Tuesday, June 29, 2004

Telematika, "Where Are You" ? -------- seri tulisan ICT --------


Oleh: Eddy Satriya *)

Catatan: Artikel ini telah diterbitkan di Majalah Bisnis Komputer Edisi No.06 20 Juni – 20 Juli 2004

Berulang kali saya menelusuri baris demi baris iklan salah satu pasangan Capres dan Cawapres yang dimuat di berbagai koran ibukota pada tanggal 9 Juni 2004. Iklan tersebut saya jadikan semacam sample untuk memenuhi hasrat keingintahuan tentang bagaimana elite partai politik mendudukkan telematika dalam program mereka. Tapi dua kata yang saya cari yaitu “telekomunikasi” dan atau “informasi” tidak saya temukan. Padahal program tersebut mereka namakan program ekonomi yang disiapkan untuk merebut simpati masyarakat pemilih dalam pemilihan presiden dan wakil presiden tanggal 5 Juli 2004 mendatang. Kekecewaanpun tak dapat saya tutupi kerena menjadi jelas bahwa rencana pembangunan dan pengembangan telematika tidak termasuk di dalamnya. Menyimak pidato dan diskusi dalam kampanye Capres dan Cawapres lainnya pun kita menemukan nuansa yang tidak jauh berbeda. Tulisan ini tidak bermaksud membahas sisi politis dari berbagai program Capres dan Cawapres yang akan berlomba untuk menjadi pimpinan bangsa, tapi semata membahas positioning telematika dimasa datang.

Lalu bagaimanakah prospek pembangunan telematika dalam pemerintahan baru nanti? Pertanyaan tersebut mungkin bergelayutan dibanyak pikiran pelaku telematika yang selama ini, walaupun belum maksimal, telah menikmati lumayan banyak peluang bisnis di sektor ini. Sebut saja peningkatan jumlah penggunaan komputer di rumah tangga, sekolah dan perkantoran, kemajuan dunia multimedia dan hiburan yang membutuhkan perangkat telematika cukup besar, retail aksesori telepon seluler yang berkembang biak dimana-mana, dan kebutuhan berbagai jenis perangkat komputer dan telekomunikasi untuk memenuhi hasrat berkomunikasi data yang murah. Tidak ketinggalan pula manfaat yang telah dinikmati media masa cetak dan elektronik melalui iklan produk-produk telematika dan sektor riil lainnya yang menyerap banyak tenaga kerja. Akankah berbagai kemajuan tersebut dapat meningkat, atau setidaknya dipertahankan?

Pertanyaan bernada kekhawatiran tersebut di atas sudah sewajarnya mencuat. Walaupun banyak kemajuan yang telah dicapai, masih ada beberapa kendala yang membatasi sampainya jasa telematika dengan mutu layanan yang baik, aksesibilitas yang luas dan harga yang terjangkau kepada seluruh lapisan masyarakat. Sebut saja kendala geografis, rendahnya daya beli sebagian besar masyarakat, kebijakan yang masih belum pro-kompetisi sesuai amanat Undang-Undang Telekomunikasi No. 36 Tahun 1999, mahalnya biaya investasi, rendahnya awareness masyarakat dan pejabat akan potensi telematika, tarif yang belum menunjang, serta belasan kendala lainnya yang tidak akan habis-habisnya dibahas. Kesemuanya itu membuat misi memperkecil digital divide semakin tidak mudah.
Maju tidaknya telematika di Indonesia sesungguhnya selain bergantung kepada upaya pengembangan sektor itu sendiri, juga sangat ditentukan oleh sasaran dan target pembangunan masyarakat (society) seperti apa yang akan dituju dalam jangka menengah empat atau lima tahun mendatang.

Diperkirakan program pembangunan pemerintah mendatang tentu akan lebih difokuskan kepada usaha-usaha mempertahankan Negara Kesatuan RI, meneruskan berbagai program reformasi kepemerintahan dan kehidupan berpolitik, mengatasi pengangguran dan meningkatkan pelayanan sosial dasar kepada masyarakat. Lalu apa yang bisa dikerjakan oleh seluruh stakeholder telematika saat ini, agar program pengembangan telematika tidak hilang atau tercecer di tengah perjalanan pembangunan bangsa kedepan?

Bagi anda yang termasuk pesimis dengan apa yang bisa disumbangkan pemerintah untuk telematika, maka pertanyaan di atas mungkin tidak terlalu penting. Tapi sikap itu bukanlah sesuatu yang salah. Pembangunan telematika yang bersifat lintas sektor memang banyak yang bisa digarap sendiri oleh para IT profesional. Namun bagi sebahagian orang yang masih membutuhkan peran telematika yang lebih besar dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan, pertanyaan tersebut sudah selayaknya dipikirkan ulang. Tidak bisa dipungkiri bahwa pembangunan telematika - tidak berbeda dengan sektor lain - banyak dinikmati oleh segelintir pelaku bisnis yang kebetulan punya akses dan berada dekat dengan lingkungan kekuasaan.

Perubahan pemerintahan akan berdampak cukup signifikan terhadap eksekusi program pembangunan, tidak kecuali telematika. Perubahan pemerintahan biasanya membawa perubahan lingkungan berusaha. Yang kemaren memperoleh pekerjaan dan porsi kegiatan, dimasa datang bisa saja akan gigit jari. Yang sekarang masih memiliki berbagai usaha seperti Wartel, Warnet, ataupun bisnis TI dari garasi rumah bisa saja gulung tikar atau harus berganti profesi.

Sebahagian kita mungkin tetap atau terpaksa pesimis melihat program kerja yang ditawarkan Capres dan Cawapres yang tidak memberikan prioritas dan ruang yang cukup untuk telematika. Kondisi ini juga harus dimaklumi. Bukankah Peter F. Drucker (2002) sendiri pernah menyampaikan dalam bukunya “Managing in the Next Society” bahwa “the new economy has not come yet”. Yang ada barulah upaya mendirikan usaha, kemudian menjualnya melalui IPO dan mekanisme lain ke pasar modal, belum mendirikan bisnis yang sebenar-benarnya.

Lalu bagaimana sikap kita sebaiknya? Saya lebih memilih kelompok optimis yang harus menyiapkan sesuatu, bukan berdiam diri. Sebahagian besar insan telematika saya pikir, memang harusnya demikian, akan memilih langkah ini. Pilihan optimis ini bukannya tanpa alasan, meski harus diakui pengembangan telematika oleh pemerintah masih terbatas. Alasan utamanya adalah bahwa teknologi telematika berkembang terus dengan percepatan yang tidak bisa diikuti oleh regulasi dan kebijakan. “Technology changes, economic laws do not” kata Varian dan Saphiro.

Karena itu sudah selayaknya seluruh stakeholder telematika seperti Masyarakat Telematika, seluruh asosiasi, BUMN, perguruan tinggi, maupun individu yang terlibat bisnis telematika duduk bersama dan mengumpulkan berbagai masukan untuk diteruskan kepada para wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat, Tim Sukses masing-masing Capres dan Cawapres, ataupun kepada kabinet pemerintahan baru terpilih nanti. Sudah semestinya pembangunan telematika memberikan kontribusi terbesarnya kepada masyarakat luas, bukan hanya kepada sekelompok orang. Waktu masih ada dan belum ada kata terlambat. Semoga nanti kita tidak bertanya-tanya lagi setelah pemerintahan baru terbentuk. Telematika, where are you?

__________

*) Penulis adalah Senior Infrastructure Economist. Berkerja di Bappenas. Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak harus mencerminkan kebijakan tempat penulis bekerja. Dapat dihubungi di esatriya@bappenas.go.id atau di eddysatriya.blogspot.com




&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

Thursday, June 10, 2004

LOGIKA ABU-ABU ------seri tulisan reformasi---------


Oleh: Eddy Satriya *)

Catatan: Telah diterbitkan dalam Majalah Mingguan Forum Keadilan Edisi 14 Juni 2004
================================

Mencermati peristiwa demi peristiwa yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan bernegara akhir-akhir ini semakin mendorong kita untuk merenung. Salah satunya adalah merenungkan kembali cara berpikir, yaitu bagaimana menerapkan konsep berpikir logis dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Hal ini sangat mendasar dan penting bagi seorang dewasa. Zoran Minderovic dalam “Gale Encyclopedia of Childhood and Adolescence” (1995) mendefinisikan berpikir logis sebagai “ the ability to understand and to incorporate the rules of basic logical inference in everyday activities.” Sementara itu Jean Piaget, seorang filsuf dan psikolog terkenal Swiss, dalam bidang psikologi anak mengelompokkan anak-anak berusia 6-11 tahun kedalam concrete operations stage yang telah mulai bisa berpikir logis sehingga mampu memahami hubungan sebab akibat. Dengan memperhatikan definisi Minderovic serta pengelompokan Piaget di atas, maka sudah sepantasnya kita bertanya kepada diri masing-masing. Apakah kita benar-benar sudah mampu berpikir logis dan bertindak sebagai seorang dewasa ataukah baru sampai tahap mulai bisa berpikir logis yang masih membutuhkan bimbingan seperti anak-anak dibawah 12 tahun?

Berpikir logis sebenarnya bukanlah merupakan hal yang sulit. Namun di republik yang masih dilanda krisis ini, berpikir logis ternyata tidak gampang. Apalagi jika harus dilakukan dalam suatu proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sering sekali hal yang mudah menjadi sulit, urusan sederhana malah menjadi rumit.

Beberapa kasus berikut mungkin dapat menerangkan betapa susahnya seseorang mempraktekkan berpikir logis di negara kita. Pertama. Sebagai negara yang sedang berupaya mengatasi krisis, maka sudah selayaknya bangsa Indonesia memanfaatkan sebaik mungkin setiap kesempatan yang ada. Baik kesempatan yang muncul sebagai hasil serangkaian kerja keras ataupun kesempatan yang sekonyong-konyong datang sebagai berkah. Merebaknya wabah Severe and Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada awal 2003 yang melanda dunia mulai dari China, Hong Kong, Taiwan, Singapura, hingga Canada, dan beberapa negara lainnya, memang merupakan musibah dalam industri pariwisata dunia. Bagi Indonesia yang relatif terbebas dari wabah tersebut, bencana SARS seharusnya dapat dilihat sebagai kesempatan emas untuk memperbaiki industri pariwisata di tanah air. Hal itu bisa dilakukan dengan menyusun dan melaksanakan berbagai variasi program promosi untuk mengalihkan kunjungan wisatawan asing ke berbagai daerah tujuan wisata (DTW) di dalam negeri.

Namun apa yang terjadi? Alih-alih mempergencar promosi dan menyatukan segenap potensi, ternyata para pengambil keputusan malah asyik berseteru dan saling silang sesama mereka. Hampir bersamaan dengan wabah SAR diawal 2003 itu, perseteruan semakin memuncak yang berujung dengan dibubarkannya Badan Pengembangan Pariwisata Indonesia.

Kedua. Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) semakin menarik untuk disimak. Sejalan dengan kecenderungan global, Indonesia juga melaksanakan progam restrukturisasi dan reformasi prasarana dasar. Salah satunya adalah dengan meningkatkan status BUMN penyelenggara jasa prasarana tersebut. Perusahaan Jawatan (Perjan) ditingkatkan menjadi Perusahaan Umum (Perum). Perum lalu ditingkatkan lagi menjadi Persero. Pada waktunya nanti, maka Persero secara bertahap dijual kepada masyarakat. Sayangnya prasarana dasar yang jelas-jelas sarat dengan misi sosial seperti jasa pos dan giro serta kereta api diperlakukan sebagai entitas bisnis berorientasi profit. Padahal di dunia internasional sekalipun sangatlah sulit mencari BUMN sejenis yang mampu break even, apalagi meraih untung. Jutaan dolar dana pinjaman yang telah “disuntikkan” kepada BUMN penyelenggara jasa pos dan giro serta kereta api sebenarnya telah mulai berhasil memperbaiki kinerja mereka. Perum Pos dan Giro secara bertahap telah mampu mencatat untung cukup besar pada kurun waktu sebelum 1995. Begitu pula Perumka telah mampu menikmati profit untuk beberapa ruas layanan yang kemudian memberikan subsidi bagi segmen yang masih merugi.

Namun setelah menjadi Persero, mutu dan sarana prasarana layanan pos dan giro semakin menurun. Kantor Pos Pembantu Tambahan (KPTB) di dalam kota terlihat suram. Warna oranye kebanggaan mereka dibiarkan luntur. Jika anda melintas di jalan Haji Nawi Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, maka anda akan trenyuh melihat KPTB kusam yang lebih mirip toilet umum dibandingkan sebuah kantor pos bergengsi di lokasi yang “postal strategis”. Begitu pula pelayanan kereta api yang semakin memburuk dari sisi kenyamanan layanan, ketepatan waktu, apalagi dalam hal keamanan. Pengelolaan BUMN akhir-akhir ini memang semakin mengusik logika kita.
Ketiga. Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia (UI) Sarlito W. Sartono dalam tulisannya berjudul “Bank Lippo, Muchtar Ryadi dan UI” telah mengungkap permasalahan yang tengah dihadapi universitas terkemuka tersebut. Persoalannya terkait dengan sepak terjang Muchtar Ryadi dalam kancah bisnis perbankan Indonesia yang ternyata pada saat bersamaan juga berstatus, tidak tanggung-tanggung, sebagai Ketua Majelis Wali Amanah (MWA) UI (Kompas, 26/4/03). Profesor Sarlito tidak bisa menutupi kekhawatirannya atas ancaman yang mungkin dihadapi UI sehubungan dengan posisi Muchtar Ryadi sebagai Ketua MWA.

Telah menjadi semacam mainstream di Indonesia bahwa akademisi dianggap sebagai “dewa penolong” yang serba tahu untuk menjalankan kebijakan dalam penyelenggaraan negara ataupun dunia bisnis. Lihat saja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang didominasi oleh akademisi. Demikian pula, berbagai kantor kementerian pun masih merekrut dosen dan guru besar menduduki jabatan yang seharusnya diberikan kepada pejabat karir.

Kekhawatiran pihak Senat Akademik UI akan peranan Muchtar Ryadi sebagai Ketua MWA cukup membingungkan karena logika kita menjadi bolak-balik. Bagaimana seorang pebisnis yang dijuluki “konglomerat diduga kriminal” oleh Effendi Gazali (Kompas, 10/5/03) dapat menduduki jabatan teramat tinggi, prestisius, dan mulia di lingkungan akademisi? Kita tentu merasa berhak menebak-nebak alasan pengangkatan itu. Mulai dari hal-hal wajar hingga keluar nalar. Salah satunya adalah kepiawaian Muchtar Ryadi dalam berbisnis di mancanegara dan tentu juga posisinya yang sentris disalah satu konglomerat besar di tanah air. Simbiose mutualisme. Tapi alasan itu masih sulit diterima nalar karena UI juga memiliki pakar manajemen dan orang-orang berpengalaman. Sudah hilangkah percaya diri para profesor dan pakar UI? Ataukah mereka gamang dengan status baru sebagai Badan Humum Milik Negara?

