasih dalam mencintai, juga nyaris “klop” dengan Lately. Simaklah kuatnya makna penggalan lirik “Just the other night while you were sleeping/I vaguely heard you whispered someone’s name”. Singkat kata, lagu Tulus memang sangat “mirip” dengan Lately.

Bagi orang awam, penggemar musik biasa, atau seniman yang lahir berbeda generasi cukup jauh, “kemiripan” kedua lagu tersebut bisa saja menjadi suatu yang wajar dan tidak menarik perhatian. Namun bagi para pemusik handal atau penikmat musik fanatik, maka “kemiripan” itu mustahil tidak diketahui. Menjadi pertanyaan tentunya, mengapa semua membisu dan mendiamkan saja? Apakah benar belasan program infotainment hanya memburu berita artis yang kawin-cerai? Apakah diantara pemusik dan penyanyi juga berlaku slogan “Sesama Bus Kota Dilarang Saling Mendahului”?

***
Mirip memang tidak otomatis identik dengan menjiplak. Dari berbagai definisi semua itu bisa diperdebatkan. Namun demikian, meskipun tidak ada batasan baku, semangat seni dari dulu memang saling menghargai karya cipta dengan moralitas tinggi. Di tengah majunya dunia musik negeri ini, sudah selayaknya juga banyak kritikus seni yang secara jeli menjaga agar dunia seni tidak sampai tercederai seperti halnya berbagai bidang kehidupan lain yang sudah carut marut.
Jika kita menengok ke belakang, masalah jiplak menjiplak lagu sudah pernah gencar dibahas dalam berbagai kesempatan. Namun gaungnya hilang sejalan dengan semakin maraknya pembajakan musik yang mengambil pasar cukup besar dan berbagai faktor lemahnya penegakan hukum dagang. Beberapa kali Chandra Darusman, Franky Sahilatua, dan artis lainnya pada kurun 1990-an gencar membahas bajak-membajak dan jiplak-menjiplak lagu. Namun langkah besar itu kelihatannya berhenti begitu saja tanpa jelas kelanjutannya.

Menariknya lagi gejala “kemiripan” lagu yang terjadi di negeri kita dengan lagu lain yang sudah lebih dulu populer itu justru muncul dari kalangan artis yang sedang naik daun. Karena penyanyi atau penciptanya sedang “ngetop”, maka sepertinya boleh dimaafkan. Kental sekali terasa sikap memaklumi yang biasanya terjadi di lingkungan sosial politik, juga telah mewabah dan merasuki sendi-sendi mulia bidang seni yang sangat menghargai orisinalitas suatu karya cipta. Jelas ini suatu penurunan nilai-nilai yang harus segera dihentikan. Bagaimanapun pelaku seni meletakkan kepuasan karya seni di atas segalanya.

Gejala miripnya lagu bukan hanya terjadi sekarang. Sulit dilupakan kalau lagu “Antonio’s Song” nya Michael Frank juga sangat mirip dengan lagu pop manis berjudul “Keraguan” yang dinyanyikan oleh duo penyanyi pria kita yang sangat populer di tahun 1980-an. “Kemiripan” lagu juga terjadi untuk beberapa lagu daerah yang sangat populer. Tidak jarang lagu yang sudah dianggap hasil karya bermutu putera daerah, ternyata memiliki padanan lagu yang sangat mirip baik dari komposisi nada maupun lirik. Lihat saja lagu Panon Hideung dari Jawa Barat yang terkenal itu tidak bisa dibedakan dengan lagu latin “Cotzi Cortina” yang juga berarti Si Mata Hitam. Begitu pula Kopi Dangdut yang sudah menjadi hit dalam blantika musik dangdut anak negeri ini tidak bisa dibedakan dengan versi latinnya. Sebuah lagu daerah dari Minangkabau Kamiri yang berirama swing juga ternyata mirip dengan sebuah lagu jazz standar kuno di Amerika Serikat sana.

***
Musik memang tidak bisa dipisahkan dari bisnis. Karena itu berbagai penyimpangan juga dimaklumi bisa terjadi. Blantika musik nasional saat ini memang sedang marak atau “booming”. Meskipun pembajakan masih menjadi momok, namun berkat kemajuan dan konvergensi teknologi, majunya media cetak dan elektronik, serta perkembangan iklan yang makin baik telah membuat musik menjadi industri alternatif yang menjanjikan. Munculnya pemusik berbakat alam maupun yang lewat jalur akademik telah menyemarakkan industri musik nasional dalam 10 tahun terakhir dan mampu menyerap banyak tenaga kerja.

Kepakaran beberapa musisi besar Indonesia dan pelaku bisnis di bidang ini telah berhasil meningkatkan kesempatan penampilan karya musik melalui berbagai show baik di pelosok negeri ataupun ke negara tetangga. Begitu pula berbagai kemajuan penting dalam perfilman nasional dan dunia infotainment dan edutainment lainnya telah secara langsung menggairahkan dunia musik nasional. Suksesnya hajatan Java Jazz 2006 yang lalu di Jakarta menjadi bukti bahwa kita adalah juga bangsa yang besar di bidang seni.

Namun demikian berbagai kemajuan yang telah dicapai dunia musik nasional, baik yang berakar dari budaya sendiri ataupun sebagai dampak globalisasi, tidak seharusnya bisa mentolerir berbagai “kemiripan” karya cipta seni orisinal yang tidak ternilai. Apalagi tanpa ada penjelasan tuntas tentang penciptanya. Begitu pula popularitas, omzet, serta kelangsungan kontrak dalam bisnis musik tidak bisa menjadi pertimbangan untuk mendiamkan berbagai perilaku buruk dan rendahnya moral sebagian artis yang memaksakan diri mencari jalan pintas. Kalau itu terjadi, semestinya para pemusik muda terus diingatkan agar tetap mempertahankan idealisme mereka.

Sikap sportivitas dan menjunjung tinggi karya orang lain juga semestinya dapat dipertahankan di dunia seni. Dalam kondisi negara yang sedang terpuruk di berbagai bidang, maka bidang seni - termasuk musik- kiranya menjadi salah satu dari sedikit alternatif tersisa yang masih bisa membuat kita bangga sebagai bangsa Indonesia. Musik, lagu, dan karya seni lainnya seharusnya tidak terseret kedalam nilai-nilai rendah seperti perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang telah menjadi momok negeri ini.

