Showing posts with label Energy. Show all posts
Showing posts with label Energy. Show all posts

Friday, November 27, 2009

Idul Adha, Menteri PPN/Ka Bappenas, dan listrik itu.


Tidak pelak lagi. Salut dan terkejut saya pagi tadi, 27 November 2009. Ternyata dalam kesyahduan peringatan Idul Adha yang ditandai dengan shalat sunat IDUl Adha berjamaah di Mesjid AL-Ikhlas Komplek Bappenas CInangka, telah hadir pula untuk pertama kalinya Menteri Negara PPN/Ka Bappenas beserta rombongan pejabat. Untuk pertama kalinya seorang Menteri shalat Idul Adha berjamaah di komplek Bappenas, barbaur dengan para pegawai yang tentu saja sangat senang dan bangga kedatangan tamu istemewa tersebut.

Dilengkapi dengan tenda sederhana untuk berjaga-jaga dari hujan yang semakin rajin turun, komplek Bappenas terlihat cukup semarak. Tidak seperti biasanya jalan menuju pintu mesjid dari arah timur dan selatan terlihat dijaga oleh beberapa petugas berseragam. Mereka mengarahkan para jamaah untuk mencari tempat duduk dan shalat nya masing2 nanti. Tidak jauh dari mesjid, di halaman gedung serba guna telah berjejer pula hewan kurban yang terdiri dari belasan ekor sapi dan sekitar 45 ekor kambing telah disiapkan untuk menjadi simbol kesetiaan seorang Nabi Ibrahim AS yang dengan ikhlas telah bersedia mengorbankan anaknya Nabi Ismail AS.

Jam baru menunjukkan sekitar 06.35 pagi. Para jemaah penghuni komplek sedang bersiap-siap menuju masjid dan lapangan yang telah disediakan untuk tempat pelaksanaan Shalat Idul Adha 1430 H yang seperti biasa dimulai jam 07.00. Namun ketika suara takbir berkumandang dengan lantang melalui pengeras suara, tiba-tiba "cesssssss" listrik dikomplek mati yang diiringi dengan berhentinya pula kumandang takbir tadi.

Seolah kembali kezaman "baheula", maka seketika itu pula pengurus mesjid sibuk karena di dalam mesjid sudah hadir Menteri PPN/KA BAppenas Ibu Armida Alisyahbana (maaf kalau salah eja!) beserta suami. Juga rombongan beberpa pejabat Bappenas yang jarang bertandang ke komplek, juga tampak hadir. Ada yang eselon 1, juga ada eselon 2 dan di bawahnya. Bahkan juga terlihat ada pensiunan dari komplek Bappenas yang lain juga datang. Beberapa pejabat dari Pemda Sawangan dan kepolisian juga terlihat hadir.

Karena tidak menyediakan genset ataupun "TOA", maka setelah nyaris 16 tahun sejak mesjid berdiri, prosesi shalat Ied yang dimulai dengan kumandang takbir dan shalat berjamaah dilalui dengan "hening" tanpa ada pengeras suara. Tidak ajal, ada bbrp "Bilal" yang harus menjadi "amplifer" ucapan imam. Mulai dari Takbir hingga Salam penutup. Begitu pula setelah selesai shalat, proses kutbah Ied juga dilalui dengan "berbisik" karena jemaah yang diluar mesjid nyaris tidak mendengar suara khatib.

Beruntung sekitar pukul 07.25 listrik kembali menyala, sehingga sebahagian kutbah masih bisa diikuti oleh para jamaah.

Namun mungkin karena kehadiran Ibu Menteri, beberapa proses silaturahmi yang biasanya dilaksanakan persis setelah shalat tidak dilaksanakan oleh panitia. Acara berikutnya langsung kepada acara protokoler serah terima hewan kurban berupa sapi yang disampaikan langsung oleh Ibu Menteri kepada Ketua Mesjid rekan saya tercinta Rahmat M, yang kemudian dilanjutkan langsung dengan acara sarapan lontong sayur olahan ibu2 PKK serta acara hiburan musik dari Majelis Taklim, Mesjid AL Ikhlas.

***

TERLALUHHH. Mungkin itulah komentar yang pantas, sangat pantas, yangharus disampaikan kepada PT.PLN yang tega "mematikan" aliran listrik PERSIS PADA JAM ORANG MELAKUKAN SHALAT IED ADHA. Sungguh, disamping kegembiraan yang telah dibawa dan dibagi bersama oleh Ibu Menteri PPN/Ka BAppenas, jelas matinya aliran listrik membuat malu para pengurus mesjid dan tuan rumah. Namun apa mau dikata. Memang begitulah kenyataan yang ada saat ini. Suatu yang busuk tidak mungkin bisa ditutupi terus menerus. Jelas ini menjadi tugas nyata kita semua, termasuk pimpinan teras Bappenas untuk secepatnya menyusun program2 nasional agar keluar dari krisis yang semakin tidak jelas ujung pangkal dan wujudnya ini. Sudah selayaknya Bappenas beserta jajaran ESDM dan kementerian lain terkait bertindak tegas dan lugas. Krisis listrik kali ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Bukan hanya karena listrik sudah menjadi kebutuhan primer, tetapi juga sangat menentukan dalam menarik investasi yang sangat dibutuhkan berbagai sektor pembangunan mengingat berbagai kemampuan pemerintah dan swasta nasional sudah nyaris sampai kepada titik jenuhnya. Karena itu investasi asing baik langsung ataupun tidak langsung harus terus ditingkatkan. Kondisi yang harus dipenuhi terlebih dahulu tentu adalah tersedianya infrastruktur, termasuk listrik yang bisa diandalkan, karena memang handal.