Keempat. Sebagai negara penghasil minyak bumi dan gas alam (migas), Indonesia memiliki banyak ladang eksplorasi, pabrik, kilang, tangki, dan stasiun penyimpanan dan penyaluran migas. Dalam suatu industri yang beresiko tinggi seperti industri migas, faktor keamanan (safety) fasilitas industri dan pekerja tak pelak lagi menjadi prioritas utama. Guna menunjang pelaksanaan pengamanan, biasanya berbagai tahap produksi dan peralatan yang digunakan selalu mengacu kepada standar yang berlaku di dunia internasional. Jalur pipa, kompresor, ketel pemanas, saringan, pengatur tekanan, dan peralatan lain bisanya diberi warna dan nomor tertentu guna memudahkan pelacakan jika terjadi gangguan. Warna kuning, merah, abu-abu, putih dan hitam biasanya banyak terlihat pada kilang atau stasiun migas.

Namun jika anda datang ke Stasiun Pembagi Utama Gas Bumi di Panaran, Batam, anda pasti akan terkesima. Di tempat ini pada bulan Agustus 2003 lalu telah diresmikan proses pengiriman gas pertama dari Indonesia ke Singapura. Pengiriman gas tersebut diresmikan langsung oleh Presiden Megawati dan disaksikan pimpinan tertinggi beberapa negara ASEAN, serta para Menteri Kabinet Gotong Royong dan pejabat terkait lainnya. Peresmian yang bergengsi tersebut, sungguh menggugah logika kita. Entah bagaimana ceritanya, stasiun gas yang sesuai standar internasional memang didominasi pipa dan instrument berwarna kuning telah di cat keseluruhannya menjadi hanya satu warna, abu-abu. Tidak ada lagi pipa berwarna kuning, ketel berwarna merah, dan lain sebagainya. Sekali lagi, semua menjadi abu-abu.
Cerita di atas hanyalah sebagian kecil kasus yang sangat mengusik untuk direnungkan kembali. Apakah kita sudah benar-benar mampu berpikir logis, atau harus kembali ke dalam kelompok anak-anak yang masih membutuhkan bimbingan seorang dewasa? Empat contoh di atas menunjukkan bahwa berpikir logis di Indonesia memang tidaklah mudah. Sangat banyak tantangan dan kondisi yang mampu menggagalkannya. Tidak peduli anda seorang rakyat biasa, pesuruh di suatu kantor hingga pejabat teras, intelektual muda, ataupun wakil rakyat yang terhormat.

Sulitnya berpikir logis juga melanda pemuka agama dan kiyai sekalipun. Lihatlah betapa seorang kiyai muda kondang dari kota Bandung yang sangat diharapkan untuk memperbaiki akhlak umat, ternyata juga mengalami kesulitan untuk membedakan antara menjadi pendakwah dengan menjadi presenter untuk acara talk show politik di televisi yang sesungguhnya menjadi domain orang lain.

Bagaimana pula logikanya jika seorang mantan Presiden yang tersingkir dari bursa Capres karena tidak lolos aturan KPU, kemudian menuntut ganti rugi Triliunan Rupiah? Hitam, putih, atau abu-abu jugakah logikanya? Kalau yang ini sebaiknya anda tidak usah menyiksa lagi syaraf pikir anda, tunggu saja keputusan pengadilan!

Semoga Tuhan YME mengampuni kita.

_________

*) Penulis adalah pemerhati reformasi, tinggal di Sawangan-Depok. (www.geocities.com/satriyaeddy)


&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

Friday, June 04, 2004

Pemerintah

---seri tulisan reformasi----

oleh Eddy Satriya

pemerintah tidak diperlukan
bahkan dihindari
apalagi menjelang idul fitri
karena mereka menagih thri*

tapi lain hari, pemerintah dicari
didekati, bahkan dijilati
terutama jika musim dup dan dip tiba
karena mereka menentukan anggaran belanja anda

pemerintah semakin diperlukan
ketika semua usaha terancam gagal
apalagi jika harus mempertahankan gaya hidup
maka rapbn dan utang pun dijadikan penambal, biar cukup

pemerintah semakin sarat
tatkala semua orang membutuhkan jabatan
instansi baru pun di buat
biar semua kebagian

===================================

*thri : "tunjangan hari raya indonesia"

jakarta, november 2003
=====(posted in LISI@yahoogroups.com Wed 11/19/03 2:12 PM )======

Wednesday, June 02, 2004

PENTINGNYA KELEMBAGAAN DALAM PENGEMBANGAN TELEMATIKA --- seri tulisan ICT ---

Oleh : Ir. Eddy Satriya, MA*)

Catatan: Artikel ini telah diterbitkan di Majalah Bisnis Komputer Edisi 20 Mei-20 Jun 2004
========================

Dalam suatu seminar teknologi informasi yang diselenggarakan pada tanggal 28 April 2004 di sebuah hotel berbintang di Jalan Kuningan, Jakarta Selatan, seorang peserta mengajukan pertanyaan yang tergolong usang, tapi mendasar. Peserta tersebut mempertanyakan bagaimana kabar beritanya konsep infrastruktur telematika Nusantara-21 yang pernah digagas pemerintah di zaman orde baru dulu. Pertanyaan dalam seminar yang diadakan oleh Ikatan Alumni Lemhanas (IKAL) beserta beberapa perusahaan IT tersebut ditujukan kepada Deputi Kantor Meneg Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Cahyana Ahmadjayadi yang dikalangan praktisi telematika dikenal dengan pembuat konsep Sistem Informasi Nasional (Sisfonas) sebagai langkah baru pengembangan infrastruktur telematika saat ini.

Pertanyaan itu dikatakan serius karena dua hal. Pertama, pertanyaan peserta tersebut cukup tajam dan jeli melihat perkembangan telematika yang saat ini dirasakan masih belum maksimal karena belum sinkronnya penyediaan infrastruktur informasi dan aplikasinya. Kedua, ternyata masih ada yang penasaran dan memperhatikan perjalanan panjang telematika Indonesia dengan mempertanyakan dua konsep infrastruktur yang berbeda dengan tujuan sama. Singkat kata, selain menggugat perlunya integrasi kebijakan infrastruktur dengan kebijakan aplikasi peserta tersebut sekaligus mempertanyakan faktor kelembagaan dan produknya dalam pengembangan telematika nasional.
Memang faktor kelembagaan atau institusi merupakan salah satu kelemahan yang ada dalam pengembangan telematika saat ini. Urusan infrastruktur telekomunikasi dan berbagai kebijakan pengembangannya masih menjadi tanggung jawab Ditjen Pos dan Telekomunikasi (Postel), Departemen Perhubungan. Sementara berbagai aktivitas pengembangan aplikasi dan strategi pemanfaatan IT, Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan lain-lain, menjadi kewenangan Kominfo yang sekaligus menjadi Ketua Pelaksana Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI). Padahal secara konseptual, telah terjadi konvergensi antara telekomunikasi, IT, multimedia dan penyiaran yang semakin sulit untuk dikotak-kotakan.

TKTI: revisited.

TKTI pertama kali secara formal dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 30/1997 yang intinya berisikan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kemampuan telematika nasional. TKTI pada waktu itu diketuai oleh Menteri Koordinasi Bidang Produksi dan Distribusi (Menko Prodis). Adapun anggotanya meliputi 11 Kementerian yang terkait dengan tujuan TKTI. TKTI betugas antara lain: (a) merumuskan kebijaksanaan pemerintah bidang telematika; (b) menetapkan pentahapan dan prioritas pembangunan serta pemanfaatan telematika; (c) melakukan pemantauan dan pengendalian atas penyelenggaraan telematika; dan (d) melaporkan perkembangannya kepada Presiden.

Mendahului keluarnya Keppres tersebut, kerja keras dan berbagai rapat koordinasi terus dilaksanakan yang diikuti oleh pemerintah yang dimotori oleh Staf Menko Prodis, Ditjen Postel, Depdagri, Bappenas, Depperindag, Depkeu dan instansi terkait lain, serta praktisi telekomunikasi di BUMN seperti PT. Telkom, PT. Indosat, PT. INTI, pihak swasta nasional dan Masyarakat Telekomunikasi (Mastel) yang didukung oleh berbagai Asosiasi industri telekomunikasi. Ketika itulah dilahirkan konsep Nusantara-21 seperti tercantum dalam buku Gambaran Umum Pembangunan Telematika Indonesia (Edisi II, 1998) yang secara garis besar memiliki tiga sasaran untuk menyediakan prasarana informasi yang meliputi: (a) Adi Marga Kepulauan (Archipelagic Super Highway); (b) Kota Multimedia (Multimedia Cities); dan (c) Pusat Akses Masyarakat Multimedia Nusantara (Nusantara Multimedia Community Access Center). Sayangnya konsep ini sudah tidak terdengar lagi seiring pergantian pemerintah dan kendali organisasi TKTI pada tahun-tahun berikutnya.

Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) sudah mengalami pergantian empat kepala negara - tahun ini yang kelima - dan hampir sepuluh kali perubahan struktur kabinet sejak dibentuk melalui Keppres no 30 tahun 1997. Setelah dari Kantor Menko Prodis, TKTI diatur dari Kantor Menteri Koordinasi Ekonomi Keuangan dan Pengawasan Pembangunan (Menkoekuwasbang). Pada awal masa kerja Kabinet Pembangunan VII Presiden Soeharto telematika diurus dari Kantor Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri/Ketua Bappenas (Menko Ekuin/Ketua Bappenas). Setelah runtuhnya pemerintahan orde baru pada tahun 1998, maka telematika kembali “menggeliat”. Berbagai berbagai aktivitas telematika sudah mulai berjalan di bawah koordinasi Kantor Menteri Penertiban Aparatur Negara (Menpan) yang merupakan Ketua Pelaksana Harian TKTI. Namun karena sifatnya yang hanya koordinatif dan adhoc dimasa lalu, maka kinerja TKTI belumlah dirasakan maksimal oleh pihak swasta dan masyarakat.

Bentuk, fungsi dan organisasi TKTI kembali diperbaharui melalui Keppres 50/2000 yang menugaskan Kominfo sebagai pengendali pengembangan telematika nasional. Beberapa produk penting telah dihasilkan dalam periode ini. Bappenas berkerjasama dengan Universitas Indonesia telah merumuskan NITF yang laporan akhirnya telah disampaikan kepada Bank Dunia dan TKTI sekitar bulan Februari 2001 (www.bappenas.go.id - KTIN). Dalam NITF pengembangan blue print dan milestone telematika dibagi kedalam beberapa framework yaitu basic framework, institutional framework, financial framework dan regulatory framework.

Berbagai tujuan, konsep dan strategi pengembangan telematika serta waktu pelaksanaannya telah dirinci dalam upaya mewujudkan terciptanya masyarakat telematika nusantara yang berbasiskan ilmu pengetahuan di tahun 2020. Pada akhir April 2001, TKTI berhasil pula merumuskan konsep pengembangan dan pemberdayaan telematika seperti diuraikan dalam Inpres 6/2001 berikut Action Plan yang dibuat secara bersama-sama dengan berbagai instansi terkait, termasuk swasta dan massyarakat telematika. Namun sebagaimana halnya dengan Nusantara-21, semua konsep di atas juga sudah tidak terdengar lagi gaung dan tindak lanjutnya.
Kemudian pada awal tahun 2003, Keppres baru kembali diterbitkan tentang TKTI yaitu Keprres No. 9/2003. Kali ini TKTI diketuai langsung oleh Menteri Negara Kominfo beranggotakan 7 pejabat lain setingkat Menteri.

Infrastruktur Telekomunikasi

Sudah sering dibahas bahwa terbatasnya infrastruktur telekomunikasi dan kurangnya kebijakan yang mendorong investasi masih menjadi kendala utama pengembangan telematika nasional. Rumitnya penyediaan infrastruktur telekomunikasi telah dibahas sebelumnya. Dari sisi regulasi dan kebijakan makro, International Telecommunication Union (ITU) dalam World Telecommunication Development Report, 2002 telah memberikan kunci untuk melihat tingkat keberhasilan reformasi sektor telekomunikasi. Ada tiga hal utama yang menjadi ukuran, yaitu (a) partisipasi swasta; (b) kompetisi; dan (c) regulator independen.

Sayangnya untuk negara sebesar Indonesia yang pernah berprestasi cukup baik di sektor telekomunikasi, termasuk satelit, ketiga indikator tersebut secara umum mengalami penurunan. Partisipasi swasta sejak dihentikannya Kerja Sama Operasi (KSO) untuk sebagian besar wilayah kerjasama, “nyaris tidak terdengar”. Pembangunan telepon tetap yang dilaksanakan oleh Telkom dan Indosat dalam skala relatif kecil, dapat dikatakan stagnan. Sampai saat ini belum terlihat lagi langkah terobosan dalam hal pengikutsertaan swasta untuk membangun fasilitas telekomunikasi, khususnya telepon tetap. Kalaupun ada, investor lebih melirik kepada jenis jasa telekomunikasi lain seperti telepon seluler dan jasa nilai tambah lainnya.

Kompetisi penyelenggaraan telekomunikasi juga tidak terjadi. Duopoli telekomunikasi oleh Telkom dan Indosat masih belum mampu memberikan hasil kompetisi yang ditunggu-tunggu masyarakat, yaitu kemudahan dan murahnya tarif. Malah sebaliknya Telkom pada 1 April 2004 menaikkan tarif lokal yang diperkirakan berdampak cukup luas dalam pengembangan dan pemanfaatan telematika untuk sektor riil. Singkat kata, kompetisi sebagai kunci keberhasilan reformasi sektor telekomunikasi juga tidak terjadi. Duopoli atau bahkan “tripoli” dalam berbagai prakteknya di negara lain umumnya memang terbukti gagal membawa berbagai perbaikan seperti penurunan tarif, menambah pilihan bagi konsumen ataupun memacu inovasi. Pengalaman duopoli British Telecom dan Mercury ditahun 1980-an memperihatkan hal yang sama dengan duopoli Telkom dan Indosat saat ini. Penambahan fasilitas telekomunikasi di Inggris baru terjadi pada 1990-an setelah dibukanya kesempatan bagi operator Cable TV untuk menyelenggarakan jasa telekomuniasi. Sedangkan faktor ketiga yaitu regulator independen, juga belum menggembirakan. Jika dilihat dari sisi pertanggungjawaban, organisasi, dan sumber pendanaan, maka Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang terbentuk berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan tahun 2003 yang lalu belumlah tergolong independen. Hal ini memang diakui oleh Menteri Perhubungan Agum Gumelar, bahwa BRTI yang ada sekarang adalah bentuk peralihan menuju badan regulasi yang betul-betul independen nantinya.

Kelembagaan pengelola telekomunikasi dari dulu juga mengalami banyak perubahan. Pada awal orde baru urusan telekomunikasi berada dibawah Departemen Transportasi. Memasuki Pelita IV, telekomunikasi kemudian diurus dalam Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi (Parpostel). Selanjutnya hingga saat ini telekomunikasi kembali digabungkan dengan Departemen Perhubungan. Namun dari berbagai perubahan departemen yang terjadi, ada satu hal yang tetap, yaitu kondisi bahwa telekomunikasi secara teknis diurus secara “berkelanjutan” dibawah Ditjen Postel. Terjadinya semacam ekslusivisme dilingkungan Ditjen Postel ini memang bertendensi menyulitkan pembinaan dari Departemen yang juga harus berkonsentrasi kepada masalah perhubungan dalam negeri. Hal ini tercermin dari kuatnya arus penentangan berupa pernyataan bersama karyawan Ditjen Postel yang menolak rencana penggabungan pada masa awal pembentukan Kabinet Gotong Royong dulu.

What Next?

Memperhatikan kondisi reformasi sektor telekomunikasi di Indonesia dan rencana pengembangan telematika yang masih jauh dari harapan, kiranya menjadi tantangan sangat berat dikemudian hari untuk menyiapkan suatu lembaga - berupa departemen teknis atau lembaga non departemen - yang mampu memperbaiki situasi ini. Hal ini semakin diperlukan mengingat dampak globalisasi yang semakin menuntut pengembangan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (Knowledge Based Economy-KBE), bukan lagi mengandalkan sumber daya alam semata.
Sudah sepatutnya berbagai komponen bangsa dibawah pemerintahan baru terpilih nanti untuk bersatu memulai paradigma baru pengembangan ekonomi yang ditunjang oleh kemajuan dibidang telematika. Karena itu faktor kelembagaan menjadi sangat penting. Kiranya dalam pemerintahan mendatang dapat diwujudkan suatu departemen teknis atau suatu badan yang menyatukan KBE, infrastruktur telekomunikasi, dan rencana pengembangan IT.

Singkat kata, sudah waktunya dilaksanakan peleburan instansi yang mengurusi telekomunikasi dengan instansi yang mengurusi IT. Perlu diingat, infrastruktur dan aplikasi barulah merupakan dua komponen. Masih ada beberapa komponen lain yang tidak kalah pentingnya antara lain Sumber Daya Manusia telematika, Penelitian dan Pengembangan (R&D), dan pembinaan industri dalam negeri. Diharapkan redefinisi kelembagaan ini selain mempercepat proses untuk mewujudkan masyarakat informasi sesuai target WSIS, juga mampu melakukan penghematan sumber daya nasional.

_______

*) Penulis adalah Senior Infrastructure Economist. Berkerja di Bappenas. Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak harus mencerminkan kebijakan tempat penulis bekerja. Dapat dihubungi di esatriya@bappenas.go.id




&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

RUILSLAG SLTPN 56: TUKAR GULING ATAU GULUNG TIKAR? ---seri tulisan reformasi---

Oleh: Ir. Eddy Satriya, MA *)

Catatan: Artikel ini telah diterbitkan di Majalah Forum Keadilan 23 Mei 2004
============================

Ruilslag dalam bahasa Indonesia saat ini sering diartikan sebagai tukar guling. Tentu saja dengan tujuan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak yang berkepentingan. Seyogyanya pula dalam proses ruilslag tidak ada kelompok lain yang dirugikan. Namun apa lacur, sebagai suatu bentuk transaksi ekonomi, selalu saja ada pihak yang ingin menangguk di air keruh. Karena itu disamping peristiwa ruilslag yang sukses tanpa gejolak, sering pula terjadi ruilslag yang mengorbankan kepentingan individu, sekelompok masyarakat, maupun negara.

Berdirinya Gedung Sapta Pesona di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta pada awal 1990-an adalah salah satu contoh ruilslag yang relatif tidak menimbulkan gejolak meski harga lahan dan jumlah aset yang dipertukargulingkan cukup besar. Pemerintah menyerahkan bekas Kantor Depparpostel dan Ditjen Postel yang terletak di kedua sisi Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat beserta tanahnya kepada PT. Telkom (dulu Perumtel), sedangkan PT.Telkom membebaskan tanah di lokasi Gedung Sapta Pesona. Sementara itu, kasus ruilslag Goro-Bulog yang berujung kepada dijatuhkannya vonis kurungan badan atas pengusaha Ricardo Gelael dan Tommy Suharto pada tahun 2000, merupakan contoh ruilslag yang merugikan negara.

Ditengah hiruk pikuk dan kesibukan komponen bangsa dalam menata demokrasi, ruilslag kembali menelan korban. Kali ini yang telah dirugikan secara langsung adalah sejumlah siswa yang bersekolah di SLTPN 56 Melawai, Jakarta Selatan. Sungguh sangat menyedihkan. Dari berbagai laporan baik di media cetak maupun elektronik jelas terlihat betapa mengharukannya kondisi siswa berseragam biru putih tersebut. Mereka terpaksa belajar di alam terbuka, berpanas berhujan, serta bercampur asap dan debu jalanan. Sebentar di lokasi parkir dan halaman sekolah, sebentar di pinggiran kios, terkadang harus kocar-kacir mencari tempat berteduh menghindari kucuran air hujan. Pernah pula mereka sangat ketakutan dan ciut nyalinya mendengar raungan sirene yang dibunyikan petugas keamanan.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jaya boleh saja merasa di atas angin karena menganggap telah menjalankan prosedur hukum yang benar dalam eksekusi ruilslag tersebut. Juga sah-sah saja untuk menuntut Nurlaila, sosok guru yang dianggap menyalahi aturan yang telah diterapkan Dinas Pendidikan ataupun karena dugaan mengeksploitasi siswa untuk tujuan tertentu. Namun fakta di lapangan sungguh berbeda. Banyak mata melihat dengan prihatin dan cemas menyaksikan kenyataan betapa anak-anak kita, sekali lagi anak-anak yang masih sangat belia dan polos-polosnya, secara langsung harus berhadapan dengan kekerasan khas ibukota yang dikemas dalam berbagai bentuk intrik, tekanan, bentakan, terkadang pemukulan.
***

Sebenarnya peristiwa yang dialami siswa SLTPN 56 ini dapat dikatakan mirip dengan apa yang dialami oleh sebagian mahasiswa ITB yang tinggal di asrama mahasiswa di seputar Jalan Ganesha Bandung. Tetapi itu terjadi 15 tahun silam. Pada penghujung tahun 1989, ditengah kesibukan perkuliahan dan persiapan ujian semester, beberapa Asrama Mahasiswa tiba-tiba diperintahkan untuk dikosongkan. Keputusan yang tidak pernah disosialisasikan sebelumnya telah mengakibatkan suasana kacau, panas, penuh ketidakpastian dan ancaman. Mahasiswa harus angkat kaki alias pindah mencari pondokan lain, sementara orang tua mereka mendapat kiriman surat peringatan yang meminta anaknya segera pindah. Jika tidak mau, akan dianggap membangkang dan berpotensi untuk di Drop-Out (DO).

Apabila di Jalan Melawai ada seorang guru yang tetap mengajar 64 siswa sebagai bentuk protes, maka di Jalan Ganesha pada waktu itu, sekelompok mahasiswa penghuni asrama “menghias” pohon-pohon di depan asramanya dengan gantungan kertas koran dan celana dalam. Tak ketinggalan beberapa mahasiswa dari Jurusan Seni Rupa segera membuat sebuah keranda tanda duka cita yang melambangkan matinya nurani para pendidik karena keinginan mengubah fungsi asrama menjadi tempat berbagai aktivitas yang lebih bersifat komersil. Seluruh asrama dibungkus dengan kertas koran dan tabloid. Semua usaha itu akhirnya gagal, karena ancaman DO jauh lebih menakutkan dan menciutkan nyali mereka. Akhirnya mahasiswa menyerah kalah, pindah mencari tempat kost dan kontrakan lain. Beberapa mahasiswa penghuni asrama akhirnya memang DO karena tidak siap mental dan terhimpit beratnya biaya yang tiba-tiba harus ditanggung mereka. Tradisi yang telah dibangun dan dibina bertahun-tahun pun pupus dan musnah seketika. Asrama akhirnya berganti rupa menjadi wadah aktivitas bisnis yang lebih bernilai ekonomis seperti kantor proyek, pusat penelitian maupun hotel. Sebahagian dibiarkan terbengkalai. Sementara asrama pengganti yang dijanjikan tiada pernah ada.
***

Memperhatikan kronologis ruilslag seperti dibeberkan oleh Asisten Gubernur DKI Bidang Kesra di berbagai acara televisi, diketahui bahwa proses ruilslag dimulai pada tahun 2000 antara Depdiknas dan PT. Tata Disantara (TD). Namun data lebih rinci memperlihatkan bahwa proses ruilslag telah disetujui oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) pada 11 September 1998 (Tempo, 2/05/04). Depdiknas menyerahkan lahan di Melawai kepada pihak TD, sementara TD membangun sekolah pengganti di dua lokasi di daerah Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Perlu tidaknya meruilslag SLTPN 56 seyogyanya telah dikaji dengan seksama oleh kantor Dikdasmen sebagai unit teknis di bawah Depdiknas. Menjadi pertanyaan sekarang, mengapa jajaran Depdiknas terkesan mau lepas tangan dari kasus ini? Kecenderungan itu terlihat dari pernyataan Mendiknas Malik Fadjar yang menegaskan tidak akan ikut campur dan menyerahkan sepenuhnya kepada jalur hukum (Kompas, 20/4/04).

Mencermati berbagai perkembangan terkini, kelihatannya proses sosialisasi yang tidak optimal dan ketidaksetujuan beberapa pihak terkait telah menjadi cikal bakal timbulnya protes berkepanjangan. Mirip dengan kasus asrama ITB di atas, kelompok guru, orang tua dan murid SLTPN 56 yang tidak setuju lama-kelamaan berada di posisi yang lemah. Disisi yang lebih kuat, rektorat ITB dan Ditjen Dikdasmen, tetap tegar untuk mengubah fungsi eksisting prasarana belajar mengajar menjadi tempat yang lebih bernilai ekonomis.

Kelihatannya jalan keluar penyelesaian kasus ini tidaklah mudah. Masalahnya sudah berkembang kepada berbagai hal yang semakin jauh dari misi pendidikan. Pihak TD telah mengancam untuk membatalkan ruilslag jika pengosongan lahan berlarut-larut. Bahkan Abdul Latif, Mantan Menteri Tenaga Kerja, selaku pemilik TD diberitakan akan menuntut Sutiyoso (Kompas, 24/04/04).

Tanpa perlu terjebak kedalam prosedur teknis proses ruilslag, penerapan peraturan perundangan yang berlaku saat ini, ataupun pernik-pernik di seputar penggembokan lokasi, kiranya benang merah persoalan ruilslag di SLTPN 56 Melawai dan perubahan fungsi asrama ITB di Jalan Ganesha Bandung 15 tahun silam, dengan nyata dapat terlihat. Pertama, dikalahkannya pertimbangan kelangsungan proses pendidikan oleh pertimbangan ekonomi dan bisnis semata. Kedua, diperkirakan dalam proses perencanaan awal dan sosialisasi tidak terjadi komunikasi yang intensif antara pengambil keputusan dengan seluruh pihak-pihak terkait. Terakhir, pendekatan kekuasaan dan intimidasi lebih diutamakan ketika proses ruilslag tidak lagi berjalan mulus. Alhasil, meski di alam reformasi sekalipun, ruilslag mengakibatkan pihak yang lemah harus angkat kaki dan gulung tikar.

Mungkin ada yang bertanya apa kaitannya kasus ruilslag SLTPN 56 di Jakarta ini dengan perubahan fungsi Asrama ITB di Bandung? Semestinya kasus ruilslag yang berujung ribut-ribut di Melawai ini tidak perlu terjadi, andai saja pihak Dikdasmen menjadikan kasus penggusuran Asrama ITB sebagai salah satu pelajaran. Apalagi, jika dibuka lembaran lama, Dirjen Dikdasmen yang menyetujui ruilslag di jalan Melawai tersebut adalah mantan Pembantu Rektor III ITB bidang kemahasiswaan yang juga secara langsung turun kelapangan dalam penggusuran asrama di jalan Ganesha lima belas tahun silam itu!
Ternyata kata ruilslag memang lebih banyak diartikan sebagai gulung tikar, bukan tukar guling.
______

*) Pemerhati Reformasi, tinggal di Sawangan-Depok.


&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

NGUYEN SON ---- (Seri tulisan reformasi)

Oleh: Eddy Satriya *)

Catatan: Artikel ini telah diterbitkan di Majalah Forum Keadilan Edisi 9-16 Mei 2004

==================

Lewat tengah malam di musim dingin yang cukup menusuk pada akhir Desember 1998 yang lalu, seseorang terdengar mengetuk pintu kamar saya di Pusat Pelatihan Japan International Cooperation Agency (JICA) Hachioji yang terletak sekitar 40 km sebelah barat Tokyo. Ketukan yang pelan, tapi cukup meyakinkan saya bahwa seseorang menunggu diluar. Saya yang masih belum bisa tidur dengan hati-hati tanpa menimbulkan kegaduhan segera membuka pintu. Betapa kaget saya ketika menyaksikan Nguyen Son, rekan sesama peserta training yang berasal dari Vietnam, berdiri terpaku di depan pintu dengan raut muka yang sangat gelisah.

Son, seorang mantan tentara Vietnam, kemudian saya persilakan masuk ke dalam kamar yang sempit agar tidak mengganggu penghuni lain. Segera saja saya berondong dia dengan pertanyaan, terutama mencari tahu kenapa dia ingin bertemu dan kelihatan seperti ingin membicarakan hal yang sangat serius. Segera saya menduga-duga. Mungkin ia membutuhkan bantuan dalam menyelesaikan beberapa tugas-tugas yang memang sedang dikerjakan berkelompok. Atau mungkin ia masih membutuhkan bantuan untuk menerangkan beberapa kalimat dalam bahasa Inggris yang memang tidak terlalu mudah untuk dipahaminya. Son yang pernah lama menjalani berbagai pelatihan di Rusia dulu memang lebih fasih membaca dan bicara dalam bahasa Rusia, ketimbang bahasa Inggris.

Saya juga mencoba mengingat-ingat kejadian di ruangan komputer dimana kami sebelas peserta dalam satu group training menghabiskan sisa waktu 2 minggu terakhir. Tidak ada kejadian luar biasa. Kami peserta pelatihan dari Vietnam, Filipina dan Indonesia semuanya sibuk dan asyik berkerja kelompok menyelesaikan tugas-tugas. Memang ada yang bercanda, bersenandung, menikmati makanan kecil atau minuman ringan dari “vending machine”. Namun tidak ada cekcok di antara kami. Semua berlangsung biasa-biasa saja.

