Monday, April 16, 2007

STOP PERPELONCOAN, TITIK

Oleh: Ir. Eddy Satriya, MA *)

satriyaeddy@yahoo.com

Catatan: Artikel ini ditulis akhir Sept 2003 dan belum sempat dipublikasikan di media cetak

Rasa mual, sedih, putus asa, amarah dan geram bercampur menjadi satu dalam diri saya tatkala menonton tayangan Televisi (TV) swasta SCTV pada Minggu malam 21 September 2003 lalu. Diperlukan ketenangan diri dan “syaraf baja” untuk menyaksikan tayangan yang mengupas kejadian amoral di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) tersebut hingga tuntas. Walaupun terkadang samar karena kejadian yang direkam dengan kamera video amatir itu berlangsung malam hari, namun apa yang tertayang dilayar kaca tersebut semuanya bisa terlihat dengan jelas dan dimengerti.

Memang ada yang berhasil menahan pukulan tangan dan tendangan sambil meringis, namun banyak pula yang terjengkang. Ada yang “melingker” seperti ular sambil memegang perutnya yang baru saja kena pukulan tangan sejenis “hook” yang diayun sekuat tenaga dari bawah, ada pula yang terjungkir balik ke belakang setelah menerima tendangan melayang dibagian dada, atau bahkan ada yang tidak bisa bangun lagi setelah dipukul dengan dua tangan yang diayunkan dari atas kebagian dada untuk kemudian digotong keluar arena. Bahkan ada yang tega bertindak pengecut memukul dari belakang lalu kabur disaat senior lainnya menghajar dari depan. Sungguh tiada kata dan tata bahasa manapun yang bisa dan pantas digunakan untuk menggambarkan rentetan siksaan yang dilakukan oleh para senior terhadap yuniornya di lingkungan kampus perguruan tinggi kedinasan tersebut. Untunglah acara ekslusif itu ditayangkannya menjelang tengah malam.

Tak karuan, setelah melihat tayangan tersebut, maka saya pun tidak mampu lagi membaca berbagai tulisan-tulisan yang mengupas berbagai siksaan yang dialami siswa STPDN ataupun bilur-bilur kepiluan yang dirasakan oleh keluarga siswa yang harus mengurus putra-putrinya korban kekejaman gerombolan senior STPDN.

Kemudian pikiran sayapun tiba-tiba melayang kembali ke awal tahun 80-an persisnya tahun 1982. Saat itu debu abu letusan gunung Galunggung menyelimuti kota Bandung. Suara teriakan dan hardikan tak henti-hentinya terdengar dari dalam Taman Ganesha, persis di depan pintu gerbang Institut Teknologi Bandung (ITB). Tak lama berselang terdengar pula suara nyanyian dan suka cita. Rasa ingin tahu sebagai seorang mahasiswa baru yang datang dari daerah mendorong saya untuk melihat langsung apa yang terjadi disana. Bersama beberapa teman, dari celah rimbunnya tanaman dan bunga bisa disaksikan bahwa di dalam taman itu sedang berlangsung aneka ragam perpeloncoan dari beberapa jurusan di ITB. Senior jurusan “ngerjain” yuniornya yang hendak masuk himpunan. Namun hampir tidak ada terlihat kontak fisik antara senior dan yuniornya. Semua berjalan dengan “sesuai aturan”. Sekali lagi tidak ada pukulan, tamparan apalagi tendangan melayang ala Jacky Chan atau Bruce Lee sebagai bagian dari kontak fisik antara panitia dengan yang dipelonco.

Kemudian terlintas pula berbagai bayangan perpeloncoan yang pernah saya alami. Hampir sama dengan kejadian yang menimpa senior di atas saya, kami pun menjalani berbagai bentuk variasi perpeloncoan untuk masuk himpunan jurusan. Sebagai mahasiswa yang haus akan pengalaman baru dan juga karena keterbatasan dana pendidikan, sayapun memutuskan untuk masuk asrama di jalan Ganesha 15F. Berbagai bentuk perpeloncoan pun kembali saya jalani. Mulai dari harus bangun paling pagi, menjaga tersedianya air, menghidupkan dan mematikan lampu rumah dan taman, mematikan TV dimalam hari dan puluhan bentuk pembinaan mental.

