Monday, August 30, 2004

Kwik, Bertindaklah Mulai di Kantor Sendiri

27 Agustus 2004/Sinar Harapan

Oleh Eddy Satriya

Acungan jempol sangat layak diberikan kepada Kwik Kian Gie (KKG) atas kegigihannya untuk terus menyuarakan betapa berbahayanya KKN, serta betapa mubazirnya berbagai upaya pembangunan yang akan dilaksanakan jika KKN tidak pernah dikurangi secara serius dan nyata. Namun yang menjadi penting saat ini sesungguhnya bukan lagi berdiskusi akan jahatnya KKN, tetapi adalah menyusun langkah nyata untuk mengikisnya dari berbagai sendi kehidupan.

Jika ditelusuri ke belakang, perjuangan KKG melawan KKN terlihat sudah cukup panjang. Bukan hanya ketika beliau menjabat Menteri PPN/Kepala Bappenas saat ini dan Menko Perekonomian pada pe-merintahan lalu, tetapi juga ketika masih di luar kabinet. Sulit melupakan tulisan-tulisan KKG yang menentang berbagai ketidakadilan dalam ekonomi nasional, termasuk kegigihannya membongkar borok-borok konglomerat jahat. Perjuangan KKG melawan KKN nyaris tidak pernah berhenti.

Namun di sisi lain, kita juga menyaksikan betapa KKN semakin merajalela, mewabah dan merata. Situasi yang membuat orang menjadi terbiasa dan bahkan mengandalkan KKN untuk bertahan hidup atau mempertahankan gaya hidupnya. Di lain pihak, prestasi nyata pengungkapan KKN dan sanksi terhadap pelakunya masih sangat sedikit. Kondisi ini pada akhirnya banyak membuat para pejuang antikorupsi merasa lelah dan seperti kehilangan arah. Lelah berteriak, lelah berharap, dan akhirnya bersikap apatis. Bahkan, KKG sendiri terkadang harus takluk kepada kelompok yang saya sebut saja sebagai "gerombolan globalisator".

Ketidakberdayaan KKG itu telah diulas Tempo (20/6/04) dalam laporan berjudul "Kwik Menolak, Utang Jalan Terus" dan "Oke, Dengan Catatan". Tragisnya, ketidakberdayaan KKG dalam menghadang berbagai pinjaman luar negeri yang ditengarainya bermasalah justru terjadi ketika beliau menjabat Kepala Bappenas yang merupakan salah satu institusi yang berwenang menentukan layak tidaknya suatu pinjaman luar negeri diimplementasikan.

Skor 3-0
Jadi, jika diibaratkan dengan suatu pertandingan sepakbola maka kedudukan sekarang antara KKN dan KKG adalah 3-0. "Gol" pertama terjadi ketika beliau masih sebagai pengamat ekonomi di luar lingkar kekuasaan. Berbagai upaya beliau membongkar modus operandi pembobolan BUMN, ekspor fiktif, hingga pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) belum memperoleh hasil yang berarti. Kedua, ketika beliau mengajukan kritik pedas terhadap partainya yang juga partai berkuasa beberapa waktu lalu.

"Gol" yang paling menyakitkan terjadi ketika beliau sedang memiliki kekuasaan yang besar sebagai Menteri. Menyakitkan, karena KKG yang sangat lantang melawan International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia dan "gerombolan globalisator" harus mengalami kekalahan justru ketika borok-borok IMF dan Bank Dunia sudah dikupas habis-habisan oleh pakar internasional.
Kita mengetahui, tidak kurang dari peraih Nobel Joseph Stiglitz membeberkan akibat globalisasi yang keliru dalam dua bukunya "Globalization and Its Discontents "(2002) dan "The Roaring Nineties. Seeds of Destruction "(2003). Begitu pula Peter Griffith, ekonom dan mantan konsultan Bank Dunia, telah membuka mata dunia betapa menyengsarakannya kebijakan pangan yang dipaksakan Bank Dunia melalui buku "The Economist’s Tale. A Consultant encounter Hunger and the World Bank" (2003). Dampak globalisasi yang malah berujung kepada ketidakstabilan global telah diuraikan lugas oleh Amy Chua (2003) dalam best seller-nya: "World On Fire. How Exporting Free-Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability."