“Eddy-san please help me, I could not sleep!” demikian Son membuka pembicaraan dengan raut muka kusut, tetap gelisah dan menunjukkan rasa bersalah karena sudah larut dan mengganggu waktu istirahat saya. Setelah menarik nafas dan memperhatikan air mukanya, saya pastikan bahwa saya tidak merasa terganggu. “Daejobu desu!” kata saya mencairkan suasana. Perlahan kegelisahan Son terlihat berkurang. Tapi rasa penasaran justru menghantui saya. Apa gerangan yang membuat kawan saya ini begitu tersiksa? Saya tunggu. Son masih terdiam. Saya makin penasaran. “Please Son, tell me what’s wrong?” sergah saya. “I am sorry Eddy. Please forgive me!” Son melanjutkan. Saya hampir kehilangan kesabaran, ketika Son meneruskan kata-katanya, “Eddy, I ate your peanuts, I ate a lot!“

Seketika saya teringat akan kacang Pistachios kesukaan saya ketika melanjutkan pendidikan di USA dulu. Saya memang membeli kacang tersebut di pasar Ueno yang terkenal dengan harga miring dan ingin menikmatinya bersama teman-teman di ruangan komputer saat “begadang” menyelesaikan tugas-tugas. Jadi sungguh bukan hal yang perlu dimintakan maaf kata hati saya. Otomatis saya menjawab “It’s Okay. No problemo!” jawab saya sambil berusaha bercanda agar Son tidak terus gelisah. “No, No it is not Okay, Eddy!” jawabnya. Saya mulai pusing dan kehabisan akal. “I ate a lot and never told you!” kembali dia berucap sambil menunduk tanpa berani menatap saya. Seketika itu juga saya peluk dia. Dada saya gemuruh, batin saya pun terkucak hebat.
***

Son seorang mantan tentara Vietnam sampai tidak bisa memejamkan mata hanya karena ia memakan makanan ringan dan lupa mengucapkan terima kasih. Mungkin ia sendiri tidak tahu persis siapa yang membawa kacang tersebut karena sudah terlanjur digabung dengan makanan lain ketika masuk ruangan komputer. Hampir satu jam sebelum mengetuk pintu saya, ia rupanya sibuk mencari tahu siapa yang membawa kacang Pistachios tersebut. Dan ketika mengetahuinya ia pun segera mengetuk pintu untuk minta maaf. Bukan karena hanya lupa mengucapkan terima kasih, tetapi terutama karena merasa telah memakan lebih dari takaran yang seharusnya ia lakukan dalam kesehariannya. Ia merasa mengambil lebih dari patut. Son yang seorang mantan tentara tidak bisa memejamkan matanya karena rasa bersalah. Merasa bersalah ketika menyantap makanan enak untuk pertama kali. Merasa bersalah karena merasa mengambil bagian lebih banyak dari patut. Maha Suci Allah!

Masih adakah sosok seperti Nguyen Son ini di bumi Indonesia? Tak perduli sipil, militer, atau purnawiarawan. Tak perduli cendekia, ulama, atau dari kaum papa. Tak juga perduli apakah engkau dari partai dan kubu mana. Kalau ada, tampillah engkau memimpin negeri ini dari keterpurukan. Tunjukkan disamping belasan atau puluhan kriteria yang ditetapkan dan dijadikan bahan talk show, engkau masih memiliki secuil sifat dari seorang Nguyen Son yang tidak mau mengambil lebih dari patut. Sifat yang rendah hati, tahu diri dan, sekali lagi, mau menyisakan untuk orang lain. Semoga!

_____

*) Penulis adalah PNS biasa. Bekerja di Bappenas.



&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

Committed 2 Me (Seri tulisan ICT)

Oleh: Ir. Eddy Satriya, MA *)
satriyaeddy@yahoo.com

Catatn: Artikel telah diterbitkan di Harian Bisnis Indonesia tanggal 21 Mei 2004.

================================

Acungan jempol kiranya layak diberikan kepada management PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom) dan jajaran Ditjen Pos dan Telekomunikasi (Postel), Departemen Perhubungan yang berhasil mengakhiri “mitos” tentang ketidakberanian pemerintah selama ini untuk menaikkan tarif suatu layanan publik menjelang Pemilu. Bandingkan dengan PT. PLN dan jajaran Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral yang jauh-jauh hari sudah “ngeper” dan memilih untuk menghindari kenaikan tarif dasar listrik. Padahal kondisi kedua perusahaan ini justru dalam posisi yang berlawanan. Telkom terus menerus mencatat laba dalam orde Triliunan Rupiah, PT.PLN dilain pihak berada dalam kondisi finansial yang tidak menggembirakan dan terus berupaya menaikkan tarif sebagai salah satu cara untuk mempertahankan operasional perusahaan.

Kenaikan tarif telepon terhitung 1 April 2004 sebesar 28,21% untuk pulsa lokal, dan kenaikan biaya abonemen sebesar 24,9% telah banyak menuai protes disela-sela kesibukan rakyat dan komponen bangsa lainnya mempersiapkan diri menghadapi Pemilu yang sangat penting. Walaupun ada penurunan untuk Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ), para pengamat telekomunikasi tetap menolak kenaikan tarif tersebut. Begitu pula tanggapan yang tetap sengit diberikan oleh Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Indah Sukmaningsih yang berpendapat bahwa kenaikan tarif telepon akan berdampak banyak terhadap harga barang kebutuhan lainnya (Media, 02/04/04).

Sementara itu management PT. Telkom kelihatannya semakin mantap. Direktur Utama Telkom beserta jajarannya yang baru saja dilantik tetap yakin bahwa mereka memang berhak untuk mendapat kenaikan ataupun penyesuaian tarif lokal tersebut. Bahkan beliau menyatakan bahwa Telkom masih berhak atas cadangan kenaikan sebesar 21 % (Bisnis, 1/04/04). Berbagai alasan telah dikemukakan. Singkat kata bagi jajaran Telkom berlaku pepatah “biarkan anjing menggongong, kafilah tetap berlalu”.

Kondisi ini memang terlihat setelah sebulan lebih sejak kenaikan tarif. Masyarakat terlihat “pasrah” menerima kenaikan tarif seiring dengan kenaikan berbagai harga barang dan jasa lain dalam kehidupan sehari-hari, serta riuhnya perhitungan hasil Pemilu Legislatif, “teka-teki silang” Capres dan Cawapres mendatang, dan berbagai persoalan sosial lainnya yang juga menyita perhatian.
Sebenarnya ada tiga hal utama yang sebaiknya menjadi perhatian bersama. Pertama, tarif telekomunikasi di seluruh dunia cenderung turun terus, baik di negara berkembang maupun negara maju.

Diversifikasi jasa layanan dan sistem tarif pun dirancang agar semakin memudahkan pelanggan. Philipina sebagai sesama negara berkembang sejak beberapa tahun lalu telah membebaskan tarif telepon lokal untuk seluruh wilayah negara kepulauan tersebut. Dengan membayar iyuran bulanan tertentu, masyarakat disana dapat bebas melakukan panggilan atau ber-Internet ria 24 jam sehari, persis seperti di Amerika Serikat. Hal ini sejalan dengan tujuan World Summit on Information Society (WSIS) di Geneva akhir 2003 lalu yang ingin mewujudkan masyarakat informasi pada tahun 2015 nanti.

Kedua, sejak krisis ekonomi melanda tahun 1997 lalu pembangunan telepon tetap oleh Telkom praktis stagnan. Prestasi membangun sebanyak 500.000 satuan sambungan (ss) per tahun untuk kurun waktu Pelita V lalu tidak mampu ditingkatkan. Kapasitas sentral yang berjumlah sekitar 7,5 juta ss pada tahun 1997 hanya meningkat menjadi sekitar 9 juta ss pada tahun 2004 ini. Hal ini memperlihatkan bahwa Telkom memang tidak “berselera” menyediakan jasa sambungan telepon tetap kepada masyarakat.

Ketiga, telah terjadi inkonsistensi alasan dalam proses kenaikan tarif. Hal ini agak berbau “pembodohan” kepada masyarakat pengguna telepon. Terlalu sering kita mendengar dari Dirjen Postel atau Menteri Perhubungan berargumentasi bahwa sejak tahun 1985 sektor telekomunikasi tidak memperoleh dana pembangunan (APBN) -hal yang tidak sepenuhnya benar- lagi dari pemerintah. Karena itu kenaikan tarif adalah suatu keharusan apabila menginginkan tambahan fasilitas telekomunikasi. Namun setelah kenaikan tarif tahun 2002 lalu, Ditjen Postel pada tahun anggaran 2003 kembali mengajukan permohonan dana dan telah disetujui pemerintah guna membiayai pembangunan telepon perdesaan sebesar Rp 45 Miliar.

Telkom semakin menancapkan kukunya dan nyaris tidak tersaingi oleh para pemain lain. Lebih-lebih untuk sambungan lokal dan SLJJ yang sangat ditakutkan oleh pengguna jasa yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi terutama di sektor riil. Sudah banyak Internet Service Provider (ISP) yang gulung tikar. Sudah banyak pula Warung Telekomunikasi, bukan Warung Telkom, yang bangkrut. Sudah tak terhitung pula warnet yang terpaksa tutup atau berubah menjadi Game Center, karena kalah bersaing dengan produk-produk Telkom seperti Telkomnet Instan yang semakin kompetitif dengan kenaikan tarif lokal. Singkat kata, walaupun kita sudah punya badan Badan Regulasi Telekomunikasi Independen (BRTI), sudah punya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Ditjen Postel sebagai pembuat kebijakan teknis, tetap saja belum tercipta iklim kompetisi yang sebenar-benarnya.

Menarik pula untuk dicermati bahwa kenaikan tarif telepon tetap telah menjadi pemicu naiknya tarif jenis jasa telekomunikasi lainnya. Terbukti, sekitar sebulan setelah kenaikan tarif, PT. Telkomsel pun sudah merealisasikan penyesuaian tarif telepon seluler. Gejala ini kelihatannya akan diikuti oleh operator seluler lainnya.

Lantas bagaimana sebaiknya menyikapi perkembangan ini? Sungguh tidak banyak yang bisa dilakukan masyarakat pengguna jasa telekomunikasi. Mengharapkan perhatian anggota DPR untuk meninjau ulang kenaikan tarif dalam kondisi seperti sekarang ini adalah musykil. Nasi sudah menjadi bubur. Melakukan demonstrasi akan semakin memperumit permasalahan sosial yang sudah menumpuk ditengah masyarakat. Sementara itu penyelesaian peraturan pelaksanana UU Telekomunikasi khususnya tentang Interkoneksi yang menjadi salah satu kunci pelaksanaan kompetisi, masih berlarut-larut.

Satu-satunya cara hanyalah dengan membiarkan nurani bicara. Yaitu dengan mengetuk nurani jajaran managemen PT. Telkom dan Ditjen Postel. Sebagai pengguna jasa dan sekaligus warganegara biasa, saya mengusulkan cara ini. Ada beberapa alasan untuk itu. Pertama, Telkom merupakan suatu Perseroan Terbatas terbuka dengan kapitalisasi besar dan keuntungan yang juga relatif besar setiap tahunnya secara berturut-turut. Kedua, sudah sangat banyak sumber daya nasional yang diprioritaskan alokasinya untuk membesarkan Telkom, termasuk dari hutang luar negeri (LN) yang pokok dan bunganya masih harus dibayarkan tiap tahunnya oleh pemerintah sekarang maupun anak cucu kita nanti. Perlu ditegaskan bahwa hutang LN sektor telekomunikasi secara akutansi termasuk bagian RAPBN. Besarnya hutang LN dari tahun 1980 hingga tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 1. Walaupun hutang tersebut sebagian besar telah di two-step-loan kan ke PT. Telkom, namun sampai terjadinya krisis 1997/98 semua resiko government to government (G to G) tetap ditanggung pemerintah Indonesia. Artinya resiko perbedaan kurs dalam mata uang asing masih ditanggung pemerintah, sementara Telkom membayar hutangnya kepada pemerintah dalam mata uang Rupiah. Ketiga, telah terjadi kerugian ekonomi dalam jumlah yang cukup besar dari pembatalan dan perubahan pola pembangunan Kerja Sama Operasi (KSO) antara Telkom dan Mitranya. Menurut kalkulasi kasar tanpa memperhitungkan discount rate yang berlaku, diperkirakan ekonomi nasional berpotensi mengalami kerugian sebesar hampir USD 2,5 milyar (lihat Tabel 2). Sementara kerugian finansial yang tidak kecil juga dialami Telkom. Kita memahami bahwa KSO merupakan alternatif penyertaan swasta dalam pembangunan prasarana dasar yang melibatkan berbagai stakeholder. Tetapi perjanjian KSO secara legal ditandatangani oleh Telkom dan Mitranya.

Memperhatikan ketiga alasan tersebut, kiranya management Telkom yang nota bene masih merupakan BUMN - bukan PMA seperti Indosat - dapat terketuk hatinya untuk mengerem tingkat kenaikan tarif dimasa datang ataupun merevisi sendiri besarnya tariff balancing yang sedang berlaku. Hal ini sesungguhnya sangatlah vital guna mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemanfaatan berbagai jasa telekomunikasi, multimedia, maupun teknologi informasi yang pada gilirannya akan mempercepat terwujudnya masyarakat informasi sebenar-benarnya di Indonesia. Disisi lain, pemerintah khususnya Departemen Keuangan, Kantor Meneg BUMN, dan Depertemen Perhubungan sebaiknya membahas ulang secara terpadu besaran keuntungan Telkom yang harus disisihkan untuk pemerintah, target dan transparansi pengelolaan Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan realisasi percepatan proses kompetisi. Dengan kerjasama semua pihak terkait, diharapkan motto Telkom tidak meleset dari “Commited 2 U” menjadi “Committed 2 Me!”

______

*Penulis adalah Senior Infrastructure Economist. Berkerja di Bappenas.
(Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak harus mencerminkan pendapat instansi tempat penulis bekerja)


&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&


Tuesday, June 01, 2004

KISRUH TI - KPU, CERMIN KEGAGALAN MEMAHAMI E - GOVERNMENT (Seri tulisan ICT)

Oleh: Ir. Eddy Satriya, MA *)
satriyaeddy@yahoo.com


Catatan: Artikel ini telah diterbitkan di Harian Bisnis Indonesia 20 April 2004

================================

Telah terjadi perkembangan menarik dalam sejarah pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia pada tanggal 9 April 2004 yang lalu. Ditengah berjalannya penghitungan suara, sebanyak 17 partai politik peserta Pemilu telah menuntut Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menghentikan proses penghitungan yang menggunakan sistem komputerisasi (Media, 10/04/04). Sungguh suatu ironi. Tuntutan terhadap KPU tersebut terjadi justru ditengah gencarnya kampanye penggunaan komputer - lebih dikenal saat ini dengan teknologi informasi (TI) - dalam berbagai aktivitas masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan sebagai upaya mempersiapkan bangsa ini menuju bentuk tatanan ekonomi baru (new economy). Namun jika kita amati perkembangan yang terjadi di lapangan, kiranya permintaan penghentian proses komputerisasi penghitungan suara tersebut juga cukup beralasan.

Disamping berbagai masalah yang melilit KPU sejak tahap persiapan hingga pelaksanaan Pemilu legislatif, ternyata proses perhitungan suara pasca pencoblosan juga sangat mengkhawatirkan. Menonton sebuah stasiun TV menayangkan tabel hasil Pemilu, dengan cepat kita akan dapat melihat berbagai kesalahan kalkulasi seperti urutan partai dengan jumlah suara yang lebih besar berada dibawah partai dengan suara yang kecil, kesalahan persentasi, dan lain-lain. Selain kesalahan input, kalkulasi, dan tabulasi, kesalahan mendasar seperti seringnya server down dan terjadinya reset ulang di Pusat Tabulasi Nasional pada hari Selasa 6 April 2004 yang berlokasi di sebuah hotel berbintang juga tidak terelakkan.

Kesemuanya itu tentu saja menjadi sisi gelap bagi kampanye pelaksanaan program E-Government yang tengah dikumandangkan Kantor Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo ) sesuai dengan Instruksi Presiden No 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Menjadi pertanyaan bagi kita, apakah bangsa Indonesia ini benar-benar telah siap memasuki era globalisasi dan mengambil manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan seluruh rakyatnya? Tulisan ini menelusuri kisruh sistem TI-KPU sebagai salah satu aplikasi E-Government (e-gov) yang justru sedang gencar dikembangkan diberbagai kantor dan wilayah di Indonesia.
***

E-gov didefinisikan sebagai upaya pemanfaatan dan pendayagunaan telematika untuk meningkatkan efisiensi dan cost-effective pemerintahan, memberikan berbagai jasa pelayanan kepada masyarakat secara lebih baik, menyediakan akses informasi kepada publik secara lebih luas, serta menjadikan penyelenggaraan pemerintahan lebih bertanggung jawab dan transparan kepada masyarakat (Satriya, Perencanaan Pembangunan No. 30/2003).

Dalam pemanfaatannya untuk pembangunan, diperlukan pemahaman atas beberapa prinsip dasar bahwa e-gov (1) hanyalah alat; (2) mempunyai resiko terhadap integrasi data yang sudah ada; (3) bukanlah pengganti managemen publik dan kontrol internal pemerintahan; (4) masih diperdebatkan peranannya dalam hal mengurangi praktek KKN; (5) masih diragukan untuk dapat membantu mengurangi kemiskinan; dan (6) memerlukan kerjasama antar ICT profesional dan pemerintah.

Sebagai salah satu aplikasi telematika yang termasuk baru dibidang kepemerintahan, maka diperlukan waktu dan proses sosialisasi yang memadai agar para pelaku birokrasi dan masyarakat mampu memahami e-gov untuk kemudian mendayagunakan potensinya dan tidak terjebak kepada paradgima lama, yaitu kegiatan yang hanya berorientasi keproyekan.
Tahapan pelaksanaan e-gov biasanya disesuaikan dengan karakteristik negara masing-masing. Ada negara yang mendahulukan perdagangan dan e-procurement, ada yang memprioritaskan pelayanan pendidikan, dan ada pula yang mengutamakan kerjasama regional. Secara umum tahapan pelaksanaan e-gov yang biasanya dipilih adalah (1) membangun sistem e-mail dan jaringan; (2) meningkatkan kemampuan organisasi dan publik dalam mengakses informasi; (3) menciptakan komunikasi dua arah antar pemerintah dan masyarakat; (4) memulai pertukaran value antar pemerintah dan masyarakat; dan (5) menyiapkan portal yang informatif (Wescott, 2001).
***

Memperhatikan perkembangan proses perhitungan suara seperti dikhawatirkan oleh partai politik dan masyarakat pemilih, dan dengan merujuk kepada karakteristik e-gov seperti telah diuraikan di atas, kiranya kita dapat mencermati beberapa hal yang mencerminkan kegagalan pemahaman konsep e-gov untuk perbaikan di kemudian hari.

Pertama, secara umum harus diakui bahwa tingkat kesadaran (awareness) masyarakat Indonesia akan potensi e-gov masih tergolong rendah. Ironisnya lagi hal ini bukan saja berlaku untuk masyarakat umum, tetapi juga untuk sebagian besar masyarakat yang tergolong berpendidikan, para pejabat, maupun para elite parpol. Keengganan untuk menggunakan fasilitas komputer yang telah terbukti sangat membantu pekerjaan seperti perhitungan berskala besar dan rumit ternyata masih cukup tinggi. Rendahnya tingkat kesejahteraan sebagian besar penduduk telah memaksa mereka memprioritaskan pemenuhan kebutuhan primer sehari-hari, dibandingkan kebutuhan akan informasi dan iptek.

Kedua, penyelenggaraan perhitungan hasil Pemilu dengan sistem TI-KPU jelas tidak sejalan dengan kaedah yang berlaku dalam tahapan pelaksanaan e-gov. Pada saat ini memang sudah cukup banyak kantor-kantor pemerintah yang memiliki email dan jaringan yang menyediakan Internet. Namun masih terdapat beberapa kesenjangan dalam pemahaman dan penerapan e-gov. Secara umum, Indonesia baru dapat dikatakan memasuki tahapan kedua yaitu meningkatkan kemampuan organisasi dan publik dalam mengakses informasi. Sedangkan tahapan-tahapan berikutnya masih belum terlaksana secara merata. Sebagai contoh, sering kali untuk menghubungi suatu kantor atau administrator suatu situs, kita mengalami kesulitan mencari nomor email ataupun telepon yang diperlukan. Pada kondisi seperti inilah, kemudian KPU menerapkan TI untuk menunjang pelaksanaan Pemilu, khususnya perhitungan suara. Seperti pernah saya kemukakan dalam sebuah kolom majalah, sesungguhnya sudah dapat diperkirakan bahwa penggunaan e-democracy terlalu dini yang merupakan tahapan advanced e-gov dalam masyarakat Indonesia akan berujung kepada kegagalan karena faktor keterbatasan infrastruktur dan faktor SDM (Forum, No 44 April 2004).

Selanjutnya, visi dan misi KPU tentang penggunaan TI dalam mendukung kegiatan pendataan pemilih, penentuan partai dan para calegnya, proses dan mekanisme penghitungan suara, hingga tabulasi hasil perhitungan suara tidak terlihat dengan jelas dari awal. Padahal bangsa ini sudah pernah sukses menggunakan pekerjaan sejenis dengan skala berbeda sejak dua puluh tahun lalu, yaitu di awal tahun 1980-an. Untuk proses penghitungan suara di tingkat TPS, saya membayangkan bahwa setiap TPS sudah mempunyai kertas computer form seperti digunakan dalam Tes Masuk Perguruan Tinggi Proyek Perintis dan Tes Sipenmaru yang hanya memerlukan proses penghitaman bulatan-bulatan terkait sebagai hasil perhitungan per TPS baik untuk partai maupun caleg. Kemudian computer form tersebut tinggal di-scan dan dikirimkan via e-mail dari setiap Kecamatan atau Kabupaten/Kota ke data center KPU untuk selanjutnya ditabulasikan hasilnya secara otomatis lewat program sederhana yang bisa dikerjakan oleh kebanyakan praktisi ataupun mahasiswa TI. Tapi ternyata jauh panggang dari api!

Keempat, sebenarnya proses tender perangkat TI sejak awal sudah bermasalah. Banyak sekali protes yang telah dilayangkan oleh berbagai pihak yang berminat untuk ikut serta mendapatkan bagian pekerjaan TI ini. Protes yang diajukan bukan hanya karena masalah transparansi pelaksanaan, proses pemilihan dan pengumuman pemenang, tetapi juga banyak profesional TI yang berpendapat bahwa pengadaan perangkat bisa dihemat secara signifikan seandainya mempertimbangkan perangkat keras dan perangkat lunak yang berbasis open source. Banyaknya protes mencerminkan belum terjadinya komunikasi antara masyarakat dan KPU yang merupakan salah satu tahapan penting e-gov.

Terakhir, salah satu prinsip dasar penerapan e-gov juga tidak dilaksanakan. Ini merupakan suatu kekeliruan. Yaitu tidak mengikutsertaan para profesional dan praktisi TI secara optimal yang justru sangat berpengalaman di lapangan. Penulis sendiri masih ingat diundang rapat untuk pertama kali membahas persiapan sistem TI KPU yang pada saat itu dipimpin oleh rekan Imam Prasodjo. Sayangnya ternyata KPU hanya mengadakan rapat formalitas untuk mengundang banyak pihak, tapi selanjutnya mereka kelihatannya tidak dilibatkan lagi. Pihak KPU lebih merasa aman menggandeng para dosen dan peneliti dari beberapa perguruan tinggi. Hal ini berakibat sangat fatal yang tercermin dari pemilihan topology jaringan sistem terpusat yang sangat rentan terhadap stagnansi proses perhitungan dan penggunaan jaringan Telkomnet Instan yang belum teruji (Detikcom, 6/04/04). Sifat menutup diri KPU juga disesalkan oleh Meneg Kominfo Syamsul Muarif yang sempat pula menghimbau para hacker untuk tidak mengganggu server KPU, mengingat tanpa diganggu pun sistem TI KPU kadang-kadang tidak bisa jalan (Detikcom, 5/04/04). Untuk Pemilu yang berskala besar dan ruang lingkup nasional, seyogyanya KPU tidak “berjudi” dengan penggunaan TI yang tidak terencana dengan baik.
Nasi sudah menjadi bubur, dan Indonesia is a nation in waiting, still!
_______
*) Penulis adalah Analis Infrastruktur dan Masalah Sosial. Berdomisili di Sawangan-Depok.

“e-Democrazy” (Seri tulisan reformasi)

Oleh: Eddy Satriya *)
satriyaeddy@yahoo.com

Catatan: telah diterbitkan sebagai kolom Majalah Forum Keadilan No. 44, 4 April 2004

======================

Rasa galau akhir-akhir ini mendera masyarakat calon pemilih dan partai peserta Pemilu. Perasaan pesimis dan optimis silih berganti berkecamuk di pintu hati mereka seakan ikut berpacu dengan detak hitungan mundur (counting down) menjelang hari-H Pemilu yang sudah memasuki single digit. Sungguh banyak persoalan diseputar Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berdasarkan Undang-Undang tentang Pemilu No. 12 tahun 2003 telah diserahi tugas untuk menyelenggarakan Pemilu. Sebut saja masalah mundurnya Imam Prasodjo dan Mudji Sutrisno dari komisi karena jabatan rangkap, tender ulang komponen Teknologi Informasi (IT), tinta Pemilu, kontroversi mobil dinas, keterlambatan pencetakan kertas suara, masalah standarisasi pembuatan kotak dan bilik suara, hingga terjadinya saling tuding antara KPU dengan TNI mengenai pengiriman material Pemilu ke daerah.

Secara teoritis pihak KPU masih merasa optimis dan terlihat sangat yakin Pemilu tetap akan dapat dilangsungkan dengan baik sesuai jadwal. Ketua KPU Profesor Nazaruddin Syamsudin sendiri telah menolak untuk menetapkan kondisi darurat (Kompas, 16/3/04). Namun masyarakat juga tahu dan menyimak situasi yang berbeda di lapangan. Berbagai media cetak dan elektronik menyampaikan fakta yang tidak sejalan dengan apa yang disampaikan KPU. Sebagai contoh adalah terjadinya salah distribusi kotak suara, cacat kertas suara yang sudah sampai di lokasi, “menganggurnya” kapal dan pesawat yang sudah disiapkan TNI untuk mengangkut logistik, serta kesalahan warna surat suara untuk Partai Amanat Nasional dan Partai Golkar (Kompas, 17/3/04). Disisi lain, tidak kurang Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Syamsul Muarif juga mengkhawatirkan beberapa masalah yang mungkin muncul dalam proses perhitungan suara sehubungan dengan perubahan sistem pemilihan (Republika, 16/3/04). Diperkirakan hingga selesai proses pemilihan Presiden, diluar faktor keamanan, berbagai masalah akan tetap menghadang. Kesemuanya itu berpotensi mengancam pesta demokrasi nasional.

***
Lalu bagaimana seharusnya masyarakat calon pemilih dan peserta Pemilu menyikapi kondisi ini? Ada beberapa hal yang harus dicermati dan direnungkan kembali. Pertama, kita harus memahami bahwa tugas KPU memang tidaklah mudah. Hal ini terlihat dari uraian tugas dan kewenangan KPU seperti tertera di website KPU (www.kpu.go.id) mulai dari merencanakan dan menyiapkan pelaksanaan Pemilu hingga menetapkan seluruh hasil Pemilu di semua daerah pemilihan.

Kedua, dibutuhkan kesabaran, ketenangan dan mawas diri yang dalam. Sesuai pasal 19 UU Pemilu, pemilihan anggota KPU telah melewati persetujuan wakil-wakil rakyat yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berdasarkan usulan pemerintah. Dengan demikian, cakap atau tidaknya anggota KPU dalam menjalankan tugasnya juga tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab semua pihak, termasuk anggota partai peserta Pemilu.

Ketiga, penyerahan urusan publik kepada suatu lembaga dan personil baru memang beresiko tinggi. Pemahaman visi dan misi, sumber daya, fasilitas kantor, koordinasi serta ruang lingkup pekerjaan yang berskala gigantic untuk wilayah negara seluas Indonesia menjadi tantangan sangat besar. Hal ini kelihatannya sangat belum dipahami para pengambil keputusan. Meninggalkan aparat Departemen Dalam Negeri dan instansi terkait lainnya yang telah berpengalaman menyelenggarakan Pemilu merupakan pengingkaran yang dipaksakan terhadap loyalitas dan kinerja birokrat. Sebaliknya menyerahkan urusan Pemilu kepada mayoritas akademisi yang masih merangkap jabatan di perguruan tinggi merupakan pelecehan terhadap jam terbang dan tidak sejalan dengan pasal 18 UU Pemilu. Dalam artikel “Jabatan Rangkap: Benarkah Sebuah Dilemma?” di portal Ikatan Alumni ITB (www.ia-itb.com) bulan Agustus 2003 lalu saya tuliskan bahwa “Mereka jelas tidak mungkin bolak-balik tanpa keringat dengan kecepatan cahaya dari Depok, Surabaya, Makassar, Bandung, dan Papua ke Jalan Imam Bonjol, Jakarta. Karena mereka juga manusia biasa seperti kita, bukan superman.”

Keempat, di atas segalanya, sebaiknya Pemilu tetap diselenggarakan sesuai jadwal. Terlalu mahal harga yang harus dibayar jika Pemilu urung dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditentukan. Sungguh tepat langkah yang diambil Presiden Megawati yang menugaskan pejabat terkait untuk memeriksa kesiapan pelaksanaan Pemilu di lapangan. Perkembangan yang sangat cepat telah menggiring pemerintah untuk menyiapkan langkah “darurat” yang harus diambil oleh setiap pejabat di daerah. Terbitnya Kepres No 20/2004 tentang Dukungan Darurat APBD Provinsi, Kabupaten/Kota untuk Pelaksanaan Pemilu sebaiknya dilihat dari kacamata positif.

Terakhir, menghadapi situasi seperti saat ini sebaiknya KPU tidak memaksakan pelaksanaan proses demokrasi digital (e-democracy) dalam penghitungan hasil pemilu untuk semua wilayah, mengingat kesiapan infrastruktur telematika yang masih terbatas dan belum menjangkau seluruh kecamatan, disamping kesiapan sumber daya manusia. Semoga “e-democrazy” yang pernah terjadi tahun 2000 lalu di Florida, USA, dan berbagai kekurangan lain tidak terjadi di persada Indonesia. Amin!

_____

*) Penulis adalah staf Bappenas, tinggal di Sawangan-Depok.

USO TELEKOMUNIKASI (seri tulisan ICT)

Oleh: Ir. Eddy Satriya, MA

Catatan: Artikel ini telah diterbitkan dalam Majalah Bisnis Komputer No. 03 Edisi Maret 2004

================================

Digital divide telah menjadi topik hangat di dunia telematika sejak awal millenium baru. Sejalan dengan itu, beberapa deklarasi internasional untuk memperkecil digital divide telah pula dikumandangkan. Mulai dari Okinawa Summit di Jepang pada bulan Juli 2000 yang dilanjutkan dengan Deklarasi Tokyo bulan November 2000, hingga World Summit on Information Society (WSIS) di Geneva bulan Desember 2003 yang lalu.

Sebagai salah satu negara berkembang dengan tingkat ekonomi yang kembali jatuh ke dalam kelompok negara miskin setelah krisis, Indonesia juga tidak luput dari isu dan aktivitas untuk mengurangi kesenjangan digital tersebut. Walaupun pembangunan prasarana telekomunikasi tetap sebagai salah satu komponen utama telematika berjalan stagnan sejak akhir Pelita VI, sesungguhnya Indonesia cukup beruntung karena sistem telekomunikasi bergerak (mobile) mengalami kemajuan sangat berarti. Sampai akhir Januari 2004 ini diperkirakan negara kita telah memiliki kapasitas sekitar 29 juta satuan sambungan telepon, yang terdiri dari 9 juta lebih sambungan telepon tetap dan kurang lebih 20 juta sambungan/pelanggan telepon bergerak. Namun sebaran kapasitas tersebut tidaklah merata untuk semua wilayah pulau, kota, kecamatan hingga desa. Sesuai data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik dan Departemen Dalam Negeri yang kemudian digunakan oleh Ditjen Pos dan Telekomunikasi (Postel), dipekirakan 43.000 desa dari total 67.000 desa di seluruh Indonesia, masih belum memiliki fasilitas telekomunikasi.

Dalam rangka menutupi kesenjangan pembangunan sektor telekomunikasi, pemerintah melalui Menteri Perhubungan Agum Gumelar telah mencanangkan rencana untuk menggelar fasilitas telekomunikasi keseluruh desa yang belum terlayani hingga tahun 2005. Pembangunan fasilitas telekomunikasi untuk daerah perdesaan tersebut telah dimulai dengan membangun akses jasa telepon dasar di 3.010 desa di tanah air melalui program Universal Service Obligation (USO) yang telah diresmikan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 2003 yang lalu (Kompas/19/12/03). Menjadi pertanyaan tentunya, apakah target program keperintisan yang nota bene tidaklah quick yielding ini akan dapat dipenuhi? Ataukah hanya akan menjadi slogan semata disaat situasi sosial, politik dan ekonomi nasional dalam kondisi sulit?

USO: Definisi dan Sejarahnya

Istilah Universal Service tercatat pertama kalinya dalam kosakata sektor telekomunikasi pada tahun 1907. Saat itu Presiden perusahaan telekomunikasi terkemuka AT&T, Theodore Vail, mempopulerkan slogan “One System, One Policy, Universal Service” dalam laporan tahunan perusahaan tersebut berturut-turut hingga tahun 1914. Para ahli sejarah dan pengambil kebijakan berpendapat bahwa konsep yang disampaikan oleh Vail tersebut mengacu kepada kebijakan untuk mempromosikan affordability jasa telepon melalui subsidi silang (Mueller Jr., 1997). Sesuai perjalanan waktu, konsep Universal Service kemudian diartikan bahwa setiap rumah tangga dalam suatu negara memiliki sambungan telepon, biasanya telepon tetap. Namun mengingat definisi di atas hanya layak untuk negara maju, maka kemudian muncul pula istilah Universal Access yang bisa dijangkau dan lebih sesuai dengan praktek-praktek di negara berkembang. Universal Access diartikan bahwa setiap orang dalam suatu kelompok masyarakat haruslah dapat melakukan akses terhadap telepon publik yang tidak harus tersedia dirumah mereka masing-masing. Universal Access ini biasanya dapat diperoleh melalui telepon umum, warung telekomunikasi atau kios sejenis, multipurpose community center, dan berbagai bentuk fasilitas sejenis (ITU, 2003). Dalam banyak literatur, kedua istilah Universal Service dan Universal Access ini kemudian sering dipakai pada saat bersamaan dan sering pula dipertukartempatkan tanpa mengubah arti masing-masing.

Sebenarnya tujuan konsep Universal Service dan Universal Access tidaklah semata-mata untuk menyediakan fasilitas telekomunikasi kepada seseorang atau kelompok masyarakat saja, tetapi adalah untuk: (a) meningkatkan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi; (b) mempromosikan proses kohesi sosial dan politik melalui pembauran komunitas yang terisolir dengan komunitas umum/maju; (c) meningkatkan cara dan mutu penyampaian jasa-jasa publik pemerintah; (d) memacu keseimbangan distribusi populasi; dan (e) menghilangkan kesenjangan sosial dan ekonomi antara information rich dan information poor.

Program USO Ditjen Postel

Seperti telah disinggung di bagian awal tulisan, Menteri Agum Gumelar telah meresmikan penggunaan infrastruktur telekomunikasi yang dibangun melalui program USO dengan melakukan percakapan telepon ke berbagai lokasi seperti ke kecamatan Sumur, Pandeglang, provinsi Banten dan ke kecamatan Amarasi di Nusa Tenggara Timur (Kompas/19/1/2003). Ditjen Postel merencanakan untuk menyelesaikan pembangunan USO hingga tahun 2005, yang berarti akan dapat memenuhi target sesuai deklarasi International Telecommunication Union (ITU).

Adapun rincian target pembangunan USO telekomunikasi Ditjen Postel adalah: (a) Tahun 2003 pembangungan di 3.010 desa; (b) Tahun 2004 pembangunan di 17.000 desa; dan (c) Tahun 2005 pembangunan di 22.990 desa. Pembangunan pada tahun 2003 menggunakan teknologi Very Small Aperture Terminal (VSAT) dan Poertable Fixed Satellite (PFS). Untuk tahun-tahun berikutnya teknologi yang digunakan bisa bervariasi sesuai dengan keperluan yang diusahakan netral. Dalam salah satu kesempatan diskusi tentang infrastruktur pada awal Maret 2004 ini, saya pernah menanyakan perihal pendanaan USO tahun 2003 dan dijawab oleh Kadit Bina Telekomunikasi dan Informatika Ditjen Postel bahwa dana pembangunan berasal dari APBN 2003. Namun beliau tidak merinci lebih jauh apakah semua dari dana pembangunan atau diambilkan dari dana rutin yang sebenarnya sebahagian juga berasal dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dihasilkan oleh sektor telekomunikasi sendiri.

Pendanaan USO

Bagaimanakah pemerintah harus mendanai USO? Memperhatikan berbagai praktek di beberapa negara yang telah menjalankan program USO telekomunikasi, baik negara maju seperti USA, Canada, Australia, Norwegia, dan Itali ataupun di beberapa negara berkembang seperti Buthan, Costarica, Cuba, Pakistan dan Zambia, maka pendanaan USO ini dapat dibagi atas 5 cara (Intven & Tetrault, 2001). Kelima cara itu meliputi: (1) Market-Based Reform; (2) Mandatory Service Obligation; (3) Subsidi Silang; (4) Access Deficit Charges (ADC); dan (5) Universality Fund.
Pendekatan Market-Based Reform sudah mulai digunakan sejak dua dekade lalu di berbagai negara maju melalui privatisasi, proses kompetisi dan cost-based pricing. Pendekatan ini yang dilengkapi dengan reformasi sektor telekomunikasi terbukti telah berhasil meningkatkan mutu pelyananan jasa telekomunikasi di negara maju serta meningkatkan penetrasi secara signifikan.

Pendekatan kedua dan ketiga, yaitu Mandatory Service Obligation dan pendekatan Subsidi Silang secara tradisional lebih banyak digunakan, baik di negara maju ataupun negara berkembang. Penerima lisensi penyelenggaraan jasa-jasa telekomunikasi dimintakan kontribusinya untuk membiayai program USO. Kedua mekanisme ini digunakan untuk mensubsidi daerah yang belum memiliki fasilitas atau daerah yang karena kondisinya mengakibatkan biaya instalasi sangat tinggi. Biasanya pembiayaan berasal dari pelanggan di daerah kota ataupun dari pendapatan jasa-jasa lain. Kelebihan pendapatan di daerah “gemuk” kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan biaya operasi yang tinggi ataupun margin yang tipis di daerah lain. Namun saat ini praktek subsidi silang antar jenis pelayanan, seperti tarif SLJJ mensubsidi lokal dan sejenisnya, dianggap sudah tidak praktis lagi dan anti kompetisi. Dengan semakin menurunnya pendapatan operator dari sambungan internasional dan SLJJ, maka semakin sedikit pula dana subsidi yang dapat digunakan. Banyak kritik telah diajukan para ahli terhadap kedua pendekatan tersebut sehingga banyak negara meninggalkan cara-cara ini dalam membangun fasilitas USO telekomunikasi.

Pendekatan keempat, Access Deficit Charges, telah digunakan di beberapa negara. Cara ini hampir mirip dengan subsidi silang, tetapi telah dimodifikasi sehingga memenuhi tuntutan pasar. Biasanya para operator lain membayar subsidi untuk membiayai total defisit yang dialami operator incumbent dalam penyediaan jasa lokal yang biasanya dibawah tingkat harga normal. Namun cara yang pernah dilaksanakan di Australia dan Canada ini juga dirasakan tidak efisien dan anti kompetisi. Hal tersebut telah memakasa Australia dan Canada untuk melakukan modifikasi, sementara Inggris sama sekali telah menghentikan pendekatan ini.

Pendekatan terakhir, Universality Fund atau juga dikenal dengan Universal Service Fund biasanya mengumpulkan pendapatan dari berbagai sumber seperti pendapatan pemerintah, biaya interkoneksi, biaya penggunaan frekuensi dan biaya-biaya lain yang dikenakan kepada para operator. Dana yang terkumpul dengan berbagai cara digunakan untuk mencapai misi dan tujuan universitalitas jasa sektor telekomunikasi. Dana ini pada umumnya dipakai untuk membiayai area yang memerlukan biaya pembangunan tinggi atau wilayah dimana rakyatnya berpenghasilan sangat terbatas.

Analisis

Memperhatikan rencana pembangunan USO dari pemerintah cq Ditjen Postel dan membandingkannya dengan konsep USO serta perkembangan terakhir disektor telematika beberapa hal berikut ini perlu menjadi perhatian kita.
Pertama, target penyelesaian pembangunan fasilitas USO telekomunikasi sebenarnya tidak harus buru-buru diakhiri pada tahun 2005. Salah satu butir Action Plan WSIS berisikan rencana untuk menghubungkan desa dan menyediakan akses dengan fasilitas telematika, termasuk telekomunikasi dan internet, selambat-lambatnya tahun 2015. Dengan demikian Ditjen Postel sebenarnya punya waktu cukup untuk menyiapkan formula pembangunan USO yang lebih baik, lebih terarah dan sesuai dengan kaidah yang berlaku. Pembangunan fasilitas USO yang dilakukan saat ini terasa tergesa-gesa yang tercermin dari proses penunjukan langsung kepada dua perusahaan pelaksana, yaitu PT. Citra Sari Makmur dan PT. Pasifik Satelit Nusantara. Sesungguhnya pembangunan fasilitas untuk rakyat disesuaikan dengan kebutuhan rakyat bersangkutan, bukan dikaitkan dengan berbagai kepentingan yang mungkin tidak terlalu bermanfaat bagi mereka.

Kedua, proses pendanaan USO telekomunikasi yang telah diambil sebaiknya mengacu kepada salah satu dari kelima cara yang telah diuraikan atau bentuk modifikasinya. Bisa juga pemerintah membuat suatu terobosan sendiri diluar metoda-metoda tersebut. Pendanaan lewat RAPBN sebesar Rp 45 Miliar untuk tahun anggaran 2003 dinilai kurang tepat. Hal ini membuat Ditjen Postel dan jajarannya seolah-olah “menelan ludah” sendiri dan menjadi tidak logis karena selama ini dalam berbagai “hearing” tentang kenaikan tarif telepon, salah satu alasan klasik jajaran Departemen Perhubungan adalah bahwa sejak tahun 1985 sektor telekomunikasi tidak pernah lagi mendapatkan dana pemerintah. Saat ini aturan tentang USO masih belum final. Karena itu adalah sangat baik jika Departemen Perhubungan dan Departemen Keuangan beserta instansi terkait lainnya dapat menyusun aturan baku penggunaan dana PNBP sektor telekomunikasi dengan tidak mencampuradukkan penggunaan dana pembangunan, dana rutin, dan iyuran dari para operator. Tentu saja juga harus transparan.

Berikutnya masih terkait dengan pendanaan dan partisipasi masyarakat. Mengingat peralatan telepon yang akan dipasang di desa bukanlah berupa telepon tetap biasa, maka proses penentuan lokasi di desa bersangkutan seharusnya lebih bernuansa bottom-up dan benar-benar melibatkan partisipasi masyarakat. Hal in sangat penting karena disamping pesawat telepon, rakyat setempat masih harus memelihara peralatan dan membayar iyuran bulanan untuk catu daya listrik, air time satelit dan lain-lain yang mungkin tidak murah untuk ukuran mereka. Kiranya pola dan skema pembiayaan menjadi vital demi kelangsungan pelayanan telekomunikasi. Pengalaman pahit pelaksanaan program sejenis untuk Solar Home System (SHS) di sektor kelistrikan dimasa lalu sebaiknya dicermati.

Keempat, ketersediaan dan reliability peralatan USO yang diinstalasi di daerah haruslah sesuai dengan standar internasional baik mutu maupun keandalannya. Jika suatu desa telah dapat terlayani dengan world class quality, maka diharapkan proses percepatan pembangunan melalui penyediaan informasi dan ilmu pengetahuan akan dapat mencerdaskan mereka yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan penghasilan dan taraf hidup mereka. Bukankah dengan terhubung ke Internet, mereka tidak akan lagi terisolasi. Berbagai fasilitas yang memanfaatkan kemajuan teknologi telekomunikasi yang menggunakan Internet Protocol telah tersedia gratis. Misalnya dengan menggunakan Yahoo Messenger atau salah satu teknologi terbaru dari Skype (www.skype.com) yang diciptakan oleh sekelompok anak muda dari Estonia juga telah mampu memberikan kualitas suara sempurna. Alhasil, masyarakat di desa akan dapat berkomunikasi dengan lebih murah.