Hukuman tetap ada baik karena kesalahan pribadi ataupun kesalahan kolektif sesama yunior. Namun sekali lagi, tidak ada kontak fisik antara senior dengan yang dipelonco. Mungkin itulah yang membedakan perpeloncoan yang saya dan juga mahasiswa perguruan tinggi lain dengan yang harus dialami oleh mahasiswa yunior di STPDN Sumedang.

***
Rasanya tidaklah banyak manfaatnya pada saat-saat seperti sekarang ini untuk menggali lebih jauh asal usul perpeloncoan. Akan terkesan mubazir dan percuma. Sepatutnyalah kita mengkaji langkah kedepan tentang bagaimana harus memperlakukan perpeloncoan. Harus ada keputusan yang tegas, hitam atau putih. Bukan abu-abu. Terlebih lagi melihat reaksi-reaksi “norak” dari para elite pimpinan yang masih senang berdebat tanpa ada keputusan tegas tentang perpeloncoan. Kita sudah terlalu kejam dan tega menyiksa diri sendiri dalam posisi yang tidak jelas. ?

Hampir setiap orang yang pernah mengenyam pendidikan menengah dan tinggi di Republik ini mengenal perpeloncoan dalam berbagai bentuk dan variasinya. Ada yang mengenalnya sejak masuk sekolah menengah tingkat pertama, sekolah menengah tingkat atas ataupun di saat memasuki perguruan tinggi. Perpeloncoan telah meninggalkan kenangan, nostalgia atau malah”nightmare” bagi setiap orang. Ada yang pro, tentu ada pula yang kontra.

Mengapa kita harus menegaskan sikap menghadapi berbagai bentuk perpeloncoan ini? Ada beberapa alasan. Pertama, darah dan jiwa muda baik untuk senior dan yunior yang dipelonco memang tidak mudah dikendalikan. Hampir dapat dipastikan akan terjadi penyimpangan dari aturan main yang telah disepakati antara pimpinan sekolah dengan panitia. Kedua, tugas-tugas yang diberikan oleh senior walaupun sudah dibuat dengan kreatifitas dan inovasi tinggi untuk berbiaya murah, masih akan dirasakan mahal pada saat kondisi keterpurukan ekonomi masih berlangsung. Kalaupun murah, waktu yang sangat terbatas mengakibatkan biaya tinggi juga. Ketiga, kecenderungan yang ada saat ini berbagai bentuk perpeloncoan sering diadakan diluar sekolah atau kampus sehingga sangat sulit untuk mengontrol. Keempat, persiapan antisipasi untuk menanggulangi berbagai bentuk kecelakaan dengan menyediakan peralatan dan tenaga medik yang memadai sering diremehkan. Terakhir, berbagai bentuk perpeloncoan yang dilaksanakan oleh para senior ini sudah tidak dijumpai lagi di banyak negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang.

Berbagai pertimbangan di atas dan kondisi negara yang sangat membutuhkan banyak perhatian di berbagai sisi kehidupan diharapkan mampu membuka mata para pengambil keputusan tentang aturan pendidikan. Hendaknya Kantor Kementerian Pendidikan Nasional (Diknas) bisa menginstruksikan secepat-cepatnya kepada semua jajarannya mengkaji ulang kondisi ini. Jujur saja, pekerjaan tidaklah layak untuk diproyekkan yang harus menunggu siklus perencanaan dan pembiayaan pembangunan selama satu tahun. Stop perpeloncoan.
________
*) Penulis PNS biasa, tinggal di Sawangan-Depok.