Dalam situasi seperti itulah KKG terus berjuang melawan KKN di negerinya. Perjuangan yang mestinya mendapat dukungan penuh dari sesama menteri, elite politik, dan masyarakat yang menginginkan suatu pemerintahan berwibawa dan bersih dari KKN. Namun yang terjadi saat ini, KKG seperti orang yang berteriak sendirian di gurun yang mahaluas.

Dalam diskusi bisnis yang disiarkan radio di Jakarta bulan Juli lalu, KKG mengungkapkan suatu berita menarik. Menurut beliau, Bank Dunia telah mengirimkan sebuah surat confidential kepada Menteri Keuangan berisikan hasil investigasi konsultan internasional yang mengindikasikan bahwa telah terjadi praktik-praktik KKN oleh staf Bappenas dalam mengelola salah satu bantuan yang disalurkan Bank Dunia. Seandainya berita itu benar, betapa memprihatinkannya kondisi saat ini. Kemasan surat confidential bisa diartikan sebagai suatu "serangan balik" terencana yang mematikan dari pihak-pihak yang selama ini dikritisi KKG.

Lalu apa yang harus dilakukan KKG? Menurut pendapat saya, mungkin inilah saatnya KKG menuntaskan perjuangannya memberantas KKN. Bukan hanya di atas kertas, tapi dalam suatu tindakan nyata. Bukankah langkah terbaik pemberantasan KKN bisa dimulai dari diri dan lingkungan kantor sendiri? Secara teknis, seharusnya tidak ada kendala untuk bertindak lugas dalam memeriksa dugaan KKN yang dilakukan anak buahnya di Bappenas.

"Injury Time"
Sebagaimana halnya dengan anggota kabinet lain, masa jabatannya KKG juga hampir habis. Jika diibaratkan kembali dalam permainan sepakbola, maka pertandingan telah memasuki injury time. Sudah seharusnya waktu yang tersisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk membuat skor, paling tidak "pecah telor". Syukur-syukur perjuangan di menit-menit akhir justru bisa membalikkan keadaan.

Namun demikian, jika langkah tegas akan diambil KKG perlu diingat pula bahwa rendahnya tingkat kesejahteraan aparatur negara yang berkombinasi dengan lemahnya penegakan sanksi hukum dan tipisnya moral telah mempersubur KKN di hampir seluruh lini kehidupan, termasuk kantor pemerintah. Menurut Ignas Kleden, jika ada orang yang ingin berbuat benar dalam suatu lingkungan yang korup, maka ia justru akan dianggap kriminal.

Di lain pihak, pemberi pinjaman ataupun hibah terkadang punya agenda sendiri dan ketidakdisiplinan terhadap aturan main. Pengalaman saya berurusan dengan pinjaman luar negeri menunjukkan bahwa sering bantuan tersebut disalurkan kembali kepada konsultan mereka atau pihak lain yang diinginkan.

Caranya, antara lain, melalui kondisi penunjukan konsultan asing yang tidak bisa dikompromikan, kerangka acuan (TOR) yang kaku dan sulit diubah, memperlambat pemberian No Objection Letter (NOL), dan berbagai trik lain. Keadaan ini diperparah pula oleh keterlambatan dokumen Daftar Isian Proyek (DIP) untuk mencairkan pinjaman yang beberapa tahun ini baru bisa terbit setelah bulan April atau Mei. Kesemuanya itu akhirnya membuat Pemimpin Proyek harus "berakrobat" dan terkadang terpaksa melanggar prosedur.
Apa pun bentuk dugaan korupsi ataupun pelanggaran prosedur yang dituduhkan kepada kantor yang dipimpin KKG, menurut perkiraan saya, tidaklah akan melibatkan dana yang besar. Upaya itu hanyalah salah satu cara menghantam balik KKG.

Sejak reformasi bergulir staf Bappenas tidak lagi ikut membahas dokumen proyek di Departemen Keuangan. Peran Bappenas telah digantikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang bersama-sama dengan Staf Ditjen Anggaran dan Departemen Teknis menyusun DIP sebagai dokumen akhir proyek untuk dibiayai dari RAPBN. Namun penyelidikan tuntas atas tudingan Bank Dunia seperti diucapkan KKG tentu masih diperlukan.

Kedudukan saat ini sudah 3-0 untuk KKN. Apakah Pak Kwik Kian Gie mampu mengubahnya? Kita tunggu saja dan mari kita doakan agar beliau mengambil keputusan dan bertindak tepat dalam injury time. Siapa tahu, keadaan bisa berbalik.