Terakhir, kiranya pembangunan fasilitas USO telekomunikasi ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk menggairahkan kembali industri telekomunikasi dalam negeri melalui proses outsourcing yang mensyaratkan local content cukup tinggi jika harus menggunakan peralatan atau teknologi luar. Beberapa industri nasional seperti PT. INTI, PT. LEN, dan perusahaan konsultan dalam negeri kiranya perlu diberikan porsi yang sesuai dengan keahlian mereka. Bukankah kita pernah menggunakan teknologi satelit dengan perangkat stasiun bumi yang telah diproduksi lokal di zaman orde baru dulu? Juga terbuka kiranya kesempatan untuk menggunakan berbagai teknologi alternatif untuk program USO seperti Power Line Communication (PLC) yang telah disiapkan oleh anak perusahaan PT. PLN, ataupun menjajaki berbagai kemungkinan penggunaan serat optik yang dimiliki PT.KAI dan PT. PGN (Tbk) yang melintasi berbagai daerah terpencil. Selayaknya pemerintah memperhatikan multiplier effects yang sebenarnya cukup menjanjikan di sektor telekomunikasi.

Penutup

Memperhatikan berbagai pembahasan di atas, sesungguhnya pemerintah dapat lebih tenang merencanakan program USO telekomunikasi ini sehingga mampu memberikan dampak pembangunan yang luas kepada sektor terkait dan berbagai lapisan masyarakat. Juga sudah selayaknya pemerintah, dalam hal ini Ditjen Postel, lebih bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan dengan cepat berbagai peraturan terkait seperti Keputusan Menteri tentang USO. Semoga!

_____

Penulis adalah Senior Infrastructure Economist. Bekerja di Bappenas. Dapat dihubungi melalui satriyaeddy@yahoo.com atau esatriya@bappenas.go.id

MENGUNGKAP RUMITNYA PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR TELEMATIKA (Seri tulisan ICT)

Oleh : Ir. Eddy Satriya, MA*)

Catatan: Telah diterbitkan dalam Majalah Bisnis KOmputer Feb 2004

=================================

“Information and Communication Infrastructure: an essential foundation for Information Society”. Begitulah bunyi kalimat yang dijadikan sub-judul salah satu Action Plans sebagai dokumen penting hasil World Summit on Information Society di Geneva bulan Desember 2003 lalu. Kalimat tersebut menegaskan kembali peran penting infrastruktur telekomunikasi menuju terwujudnya masyarakat informasi. Sayangnya, sebagai salah satu negara berkembang, pengembangan telematika Indonesia justru masih berkutat dengan masalah minimnya infrastruktur telekomunikasi.
Bukan hanya masih sedikit jumlah dan terbatas cakupan pelayanannya, tetapi harganyapun masih belum terjangkau oleh masyarakat luas.

Memasuki tahun 2004 fasilitas infrastruktur telekomunikasi masih tergolong minim. Jumlah sambungan telepon tetap belum meningkat banyak dari posisi akhir Pelita VI lalu. Hingga kwartal ketiga 2003, jumlah kapasitas terpasang telepon tetap berdasarkan data PT. Telkom baru mencapai 9,36 juta satuan sambungan (s.s.) dengan Lines in Service sebanyak 8,24 juta s.s. Sambungan sitem telekomunikasi bergerak (STB) seluler memang meningkat cukup pesat. Saat ini STB diperkirakan sudah mempunyai sekitar 20 juta pelanggan yang terdiri dari 9 juta pelanggan Telkomsel, 6 juta pelanggan group Indosat, dan sisanya pelanggan Excelkom dan operator seluler lainnya.

Namun distribusi infrastruktur ternyata tidak seimbang. Wilayah Sumatera, DKI Jaya dan Jawa Timur saja mendominasi sambungan telepon dengan jumlah lebih dari 5 juta s.s. Sementara telepon seluler terpusat di kota-kota besar yang dimiliki oleh kalangan dengan penghasilan menengah keatas. Tidak heran kalau salah seorang direktur perusahaan telekomunikasi pernah mengaku dalam suatu pertemuan bahwa ia memiliki 9 hand phone (HP). Rinciannya adalah, 2 buah dipakai sendiri, 2 digunakan sang isteri, 3 anaknya yang sudah remaja masing-masing memiliki satu HP, dan 2 lagi digunakan pengemudi. Di suatu sisi pola penggunaan HP tersebut telah menunjukkan kemajuan dan kesadaran akan kebutuhan bertelekomunikasi, namun disisi lain menggambarkan ketidakseimbangan distribusi infrastruktur telekomunikasi yang sangat diperlukan menuju masyarakat informasi.

Sebenarnya selain infrastruktur telekomunikasi yang tergolong “dasar” seperti telepon tetap seperti diuraikan di atas, masih ada beberapa infrastruktur penting lainnya yang sangat dibutuhkan dalam pemanfaatan kemajuan Internet guna menuju masyarakat informasi, yaitu Wired Broadband, Wireless Broadband, dan Wireless Fidelity (Wi-Fi) Technology.
Wired Broadband telah mulai digunakan dibanyak negara maju yang dapat menikmati kemudahan berinternet dengan kecepatan tinggi mulai dari 256 kbit/s hingga 100 Mbit/s. Teknologi yang banyak digunakan adalah Digital Subscriber Line (DSL) yang disusul oleh cable modem, metro Ethernet, fixed-wireless access, dan wireless Local Area Network (WLAN). Data terakhir ITU (2003) menunjukkan bahwa Korea memang telah berhasil mewujudkan slogan yang dipampangkan diberbagai gedung Korea Telecomm “To Become the Cyber Leader!” dengan menempati peringkat pertama penggunaan wired broadband, disusul oleh Hong Kong dan Canada. Namun perlu pula dicatat kiranya bahwa teknologi Wired Broadband diperkirakan akan mendapat hambatan untuk pasar yang masih memiliki monopoli, kurangnya kompetisi, dan tingginya tarif untuk Internet seperti di negara kita.

Sementara itu, Wireless Broadband dikenal juga dengan layanan 3G yang sudah berkembang pesat pula diberbagai negara. Namun tambahan spektrum frekuensi untuk 3G juga menghadapi beberapa kendala seperti enggannya operator yang sudah berinvestasi besar di sistem 2G untuk menambah investasi menuju 3G, digunakannya sistem yang berbeda untuk berbagai wilayah seperti TDMA, GSM dan CDMA, serta operator CDMA biasanya lebih memilih bermigrasi ke CDMA2000 1x yang tidak membutuhkan tambahan spektrum frekuensi yang cukup mahal.

WLAN disisi lain telah menjadi alternatif penyediaan infrastruktur telekomunikasi murah yang semakin digandrungi pengguna Internet. WLAN pada dasarnya adalah teknologi yang menggunakan jaringan radio untuk menghubungkan PC atau berbagai peralatan elektronik lainnya kepada sebuah jaringan lokal (local network). WLAN dapat dioperasikan untuk penggunaan pribadi di rumah-rumah, atau dapat digunakan untuk membuat jaringan publik terbatas seperti di ruang tunggu pesawat, mall, dan lingkungan RT/RW (ITU, 2003).

Teknologi lain yang dapat digunakan untuk menciptakan infrastruktur broadband untuk Internet adalah fiber optik yang relatif cukup mahal, spektrum radio dan satelit, serta pemanfaatan Power Line Communication (PLC) melalui jaringan listrik yang telah tersambung ke rumah tangga. Mirip dengan fasilitas yang dimiliki oleh anak perusahaan PT. PLN (Persero) di atas, PT. PGN (Tbk) juga mempunyai fasilitas fiber optik yang dapat digunakan sebagai infrastruktur telekomunikasi untuk menghubungkan beberapa wilayah di Sumatera dan Jawa.
Sekarang ini sebenarnya muncul sebentuk “keresahan” di kalangan praktisi telematika. Mereka pada dasarnya semakin gelisah melihat kemandekan pengembangan telematika yang merupakan konvergensi telekomunikasi, teknologi informasi (IT), multimedia dan penyiaran. Kalau sudah begini, layak sekali dipertanyakan siapa yang telah mengerjakan apa, khususnya dibidang infrastruktur sesuai topik bahasan kita.

Sesungguhnya ada dua pemain utama dalam penyediaan infrastruktur telekomunikasi, yaitu pemerintah dan swasta atau sering saya sebut IT professionals. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Perhubungan dan Kantor Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) telah melakukan berbagai aktifitas untuk mengembangkan infrastruktur informasi. Namun semuanya itu memang belum memberikan hasil yang memuaskan. Lihat saja penambahan kapasitas telepon tetap masih sangat minim dan hingga saat ini belum terlihat lagi updating rincian tugas penambahan kapasitas baik oleh Telkom, Indosat, dan BUMN lain yang terkait.
Sementara kapasitas telepon seluler yang telah menjadi alternatif masyarakat untuk berkomunikasi dengan biaya lebih mahal, memang telah bertambah secara signifikan. Namun “animal behavior” manusia sebagai makhluk ekonomi diperkirakan kembali akan menghambat proses percepatan penambahan kapasitas telepon.

Munculnya fixed-wireless dengan teknologi CDMA justru dianggap saingan dan ancaman oleh operator GSM yang seharusnya bisa menjadi cambuk untuk lebih efisien sehingga harga jual kepada masyarakat menjadi lebih murah. Berbagai regulasi dan kebijakan sering tidak sinkron dan tidak mendukung misi universalitas jasa telekomunikasi. Misalnya belum tuntasnya aturan tentang interkoneksi dan masih belum transparannya proses pemberian lisensi penyelenggaraan jasa telekomunikasi. Terlambatnya penetrasi Internet melalui PLC juga disebabkan antara lain oleh masalah interkoneksi dan kebijakan duopoli yang baru mengizinkan Telkom dan Indosat.

Diterimanya usulan pembayaran ganti rugi sebesar Rp 478 Milyar kepada PT. Telkom dan Mitra KSO dalam sidang kabinet terbatas pada November 2003 lalu sebagai kompensasi pencabutan hak ekslusifitas telekomunikasi juga menyentak rasa keadilan kita (Tempointeraktif, 20/11/03). Seharusnya PT. Telkom dan KSO juga berkewajiban membayarkan porsi ganti rugi kepada pemerintah Indonesia karena program KSO telah merugikan ekonomi nasional cukup besar dari pengurangan jumlah s.s., pengurangan biaya komponen diklat, pengurangan biaya penelitian dan pengembangan (R&D) dan pengurangan dana investasi USO. Kerugian ekonomi tersebut untuk jangka 10 tahun saya perkirakan mencapai angka US$ 2,5 milyar belum terhitung pajak.

Kemudian secara cukup mendadak pemerintah mencetuskan program pembangunan infrastruktur telekomunikasi di daerah Universal Service Obligation (USO) yang pelaksanaannya diserahkan melalui penunjukkan langsung kepada PT. Pasifik Satellite Nusantara (PSN) dan kepada PT. Citra Sari Makmur (CSM) dengan jumlah kapasitas dan teknologi yang berbeda. Pembangunan fasilitas telekomunikasi bernilai Rp 45 Milyar yang tersebar di 3010 lokasi ini terkesan bersifat top-down. Menjadi pertanyaan nantinya bagaimana kelangsungan fasilitas tersebut setelah selesai masa pemeliharaan, karena skema pembayaran dari rakyat yang sangat dibutuhkan untuk menutupi biaya Operasional dan Pemeliharaan (O/M) haruslah jelas. Berkaca dari kegagalan sektor ketenagalistrikan dalam melaksanakan pembangunan Solar Home System (SHS) untuk melistriki desa-desa, rasanya kekhawatiran kita sangat beralasan. Hal itu disebabkan originalisasi dan sosialisasi pelaksanaan program USO sangat diperlukan sehingga mampu menciptakan rasa memiliki bagi penduduk desa bersangkutan yang dapat menjamin kelangsungan fasilitas telekomunikasi tersebut.

Swasta dan IT professional dilain pihak masih belum mendapat dukungan yang memadai. Pakar Internet Onno Purbo harus berjuang sendirian untuk mewujudkan infrastruktur dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat berbasiskan kombinasi teknologi VOIP, Wi-Fi, dan WLAN. Belum jelasnya visi Sistem Informasi Nasional (Sisfonas) yang dicanangkan oleh Kominfo juga dikhawatirkan oleh Sekjen APJII Heru Nugroho akan mengalami hambatan dalam implementasinya (Kompas, 3/9/03). Para praktisi yang masih mengkhawatirkan berbagai langkah penertiban yang biasa diambil oleh aparat penegak hukum dan Departemen Perhubungan, akhirnya banyak yang menunggu hingga berbagai kebijakan dan regulasi disempurnakan. Praktisi dan pakar telekomunikasi selayaknya tidak patah semangat dan terus berjuang diberbagai forum baik di dalam dan luar negeri guna mencari solusi dan berbagai alternatif teknologi yang lebih sesuai dengan kondisi negara kita.

Dalam situasi seperti ini apa yang harus dilakukan? Menurut hemat saya ada beberapa langkah yang harus diambil oleh seluruh stakeholder telematika. Pertama, perlunya political will pemerintah untuk memajukan sektor telematika yang bisa diwujudkan antara lain melalui penyempurnaan berbagai regulasi dan kebijakan, pengkajian kembali tingkat keuntungan yang harus disetorkan oleh BUMN, serta pemberian keringanan bea masuk dan pajak komponen infrastruktur telematika. Kedua, menyiapkan peraturan yang mampu mendorong partisipasi pemerintah daerah untuk berinvestasi membangun infrastruktur telekomunikasi di daerahnya masing-masing. Ketiga, Mengkaji ulang dan memperbaharui kembali rencana pengembangan infrastruktur informasi secara menyeluruh seperti pernah dimulai dengan konsep Nusantara 21 dengan melibatkan segenap potensi yang ada. Selanjutnya, merangkul potensi yang ada di segenap lapisan masyarakat dan pakar telekomunikasi untuk kemudian secara bersama-sama mengembangkan infrastruktur telekomunikasi. Kelima, walaupun tidak terkait langsung, Departemen Perhubungan hendaknya mempercepat penyelesaian aturan interkoneksi dan transparansi dalam pemberian lisensi penyelenggaraan jasa telekomunikasi.

Terakhir, menyiapkan regulator untuk memonitor pasar telekomunikasi yang mampu berkerja secara profesional, berwibawa dan benar-benar independen.
Dengan diambilnya beberapa langkah di atas serta menjauhkan diri dari nuansa KKN, diharapkan peningkatan infrastruktur telekomunikasi dapat dilaksanakan guna memenuhi tuntutan sekaligus menjadi salah satu roda penggerak ekonomi nasional.

________

*) Penulis adalah Senior Telecommunication Economist. Saat ini bekerja di BAPPENAS. Dapat dihubungi melalui email satriyaeddy@yahoo.com.

WSIS DAN PEMBANGUNAN TELEMATIKA NASIONAL (Seri tulisan ICT)


Oleh: Eddy Satriya *)

Catatan: Artikel ini telah diterbitkan di Majalah Bisnis Komputer Edisi Januari 2004

===========================

Gempita World Summit on the Information Society (WSIS) yang diselenggarakan di Geneva tanggal 10-12 Desember 2003 yang lalu berakhir sudah. Sebagaimana layaknya pertemuan puncak yang mengatasnamakan seluruh masyarakat dunia, WSIS juga mencanangkan sebuah deklarasi. Melalui dokumen Declaration of Principles (http://www.itu.int/wsis/documents) tertanggal 12 Desember 2003, para wakil negara dari seluruh dunia kembali memperbaharui komitmen mereka terhadap pembangunan masyarakat informasi (information society). Bahkan isu pembangunan masyarakat informasi telah dijadikan sebagai tantangan global dalam menyongsong millenium baru. Deklarasi ini juga menekankan peranan penting Information and Communication Technology (ICT) sebagai salah satu pilar utama menuju masyarakat informasi. ICT dalam bahasa Indonesia dikenal juga dengan istilah telematika yang didefinisikan sebagai konvergensi teknologi informasi (IT), telekomunikasi, multimedia dan penyiaran. Sementara itu, rencana tindak lanjut (Action Plans) yang berjumlah tidak kurang dari 130 langkah untuk 11 kategori telah pula diformulasikan secara lebih rinci guna diimplementasikan di seluruh negara peserta.

Lantas, manfaat apakah dari WSIS yang dapat diambil bagi percepatan pengembangan telematika Indonesia pada khususnya dan pembangunan nasional pada umumnya? Juga bagaimana mewujudkannya?
Pertanyaan di atas memang sudah selayaknya diajukan setiap kali bangsa Indonesia atau yang mewakili kembali dari mengikuti pertemuan internasional. Mencermati isi deklarasi dan action plan WSIS, mengingatkan kita akan pertemuan Okinawa Summit pada Juli 2000 yang dihadiri oleh negara-negara maju yang tergabung dalam kelompok G-8. Okinawa Summit antara lain menegaskan posisi telematika sebagai sektor penting di milineum baru, menyatukan langkah anggota G-8 untuk memanfaatkan berbagai kesempatan dibidang telematika bagi kepentingan masyarakat dunia, dan menyiapkan rencana untuk menjembatani kesenjangan digital (digital divide). Pertemuan di Okinawa tersebut telah ditindaklanjuti oleh stakeholder telematika pada waktu itu dibawah koordinasi Kantor Menteri Koordinasi (Menko) Perekonomian. Sayangnya, ketidaksiapan berbagai pihak dan kurangnya koordinasi menyebabkan program-program yang telah disiapkan terbengkalai sia-sia.

Praktisi telematika, termasuk aparat instansi terkait tentu memahami benar situasi dan perkembangan telematika Indonesia saat ini, baik dari sisi kebijakan, regulasi, infrastruktur, sumber daya manusia, maupun aplikasi. Walaupun beberapa langkah maju telah dilaksanakan, telematika kita relatif masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Philipina, Thailand, apalagi Singapura. Kita secara umum hanya sedikit lebih baik dari Vietnam dan beberapa negara anggota ASEAN lainnya. Karena itu menjadi sangat menarik untuk mengamati dan memperkirakan kemajuan yang dapat dicapai telematika Indonesia pasca WSIS.

WSIS: Deklarasi, Target dan Action Plans

Sebelas prinsip dasar yang dideklarasikan dalam WSIS untuk mewujudkan masyarakat informasi meliputi: (a) diperlukannya peran pemerintah dalam mempromosikan pembangunan telematika; (b) pentingnya infrastruktur telematika; (c) penyediaan akses kepada informasi dan ilmu pengetahuan; (d) pembangunan dan pengembangan kapasitas individu maupun kelompok; (e) perlunya membangun kepercayaan dan keamanan dalam menggunakan jasa telematika; (f) perlunya menciptakan kondisi lingkungan berusaha yang menunjang implementasi good governance; (g) pengembangan aplikasi telematika yang bermanfaat dalam keseharian; (h) penyelarasan pembangunan telematika dengan keragaman budaya dan bahasa, identitas, serta kandungan lokal; (i) mendukung prinsip-prinsip kebebasan pers; (j) memperhatikan dimensi etik dalam masyarakat informasi; dan (k) tetap melanjutkan kerjasama regional maupun internasional.

Kesamaan visi dan misi yang juga sejalan dengan Millenium Declaration itu kemudian dituangkan kedalam penentuan target pembangunan dan Action Plans. Beberapa target yang telah disepakati untuk jangka menengah dan sudah harus tercapai pada tahun 2015 adalah: (a) menghubungkan seluruh desa dan menyediakan akses bagi seluruh masyarakat; (b) menghubungkan seluruh universitas, sekolah menengah, dan sekolah dasar; (c) menghubungkan pusat penelitian serta pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (d) menghubungkan seluruh perpustakaan umum, pusat kebudayaan, museum, dan kantor pos; (e) menghubungkan pusat pelayanan kesehatan dan rumah sakit; (f) mengubungkan semua kantor pemerintahan pusat dan daerah yang dilengkapi dengan situs web serta alamat email; (g) melengkapi kurikulum pendidikan dasar dan menengah dengan komponen pendidikan telematika; (h) memastikan seluruh penduduk dunia mempunyai akses radio dan televisi; (i) mendorong berbagai pengembangan aplikasi; dan (j) memastikan bahwa lebih dari setengah penduduk dunia mempunyai akses Internet.

Sedangkan rencana tindak lanjut untuk merealisasikan 11 butir deklarasi WSIS di atas, telah diformulasikan kedalam kurang lebih 130 langkah yang sudah dijanjikan akan dilaksanakan peserta sesuai kondisi negara masing-masing.

Telematika dalam Pembangunan

Walaupun masih diperdebatkan untuk bisa disejajarkan dengan Revolusi Industri pada abad ke 17, kemajuan dibidang telematika ini telah memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi kehidupan manusia modern. Perkembangan telematika telah membuka berbagai bentuk tatanan ekonomi baru dan transformasi sosial dimana kelompok negara maju maupun negara berkembang dapat memanfaatkan potensi telematika.
Sejalan dengan timbulnya peluang dan tantangan memasuki era new economy, berbagai inovasi dan kemajuan sektor telematika telah meningkatkan kemampuan manusia secara sangat signifikan dalam hal mencari, mengumpulkan, menganalisa, menyimpan serta berbagi informasi. Beberapa potensi dari telematika yang dapat digunakan untuk menunjang proses pembangunan termasuk memberikan kontribusi dalam pengurangan kemiskinan dapat diterangkan sebagai berikut.

Pertama, telematika dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat yang bisa terjadi melalui (a) proses peningkatan efisiensi ekonomi secara luas melalui pendayagunaannya pada seluruh sektor ekonomi dan (b) peningkatan produksi dari jenis komoditi ekspor baru yang proses produksinya telah menggunakan telematika (Yoshitomi, 2001). Kedua, telematika dapat membantu pedagang kecil, petani, dan para nelayan melalui penyediaan informasi pasar yang akurat dan aktual. Ketersediaan informasi tersebut akan meningkatkan efisiensi yang pada akhirnya memperbaiki tingkat pendapatan bersih mereka. Selanjutnya telematika dapat digunakan untuk memberikan pelatihan dan pendidikan berbagai bidang melalui cara belajar jarak jauh (distance learning) yang sangat bermanfaat bagi penduduk di daerah perdesaan, pedalaman dan perbatasan. Keempat, telematika dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan mutu berbagai jenis pelayanan kepada masyarakat. Terakhir, telematika dapat membantu proses transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan suatu kebijakan pembangunan, maupun memberdayakan masyarakat yang selama ini memiliki akses sangat terbatas dalam menyampaikan aspirasinya.
Meski inovasi telematika menjanjikan berbagai peluang pembangunan, telematika juga dapat membawa negara-negara berkembang kepada suatu tantangan yang tidak mudah untuk dipecahkan. Apabila suatu negara tertinggal cukup jauh dalam memanfaatkan potensi telematika, maka mereka berkemungkinan besar juga akan tertinggal lebih jauh lagi dalam mencapai pertumbuhan ekonomi. Tidak tertutup pula pemanfaatan telematika untuk hal-hal yang dapat menghancurkan kehidupan manusia sendiri. Internet telah digunakan sebagai media komunikasi yang aman dan ekslusif oleh sekelompok anggota sekte terlarang di California, USA pada tahun 1997 yang akhirnya melaksanakan bunuh diri masal. Peristiwa 9/11 di New York dan peristiwa pemboman di Bali jelas tidak bisa terlepas dari pemanfaatan berbagai peralatan telekomunikasi canggih. Begitu pula halnya dengan berbagai virus komputer yang sengaja atau tidak sengaja disebarluaskan sehingga mengakibatkan cost yang tidak sedikit bagi negara, perusahaan maupun individu yang menjadi korban (Satriya, Perencanaan Pembangunan No. 30, 2003).

Prospek dan Tantangan Bisnis Komputer di Masa Depan

Membicarakan prospek dan tantangan bisnis komputer mau tidak mau membawa kita membahas perkembangan telematika di Indonesia. Walaupun banyak pihak yang masih belum puas, sesungguhnya telah tercapai berbagai kemajuan dalam sektor telematika di Indonesia. Keberadaan Kantor Menteri Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dalam Kabinet Gotong Royong Presiden Megawati dan diperbaharuinya Tugas Pokok, Fungsi dan Keanggotaan Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) melalui Keppres No. 9/2003, telah menandai keseriusan pemerintah dalam memajukan telematika nasional.

Kominfo sendiri telah berpartisipasi aktif mengikuti dan menyelenggarakan berbagai diskusi, lokakarya, seminar, dan konferensi tentang telematika, disamping menjalankan fungsinya sebagai Ketua TKTI. Tercatat telah cukup banyak aktivitas, produk kebijakan dan regulasi yang dihasilkan seperti Kebijakan Pemerintah tentang Pengembangan Electronic Government (E-gov), Panduan tentang Penyelenggaraan Situs Web Daerah, serta berbagai sosialisasi dan lomba bertemakan telematika.

Secara kasat mata juga dapat terlihat penambahan perangkat komputer yang cukup signifikan di berbagai perkantoran pemerintah, swasta, dan rumah tangga. Komputer dan berbagai aksesorisnya sudah tidak lagi menjadi barang mewah. Naiknya permintaan komputer hingga tahun 2003, khususnya Personal Computer (PC) dan Notebook telah banyak dilaporkan oleh berbagai media masa.

Diperkirakan tidak semua target Deklarasi WSIS dapat dipenuhi pemerintah Indonesia mengingat krisis yang masih berlangsung. Namun jika diperhatikan daftar Action Plans satu per satu, maka dengan jelas akan terlihat bahwa beberapa langkah telah pernah di formulasikan dalam suatu daftar Action Plan yang menjadi lampiran dari Instruksi Presiden tentang Pemberdayaan Telematika No. 6/2001. Dengan kata lain, butir-butir Action Plans untuk 11 kategori yang dikeluarkan WSIS tersebut sesungguhnya bukanlah hal baru bagi stakeholder telematika Indonesia. Namun demikian, bukan berarti tidak ada tantangan atau hambatan dalam mewujudkan masyarakat informasi dimasa depan.

Dibutuhkan kejelian dan strategi yang tepat untuk menetapkan prioritas pelaksanaannya. Ada dua hal utama menurut pengamatan saya yang harus didahulukan pelaksanaannya dalam waktu dekat ini. Pertama adalah masalah infrastruktur dan yang kedua adalah percepatan penyelesaian regulasi untuk meningkatkan kepercayaan serta keamanan dalam bertransaksi elektronik.

Masalah infrastruktur terutama fasilitas telekomunikasi dengan harga terjangkau harus segera ditindaklanjuti dalam arti sebenar-benarnya. Mengingat kemampuan dan daya beli masyarakat yang masih belum pulih, maka perlu diusulkan kepada operator telekomunikasi untuk melakukan diferensiasi harga jual jasa telekomunikasi bagi kelompok pengguna tertentu. Misalnya saja tarif bisa lebih murah dan dibuat flat untuk fasilitas sosial, rumah ibadah, perpustakaan, kantor kecamatan atau kelurahan, lembaga nirlaba dan lain sebagainya. Hal ini sangat diperlukan mengingat telah terjadi penurunan koefisien korelasi antara pertumbuhan telekomunikasi dan pertumbuhan ekonomi. Jika kurun waktu 1967-1990 kenaikan 1 % kepadatan telepon mampu memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi (GDP atau GNP) hingga sekitar 3 %, maka hasil penelitian yang saya lakukan untuk kurun waktu 1995-2000 menunjukan penurunan yang signifikan. Dengan menggunakan data “World Development Indicators” Bank Dunia tahun 2001 (Tabel 1.1 dan 5.9), maka kenaikan pertumbuhan 1 % kepadatan telepon hanya memberikan sekitar 1.1 % saja untuk ekonomi nasional (Satriya, Perencanaan Pembangunan Prasarana Telematika, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya krisis ekonomi dunia pada tahun 1997 memang berdampak cukup besar bagi perkembangan telekomunikasi. Dengan demikian, sudah seharusnya penyelenggaraan jasa telekomunikasi tidak memperlakukan asas “Business as Usual”. Pemerintah dalam hal ini Kominfo dan Departemen Perhubungan hendaknya membuat terobosan dalam masalah infrastruktur ini yang bisa dimulai dengan diferensiasi harga jual guna mendukung pemberdayaan telematika.

Tantangan kedua adalah percepatan penyelesaian regulasi dan kebijakan tentang transaksi elektronis. Hal ini sangat penting untuk menimbulkan kepercayaan dan rasa aman yang mampu mendorong masyarakat memanfaatkan jasa telematika dalam kehidupannya sehari-hari. Berlarut-larutnya penyelesaian UU tentang Cyber dan transaksi elektronis selama ini telah menghambat peningkatan penggunaan jasa telematika.

Diharapkan dengan dilakukannya terobosan dalam masalah infrastruktur dan transaksi elektronik tersebut akan mampu mendorong penggunaan telematika secara lebih signifikan. Terlebih lagi apabila pemerintah melalui Kominfo mampu mensikronkan berbagai peluang, tantangan dan potensi telematika pasca Deklarasi WSIS secara berkelanjutan, tentulah bisnis telematika dan komputer akan semakin bergairah. Sekaligus bermanfaat besar bagi pembangunan nasional yang memang membutuhkan pendorong roda ekonomi secara lebih berkesinambungan.
____________

*) Penulis adalah Senior Telecommunication Economist, alumni ITB Bandung dan University of Connecticut-USA. Sekarang PNS biasa di Bappenas. Email Address: satriyaeddy@yahoo.com atau esatriya@bappenas.go.id