Semoga "insiden" matinya listrik di komplek Bappenas CInangka persis pada saat Shalat Idul Adha yang dihadiri oleh seorang Menteri KIB-II ini dapat menjadi "pengingat" bagi pejabat setingkat menteri. Dan terus terang, krisis listrik kali ini tidak sesimple yang anda dan kita duga. Ia semakin komplek dan sangat memusingkan jika tidak segera diselesaikan. Atau insiden sejenis mungkin boleh juga "diharapkan" terjadi pada rapat penting kabinet, atau ketika menteri terkait sedang hajatan, atau dirjen sedang mantu. Namun biasanya setahu saya kalau pejabat punya hajat, biasanya genset PLN sudah stand bye, seperti dulu pernah saya saksikan dengan mata kepala sendiri. Di siang bolong, listrik di komplek sang dirjen tetap nyala, sementara genset dengan kapasitas besar juga standbye.

Tapi tidak tadi pagi di komplek Bappenas CInangka, ketika kami semua melaksanakan shalat Idul Adha 1430H.

Bagaiamana di rumah dan mesjid anda? semoga tidak sama.

--sawangan, depok, Idul Adha 1430H--

Friday, July 25, 2008

Krisis Listrik Indonesia: Sebuah karma, bukan buah simalakama!

Oleh: Eddy Satriya, selaku pemerhati masalah energi.

Banyak orang sekarang saling menyalahkan atas terjadinya krisis listrik yang akhirnya melanda ibukota. Bukan hanya daerah atau pelosok saja. Bukan pula di Medan dan SUmut yang telah menggulung berbagai perusahaan besar seperti industri sepatu dan sarung tangan karet. Bukan pula di Banjarmasin, PAlangka Raya dan Balik Papan yang menjadi daerah penghasil energi dengan berbagai jenis sumber. Tetapi juga sampai hingga Palembang yang listriknya juga ikutan mati dilumbung energi. Singkat kata, krisis listrik nyaris terjadi di semua wilayah.

Kerugian tidak perlu dibahas lagi, hanya menghabiskan waktu dan menyiratkan ketololan kita jika masih berdebat. Lalu apa sebenarnya yang terjadi?

Yang pasti krisis listrik bukanlah masalah baru, tetapi sudah barang lama. Dan agar kita tetap ingat, sebaiknya dituliskan disini bahwa keputusan seluruh rakyat Indonesia lah (lewat Mahkamah Konstitusi -MK) yang membatalkan UU listrik dan berbagai perangkat pelaksananya seperti PP tentang Bapeptal (regulator untuk sektor listrik). Alhasil, kita harus kembali lagi ke UU lama yaitu UU 15 tahun 1985 yang sangat kental mempertahankan "monopoli" PT.PLN yang sudah tidak sesuai lagi dengan zamannya. Sementara itu, tugas yang diembankan agar pemerintah segera menerbitkan UU listrik yang baru sebagai revisi tidak pernah dikerjakan dan ataupun ditagih DPR.

Alhasil...terima lah karma itu. (maaf memang terasa kasar, tapi itulah fakta sebenarnya). Sementara itu, ketika Presiden SBY sudah memerintahkan agar seluruh kontrak jual beli gas yang habis masa lakunya pada tahun 2009/2010, tidak diperbolehkan untuk diperpanjang. Dengan kata lain, kontrak itu harus dihentikan. Pernyataan ini disampaikan langsung presiden SBY dihadapan peserta Kongres GMNI pada 2006 lalu. Hal ini disampaikan beliau mengingat gejala kekurangan pasokan energi sudah sangat mengkhawatirkan. Tetapi apa mau dikata, akhirnya para otoritas dibidang nya tetap bernegosiasi dan melanjutkan kontrak lama, dan bahkan juga membuat kontrak baru dengan Jepang, Korea dan Taiwan.

Jadi...memang sudah seharusnya krisis listrik itu terjadi. Kita melalaikannya. Juga kita perlu ingat, disamping telah masuknya bbrp rekan petinggi PLN ke dalam penjara, tidak banyak yang peduli kalau hingga hari ini PT. PLN pernah menghapus direktorat perencanaan untuk masa yang cukup panjang, sekitar 6-7 tahun. Nah...kalau begini..memang lengkaplah penderitaan rakyat Indonesia (termasuk saya lho...). Gas nya terus dijual keluar, pembangkit combined cycle nya sekitar 3500 MW dipaksa membakar BBM (gasnya kagak ada...karena di ekspor terus-2an), Direktorat Perencanaan PLN baru dibentuk lagi tahun ini, dan Permen nya tentang jual beli listrik / energi alternatif no 1122 justru menguntungkan PLN dan merugikan pengembang yang harus menjual listriknya dibawah HPP PLN.

Kesemuanya itu diperburuk dengan rendahnya energy efficiency (penghematan).

So....selamat datang blackout dan brownout!!
Ini Karma Bung, bukan simalakama. Jangan diputarbalikkan.

-----

Bahan Bacaan terkait:
1. COurt RUlling raises uncertainties in energy sektor;
2. Hemat Energi yang terlupakan;
3. Phenomena Magic Jar:
4. Open SOurcing oil and gas sector

Friday, March 09, 2007

MENYOAL KONVERSI MINYAK TANAH KE BAHAN BAKAR GAS

Oleh: Eddy Satriya (satriyaeddy@gmail.com) *

Telah diterbitkan dalam Downstream Indonesia Edisi Feb 2007

Subsidi energi, baik listrik maupun BBM, telah menjadi momok menakutkan bagi pengambil keputusan di Republik Indonesia ini. Pemerintah dipusingkan bukan hanya oleh rumitnya merancang pembangunan dan menentukan prioritas dalam penyusunan RAPBN, tetapi juga dengan besarnya subsidi – terutama BBM – yang harus ditanggung setiap tahun. Karena itulah, pemerintah bersama DPR telah bersepakat untuk menghapuskan subsidi BBM secara bertahap seperti tertuang dalam UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Meskipun demikian, subsidi minyak tanah dikecualikan. Dengan kata lain, meski telah menerapkan harga pasar untuk bensin dan solar, pemerintah masih mensubsidi minyak tanah untuk keperluan masyarakat berpendapatan rendah dan industri kecil.

Namun subsidi minyak tanah dalam dua tahun terakhir masih terasa memberatkan karena besarnya volume yang harus disubsidi, seiring dengan berbagai krisis dan transisi yang terjadi dalam managemen energi nasional. Kondisi ini diperberat pula dengan bertahannya harga minyak dunia pada kisaran USD 50-60 per barel. Karena itu, langkah pemerintah untuk melakukan konversi penggunaan minyak tanah kepada bahan bakar gas dalam bentuk Liquefied Petroleum Gas (LPG) bisa dianggap sebagai salah satu terobosan penting dalam mengatasi rancunya pengembangan dan pemanfaatan energi, sekaligus mengurangi tekanan terhadap RAPBN.

Dari berbagai sumber diketahui bahwa pemerintah berencana untuk mengkonversi penggunaan sekitar 5,2 juta kilo liter minyak tanah kepada penggunaan 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010 mendatang yang dimulai dengan 1 juta kilo liter minyak tanah pada tahun 2007 (detik.com, 19/1/07). Langkah ini bisa dipahami cukup strategis mengingat setelah penghapusan subsidi bensin dan solar, permintaan akan minyak tanah tidak memperlihatkan penurunan. Karena itu, salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi pemakaian minyak tanah.
Sayangnya, rencana konversi kepada LPG ini terasa mendadak dan tidak terencana secara komprehensif. Tak heran berbagai masalah dalam pelaksanaannya muncul seakan tiada henti. Mulai dari ribut-ribut tender kompor gas yang dilakukan oleh Kantor Menteri Koperasi dan UKM, belum jelasnya sumber pendanaan dan besarnya subsidi yang mencapai ratusan milyar Rupiah, rendahnya sosialisasi kepada masyarakat yang justru sedang giat-giatnya memproduksi kompor murah berbahan bakar briket sesuai program pemerintah sebelumnya, ketidaksiapan infrastruktur seperti stasiun pengisian dan depot LPG, hingga kaburnya kriteria pemilihan lokasi uji coba dan kelompok masyarakat penerima kompor dan tabung gas gratis.

Belum habis berbagai kontroveri tersebut, muncul pula masalah lain dalam proses tender kompor gas. Yaitu adanya aturan baru dimana kompor gas harus memiliki dua tungku. Padahal peserta tender sebelumnya telah mengantisipasi dan diminta menyiapkan penawaran hanya satu tungku sesuai aturan dari Departemen Perindustrian (Kompas, 3/2/07).

***
Lalu bagaimana langkah ke depan?

Tidak semua rencana baik bisa berjalan mulus. Apalagi dalam era demokrasi yang penuh transisi. Berbagai niat dan semangat untuk mengukir sejarah tidak cukup hanya dibekali upaya biasa, tapi juga menuntut perjuangan ekstra dan kerjasama. Itulah salah satu kaedah proses perencanaan saat ini. Karena itu demi kelangsungan program konversi yang bertujuan baik, maka proses perencanaan dan program pelaksanaannya sebaiknya dibenahi dari sekarang sebelum mengalami kegagalan atau menciptakan dampak yang lebih buruk.

Ada dua masalah utama yang perlu pemikiran ulang. Pertama, dampak penghapusan subsidi untuk bensin dan solar kelihatannya luput dari perhatian pemikir negeri ini. Anjuran kiai dan puluhan cendekiawan Indonesia dengan berbagai iklannya di media cetak dan media elektronik untuk bersabar menghadapi “penyesuaian” harga BBM ternyata tidak mangkus.

Himpitan dan kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat miskin seperti nelayan di pesisir dan penduduk yang hidup didaerah sungai seperti di Jambi, Sumatera Selatan, sebagian Jawa, dan sebagian besar Kalimantan, menuntut kreativitas agar bisa bertahan hidup. Mahalnya solar untuk melaut telah memaksa nelayan memodifikasi ribuan mesin kapal agar tetap bisa dioplos dengan minyak tanah supaya ekonomis, meski harus mengganti beberapa onderdil secara berkala. Sedangkan bagi rakyat pengguna transportasi sungai, mesin tempel perahu mereka juga harus direkayasa agar bisa menggunakan minyak tanah yang lebih murah. Meski secara ekonomi terjadi pengurangan subsidi untuk bensin dan solar, namun secara nasional penggunaan dan permintaan minyak tanah bukannya menurun. Malah sebaliknya, permintaan naik berlipat-lipat yang tercermin dengan banyaknya antrian minyak tanah disepanjang tahun 2005 dan 2006 di seluruh wilayah nusantara, termasuk di ibukota Jakarta. Hal ini telah diperburuk pula oleh ulah spekulan, pengoplos, dan buruknya distribusi Pertamina.