Penulis adalah pemerhati Reformasi, tinggal di Sawangan-Depok.

______

Monday, August 09, 2004

Salahkah Telkom Mendominasi?

==========
MajalahTrust No. 45, Edisi 9-15 Agustus 2004

Eddy Satriya
Senior Infrastructure Economist, bekerja di Bappenas*)
satriyaeddy@yahoo.com

Jasa telepon tetap dengan mutu layanan yang baik dan biaya terjangkau masyarakat luas tampaknya masih sulit terwujud dalam waktu dekat. Dengan demikian berbagai kemudahan, inovasi, dan ilmu pengetahuan yang bisa diperoleh dari berbagai sumber informasi di seluruh dunia melalui Internet hanya akan dinikmati oleh segelintir penduduk Indonesia. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, digital divide atau kesenjangan digital akan terus melebar antara kelompok masyarakat yang memiliki akses informasi dan yang tidak memilikinya.

Salah satu penyebab kesenjangan ini adalah belum berjalannya kompetisi penyelenggaraan jasa telekomunikasi seperti yang diharapkan. P.T. Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom) semakin mendominasi pasar telepon tetap, jauh meninggalkan PT. Indonesian Satellite Corp. Tbk (Indosat). Jasa layanan Telkom semakin lengkap, ketika izin penyelenggaraan Sambungan Langsung Internasional (SLI) yang telah lama dinanti-nanti akhirnya keluar. Wujud kegembiraan jajaran Telkom dipertontonkan secara langsung melalui blocking time lima stasiun TV nasional dalam peluncuran jasa SLI Telkom 007 “The Real Connection” pada 7 Juni 2004 lalu yang berlangsung mewah di kawasan Garuda Wisnu Kencana, Nusa Dua, Bali.

Singkat kata, Cetak Biru Telekomunikasi dan UU tentang Telekomunikasi tahun 1999 belum memperlihatkan hasil yang diinginkan. Simak saja, pembangunan sambungan baru masih sedikit, tarif masih tergolong mahal dan cenderung untuk terus dinaikkan, serta ketersediaan dan keandalan layanan untuk daerah terpencil masih terbatas. Kalaupun ada tambahan pembangunan fasilitas telepon tetap di beberapa desa melalui program Universal Service Obligation (USO), ini jelas-jelas bukan hasil dari suatu kompetisi. Program USO yang dilaksanakan melalui penunjukan langsung itu dibiayai dari RAPBN.

Berat sebelahnya kompetisi yang berjalan sejak efektifnya UU Telekomunikasi pada bulan September 2000 yang lalu, dapat dilihat dari beberapa contoh kasus dan kejadian berikut. Pertama, pengaduan beberapa wartel tentang dugaan terjadinya pemblokiran akses SLI 001 dan 008 oleh Telkom telah berujung pada persengketaan yang harus diselesaikan melalui Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU). Dirut Telkom pun telah menegaskan kesiapannya jika KPPU memerlukan pemeriksaan lanjutan kasus itu (lihat Sinar Harapan, 8 Juni lalu).

Kedua, diduga telah terjadi pengalihan Warung Telekomunikasi menjadi Warung Telkom secara sistematis di berbagai wilayah di seluruh Indonesia. Berbagai media di daerah telah melaporkan kejadian ini. Sebagai contoh, seorang pengusaha wartel dari Pontianak menyatakan keheranan dan kegusarannya akan edaran Telkom yang mengharuskan pengusaha wartel untuk ber-PKS (Pola Kerja Sama) dengan Telkom. Jika wartel itu tidak mau, maka sambungan teleponnya akan dicabut dan harus membayar harga pasang baru serta dikenakan abonemen. Berita ini dimuat Pontianak Post, “Mengapa Harus Warung Telkom?”, edisi 1 Juli tahun lalu.

Ketiga, perang harga jasa layanan Internet yang diselenggarakan beberapa ISP dengan harga produk Telkomnet Instan telah membuat resah para pengusaha ISP nasional. Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) bahkan pernah mengancam untuk menutup akses Internet di Indonesia dua tahun lalu. Tahun 2002 juga diwarnai ditutupnya layanan Wasantara Net produk PT. Posindo di 40-an kota di seluruh Indonesia. Kenaikan tarif telepon lokal baru-baru ini juga dirasakan semakin menyudutkan ISP yang menggunakan dial-up ke telepon lokal.