Jika pemimpin sudah banyak yang semakin jauh dari rakyatnya, jika birokrat sudah semakin sulit lepas dari kekuasaan, jika pelaku bisnis masih belum bisa meninggalkan praktek suap-menyuap dan mark up, ketika sebagian profesor kita juga tidak kalah kotor, dan ketika sebagian para kiai pun sudah tidak bisa membedakan antara berdakwah dengan berbisnis dan berpolitik di negeri ini, maka hanya kepada dunia seni lah kita bisa mengharap independensi suatu karya orisinal yang masih dijunjung tinggi oleh idealisme.

Maka pemusik dan penyanyi teruslah berkarya dengan idealisme penuh. Karena musik dan lagu juga bisa menunjukkan bangsa.

_________

*) Penikmat musik dan pemerhati reformasi. Menetap di Sawangan-Depok. Dapat dihubungi di satriyaeddy@yahoo.com

Proyek Pipa Gas Kaltim-Jateng: ”Sui Generis”

JAKARTA, Investor Daily 16/11/2006 /
http://www.investorindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=19035&Itemid=32


Oleh: Eddy Satriya*)

Energy Security atau jaminan keamanan pasokan energi, khususnya gas alam, semakin terasa penting dalam konteks ekonomi nasional. Kekurangan pasokan gas untuk pembangkit listrik, pabrik pupuk, pabrik baja, industri keramik dan berbagai industri lainnya di Pulau Jawa dan Sumatera telah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Sementara itu, keterbatasan infrastruktur telah menunda distribusi gas ke rumah tangga.

Karena itu, wajar sekali apabila seorang peserta sesi Business Dialog dengan jajaran Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) dalam Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition(IICE) 2006 awal November lalu menanyakan kepada pemerintah tentang kelanjutan proyek pipa gas Kalimantan Timur – Jawa Tengah (Kalija) sepanjang 1.220 km. Pertanyaan itu muncul di tengah kegalauan praktisi dan industri migas terkait dengan rencana pembangunan terminal Liquified Natural Gas (LNG) di Jawa Barat, munculnya pernyataan Presiden SBY akan menata ulang kebijakan gas, serta adanya protes dari sebagian masyarakat di kota Bontang yang mengandalkan pemasukan daerah dari ekspor LNG. Pertanyaan itu juga menggelitik mengingat proyek pipa gas Kalija ini sudah ditawarkan dalam Infrastructure Summit 2005 lalu.

Penjelasan yang disampaikan langsung Menteri DESDM terkesan normatif yang menyerahkan kelanjutan pelaksanaan pembangunan pipa gas Kalija kepada badan usaha pemenang Lelang Hak Khusus yang telah ditunjuk 17 Juni 2006 lalu. Ditambahkan pula bahwa pelaksanaan pembangunan pipa gas Kalija sangat tergantung kepada gas reserve and deliverability, tarif dan keekonomian proyek.

Lalu, bagaimana pembagian kerja sama dan peran yang harus dimainkan oleh pemerintah dan swasta? Bagaimana pula dengan masalah otonomi daerah yang tidak bisa dibebankan kepada swasta semata? Dan, apakah BP Migas memang memprioritaskan alokasi gas untuk proyek Kalija?

Tidak bisa dimungkiri bahwa devisa negara telah dihamburkan guna mengimpor produk bahan bakar minyak (BBM) untuk kebutuhan domestik, termasuk untuk membangkitkan listrik. Kerugian juga dialami rakyat Indonesia karena besarnya potensi penghasilan yang hilang dengan diekspornya LNG tanpa henti selama tiga dekade. Ekspor LNG juga menurunkan daya saing industri nasional karena aneka industri di Jepang, Korea Selatan dan Taiwan justru memperoleh sumber energi bersih, murah, aman, dan terjamin dengan kontrak jangka panjang.

Rencana penghentian perpanjangan kontrak ekspor gas dan pengutamaan penggunaan gas domestik yang ditargetkan minimal 25% merupakan tonggak sejarah baru kebijakan energi nasional. Namun belum terlihat tindak lanjut kebijakan strategis yang sangat ditunggu pengguna gas di dalam negeri.

Tarik Ulur

Silang pendapat terus terjadi mengiringi berbagai kepentingan seperti peneliti, pengamat, lembaga swadaya masyarakat, berbagai komponen masyarakat di Kaltim, termasuk dari sektor dan instansi pemerintah terkait. Namun untuk proyek sebesar Kalija yang membutuhkan biaya tidak kurang dari US$ 1,3 miliar, berbagai gejala tersebut wajar saja terjadi seiring dengan transisi regulasi yang tengah berlangsung, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Sebenarnya sejak semula telah mencuat empat masalah utama yang memerlukan keputusan politik ekonomi. Pertama, ketidaktegasan dalam mengalokasikan besaran pasokan gas. Kedua, adanya keinginan kuat PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang telah ”membidani” proyek ini untuk mendapatkan perlakuan khusus. Sementara lelang hak khusus akhirnya dilakukan secara terbuka oleh Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas). Ketiga, munculnya ketakutan sebagian masyarakat Bontang dan warga Kaltim lainnya akan masa depan kilang LNG. Keempat, berkembangnya kekhawatiran di kalangan masyarakat yang melihat rencana pembangunan pipa gas ini hanya akan menguntungkan sekelompok pengusaha yang dekat kekuasaan.

Mencermati dampak ekonomi akibat besarnya ketergantungan energi nasional pada BBM, telah ditunjuknya badan usaha pemenang lelang hak khusus, serta mempertimbangkan perlunya menjaga iklim investasi yang kondusif, proyek pipa gas Kalija ini sebaiknya diselesaikan sesuai rencana. Ia menjadi ujian sukses tidaknya perubahan kebijakan gas nasional yang berorientasi ke dalam negeri dan sekaligus akan menjadi saksi sejarah ketatnya tarik ulur reformasi kebijakan di bidang migas.

Tanpa bermaksud latah membanding-bandingkan, jika Malaysia telah berhasil membangkitkan listrik dengan sumber energi yang didominasi gas serta membangun jaringan pipa gas sekitar 1.600 km untuk penduduk mereka, mengapa kita harus terus menunggu lebih lama? Mengapa kita tega pula membiarkan sebagian besar rakyat bersusah payah membeli gas ketengan dengan harga berlipat-lipat dibandingkan sebagian masyarakat kota dan yang tinggal di beberapa apartemen dengan pasokan gas berlimpah berharga sangat murah.

Di sisi lain, rencana penggelaran pipa gas Kalija juga telah menjadi bagian Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional yang telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri ESDM pada 30 Mei 2005.

Sui Generis

Memperhatikan ketatnya tarik ulur, pro dan kontra terhadap proyek Kalija ini, membayangkan tantangan besar yang mengadang pelaksanaan proyek maupun dorongan akan tingginya keinginan mereformasi sektor migas, serta mempertimbangkan manfaatnya di kemudian hari, maka proyek pipa gas Kalija ini layak disebut sebagai proyek yang berjalan sesuai keperluannya sendiri atau biasa dikenal juga dengan istilah ”Sui Generis”.

Bukan hanya diharapkan untuk memasok kebutuhan gas di Jawa, keberadaan pipa gas Kalija ini juga akan mampu mencegah daerah yang dilalui pipa dari pemutusan hubungan listrik bergilir yang masih terus terjadi setiap tahun karena sangat tergantung kepada pembangkit listrik tenaga air dan diesel. Di samping itu, pipa gas Kalija akan mengintensifkan eksplorasi lapangan gas baru di Kaltim dan sekitarnya serta memulai era City Gas yang sudah lama diidam-idamkan banyak pihak.

Semoga gas memang bisa menjadi salah satu energi alternatif di Republik ”BBM” ini. (*)

*) Senior Infrastructure Analyst, Mantan Kasubdit Energi di Bappenas.
Berita Terkait :

Dewan Teknologi: Harap Cemas Menanti Kemajuan Teknologi Informasi

Kompas 13 November 2006 (http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/13/tekno/3094789.htm )


Oleh : EDDY SATRIYA

Seperti telah dilansir beberapa media, jika tidak ada aral melintang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan meresmikan pencanangan Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional atau DTIKN di Istana Bogor pada Senin 13 November 2006. DTIKN merupakan kelompok kerja yang dibentuk untuk mendorong percepatan pengembangan Information and Communication Technology (ICT) di Indonesia.

Diarahkan langsung oleh Presiden, diketuai oleh Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) serta beranggotakan para menteri Kabinet Indonesia Bersatu dan pakar di bidang ICT, DTIKN sangat ditunggu masyarakat ICT Indonesia untuk secepatnya berkiprah dalam menyediakan jasa ICT yang andal, mudah diakses, dan terjangkau.

Meski sudah gencar mengembangkan ICT nasional sejak sebelum krisis keuangan tahun 1997, pembangunan ICT dirasakan masih tertinggal dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya, seperti Thailand, Malaysia, Singapura, bahkan Vietnam. Infrastruktur yang terbatas, kebijakan dan regulasi yang belum pas, tarif yang relatif mahal, serta belum dirangkulnya pekerja ICT profesional independen telah melemahkan berbagai program utama pemerintah selama ini.

Alhasil, manfaat ICT untuk masyarakat luas dan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (good governance practices) masih terkendala. Berbagai program utama, seperti pengembangan e-Government, e- Business, e-Procurement, penyusunan regulasi baru, dan Single Identification Number, dinilai belum memberikan hasil maksimal. Rencana tindak lintas sektoral yang menjadi lampiran Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2001 juga tak jelas implementasinya.

Sejarah pengembangan ICT nasional telah mencatat lima masa kepresidenan yang berbeda dengan tiga keputusan presiden (Keppres), satu inpres, dan enam kementerian sebagai pelaksana harian. Singkatnya, ketidakberhasilan dalam sinkronisasi dan koordinasi ICT selama ini mendorong pemerintah untuk mewujudkan DTIKN yang sangat diharapkan dapat menaikkan daya saing bangsa melalui pemanfaatan ICT.

Tingginya dinamika politik, transisi otonomi, serta tantangan globalisasi yang makin kuat membuat pekerjaan DTIKN menjadi tidak mudah. Di samping berbagai permasalahan generik yang biasanya mengiringi organisasi baru lintas sektor, berikut ini adalah beberapa faktor dan tantangan utama yang seyogianya diperhatikan dalam menakhodai DTIKN mencapai tujuan dan tugas pokoknya.

Pertama, menentukan rencana pengembangan yang didasarkan kepada kebutuhan, kondisi infrastruktur, dan aplikasi yang sudah berhasil dibangun hingga saat ini. Dengan kata lain, penyusunan kebijakan dan regulasi baru hendaklah memanfaatkan sebesar-besarnya kinerja yang sudah dicapai, baik oleh pemerintah maupun swasta, sehingga terhindar dari kemubaziran. Dengan demikian, diharapkan DTIKN bisa mengoptimalkan perencanaan sesuai tingkatan ICT yang telah dicapai di semua sektor untuk mewujudkan masyarakat baru Indonesia berbasiskan ilmu pengetahuan (knowledge based society/economy).

Kedua, direkrutnya beberapa mantan manajer dan profesional ICT dari berbagai posisi berbeda saat ini yang harus bekerja sama lintas sektor dengan birokrasi di era pemerintahan SBY-JK akan merupakan sebuah tantangan koordinasi yang unik.

Ketiga, kuatnya desakan dan "gempuran" berbagai perusahaan multinasional, baik untuk perangkat keras maupun perangkat lunak, dalam upaya meletakkan platform bisnis serta dominasi mereka di pasar Indonesia hendaklah dihadapi dengan kepala dingin. Pemilihan teknologi sebaiknya tetap netral sehingga terhindar dari kondisi locked-in yang dapat menjerat di kemudian hari. Trade-off tidak perlu malu-malu dilakukan dalam berbagai negosiasi mengingat negara kita memang masih tergolong negara miskin. Perlu diingat, dari pengamatan selama ini terlihat beberapa vendor berusaha masuk dari berbagai pintu dan mengerti betul bagaimana memanfaatkan lemahnya birokrasi pemerintah di semua lini.

Keempat, perlunya apresiasi dan memberikan tempat lebih pantas bagi terobosan yang dilakukan berbagai pihak, baik individu, komunitas/kelompok, dan asosiasi. Hal ini kritikal karena diperlukan untuk mendorong pengembangan industri dan kreasi sumber daya manusia dalam melakukan inovasi teknologi. Jika perlu kemajuan tersebut diselaraskan dengan memperbarui regulasi yang sering tertinggal kemajuan teknologi. Bukan seperti yang kita saksikan selama ini, pemerintah dan regulator justru melarang dan menyatakan berbagai inovasi yang memudahkan masyarakat itu sebagai "barang haram."

Dan, kelima, keberhasilan DTIKN sangat mudah diukur dengan berbagai indikator baku ICT. Karena itu, menjadi sangat penting memprioritaskan beberapa program saja dengan manfaat yang dapat dirasakan secara cepat dan luas oleh masyarakat. Pemilihan program unggulan untuk jangka pendek itu harus dilanjutkan dengan program jangka panjang yang sesuai.
Memang, harapan dan kecemasan masyarakat ICT semakin tinggi menyambut DTIKN. Ucapan selamat layak diberikan kepada Depkominfo sebagai departemen baru yang jadi motor utama. Memang sudah waktunya semua pihak bahu-membahu memajukan ICT nasional. Semoga DTIKN mampu menggantikan Tim Koordinasi Telematika Indonesia atau TKTI yang selama ini jadi teka teki.
Eddy Satriya, Senior Infrastructure Economist, Pernah Menjadi Anggota Sekretariat TKTI. Sekarang Bekerja di Kantor Menko Bidang Perekonomian dan Dapat Dihubungi Melalui E-mail satriyaeddy@yahoo.com

OTOKRITIK: REFORMASI “PETAK-UMPET”

Oleh: Eddy Satriya*)

Kolom Majalah Forum Keadilan 04 Juni 2006

Mayoritas rakyat Indonesia kembali berduka. Bukan karena sakitnya mantan Presiden Suharto atau terbitnya ketetapan untuk menghentikan proses penuntutan hukum terhadap Sang Presiden. Bukan pula karena masyarakat Indonesia kembali harus memperingati dan mengenang kejadian demi kejadian tragis pada Mei 1998. Juga bukan karena ancaman bencana alam, petaka atau kecelakaan yang terus terjadi. Tetapi karena mereka merasakan bahwa reformasi telah mati. Tak salah kalau Fadjroel Rachman, rekan seangkatan di ITB dulu, mengajak kita semua untuk merayakan kematian reformasi (Kompas, 18/5/06).

Namun ajakan Fadjroel untuk bereformasi dalam hati dan pikiran agak mengusik saya. Karena dari pengamatan langsung atas berbagai perilaku rakyat dan pemimpin di negara ini, maka sungguh sulit melaksanakan ajakan tersebut. Rakyat sudah nyaris pasrah. Sementara sebagian besar para pemimpinnya sulit membebaskan diri mereka atas kemunafikan dan berbagai “kesalahan prosedur” yang terjadi di sekitarnya.

Kita menjadi bangsa yang gagal memahami dan melaksanakan arti kata reformasi (“Reformasi Poco-Poco”, Forum, 6/2/05). Kita dengan pasti telah menjelma menjadi bangsa yang bercirikan tambal-sulam, suka coba-coba, menghindari proses rumit dan jalan berliku, serta sulit yakin untuk melaksanakan suatu perencanaan secara profesional. Akibatnya berbagai upaya perbaikan yang dilaksanakan semua pihak –masyarakat, pengusaha, dan pemerintah- gagal dan tinggal slogan semata. Berbagai kejadian dan fakta terbaru membuktikan itu.

Yang diperlukan sekarang adalah mencari penyebab kegagalan. Tentu saja kemudian harus diikuti pula oleh alternatif perbaikan yang mungkin dilaksanakan (implementable actions). Kegagalan reformasi bukan sembarangan. Ia telah gagal dipahami, direalisasikan dan dijadikan “pakaian” sehari-hari dalam kurun waktu 8 tahun (sewindu) oleh sebagian besar warga negara di bumi nusantara, terutama oleh mereka yang diserahi berbagai amanah.

Sesungguhnya ada lima alasan utama kegagalan pelaksanaan reformasi yang berujung kepada perasaan kita akan matinya reformasi itu. Pertama, adalah gagalnya menempatkan variabel tingkat upah (wage) sebagai salah satu besaran makroekonomi penting dalam konteks ekonomi nasional. Tingkat upah bersama-sama dengan tingkat inflasi (inflation rate), pertumbuhan ekonomi (economic growth), dan tingkat pengangguran (unemployement) adalah besaran utama makroekonomi yang sangat vital dan menentukan arah ekonomi suatu bangsa.

Kita sering mengaitkan tingkat pertumbuhan ekonomi dengan perkiraan pertumbuhan suatu sektor pembangunan tertentu atau kurva supply-demand suatu jenis produk dan jasa. Namun sayang, tingkat upah- termasuk gaji aparat - belum pernah secara serius dan maksimal dimasukkan kedalam berbagai pertimbangan dalam menentukan arah dan kebijakan ekonomi nasional. Karena itu kita menyaksikan gaji seorang direktur di sebuah BUMN (termasuk yang merugi) bisa saja jauh lebih tinggi dari gaji resmi seorang Presiden.

Tingkat upah harian (minimum) pun belum dijalankan sesuai prinsip reservation wage yang menjadi pertimbangan seseorang mengorbankan waktu seggangnya ketika masuk ke bursa kerja, seperti dijelaskan dalam buku teks ekonomi. Ketidakadilan perlakuan terhadap tingkat upah ini berujung kepada banyak hal. Penindasan atas buruh, suburnya praktek KKN, dan terlambatnya hingga gagalnya pelaksanaan berbagai program pembangunan.

Kedua, adalah faktor terlambatnya menyehatkan birokrasi guna menuju pelaksanaan kepemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Mutlaknya reformasi birokrasi gagal dipahami, gagal diurutkan prioritasnya dan gagal total pula dilaksanakan meski Presiden dan pembantunya telah berganti.

Berbagai keharusan untuk melayani publik dengan murah, cepat dan transparan hanya terjadi di beberapa daerah yang memiliki kepala daerah dengan visi dan misi yang cemerlang. Banyak rencana aksi pemberantasan KKN justru dibuat secara serampangan, yang akhirnya berujung kepada KKN berikutnya. Akibatnya, sebagai contoh saja, seseorang yang ingin berurusan dengan birokrasi masih harus mengeluarkan biaya ekstra sebagai pelicin. Termasuk mereka yang melamar menjadi anggota suatu badan atau komisi pemberantas suap menyuap, mau tidak mau juga terpaksa harus menyuap jika urusannya ingin dipercepat dalam memperoleh berbagai surat keterangan (“Sapu Campur Debu”, Forum, 11/7/04) . Tersedianya teknologi informasi dan telekomunikasi belum bisa maksimal dimanfaatkan dalam berbagai program electronic government.

Ketiga, adalah kegagalan menjalankan peran dan fungsi hukum. Kondisi faktor yang satu ini tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut. Lolosnya terpidana korupsi maupun perkara kriminal dari jerat hukum, terlibatnya beberapa petinggi dan praktisi dibidang hukum dalam kasus Bank BNI dan ratusan kasus lainnya menjadi saksi bisu lemahnya penerapan hukum di Indonesia.

Berikutnya adalah langkanya pemimpin yang mampu memberi teladan. Menyamakan ucapan dengan perbuatan ternyata memang bukan pekerjaan gampang. Dengan kata lain, kemunafikan telah menjadi pakaian sehari-hari. Setiap orang mampu menunjukkan orang lain melakukan perbuatan jahat seperti korupsi, tanpa menyadari ia sendiri melakukan hal yang sama. Sehingga definisi korupsi sekarang mungkin lebih tepat berbunyi “perbuatan penyalahgunaan kewenangan atau jabatan di berbagai tingkatan untuk memperkaya diri sendiri atau golongan yang dilakukan orang lain”.

Berbagai praktek buruk yang terjadi di zaman Orde Baru kembali terulang. Bertubi-tubinya terpaan praktek-praktek kotor dan jahat telah mematikan rasa kritis di lingkungan masyarakat. Membuat mereka semakin apatis ditengah beratnya kehidupan ekonomi. Besarnya rombongan yang mengiringi setiap misi dinas negara yang kemudian berlanjut dengan berbagai acara, termasuk seperti umroh baru-baru ini hanya bisa disaksikan dengan perasaan gundah di berbagai stasiun televisi. “Kafilah bebas berlalu, karena anjing memang sudah tidak kuat lagi menggonggong”.

Himbauan untuk hemat energi malah diiringi dengan seliweran mobil-mobil built-up ber-cc tinggi. Termasuk mobil jenis mini bus di atas 2000 cc yang menjadi trend sebagai mobil dinas aparat pemerintah, baik di daerah maupun di pusat. Lucunya lagi, mobil-mobil dinas tersebut yang seharusnya berpelat merah atau hijau, bisa diganti dengan pelat hitam setelah membayar sejumlah uang “resmi” di instansi terkait. Sebaliknya jika dimintakan mobil dinas ber-cc kecil dari jenis sedan, akan dicemooh dan dikatakan tidak pantas. Daftar kemunafikan ini tentu bisa ditambah terus tanpa batas.

Terakhir adalah sulitnya mengikhlaskan suatu tugas untuk dikerjakan orang lain. Saat ini semakin banyak mantan pejabat di “lingkar luar” kekuasaaan yang terus-menerus justru memperburuk keadaan. Mereka masih terus menyalahkan, sementara ketika berkuasa dulu justru tidak mengoptimalkan kesempatan. Karena itu, maaf saja jangan heran jika seorang mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di zaman Orde Baru dengan sangat jelas bisa membeberkan kegagalan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta kondisi ilmuwan di Indonesia (Kompas,4-5/4/06). Sungguh sulit ditebak apa jawaban yang akan meluncur dari bibirnya jika ditanyakan kualitas pendidikan anak-anak kita yang semakin parah saat ini.

Seorang mantan Menteri bidang XYZ mampu membeberkan kebobrokan sektor XYZ setelah ia tidak lagi berkuasa. Biasanya ia akan tampil dalam berbagai seminar yang dengan sangar menanyakan atau menulis artikel berjudul “Mau Dikemanakan XYZ kita?”. Sifat itu biasanya diikuti dengan menyalahkan instansi lain sebagai kambing hitam kegagalan dirinya dan instansi yang dipimpinnya.

Kelima penyebab matinya reformasi seperti diuraikan diatas tentunya bukan harga mati. Masih banyak sebab-sebab lain. Kombinasi dari kelima sebab di atas dengan berbagai kondisi yang ada di tengah masyarakat sangat berpotensi memperburuk kualitas reformasi dan berbagai usaha perbaikan yang tengah dilakukan pemerintah sekarang.

Karenanya menjadi sangat penting untuk menghentikan dan memperbaiki kelima faktor di atas. Hal itu bisa dilakukan dengan apa yang sering saya sebut sebagai “Back to Basics”.
Langkah-langkah itu adalah membenahi tingkat upah sampai ketingkat yang pantas. Hal ini bisa dilakukan dengan membatasi upah maksimum yang pada saat bersamaan mengaitkan tingkat upah terendah disuatu kantor atau perusahaan dengan upah maksimum tadi. Sebagai contoh, di Jepang secara rata-rata upah tertinggi adalah 7 hingga 10 kali upah terendah. Adalah suatu kemajuan jika kita mampu menurunkan tingkat upah maksmimum ke kisaran 15 kali lipat upah terendah. Pembenahan upah juga bisa diatasi dengan hanya mengizinkan seorang merangkap maksimum hanya dua atau tiga jabatan pada saat bersamaan.

Langkah berikutnya bisa dilakukan dengan mendorong keberanian para pemimpin untuk memberikan teladan dan berani menegur jika bawahannya memang salah. Tentu saja memuji jika mereka berprestasi. Jangan seperti sekarang, banyak pemimpin yang tidak berani menegur seorang supir sekalipun, karena berbagai alasan.

Ketiga, membiasakan diri bertindak profesional yang mampu bekerja keras, produktif dan sebaik mungkin meski tidak diawasi. Sifat profesional ini sebaiknya diikuti dengan bertindak hemat dan jauh dari gengsi dalam keseharian.

Keempat tentu saja harus melaksanakan perbaikan kondisi hukum di Indonesia. Perbaikan hukum bisa dimulai dengan memperbaiki bibit dan mutu sumber daya manusianya. Hal ini bisa dilakukan dengan memulai kampanye agar siswa terbaik di sekolah menengah memprioritaskan jurusan hukum dalam pemilihan jenjang pendidikan tinggi. Bukan seperti selama ini dimana banyak yang memilih jurusan hukum setelah tidak diterima di berbagai jurusan favorit lainnya.
Terakhir tentu saja dengan mulai mengikis habis sifat kemunafikan dalam diri sendiri.

Ah..meski back to basics, sungguh tidak dijamin mudah untuk dilakukan. Semoga dengan mulai melakukan hal-hal dasar di atas, kita semua bisa terhindar dari praktek reformasi “petak-umpet” seperti selama ini kita lakukan. Semoga!

________
*) Pemerhati reformasi, menetap di Sawangan-Depok.





PNS JUGA MANUSIA (BIASA)


Oleh: Eddy Satriya*)

Telah diterbitkan dalam Kolom Forum Keadilan No.32/11 Desember 05

Seakan telah menjadi sebuah menu rutin, hujan hujatan kepada sekitar 4 juta Pegawai Negeri Sipil (PNS) kembali menjadi berita utama pasca lebaran yang lalu. Meski terkesan repetitif menguraikan inefisiensi birokrasi dan kebobrokan mental aparatnya, pemberitaan itu juga semakin dalam mencungkil berbagai segi yang terkait dengan PNS. Bukan hanya menggambarkan terjadinya “kucing-kucingan” antara pejabat yang melakukan inspeksi mendadak dengan para pegawai, perilaku PNS yang hanya bersalam-salaman lalu pulang, atau tentang sanksi yang mungkin diterima pegawai, tetapi beberapa pemberitaan dan editorial juga melebar. Ujung-ujungnya, pemberitaan menjalar kepada masih maraknya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di lingkungan PNS.

Dalam era kehidupan sangat sulit pasca kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sangat tinggi, hujatan terhadap perilaku miring PNS itu kiranya layak menjadi bahan renungan bagi mereka yang masih melakukan praktik menyimpang. Sebagai manusia biasa, proses merenung secara berkala memang diperlukan. Selain itu, penting pula menjadikannya sebagai masukan berharga dalam reformasi birokrasi secara menyeluruh.

Rendahnya gaji PNS memang telah menjadi salah satu penyebab tidak efisiennya mesin birokrasi. Seorang Direktur setingkat Eselon II bergolongan IV-C memperoleh gaji pokok hanya sekitar Rp 1,4 juta per bulan. Rendahnya tingkat gaji resmi ini – di luar tunjangan - mendapat tanggapan beragam dari birokrat sendiri maupun dari pebisnis sebagai mitra pemerintah. Akibatnya, rendahnya gaji bukan hanya dimanfaatkan oleh oknum PNS untuk “memainkan” jurus-jurus canggih KKN guna menambah pendapatan mereka, tetapi juga menjadi celah yang pantang dilewatkan mitra swasta yang ingin memperoleh keuntungan besar.
Berbagai contoh KKN dalam segenap sendi kehidupan di zaman Orde Baru (Orba) telah menjadi bukti.

Sebut saja penyimpangan pemberian izin mendirikan bangunan (IMB) di daerah Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur), penyelewengan dana abadi umat di Departemen Agama yang membuat bulu kuduk berdiri, fenomena para pemimpin proyek (pimpro) yang sudah mashur sebagai “boneka” pejabat, serta berbagai penyimpangan prosedur yang sudah dianggap sangat biasa. Contoh lain, tarik ulur berbagai kepentingan telah mengorbankan pengendara mobil di Jakarta kepada gerombolan Kapak Merah di persimpangan Halim Perdanakusumah hanya karena ”disconnected” dua ruas jalan Tol Jagorawi dengan Tol Cikampek terus dibiarkan hingga kini.
Namun sungguh ironis. Berbagai kebusukan yang telah terjadi di era Orba itu, kelihatannya masih sulit diperbaiki. Seperti pernah saya uraikan dalam sebuah kolom, reformasi kita adalah ”Reformasi Poco-Poco”. Maju satu langkah, mundur dua, lalu berputar-putar di tempat dimana kondisi harmonis sesama pelaku KKN saling terjaga (Forum, 6/02/05).

Sementara perubahan pola pikir belum terjadi dan modus operandi KKN selama orba belum terkikis, pembusukan baru di berbagai bidang justru berlangsung semakin canggih. Terbongkarnya praktik KKN di Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menggiring kaum intelektual bertitel guru besar dan dosen utama ke hotel “prodeo” merupakan bukti memilukan tentang semakin tidak bermoralnya PNS. Atau lihat pula pemberian izin pendirian hotel dan pusat belanja di jantung kota-kota besar yang sudah sangat macet. Ada pula pembangunan under-pass dan over-pass yang sekaligus menjadi ruang pertokoan bernilai milyaran di kawasan elite Jakarata Selatan. Anehnya, underpass yang dibangun tidak dirancang sekaligus untuk penyeberangan dan pergerakan manusia di junction yang padat itu. Sebaliknya, ruang udara publik disulap menjadi ”jeko” atau jembatan pertokoan. Sungguh mengusik logika sekaligus syaraf humor kita.

Singkat kata, dalam segala lini kasus KKN masih merebak. Terbukti negara kita “mampu” mempertahankan diri sebagai salah satu negara terkorup di dunia.
***
Setelah melihat beberapa praktik KKN yang masih terus terjadi hingga kini, rasanya kita perlu mencermati pendapatan resmi para PNS. Take home pay PNS ternyata bervariasi dalam kisaran rendah jika dibandingkan dengan tanggung jawabnya. Dengan memasukkan tunjangan jabatan serta berbagai tunjangan lainnya, seperti tunjangan khusus (TC) dan tunjangan kerja ganda (TKG) untuk beberapa kantor tertentu, maka PNS yang menjabat Eselon I, II, III, dan IV menerima berturut-turut sekitar Rp 8,5 juta, Rp 6,5 juta, Rp 3,5 juta, dan Rp 2,5 juta, sesuai masa kerja. Sedangkan untuk departemen lain, take home pay mereka berada dibawah angka-angka tersebut.

Wajar muncul pertanyaan, bagaimanakah PNS dapat bertahan hidup atau mempertahankan gaya hidupnya? Apakah mereka bisa bertahan dari godaan ketika harus mengelola keuangan negara bernilai triliunan Rupiah?

Pertanyaan itu tidaklah memerlukan jawaban rinci. Kejadian dan praktik KKN yang diceritakan di atas merupakan salah satu jawabannya. Ada juga yang harus menyingkir atau disingkirkan. Bagi yang mau bertahan di jalan yang benar, biasanya PNS harus berhemat superketat. Melakukan moonlighting atau kerja rangkap juga ditempuh. Namun terkadang rangkapnya bukan hanya satu atau dua, tapi bisa di tiga tempat atau lebih. Karena itu tidak heran kita saksikan banyak PNS menjadi anggota komisi, komisaris, direktur lembaga penelitian, atau Staf Khusus Menteri yang memang diizinkan dalam era Kabinet Indonesia Bersatu. Sayangnya, banyak kaum intelektual yang PNS ini justru lupa diri. Mereka sering latah menyuarakan pemberantasan kemiskinan dan pengangguran, tanpa peduli tindakan mereka telah menghilangkan kesempatan orang lain bekerja.

Ketidakpedulian mereka makin kentara ketika bicara tentang wong cilik atau mengritik pemerintah, tetapi diam-diam mereka mengantongi puluhan juta Rupiah setiap bulannya melalui honor dan fasilitas komisaris tanpa peduli perusahaan itu merugi atau disubsidi pembayar pajak. Padahal praktik moonlighting yang dikenal di negara maju bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal suatu keluarga. Kerja rangkap biasanya tidak dibolehkan untuk jabatan penting dalam pemerintahan. Selain itu, kita saksikan pula ada selebritis berstatus PNS terus “manggung” di jam kerja tanpa perasaan bersalah. Celakanya, PNS jenis ini malah terus dipuja dan diekspose habis-habisan oleh pers.

Cerita indah demikian sayangnya tidak dinikmati oleh PNS golongan bawah. Guna mengirit biaya transportasi dan makan, tidak jarang mereka membolos teratur setiap minggu. PNS yang menjadi pengojek juga banyak ditemui di berbagai perumahan. Tentu kita masih ingat beberapa tahun lalu ada PNS yang tewas dipatuk ular di kantornya sendiri karena ular yang menjadi tambahan pencahariannya itu terlepas dari karungnya dan menggigit PNS tersebut. Cerita nelangsa PNS golongan bawah ini dan drama kehidupan mereka tentu tidak ada habisnya, apalagi pasca kenaikan harga BBM.

***
Menghadapi tantangan pembangunan yang makin besar dan dalam rangka reformasi birokrasi yang sebenar-benarya, kiranya pemerintah dapat memulainya dengan merealisasikan sistem penggajian PNS yang baru.

Pembenahan sistem penggajian -termasuk pensiun- ini adalah suatu keutamaan. Sistem penggajian yang lebih baik dan manusiawi diharapkan dapat mengurangi dikorupnya Triliunan Rupiah uang negara jika diikuti dengan pengawasan dan sanksi yang ketat. Namun diperkirakan berbagai resistensi akan muncul dari pihak-pihak yang menginginkan status quo. Jika sementara waktu masih terkendala oleh prioritas pembangunan, bisa juga dipikirkan agar diberikan tambahan insentif untuk PNS golongan bawah. Insentif ini bisa saja berbentuk subsidi khusus yang disesuaikan dengan aturan yang berlaku. Jika pemerintah telah memerhatikan rakyat miskin, sekarang sudah waktunya pula untuk lebih memerhatikan aparatnya sendiri yang papa. Keberpihakan sangat diperlukan dalam era ekonomi baru dan globalisasi.

Tanpa bermaksud kasar, ada baiknya kita bandingkan nasib PNS di Indonesia dengan sapi-sapi di Eropa dan Jepang. Untuk mempertahankan daya beli petaninya di pasar bebas, Uni Eropa di bawah The Common Agricultural Policy (CAP) terus memberikan subsidi kepada setiap sapi sebesar US$ 2,5 per hari. Seperti diuraikan oleh Jessica Williams (2005) dalam bukunya “ 50 Facts that should Change the World”, sekitar 21 juta sapi di Eropa itu sangat beruntung karena dengan subsidi yang diberikan sapi-sapi itu bisa berkeliling dunia dan plesir di berbagai kota besar setiap tahun. Namun sapi dari Jepang lebih beruntung lagi. Jika sapi-sapi dari Eropa berkeliling dunia dengan pesawat kelas ekonomi, sapi-sapi Jepang itu bisa bersenang-senang di kelas bisnis.

Ahh....., tapi PNS Indonesia kan bukan sapi? Mereka juga manusia biasa.
________
*) Penulis Kolom, Alumnus University of Connecticut, Storrs, USA.

Telematika Perlu Kajian Bermutu

Oleh: Eddy Satriya

Kompas, 24 April 2006 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0604/24/tekno/2604608.htm

Kondisi sektor telematika saat ini memang tidak sekritis sektor infrastruktur lainnya seperti ketenagalistrikan, jalan, dan perhubungan. Namun, jika tidak dicermati dan diantisipasi dengan saksama, mungkin sektor telematika di Indonesia hanya menjadi pasar gemuk barang-barang konsumtif yang akhirnya berpotensi meninabobokan rakyat dan melemahkan daya saing bangsa.

Di samping mendorong pola hidup konsumtif, pada kenyataannya telematika sudah mulai memperburuk situasi "keliru budaya" seperti bertelepon, menonton televisi atau DVD, serta berkirim pesan singkat (SMS) sembari mengemudi di jalan raya. Suatu kondisi yang secara langsung memperparah tingkat kemacetan yang berujung kepada rasa kesal, mudah marah, dan stres pengguna jalan di kota besar.

Di sisi lain, terlambatnya operator menggelar jaringan telepon tetap telah menjadikan Indonesia tertinggal. Rendahnya penetrasi telepon tetap (di bawah empat persen) yang ditingkahi oleh mahalnya tarif internet telah menutup peluang publik memanfaatkan telematika untuk memperbaiki tingkat sosial dan ekonomi mereka.

Telepon seluler atau ponsel memang telah menjadi alternatif bertelekomunikasi. Namun, kesenjangan digital (digital divide) semakin melebar. Meski sudah mulai merambah ke daerah, ponsel terkonsentrasi di kota-kota besar. Tidak jarang sebuah keluarga memiliki lebih dari empat ponsel, sedangkan masyarakat di pedesaan belum memiliki akses.

Tidak bisa dimungkiri bahwa perkembangan industri telematika selalu berjalan lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan pemerintah dalam menyiapkan regulasi dan kebijakan. Kondisi yang sama juga terjadi di negara maju atau negara berkembang lainnya.

Miskin kajian

Pengembangan sektor telematika membutuhkan dukungan kajian bermutu dan komprehensif agar pemanfaatannya bagi ekonomi nasional bisa optimal.

Kajian yang tergolong baik dan komprehensif yang pernah dilakukan pemerintah adalah pada pertengahan 1990-an ketika menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang II. Namun, kajian itu khusus untuk telekomunikasi, belum mencakup komponen lain dalam telematika seperti teknologi informasi dan penyiaran.

Semenjak itu, perkembangan telekomunikasi nyaris terdikte oleh kemajuan teknologi dan pasar yang justru melemahkan industri telekomunikasi dalam negeri. Terlambatnya regulasi dan miskinnya kajian menyebabkan banyak industri telekomunikasi nasional gulung tikar.
Pada saat yang sama, proses legislasi beberapa rancangan undang-undang (RUU) belum ada kemajuan. Kalaupun pada akhirnya RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disetujui DPR, diperkirakan UU tersebut "would be absolute by the time it is signed" (akan berlaku penuh pada saat UU tersebut ditandatangani) mengingat berlarutnya proses legislasi yang menghilangkan aktualitasnya.

Dari sisi penelitian kondisinya juga menyedihkan. Beberapa tahun lalu kita sering mengernyitkan dahi menyaksikan penjelasan dari tingkat staf hingga menteri, dan pengamat kondang dari berbagai universitas yang sering mengutip tentang kontribusi satu persen peningkatan teledensitas yang akan menaikkan GDP tiga persen. Padahal, hasil regresi sederhana International Telecommuncation Union, yang menggunakan hubungan The Wealth of Nation-nya Jipp (1963) dengan kepadatan telepon, itu sudah lama basi.

Demikian pula ketika pemerintah menerima pinjaman lunak untuk membiayai proyek telekomunikasi pedesaan dari Ausaid pada awal 1995.
Dominasi industri dan berbagai pertimbangan nonteknis telah memupuskan kesempatan Indonesia untuk menggunakan teknologi Code Division Multiple Access (CDMA). Jelas suatu pengalaman pahit karena perbandingan spesifikasi yang dikaji tim teknis menunjukkan CDMA lebih unggul dan prospektif.

Peluncuran berbagai satelit baru, baik yang dimiliki BUMN maupun swasta, sangat kentara hanya berorientasi bisnis. Padahal, beberapa satelit terdahulu masih memiliki transponder lain di luar C-Band (4-6 GHz) yang bisa mendorong berbagai penelitian lebih lanjut untuk melayani daerah terpencil.

Langkah ke depan

Bak gayung bersambut, pentingnya memperbanyak studi sepertinya telah sejalan dengan keinginan pemerintah saat ini.
Hal ini terlihat ketika Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil dalam suatu pameran di Jakarta menegaskan bahwa pemerintah ingin mempelajari cara menurunkan tarif broadband (Detik, 14/3/2006). Keseriusan Menkominfo tersebut tentu perlu dibuktikan dalam implementasinya di lapangan.

Pelaksanaan kajian tidak harus dilakukan pemerintah sendiri, tetapi bisa dengan memfasilitasi dan memberikan kontrak kepada konsultan, perguruan tinggi, lembaga peneliti, dan individual expert yang cukup banyak di Indonesia.
Sungguh sayang kalau triliunan rupiah revenue sektor telekomunikasi tidak dimanfaatkan untuk penelitian dan pengembangan (R&D) yang dapat menyerap tenaga kerja dan memberikan tempat bagi peneliti muda.

Ada beberapa topik yang bisa menjadi bahan penelitian saat ini. Pertama, aspek infrastruktur dan backbone. Apakah, misalnya, kita memang akan mengambil langkah phasing out telepon tetap kalau kenyataannya operator sudah tidak berselera investasi di sektor ini, atau terus saja menggelar fixed wireless dan teknologi nirkabel sejenis?
Atau, jika perlu justru berinovasi menyiapkan regulasi pasar yang dapat merangsang penggunaan telepon tetap untuk koneksi internet sehingga dapat meningkatkan average revenue per user (ARPU).

Topik kedua adalah pemetaan struktur industri yang berorientasi kepada kebutuhan dan kesiapan industri domestik. Ketiga, terkait dengan pengembangan aplikasi yang diperkirakan akan sangat memegang peranan karena faktor konvergensi teknologi, termasuk aplikasi yang berhubungan erat dengan pasar global, seperti Radio Frequency Identification (RFID). Keempat, adalah kajian tentang pemetaan dan rencana pemanfaatan sumber daya manusia (SDM).

Kelima, kajian mengenai regulasi dan kebijakan yang diperlukan sebagai terobosan untuk penambahan kapasitas baru serta perluasan jangkauan layanan. Sebagai contoh adalah mengkaji keinginan pelaku bisnis agar pemerintah membebaskan berbagai perizinan jika usaha telematika tidak memakai frekuensi berlisensi atau nomor standar.
Kebutuhan akan kajian bermutu sektor telematika semakin diperlukan manakala kemajuan teknologi VoIP, yang terus dikembangkan oleh anak-anak muda Ukraina dalam versi Skype dan beberapa variannya, dipastikan akan memengaruhi struktur industri telematika di kemudian hari.

Dukungan semua pihak jelas sangat diharapkan agar berbagai kajian teknis dan dampak sosial ekonomi telematika dapat dilaksanakan dalam waktu dekat sehingga bisa membantu pemerintah dalam berbagai proses pengambilan keputusan. Semoga!

Eddy Satriya Senior Infrastructure Economist, Bekerja di Kantor Menko Bidang Perekonomian. E-mail: esatriya@ekon.go.id
***
*)Catatan Penulis: Kelihatannya terjadi sedikit kekeliruan editing, berkemungkinan karena standar error correction bahasa Inggris yang digunakan, sehingga “ obosolete” berubah menjadi “absolute” pada sub-heading Miskin Kajian alinea ke-4. Seharusnya berbunyi “would be obsolete by the time it is signed” (akan berlaku penuh pada saat UU tersebut ditandatangani). Terima kasih.