Kedua, apabila pemerintah masih akan terus melakukan konversi minyak tanah dengan berbagai kondisi makro seperti di atas, maka pelaksanaannya menuntut pembenahan. Koordinasi menjadi kata kunci. Demikian pula, harus jelas institusi penanggung jawab program utama (executing agency) dan institusi pelaksana untuk setiap sub program (implementing agency). Saat ini peran, fungsi dan tugas masing-masing institusi yang terlibat masih rancu. Setidaknya ada beberapa institusi yang terlibat, antara lain: Departemen ESDM, PT. Pertamina, BPH Migas, Depertemen Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Badan Usaha (swasta), LSM, dan Pemerintah Daerah. Menjadi penting untuk meluruskan peran dan tugas masing-masing agar tidak terjadi tumpang tindih dan saling tuding.



Untuk mewujudkan kerjasama dan koordinasi yang baik antar instansi sudah sepantasnya dibetuk Tim Terpadu untuk melaksanakan program konversi ini. Mengingat jumlah masyarakat miskin yang terus bertambah, maka sangat diperlukan kecermatan dalam menentukan lapisan masyarakat yang akan menjadi sasaran konversi ini. Untuk skala nasional tentu saja tingkat kesulitannya akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan skala uji coba yang sekarang sedang dilaksanakan di beberapa kecamatan di wilayah DKI Jaya dan Tangerang.

***
Konversi penggunaan minyak tanah memang harus dilaksanakan secara berkesinambungan mengingat masih tingginya permintaan dan ketergantungan nasional terhadap BBM. Program ini harus berkelanjutan dan tidak bisa sporadis mengingat pemerintah masih kesulitan menaikkan produksi minyak ketingkat 1,3 juta barel per hari, sementara penggunaan bahan bakar gas dan batu bara masih terkendala oleh infrastruktur.

Penggantian jutaan kompor minyak tanah menjadi kompor gas tentu memerlukan biaya cukup besar. Apalagi jika itu akan diberikan secara cuma-cuma. Untuk jangka panjang strategi pembiayaan mutlak harus dipikirkan. Diusulkan agar biaya konversi pemakaian minyak tanah ini bisa diambilkan dari berbagai retribusi dan pendapatan negara bukan pajak lainnya (PNBP) yang jumlahnya cukup besar di sektor Migas. Sedangkan pengelolaanya dalam jangka panjang bisa saja di embankan kepada badan usaha tertentu atau dikembalikan ke Pertamina dengan menggunakan pola Public Service Obligation sehingga mengurangi rantai birokrasi dan dapat meringankan beban pemerintah ditengah keterbatasan sumber daya manusia yang ada saat ini.

Sebagai penutup tidak kalah pentingnya adalah program sosialisasi kepada masyarakat agar dapat mensukseskan program ini. Karena itu ukuran tabung gas dan kepastian rancangan kompor hendaklah dibuat sedemikian rupa sehingga memang sesuai dengan kebutuhan mereka. Khusus untuk ukuran tabung gas, kiranya perlu dipikirkan ulang secara seksama, hingga tidak terjadi salah persepsi nantinya bagi sebagian masyarakat miskin yang tentu juga memiliki tingkat pendidikan yang agak terbatas dibandingkan dengan masyarakat luas lainnya. Kedua hal ini sangat perlu diperhatikan untuk menghindarkan berbagai masalah sosial yang belum diantisipasi pemerintah pada saat ini.
_______

*) Senior Infrastructure Economist, menetap di Depok. Dapat dihubungi di satriyaeddy@gmail.com

Proyek Pipa Gas Kaltim-Jateng: ”Sui Generis”

JAKARTA, Investor Daily 16/11/2006 /
http://www.investorindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=19035&Itemid=32


Oleh: Eddy Satriya*)

Energy Security atau jaminan keamanan pasokan energi, khususnya gas alam, semakin terasa penting dalam konteks ekonomi nasional. Kekurangan pasokan gas untuk pembangkit listrik, pabrik pupuk, pabrik baja, industri keramik dan berbagai industri lainnya di Pulau Jawa dan Sumatera telah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Sementara itu, keterbatasan infrastruktur telah menunda distribusi gas ke rumah tangga.

Karena itu, wajar sekali apabila seorang peserta sesi Business Dialog dengan jajaran Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) dalam Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition(IICE) 2006 awal November lalu menanyakan kepada pemerintah tentang kelanjutan proyek pipa gas Kalimantan Timur – Jawa Tengah (Kalija) sepanjang 1.220 km. Pertanyaan itu muncul di tengah kegalauan praktisi dan industri migas terkait dengan rencana pembangunan terminal Liquified Natural Gas (LNG) di Jawa Barat, munculnya pernyataan Presiden SBY akan menata ulang kebijakan gas, serta adanya protes dari sebagian masyarakat di kota Bontang yang mengandalkan pemasukan daerah dari ekspor LNG. Pertanyaan itu juga menggelitik mengingat proyek pipa gas Kalija ini sudah ditawarkan dalam Infrastructure Summit 2005 lalu.

Penjelasan yang disampaikan langsung Menteri DESDM terkesan normatif yang menyerahkan kelanjutan pelaksanaan pembangunan pipa gas Kalija kepada badan usaha pemenang Lelang Hak Khusus yang telah ditunjuk 17 Juni 2006 lalu. Ditambahkan pula bahwa pelaksanaan pembangunan pipa gas Kalija sangat tergantung kepada gas reserve and deliverability, tarif dan keekonomian proyek.

Lalu, bagaimana pembagian kerja sama dan peran yang harus dimainkan oleh pemerintah dan swasta? Bagaimana pula dengan masalah otonomi daerah yang tidak bisa dibebankan kepada swasta semata? Dan, apakah BP Migas memang memprioritaskan alokasi gas untuk proyek Kalija?

Tidak bisa dimungkiri bahwa devisa negara telah dihamburkan guna mengimpor produk bahan bakar minyak (BBM) untuk kebutuhan domestik, termasuk untuk membangkitkan listrik. Kerugian juga dialami rakyat Indonesia karena besarnya potensi penghasilan yang hilang dengan diekspornya LNG tanpa henti selama tiga dekade. Ekspor LNG juga menurunkan daya saing industri nasional karena aneka industri di Jepang, Korea Selatan dan Taiwan justru memperoleh sumber energi bersih, murah, aman, dan terjamin dengan kontrak jangka panjang.

Rencana penghentian perpanjangan kontrak ekspor gas dan pengutamaan penggunaan gas domestik yang ditargetkan minimal 25% merupakan tonggak sejarah baru kebijakan energi nasional. Namun belum terlihat tindak lanjut kebijakan strategis yang sangat ditunggu pengguna gas di dalam negeri.

Tarik Ulur

Silang pendapat terus terjadi mengiringi berbagai kepentingan seperti peneliti, pengamat, lembaga swadaya masyarakat, berbagai komponen masyarakat di Kaltim, termasuk dari sektor dan instansi pemerintah terkait. Namun untuk proyek sebesar Kalija yang membutuhkan biaya tidak kurang dari US$ 1,3 miliar, berbagai gejala tersebut wajar saja terjadi seiring dengan transisi regulasi yang tengah berlangsung, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Sebenarnya sejak semula telah mencuat empat masalah utama yang memerlukan keputusan politik ekonomi. Pertama, ketidaktegasan dalam mengalokasikan besaran pasokan gas. Kedua, adanya keinginan kuat PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang telah ”membidani” proyek ini untuk mendapatkan perlakuan khusus. Sementara lelang hak khusus akhirnya dilakukan secara terbuka oleh Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas). Ketiga, munculnya ketakutan sebagian masyarakat Bontang dan warga Kaltim lainnya akan masa depan kilang LNG. Keempat, berkembangnya kekhawatiran di kalangan masyarakat yang melihat rencana pembangunan pipa gas ini hanya akan menguntungkan sekelompok pengusaha yang dekat kekuasaan.

Mencermati dampak ekonomi akibat besarnya ketergantungan energi nasional pada BBM, telah ditunjuknya badan usaha pemenang lelang hak khusus, serta mempertimbangkan perlunya menjaga iklim investasi yang kondusif, proyek pipa gas Kalija ini sebaiknya diselesaikan sesuai rencana. Ia menjadi ujian sukses tidaknya perubahan kebijakan gas nasional yang berorientasi ke dalam negeri dan sekaligus akan menjadi saksi sejarah ketatnya tarik ulur reformasi kebijakan di bidang migas.

Tanpa bermaksud latah membanding-bandingkan, jika Malaysia telah berhasil membangkitkan listrik dengan sumber energi yang didominasi gas serta membangun jaringan pipa gas sekitar 1.600 km untuk penduduk mereka, mengapa kita harus terus menunggu lebih lama? Mengapa kita tega pula membiarkan sebagian besar rakyat bersusah payah membeli gas ketengan dengan harga berlipat-lipat dibandingkan sebagian masyarakat kota dan yang tinggal di beberapa apartemen dengan pasokan gas berlimpah berharga sangat murah.

Di sisi lain, rencana penggelaran pipa gas Kalija juga telah menjadi bagian Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional yang telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri ESDM pada 30 Mei 2005.

Sui Generis

Memperhatikan ketatnya tarik ulur, pro dan kontra terhadap proyek Kalija ini, membayangkan tantangan besar yang mengadang pelaksanaan proyek maupun dorongan akan tingginya keinginan mereformasi sektor migas, serta mempertimbangkan manfaatnya di kemudian hari, maka proyek pipa gas Kalija ini layak disebut sebagai proyek yang berjalan sesuai keperluannya sendiri atau biasa dikenal juga dengan istilah ”Sui Generis”.

Bukan hanya diharapkan untuk memasok kebutuhan gas di Jawa, keberadaan pipa gas Kalija ini juga akan mampu mencegah daerah yang dilalui pipa dari pemutusan hubungan listrik bergilir yang masih terus terjadi setiap tahun karena sangat tergantung kepada pembangkit listrik tenaga air dan diesel. Di samping itu, pipa gas Kalija akan mengintensifkan eksplorasi lapangan gas baru di Kaltim dan sekitarnya serta memulai era City Gas yang sudah lama diidam-idamkan banyak pihak.

Semoga gas memang bisa menjadi salah satu energi alternatif di Republik ”BBM” ini. (*)

*) Senior Infrastructure Analyst, Mantan Kasubdit Energi di Bappenas.
Berita Terkait :

Tuesday, July 12, 2005

Hemat Energi Yang Terlupakan

(Tulisan ini belum dipublikasikan selain di blog ini)

Oleh: Eddy Satriya*



Hari-hari ini adalah hari-hari krisis energi, terutama bahan bakar minyak (BBM). Sungguh beruntung bangsa Indonesia, karena akhirnya krisis itupun datang menyengat. Ia datang mengingatkan semua pihak bahwa selama ini kita memang telah melupakan betapa energi adalah salah satu barang ekonomi yang sangat berharga. Arti penting energi dalam kehidupan sebenarnya sudah lama dipahami dan terus diingatkan oleh banyak orang. Salah satunya adalah Jeremy Rifkin (2002) yang dalam “The Hydrogen Economy” mengungkapkan bahwa “societies collapse when energy flow is suddenly impeded”. Begitu pula Lutz Kleveman (2003) dalam “The New Great Game. Blood and Oil in Central Asia”, kembali mengingatkan betapa politik ekonomi tidak dapat dipisahkan dari sumber energi, terutama minyak dan gas (migas). Saking pentingya, untuk menguasai sumber energi jika perlu nyawa orang lain pun dikorbankan. Namun penduduk Indonesia memang tergolong pelupa dan lama terlena. Sekarang, seperti orang yang terbangun dari mimpi panjang, semua mendadak bicara tentang pentingnya hemat energi.

Seperti diketahui, kegagalan Pertamina memasok BBM ke pelosok negeri serta berbagai masalah terkait telah memaksa pemerintah menyerah. Tidak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakilnya Jusuf Kalla (JK) akhirnya memohon dan menghimbau agar masyarakat bisa melakukan penghematan energi, terutama BBM, dalam menjalankan berbagai aktivitas ekonomi mereka (Kompas, 23/06/05). Memang penghematan menjadi salah satu cara yang paling mungkin dilakukan saat ini mengingat proses peningkatan produksi membutuhkan waktu.
***

Kita memang tergolong bangsa yang boros dalam penggunaan energi. Intensitas Energi - indikator yang mengaitkan tingkat penggunaan energi dengan peningkatan GDP suatu negara - Indonesia memang tergolong masih besar. Meski bukan merupakan indikator yang paling sahih, karena jumlah populasi Indonesia yang tinggi, intensitas energi Indonesia tergolong buruk dibandingkan dengan sebagian besar negara ASEAN lainnya, apalagi jika dibandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat (AS).

Kesadaran akan pentingnya keberlanjutan suplai energi dalam kehidupan kadang memang terlupakan. Kita menyaksikan dan merasakan betapa pendingin udara (AC) di beberapa gedung di Jakarta memang jarang disesuaikan dengan standar kesehatan manusia. Tingkat dinginnya sering memaksa orang harus menyesuaikan pakaian, persis di negeri empat musim yang sedang dilanda musim dingin. Hotel-hotel besar dan pusat perbelanjaan menjadi serba tertutup dan masif sehingga pencahayaannya lebih mengandalkan cahaya lampu daripada tata cahaya alami. Supir-supir pun banyak yang menghidupkan AC jika menunggu majikannya. Singkat kata dari berbagai lapisan, kita memang boros energi.

Selain pelupa dan abai, kita juga tergolong pemalas. Dalam memasak nasi misalnya, sekarang orang lebih mengandalkan “magic jar”. Entah bagaimana ceritanya, rakyat bangsa ini telah dengan sadar mengimpor berjuta-juta magic jar untuk menopang gaya hidup malasnya. Pernah saya ulas dalam “Fenomena Magic Jar” betapa setiap hari rata-rata penduduk Indonesia mengonsumsi sekitar 12 Giga Watt Hour (GWh) hanya untuk memanaskan nasi (Majalah Trust, 30/5/05). Sering kali magic jar itu dibiarkan hidup 24 jam dalam sehari hanya untuk memanaskan sekepal nasi hingga menguning. Sementara itu di Filipina, Thailand, dan beberapa negara ASEAN lainnya, penduduknya masih tetap menggunakan rice cooker yang hanya dihidupkan seperlunya.

Cerita ini pernah saya utarakan pada bulan April 2005 lalu dalam suatu diskusi terbatas dengan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie. Beliau terlihat prihatin dan menambahkan pula dengan cerita betapa banyak hotel di pulau Bali yang tidak mengatur suhu minimal kamar. Alhasil, sering kali AC dihidupkan di bawah 18 derajat Celcius karena para tamu tidak mau terlalu kepanasan ketika menikmati hangatnya cuaca Bali. Mereka tetap menghidupkan AC, lalu membuka pintu kamar lebar-lebar untuk mengimbangi hangatnya pantai Bali. Sayangnya usulan untuk membuat paket khusus hemat energi pada waktu itu tidak terlalu dianggap suatu yang serius dan mendesak oleh peserta diskusi lain dan dikatakan telah tertampung dalam agenda konservasi energi.
***

Sekarang rakyat harus siap-siap dengan kondisi yang mungkin tidak pernah terbayangkan. Jika pemadaman bergiliran sudah menjadi suatu hal yang biasa, mulai minggu depan besar kemungkinan akan banyak kejutan. Himbauan hemat energi yang pernah dikeluarkan SBY dan JK besar kemungkinan akan berubah menjadi suatu instruksi atau aturan baru yang bisa saja berujung kepada suatu sanksi.

Masyarakat, termasuk seluruh elite pimpinan, memang seyogyanya merobah cara pandang dan tata cara penggunaan energi agar lebih hemat dan efisien. Namun sangat diharapkan penguasa juga mampu memberikan suri teladan, selain aturan yang masuk akal dan tidak kontra-produktif. Juga diharapkan aturan tersebut tidak menambah panik masyarakat yang justru sudah dalam kondisi sangat sulit. Hal itu hanya dapat dicapai jika kembali menggunakan langkah sosialisasi dan kampanye hemat energi terprogram yang dulu pernah sukses dilakukan namun kemudian terlupakan.

______
*) PNS di Bappenas. Menetap di Sawangan, Depok.
(satriyaeddy@yahoo.com )

Monday, May 30, 2005

FENOMENA MAGIC JAR

Oleh: Eddy Satriya*)


Catatan: Telah diterbitkan di kolom Majalah Trust No.35. Edisi 30 Mei-5 Juni 2005-mengalami editing

Pelaksanaan penyambungan pipa gas ke pembangkit listrik PT. PLN (Persero) di Tanjung Priok dan Muara Karang telah membuat Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan surat yang berisi himbauan untuk menghemat pemakaian energi di kantor-kantor Pemerintah dengan cara mematikan lampu yang tidak diperlukan. Seandainya penghematan energi minimal 50 Watt per pelanggan tidak tercapai, maka untuk mengatasi defisit pasokan listrik PT. PLN terpaksa mengambil langkah pemadaman bergilir di seluruh Jawa dan Bali secara merata. Jika kondisi tersebut menjadi kenyataan, itu berarti suatu kemunduran besar yang memaksa kita kembali ke zaman byar pet belasan tahun lalu. Kondisi ini berpotensi memperburuk iklim investasi yang justru sedang mati-matian diperjuangkan oleh pemerintahan baru di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah dilakukan antara lain melalui penyelenggaraan Infrastructure Summit maupun Road Show ke Eropa dan Amerika Serikat.

Seperti disampaikan Dirut PT. PLN Eddie Widiono, kondisi terparah diperkirakan akan terjadi pada hari Kamis (26/5) dan Jum’at (27/5) yang diperkirakan mengalami defisit sekitar 385 MW (Suara Pembaruan, 26/5/05). Sungguh disayangkan PT. PLN tidak mampu menjaga margin yang aman pada saat beban puncak untuk wilayah Jawa-Bali selama bulan Mei dan Juni 2005. Defisit pasokan listrik ini diperburuk pula oleh lemahnya kemampuan PLN dalam menyinkronkan jadwal perbaikan dan pemeliharaan beberapa pembangkit besar dengan jadwal pemasangan pipa gas serta banyaknya industri yang beralih kepada sambungan PLN setelah terjadinya kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu.

Memahami kelemahan PLN di atas serta belum berhasilnya pemerintah mendorong masyarakat secara maksimal untuk menggunakan sumber-sumber energi alternatif seperti angin, gas, sel surya, panas bumi, ataupun jenis energi baru dan terbarukan lainnya, maka sudah sepatutnya pula masyarakat dihimbau untuk berpartisipasi seperti isi surat Sekjen ESDM di atas. Pada akhirnya, memang pelanggan jugalah yang diharapkan untuk mengurangi pemakaian listrik pada saat beban puncak. Peran masyarakat ini telah diakui oleh General Manager Pusat Penyaluran dan Pengaturan Beban PLN yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat selama tiga hari telah menghemat listrik sebesar 4.200 MW atau senilai Rp 3,8 milyar (Kompas, 27/5/05).

Sementara itu, reaksi pelanggan listrik terhadap kemungkinan terjadinya pemadaman bergilir cukup beragam. Ada yang mengkhawatirkan prospek usaha mereka seperti para penjual makanan jadi, Warung Tegal (Warteg), dan restoran yang sangat bergantung kepada listrik PLN dalam menjaga kesinambungan suplai bahan makanan. Ada pula masyarakat yang mencemaskan akan matinya ikan-ikan hias mereka. Demikian pula rasa cemas pengusaha jasa persewaan komputer, warung telekomunikasi, dan warung Internet yang khawatir akan rusaknya beberapa peralatan mereka jika terjadi pemadaman bergilir. Apapun reaksi masyarakat -mencemaskan sumber nafkah atau sekedar hobi mereka-, suatu yang pasti adalah ”Societies collapse when the energy flow is suddenly impeded” seperti diuraikan oleh Jeremy Rifkin (2002) dalam bukunya ”Hydrogen Economy”.

Pengaruh globalisasi serta kebutuhan untuk memenuhi gaya hidup praktis telah mendorong penggunaan energi secara boros dan tidak efisien melalui penggunaan peralatan yang mengonsumsi daya besar. Mahalnya perumahan dan sulitnya transportasi telah memaksa banyak orang memilih apartemen atau mengontrak di dalam kota yang membutuhkan pendingin ruangan, mesin cuci, microwave dan lemari es berdaya besar. Peningkatan pendapatan biasanya diikuti pula oleh keinginan memperoleh hiburan di dalam rumah dengan membeli berbagai jenis peralatan hiburan seperti stereo set, DVD/VCD, komputer, dan perangkat elektronik lainnya.

Praktek boros energi juga semakin terlihat dengan banyaknya pusat-pusat perbelanjaan (mall) dan apartemen yang cenderung tertutup rapat oleh beton –mungkin untuk alasan keamanan dan terhindar dari teror bom- sehingga konsumsi energi untuk pendingin ruangan dan pencahayaan cenderung meningkat. Parahnya lagi, sikap tidak hemat energi di Indonesia telah menjangkiti bukan hanya orang berpunya, tetapi hampir merata dari kampung hingga kota.

Fenomena Magic Jar mungkin bisa menjelaskan betapa masyarakat semakin tidak hirau dengan ketersediaan energi. Dalam “Kongres Energi Nasional” bulan November 2004 lalu di Jakarta, pernah saya sampaikan bahwa untuk hanya sekedar bisa memakan nasi panas, masyarakat kita telah memborong jutaan Magic Jar. Meski rata-rata setiap Magic Jar mengonsumsi 50 Watt, penggunanya nyaris tidak pernah mematikan pemanas nasi tersebut. Singkat kata, kebanyakan pengguna Magic Jar memakainya 24 jam sehari. Dengan asumsi sepertiga saja dari 30 juta pelanggan PLN atau rumah tangga menggunakan satu pemanas nasi, akan memberikan angka 10 juta x 50 Watt x 24 jam = 12 Giga Watt Hour. Padahal penggunaan Magic Jar atau Rice Cooker juga bisa dihemat dengan mengatur waktu masak dan waktu bersantap, tanpa harus memanaskan semangkok nasi sepanjang hari. Magic Jar creates magic Watthour!

Memperhatikan surat edaran ESDM yang hanya menghimbau pemadaman lampu di kantor-kantor pemerintah serta masih rendahnya budaya hemat energi di kalangan masyarakat, maka sudah selayaknyalah pemerintah, PT.PLN serta seluruh pemimpin masyarakat memulai kembali upaya-upaya pemahaman pentingnya budaya hemat energi yang selama ini terlupakan. Budaya hemat energi hendaklah terpadu dan menyeluruh, mengingat banyak kantor-kantor pemerintah sekarang yang semakin dilengkapi oleh berbagai peralatan tambahan seperti televisi, radio, dan microwave. Begitu pula untuk masyarakat pengguna listrik, budaya hemat energi sebaiknya dimulai sedini mungkin dan berkelanjutan. Semoga kita tidak kembali ke zaman gelap.

________

*)Kasubdit Energi di Bappenas. Pendapat pribadi.

Monday, January 03, 2005

Court rulling raises uncertainty in energy sector

The Jakarta Post, January 3rd 2005
http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20050103.F01

Eddy Satriya, Jakarta

Economic changes coupled with advances in new technology, the need to conduct good-governance practices, and intensifying pressure to reduce the central government's role have significantly brought new developments to the provision of public utilities and infrastructure in many developing countries.
Waves of deregulation, liberalization and privatization started in the 1980s have had an effect on decision makers in setting up their industries.

The energy sector in Indonesia has also progressed significantly in its reform through the issuance of new regulations. Oil and Gas Law No. 22/2001, Electricity Law No. 20/2002, and Geothermal Law No. 27/2003 were all promulgated after the economic crisis in 1997. The main themes of the new laws are improving the quality of services, abolishing monopoly, defining the new role of the government, and improving public-private partnerships in infrastructure provision. As a result, the energy sector is now ready to open up the domestic market and to redefine the government's role in the industry.

Therefore, it was like a clap of thunder overhead on Dec. 15, 2004, when the news regarding the dissolution of Electricity Law No 20/2002 reached all decision makers, investors and players in infrastructure who assembled in the National Development Planing Board's (Bappenas) hall on Jl. Taman Suropati, Central Jakarta.

The reason for the annulment is that some of the main articles -- article no. 16, 17, and 38 -- of the Electricity Law are against article 33 of the 1945 Constitution. Having the Electricity Law canceled means that the law is no longer effective and all of the contracts and commitments being prepared must be stopped. Thus, at the moment there is no law or basic regulation effectively in place for the electricity industry. Yet, some say that the annulment means that the old Electricity Law No. 15/1985 is the prevailing law. However, that is not automatically the case since the old law had already expired and the decree made by the Constitutional Court canceled Law No. 20/2002 but said nothing about Law No. 15/1985. In short, the annulment has caused a backlash and the virtual eclipse of the power industry. The industry may be led into an even darker tunnel, unless the government and related stakeholders make a quick move to fill the gap.

As a matter of fact, the enactment of Electricity Law No 20/2002 has already marked a new era in the country's power sector. A series of restructuring and reform steps have been taken accordingly. For example, the formulation of the so-termed Blueprint for Indonesia's Power Sector -- also known as Guidelines for the Development of the National Power Industry -- and the establishment of the Electricity Market Supervisory Board through Government Regulation No 53/2003 are among reform steps taken in the sector. In addition, good will for reform has been signaled by the resignation of the former director general of electricity and energy utilization as a member of the board of commissioners of state-owned electricity company PLN.

On the other hand, unfortunately, PLN has not fully recovered yet from the economic crisis. The fact that only half of the population is connected to the grid shows PLN's difficulty in expanding its services. Blackouts and brownouts in some areas outside of Java and Bali islands also indicate a lower grade of electricity services. The company's limited budget for new investment and the rehabilitation of power generators, and the price increases of crude and diesel oil has hampered PLN's activities significantly since about one third of its power generation is oil-fueled.

Other alternative for funding new investments in the system -- ranging from generation, transmission, and the distribution of the power to end-users -- are through foreign debt or loans. However, financing new projects through foreign loans has not been that easy for PLN. Most investors now seek government guarantees due to the poor track record of PLN., as many of its previous projects suffered long delays in the implementation stage.

The other way to improve the power supply service is through increasing the selling price to users. As the sole operator in the country, PLN -- through a government decision -- has successfully increased electricity charges over the last four years. Statistics show that price increases in the electricity tariff are much higher than those of other basic utilities, such as water supply and public transportation. In addition, power losses and inefficiency in management have worsened the overall performance of the power sector. All of these difficulties and the "wait-and-see" attitude of investors in the power sector have caused the deterioration of overall services.

Thus, we arrive at the question: How does this logic actually work? On one side, Electricity Law No. 20/2002 encourages the modernization of the sector through, among other things, redefining the government's role, gradually liberalizing the power sector that has been controlled by one party for decades, and by inviting private participation in the sector. The new Electricity Law has also freed PLN from constructing facilities and providing services in rural and remote areas. Article 7 of the law says that this task has now been transferred to both the central and regional administrations.

On the other hand, the cancellation of the law may throw the industry into uncertainty, which could lead to the deterioration of power supply services and worsen the investment climate at a national level. In other words, the cancellation of Electricity Law No. 20/2002 does not send out a positive signal ahead of the Infrastructure Summit.

The Constitutional Court has made its decision. Yet, we are aware that not all liberalization programs carried out across the world end as success stories. This is not a matter of "the Lexus and the Olive Tree" as underlined by Thomas L. Friedman. But, this is purely a question of which one is now the real enemy to the welfare of the Indonesian people from transition to transition: Monopoly or liberalization? Only time will tell.

The writer is a senior infrastructure economist, working for Bappenas. He can be reached at esatriya@bappenas.go.id