Keempat, dalam bisnis Voice Over Internet Protocol (VOIP) Telkom kelihatannya juga tidak tertahankan. Kualitas jasa layanan VOIP 017 milik Telkom juga sangat bagus dengan harga bersaing. Sebagaimana dilansir Jakarta Post, 5 Oktober tahun lalu: “Many suspect that Telkom has deliberately used the low compression to enable its 017's voice quality to reach nearly the same level as that of the 001 or 008. For many, this constitutes a serious violation against VoIP criteria….”

Beberapa contoh kasus di atas memperlihatkan dominasi pasar oleh satu operator baik di sisi backbone, jasa Internet, retail, dan VOIP. Pihak yang paling dirugikan dalam hal ini tentu saja pelanggan jasa telekomunikasi, di samping pengusaha sektor telekomunikasi baik yang besar maupun kelompok Usaha Kecil Menengah.

Lantas menjadi pertanyaan sekarang, salahkah kalau Telkom menjadi besar, kuat dan mendominasi sektor telekomunikasi Indonesia? Bukankah Telkom sudah mendeklarasikan visi barunya “To Become a Leading InfoCom Player in the Region”? Semua itu akan diwujudkan dengan konsep “The Telkom Way 135”, ditambah semangat “perang” yang tinggi melalui program “War Room”. Bukankah Telkom juga sudah berkorban banyak untuk telekomunikasi negeri ini sejak masa PN Telekomunikasi, Perumtel, hingga sekarang? Lalu, apa pula yang harus dilakukan pemerintah dan otoritas regulasi telekomunikasi?

Menuruh hemat saya ada tiga pilihan yang tersedia.
Pertama, membiarkan saja situasi yang ada saat ini. Hal ini mungkin saja diambil karena berbagai kasus yang terjadi di atas bisa dianggap sebagai hal yang wajar dan sudah menjadi konsekuensi transisi dari era monopoli ke era kompetisi. Kalau langkah ini yang diambil, diperkirakan Telkom tetap bisa menjadi besar. Namun itu berjalan secara perlahan karena akan terjadi “perlawanan berdarah-darah” dari operator lain yang pada akhirnya merugikan kedua belah pihak.

Kedua, mengarahkan Telkom menjadi sebuah perusahaan besar, menjadi “National Champion”, yang nantinya diharapkan mampu bersaing dalam era pasar bebas dengan perusahaan asing yang sudah siap-siap menyerbu masuk pasar domestik. Ini sebenarnya bukanlah hal baru, pernah diwacanakan di komisi terkait di DPR. Jika langkah ini yang dipilih, Telkom bisa menjadi perusahaan telekomunikasi yang besar di Asia, bukan hanya Indonesia. Tentu, pilihan ini tidak menguntungkan bagi operator lain. Perlu dicatat, konsep “National Champion” ini juga dianut beberapa negara seperti Korea Selatan dengan Korea

Telecomm-nya, dan banyak negara Eropa.
Ketiga, menyusun suatu terobosan regulasi dan kebijakan yang mampu membesarkan Telkom sekaligus operator lain secara bersamaan. Hal ini bisa dilakukan dengan memperbaharui Cetak Biru Telekomunikasi dan menyempurnakan UU Telekomunikasi. Misalnya dengan membagi-bagi segmen jasa layanan telekomunikasi sesuai dengan bisnis inti masing-masing, membatasi Telkom terjun sampai ke “retail”, memberlakukan persaingan bebas di jasa seluler GSM, melakukan regionalisasi dan pemberdayaan perusahaan-perusahaan daerah untuk melaksanakan layanan fixed wireless dan Internet, membentuk Perusahaan Umum (Perum) daerah untuk melayani wilayah USO, serta berbagai kemungkinan kombinasi lain yang pada akhirnya akan menguntungkan secara nasional.

Langkah manapun yang akan dipilih atau disepakati oleh seluruh stakeholder telekomunikasi, pemerintah juga tidak bisa menunda berbagai penyelesaian peraturan dan kebijakan yang terkait dengan kompetisi sehat seperti interkoneksi, pembentukan badan regulasi yang benar-benar independen, serta menyusun kode etik penyelenggaraan jasa telekomunikasi secara nasional di samping beberapa kebijakan lain yang terkait dengan Internet dan transaksi elektronis.
_____
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi