Wednesday, November 19, 2008

KONSULTAN NASIONAL : Dibunuh atau dimatikan?

[Online edition!]

Kembali mengingat masa lalu bagi saya merupakan refleksi pemikiran yang mesti dilakukan secara berkala. Baik karena kebiasaan, ataupun bisa juga karena ada pemicunya.

Hari ini (Selasa 18 Nov 2008) bagi saya menjadi suatu hari yang cukup berat. Betapa tidak, di tengah mendung kelabu, terkadang rintik hujan juga menyertai, dan sesekali hujan deras juga mengguyur jalanan yang harus saya tempuh sendirian di mobil. Hanya iringan musik dari radio ataupun usb plug-in yang menghibur saya menyetir di tengah kemacetan ibukota. Kemana pun pergi, kepadatan lalu lintas menghadang.

Dalam suasana seperti itu saya mendapat "teguran" dari seorang pejabat di RI ini. Teguran itu cukup keras yang pada dasarnya mempertanyakan "mengapa saya mencantum kan nama satu PT di dalam undangan yang baru saja kami fax dan transmit ke berbagai pihak.

Terjebak dalam "kegilaan" lalu lintas di Jakarta, terus terang membuat saya tegang setelah menerima teguran itu. Pada saat itu saya anggap positif saja, dan saya mencoba dengan tenang menjelaskan via telepon. Seperti saya sampaikan tadi, kondisi lelah, capek, hujan, serta macet yang menumpuk menjadi satu berhasil mengalahkan nalar saya pada siang itu. Akhirnya saya menjawab :"Baik pak, akan kami ralat, dan kami fax kan segera kepada undangan lainnya!" jawab saya halus dan berusaha tenang. Namun terus terang saya agak gelisah, karena pejabat bersangkutan menyebutkan ia dapat telepon dari banyak orang. Kok kantor saya mencantumkan nama suatu PT dalam suatu undangan resmi?

Namun setelah agak tenang dan ketika saya memarkir kendaraan terlebih dahulu di tempat aman (tidak terlalu aman dan tenang juga karena ada petugas parkir mengusir saya), otak saya mulai berpikir agak jernih. Apa salahnya?

Kalau kenyataannya memang beberapa personil dari PT itu akan mempresentasikan draft hasil kajiannya? SAya sendiri akan menjadi pengantar dan sekaligus moderator guna mengundang komentar dan memandu diskusi. Tujuan meminta personil konsultan adalah memberikan kenyataan bahwa hasil kajian mereka memang sangat diperlukan, jika memang nanti reaksi peserta demikian. Atau sebaliknya, tidak penting. Bisa juga sekaligus memberikan feed back bahwa mereka berada dalam kondisi yang tidak bagus kinerjanya. Sekali lagi itu tentu akan tercermin dari tanggapan peserta.

Salahkah kalau kita membayar mereka dan meminta mereka untuk memaparkan? Ataukah apakah selalu benar jika pejabat yang membayar (maksudnya negara yang bayar lho) yang memaparkan untuk kondisi laporan yang belum final? Saya sendiri "binun" ketika teguran itu datang.

Terlepas dari itu semua, saya masih berbulat pendapat bahwa sudah waktunya kita menampilkan konsultan nasional kita apa adanya. Bukan sebaliknya, justru membatasi ruang gerak mereka. Dalam arti, jika kita benar-benar mau membina SDM kita menjadi lebih handal dalam berbagai sektor ekonomi maupun kehidupan nyata, maka sudah seharusnya kita mendorong konsultan nasional tampil kedepan di berbagai forum. Hanya karena saya cantumkan PT, apakah itu memang tidak patut. Tapi kalau saya ganti dengan "Prof X atau DR.X atau Mr. X, peneliti dari Universitas Anu..kok jadi boleh dan tidak masalah? Apalagi kalau akhir-akhir ini saya juga sering mendapat undangan atau datang ke rapat pembahasan suatu kajian atau diskusi dengan pembicara Mr.atau Mrs. Joe Cologne Yr (contoh) Chief Economist XXX Bank, France, UK, USA atau Prof. Sakukurata otakumati matakubuta dari Japan, malah disanjung-sanjung dan tidak pernah ada protes. Mengapa kalau saya mengundang dengan pembicara MR. X, dari PT.Y, Cimahi....saya dapat teguran itu?

Akh..pantasan saja bangsaku menjadi kuli saja di rumah sendiri. Bayangkan, apa yang bisa dikerjakan oleh Konsultan kita sekarang, jika semua kerjaan sudah di swakelola? Jika semua diskusi dan seminar di dominasi Prof Doktor dari Perguruan Tinggi/Universitas. Lalu anak-anak kita, anakmu, dan anak-anak mereka sendiri, kalau lulus mau kerja dimana? Sungguh saya sedih hari ini, tapi sementara belum berdaya.

Satu yang pasti, dulu ketika saya baru lulus dari perguruan tinggi, kerja dimana saja sebagai yunior engineer sudah menunggu dimana-mana. Sekarang? sampai botak juga kalau gak punya koneksi, maka lamaran hanya ada di tumpukan. memang peluang selalu ada. Tetapi, apakah konsultan lokal kita memang harus "dibunuh" atau "dimatikan"?

Mungkin ada rimbun daun dan semilir angin yang mau menjawab kegundahan saya ini. Adakah?

(Di dingin Sawangan, Selasa 18 Nov 2008)

Wednesday, November 05, 2008

Maka Nikmat Tuhannmu yang mana lagi yang kau dustakan?

Tidak seperti biasa. Rabu kemaren saya tidak membawa mobil ke bandara. Capek dan karena agak lama (3hari) menjadi tidak ekonomis. Maka sayapun memutuskan naik taksi saja dari rumah. Habis Rp 130 ribuan...buseet..ini juga gak ekonomis. Tapi lumayan tidak stress nyetir dan saya menikmati perjalanan, hingga sampai Batam. Di jemput dan langsung rapat serta meninjau lapangan yang didahului diskusi di lokasi proyek Egov Batam, di Batam Center. Transportasi di Batam gak ada masalah. Hingga kembali Sabtu pagi, mengingat libur, kami memutuskan naik taksi saja ke Bandara. Hanya Rp 100 ribu termasuk tips sudah. Untuk berdua terasa ekonomis dan pantas.

Hanya karena membiasakan batasan budget bekerja, sesampai di Jakarta saya pilih naik Damri saja ke Lebak Bulus, nanti bisa disambung taksi, atau juga bisa naik angkot 106. Toh hari Sabtu tidak terlalu macet. Mengapa Damri? kok gak taksi saja langsung ke BSD-Pamulang- dan sampai di rumah pondok cabe? Saya sebal, karena kalau taksi dan lewat belakang, harus nyogok ...gak banyak Rp 5000.0 baru bisa lewat. Kalau mobil pribadi saya pernah terabas saja dan bunyikan klakson mobil hingga Satpam nya pontang panting bercarut bungkang. "rasain lu" kata saya. Maka dengan Damri pun saya nyaman melanjutkan perjalanan, sambil tidur lagi dalam perjalanan. lebih nyaman.

Sampai lebak bulus karena ketiduran, saya terpaksa turun dalam terminal. gak sempat turun sebelum lebak bulus untuk ambil taksi. Menggeret koper..saya nemplok aja di angkot. Supirnya sewot karena ada koper kecil mengambil jatah seat orang lain. "Tenang bang, saya bayar untuk 2 orang, yang penting kau jalan dulu aja lah!" Angkot biru 106 pun meluncur, meliuk, menyeset (istilah di Pdk Cabe jika angkot harus menyalib mobil lain meski lebar jalan terbatas) dan menyalib dengan sangat manis mobil-mobil pribadi yang membuat pengemudinya menggerutu. Saya tertawa dan kesal. Tertawa bisa jalan cepat, kesal...akh ketika saya bayangin kalau yang disalib dan didesak angkot itu adalah mobil yang saya kendarai sehari-hari. Yang pasti, naik angkot asyiik punya. Bayar murah, kurang dari Rp 5000, tapi duluan sampai. Mobil pribadi selalu macet-macet-macet.

Menggeret koper ketika turun dari terminal Lbk Bulus...

Hati senang, sambil mendengar celotehan dua orang ibu muda yang menggunjingkan anak tetangga mereka yang keburu hamil. "pantesan ia jarang keluar sekarang ya, dan itu teteknya (maaf) dan pinggulnya kan tambah besar" demikian yang satu bicara. "Iya...kalau sekarang baru ia percaya, dari dulu saya ingatkan dianggap angin lalu. tapi kasian juga ibunya". Obrolan itu berlanjut makin seru ketika salah seorang ibu tadi mengingatkan anaknya agar tidak tertidur di angkot, karena kepala sianak "kejedut" cukup keras ke kaca belakang mobil. Ibu yang satu berbaju kaos merah melanjutkan omelannya. Kali ini ia mengomeli bosnya yang gak datag, sehingga si ibu yang kerjanya menjual nasi bungkus "mobile" di dalam terminal itu terpaksa uring2-an akhirnya pulang ke rumahnya di daerah pondok cabe. "Iya kalau gak dagang bos gua gak pernah ngomong" ketusnya.

Seketika pikiran saya buyar. Karena kemudian naik anak-anak sekolah di dekat sebuah pertigaan di jalan Cirendeu. Astaga...pas di depan saya duduk seorang anak SD berseragam biru dengan tulisan SD UIN. Anak pertama berambut panjang, begitu pula anak kedua. Anak kedua segera memegang tangan saya "Papa..lho kok.." katanya terbengong. Saya apalagi...., berkaca mata hitam dan bertopi, membuat tampang saya barangkali seperti "gali". Pelan anak pertama berbisik ke temannya itu, "Siapa Put?" begitu kira-kira pertanyaannya. "Ayahku" jawab Putty.

Anakku Putty (kiri) dan temannya, pas duduk tepat di depanku di atas angkot 106.

Sungguh nikmat TUhanmu yang mana lagi yang kau dustakan. Seketika saya sentuh muka anak saya dengan halus dan membenarkan jatuhnya rambut dimukanya yang penuh peluh sehabis ekskul Tennis Meja. Alhamdulillah ya Allah...memutuskan naik taksi, tidak membawa mobil sendiri kebandara, telah menggiring aku untuk naik Damri dan Angkot ketika pulang bertugas..dan Engkau giring kami ke pertemuan penuh makna hari ini. Meleset sedikit saja, ia sudah naik angkot lain, yang tidak memungkinkan saya bertemu anak kandung sendiri 20 menit lebih cepat. LAlu kami saling pandang dan ia penasaran bahwa barusan kirim sms kok gak dibalas. Terlihat gigi anakku yang mestinya sudah copot karena goyang, ternyata masih menggantung. "Nanti papa copot ya sampai di rumah!"

Alhamdulillah..."Maka Nikmat Tuhannmu yang mana lagi yang kau dustakan?"

(Syech) Puji, Seto, dan Kita

Entah bagaimana harus menyikapi terbukanya berita telah dinikahinya seorang gadis cilik berumur 12 tahun oleh seorang Syech. Syech Puji menikahi Ulfa di Kabupaten Semarang. LAlu menjadikan isteri mudanya ini (maksudnya berusia muda) sebagai General Manager sebuah perusahaannya.

Tersebarnya berita pernikahan dua anak manusia berlawanan jenis ini sebetulnya adalah hal yang biasa saja. Namun menjadi tidak biasa ketika berita itu tersebar dengan cepat di media cetak dan elektronik yang menggarap isu umur si penganten wanita. Berbagai pro dan kontra (lebih banyak kontra menurut pengamatan saya) terjadi, diulang-ulang, di dramatisir, dan mungkin juga bisa dilebih-lebihkan ke berbagai urusan lain.

Berkembangnya isu ini telah membawa Seto Mulyadi, seorang Ketua Komnas ANak, untuk IKUT CAMPUR dalam persoalan ini. Seto ikut campur sebagai Ketua organisasi yang merasa berkewajiban pula "membereskan" permasalahan ini. Tapi apa mungkin dan apanya yang harus ia "bereskan", dan bagaimana membereskannya, jelas bukan persoalan yang gampang.

Yang kita tahu, menurut pemberitaan, kemudian Syech Puji berjanji akan mengembalikan saja Ulfa ke orang tuanya. Hah? SAmpai disini tentu kita terperangah. Se simple itukah kita menyelesaikan masalah yang menyangkut harga diri, perasaan, dan jiwa manusia? Semudah itukah caranya. APakah SAng ANak itu bisa dianggap sebagai komoditi yang karena ditolak masyarakat bisa dikembalikan begitu mudah ke orang tuanya.

SAya menjadi semakin bertanya-tanya. Bukankah kasus seperti ini sangat banyak terjadi di tanah air. Banyak, namun karena budaya lokal tidak mempermasalahkannya hal tersebut tidak menjadi pemberitaan yang gencar. Seiring berjalnnya waktu, sang anak yang memang sekarang usia 12 tahun bisa saja sudah mendapat haid pertamanya, menjadi peristiwa yang biasa. Paling tidak untuk kelompok masyarakat tertentu di negara kita.

Menjadi pertanyaan, efektifkah KOmnas ANak melibatkan diri dalam kasus seperti ini? Apakah tidak memperburuk masalah? Jika bermanfaat, maka manfaat seperti apakah yang akan diperoeh Sang Syech, Ulfa dan masyarakat banyak?

Waktu akan berbicara dan membuktikannya. Bagi saya, satu yang pasti. JIka keterlibatan kita dalam suatu persoalan justru diperkirakan akan memperkeruh masalah, maka pepatah bijak menganjurkan kita untuk memperhatikan dan mengawas saja terlebih dahulu. SUngguh tak terbayangkan sakitnya hati orang tua Ulfa atau bagi Ulfa sendiri jika dikembalikan keorang tua dalam kondisi sudah tidak perawan dan berbagai permasalahan dan trauma pemberitaan yang tidak mudah dihadapi mereka.

Terkadang kita memang harus bertanya lagi ke diri sendiri..."Untuk apa kudisini?"...ah itu kan sepenggal lirik lagu dari kelompok NAIF. Tapi memang terkadang kita naif.

Wednesday, October 29, 2008

Renungan Sumpah Pemuda: "MENGINDONESIAKAN" DUNIA

Salah satu cara untuk "mengindonesiakan" dunia adalah lewat lagu. Mungkin diplomasi ini yang belum tergarap, baik oleh musisi ataupun diplomat. Maksud saya, meski sudah banyak lagu bagus yang diciptakan seniman kita, namun sangat sedikit yang mendunia. Sebaliknya kita sangat welcome dengan lagu berbahasa asing. Bukan hanya Inggris, tapi juga lagu China, Jepang dan India. Sudah selayaknya seniman kita beserta produsernya membidik segmen ini.

Kalau untuk Malaysia dan Singapore tak usah khawatir, kita menyaksikan di Bukit Bintang banyak band lokal my menyanyikan nyaris seluruh lagu pop kreasi anak muda kita seperi Peterpan, D'Masive, Dewa dsb. Begitu pula di sg. Mungkin usaha kebudayaan bisa dirintis lagi, tapi untuk negara dengan berpenduduk besar seperti USA, Jepang dan bbrp negara Eropa yang ada ikatan sejarah dengan kita seperti Belanda, Inggris, dan Portugal.

Tidak usah malu meniru diplomasi yang dilakukan oleh Presiden Marcos dan seniman Phillipina yang dengan cerdik bukan saja mampu menarik ADB untuk berkantor di Manila, tetapi juga bisa mendatangkan penyanyi besar seperti Nat King Cole yang "digiring" menyanyikan salah satu love song terbaik dunia "Dahil Saiyo - Because of You" dalam bahasa Tagalog. Bisa periksa di :http://www.youtube.com/watch?v=tIXpJZzLMrU .

USaha yang telah dilakukan oleh beberapa seniman dan produser untuk penyanyi top Julio Iglesias yang berduet dengan Glen Fredly dan Andre Hehanusa menyanyikan lagu cinta versi bahasa Indonesia patut diacungi jempol sebagai upaya taktis "mengindonesiakan" dunia. Tapi tentu saja frekuensi yang "angat-angat tahi ayam" ini terasa masih sangat kurang dan perlu ditingkatkan.

Mungkin setiap kali lawatan tim kesenian Indonesia, perlu disiapkan sesi khusus "mengindonesiakan" dunia dengan mencari lagu-lagu terbaik kita –tapi lagu yang mudah dan tidak “njelimet”- dan mengajak audiens menyanyikannya. Bukankah merancang visual tampilan untuk berkaraoke (menampilkan lirik) di monitor sudah sangat maju. Andai setiap kali misi kesenian nasional yang mengusung musik daerah juga bisa menyelipkan acara "mengindonesiakan dunia” ini, tentulah bahasa Indonesia akan cepat “mewabah”.

Mungkin ini yang kurang, dan itu menjadi tugas kita semua. Semoga kita mau dan percaya diri melakukannya. Mudah saja, jika anda bisa menyanyi, maka jika di setiap acara anda ikut menyanyikan lagu berbahasa Indonesia, anda sudah mencicil tugas mulia itu. Atau jika suatu saat, anda merasa musik yang disajikan dalam suatu acara didominasi musik barat, anda bisa saja “request” lagu-lagu berbahasa Indonesia. Tapi hati-hati tentu tidak mudah, terlebih jika anda juga keceplosan berkata “bisa request mbak?”, karena artinya anda masih bingung menerjemahkan kata itu.

Selamat “mengindonesiakan dunia”.

(terinspirasi oleh notes Indira Abidin di Facebook)

Sunday, October 12, 2008

Otokritik: Tentang Panik itu.

(Hanya untuk edisi online, tidak dipublish dimedia cetak. Back-to-back edition dengan kritiking.blogspot.com)

Birokrasi diciptakan bertujuan antara lain untuk mengatur dan memberikan pelayanan publik oleh negara kepada penduduknya. Untuk itu ia diberi upah sepadan agar pelayanan bisa sampai dan diberikan sesuai standar dan aturan yang telah ditentukan. Singkat kata, dalam menjalankan tugasnya, birokrasi biasanya tidak sebebas kelompok swasta atau berbagai entitas bisnis lainnya. Karena itu dari dulu dikenal rigiditas birokrasi.

Namun dalam perkembangannya, seiring dengan berjalannya reformasi, terjadi juga berbagai perubahan. Dari dulu birokrasi sering dikambinghitamkan dalam munculnya berbagai persoalan ditengah-tengah bangsa dan rakyatnya. Birokrasi dan aparatnya sering dipersalahkan. Karena itu, untuk memperbaiki pelayanan birokrasi, sering pula ditempuh berbagai jalan pintas yang dianggap "boleh-boleh saja" mengingat tujuannya mulia. Namun kebiasaan memilih dan menggunakan jalan pintas ini tidak diiringi denganperbaikan dan perubahan sistem pelayanan secara sistematis dan berdasarkan aturan yang ada.

Salah satu yang paling sering dilanggar atau dilakukan adalah melaksanakan pekerjaan diluar jam kerja. Beberapa kantor pemerintah sangat sering melakukan ini, termasuk Kantor Kepresidenan, Wapres, Sekneg hingga berbagai kantor Kementerian/Lembaga (KL). Semua nya dilakukan dengan berbagai alasan. Celakanya lembur atau kerja diluar hari kerja dan jam kantor sering sekali kebablasan. Dulu ketika pekerjaan harus dilakukan diluar kota, tidak ada masalah karena Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) masih memberikan biaya yang diperlukan dalam bentuk lumpsum yang bisa cukup flexible digunakan. Namun sejalan dengan perbaikan kondisi PNS dan perbaikan sistem penganggaran, sekarang SPPD beralih ke sistem "at cost", yang belum sepenuhnya "at cost". Seperti biasa, kondisi transisi memang akan selalu membawa korban.


Al hasil, kondisi birokrasi yang terjadi saat ini sangat tergantung kepada "penafsiran" pemimpinnya dilapangan. Meeting bisa dengan seenaknya dilaksanakan jam 7 malam, atau 5 sore ketika pegawai dan sistem birokrasinya sudah mau pulang ke rumah masing-masing. Ah..dianggap biasa. Atau bisa diadakan di hotel di tengah kota dan berlangsung 1 hari penuh atau 2 hari penuh. Ada yang disediakan penginapan, terkadang, seperti yang saya alami minggu lalu, meeting yang menyita waktu dan tenaga di adakan di sebuah hotel di daerah kota, tapi tidak disediakan penginapan. Honor yang diberikan juga hanya cukup untuk biaya transportasi atau membeli bensin dan membayar parkir yang mencapai Rp 20.000 satu haru. Sungguh suatu siksaan bagi yang rumahnya jauh dari kota. Dan berbagai variasi lainnya yang sangat sering tidak sejalan dengan aturan maupun tata cara pembiayaan kegiatan pemerintah.

Kebiasaan-kebiasaan ini sering diperburuk oleh kondisi pimpinan yang kebetulan juga ketua suatu partai atau organisasi sosial dan kemasyarakatan, dimana sempitnya waktu membuat tugas utamanya di pemerintahan sering dinomorduakan. Tidak jarang justru "prime time" ketika semua staf sedang fresh dilewatkan begitu saja karena pimpinan asyik masyuk rapat dengan partai atau organisasi yang dipimpinnya. Baru setelah pimpinan loyo di sore hari, buru-buru rapat dengan stafnya yang juga sudah loyo menunggu di kantor seharian dan sibuk memikirkan cara menghindari kemacetan.

Suatu yang sangat memprihatinkan juga terjadi di era kabinet sekarang, setelah pemerintah melegalkan staf khusus di berbagai tingkatan pemerintahan. Staf khusus ini bisa disetarakan dengan pejabat struktural hingga ketingkat eselon 1, meski umur, pengalaman, dan kepangkatan jauh dari cukup. Namun "power" yang dimiliki dan kedekatan dengan pimpinan, menteri misalnya, telah membuat pejabat karir atau struktural menjadi pasif dan lebih memilih "cari aman" dengan tetap tampil manis tapi sebetulnya tidak melakukan porsi kerja birokrasi yang menjadi tugasnya. Jelas ini suatu langkah yang "smart di tengah kebodohan" karena pejabat tersebut akan tetap terpakai, dimana jabatannya tidak hilang karena tidak terjadi gesekan dengan staf khusus. Namun jelas jika dilihat dari sisi mikro-birokrasi pejabat bersangkutan memilih jalur "produce zero". Kan lebih baik karena dengan tidak memproduksi apa-apa, tidak terjadi kerugian, tapi jabatan tetap di tangan. Bandingkan jika pejabat bersangkutan memilih lebih kreatif dari staf khusus tadi, bisa tergusur dia dari jabatan dan pulang tinggal membawa gaji yang hanya cukup untuk membayar tagihan telepon, listrik, Internet, dan bensin.


Dari uraian dan kondisi di atas, maka ketika pemerintah justru mengadakan rapat dihari libur panjang (Minggu 5 Oktober, diluar hari kerja dan diluar jam kerja) dalam rangka antisipasi krisis jelas ini memberikan sinyal yang salah kepada investor dan spekulan. Apalagi esok Seninnya (6 Okt) nyaris seluruh media cetak dan elektronik seolah sepakat memampangkan headlines "bla..bla...tidak perlu panik...bla..bla". Jelas kondisi ini tidak logic. Rapat dadakan diadakan di hari libur, kok beritanya menyatakan tidak perlu panik dan pemerintah disiratkan tidak panik? Jelas sekali lagi sinyal yang salah, apalagi dilihat dari aturan birokrasi yang berlaku. Tapi sayang memang semua sudah terlanjur terjadi. Maka bagaikan air bah...goyangan dan sentimen negatif dan positif bergantian menerpa bursa dan mempuruk kesan akan kemampuan pemerintah mengendalikan krisis yang semestinya bisa dilakukan dengan lebih "cool".

Perlu kiranya juga untuk tetap diingat bahwa perjanjian jual beli divestasi saham Indosat dulu dengan Temasek (SPV nya ICL) juga dilaksanakan di luar hari kerja dan jam kerja, persisnya di Minggu malam di penghujung tahun itu. Namun perjanjian yang ditandatangani tidak dalam "office hour", bisa diakui seseatu yang "official". Poin saya adalah, praktek-praktek di zaman lalu juga belum terlalu berubah banyak dilantai bursa dan sektor finansial kita hingga saat ini.


Makanya janganlah heran bursa yang belum tahu persis kondisinya ditutup, dibuka, batal dibuka, dan masih tertutup hingga minggu depan. Begitu pula kondisi yang masih sangat belum mature sudah disebutkan sebagai sesuatu yang sudah sangat predictable dengan pernyataan di headline seperti hari ini "Tidak akan Menjelma Menjadi Krisis"(Kompas, 11/10/08). Mengapa kita harus langsung demikian yakin. Tidak adakah ruangan untuk merendah diri dan tidak berlaku arogan ditengah ketidakpastian dunia yang sangat "unpredictable" ini.

Beginilah nasib bangsa jika birokrasi yang memang di seluruh dunia diperlukan untuk mengatur kehidupan kenegaraan, justru diperlakukan dengan sikap munafik. Di pandang sebelah mata. Apakah mungkin berbagai data akurat akan bisa didapat ketika para pejabatnya sendiri sedang libur panjang? Dan justru hasil sesaat ini sekarang menjadi trend untuk digunakan dalam proses pengambilan berbagai keputusan penting. Al hasil, seperti kata salah seorang teman saya di facebook nya, "pemerintah panik karena keseringan menyatakan jangan panik dan tidak perlu panik." Sementara PR tidak pernah dikerjakan secara profesional dan satu kesatuan atau tim.

Panik? Ah mudah-mudahan teman saya itu keliru.

E. Satriya
Pemerhati Reformasi Birokrasi

_______

Monday, September 01, 2008

Kebebasan Pers, Telematika, dan Nasionalisme

Senin, 1 September 2008 | KOMPAS

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/01/00571878/kebebasan.pers.telematika.dan.nasionalisme
Bisa juga dilihat di : http://www.scribd.com/doc/12772677/KOMPAS-Cetak-Kebebasan-Pers-Telematika-Dan-Nasionali


Menahan geram, saya terpaksa mengucapkan kata-kata yang tergolong kurang sopan sebagai jawaban getir atas pertanyaan seorang wartawan tentang penayangan rekaman percakapan yang diduga berasal dari kokpit pesawat Adam Air yang jatuh di Majene, awal tahun 2007.

Betapa tidak, rekaman teknis pilot dan kopilot yang semestinya digunakan kalangan sangat terbatas telah diberitakan sedemikian rupa di layar kaca tanpa menghiraukan dampaknya terhadap keluarga para penumpang dan awak pesawat. Ditambah dengan teknik editing dan kombinasi visual kepanikan di kokpit pesawat, tak pelak lagi tayangan itu semakin eyes catching, membuai penonton melupakan aspek kemanusiaan bagi keluarga korban. Apalagi, terhadap kepentingan umum yang lebih luas, seperti dampak ekonomi sanksi larangan terbang oleh Uni Eropa terhadap penerbangan nasional.

Seiring proses demokratisasi yang berjalan cepat, saat ini pers nasional memang sedang menikmati surga kebebasannya. Namun, selayaknya kebebasan itu juga disesuaikan dengan kepatutan dan hukum yang berlaku.
Penyebarluasan isi ”black box” Adam Air tersebut menegaskan tingkat profesionalisme pers kita. Yang cukup mengherankan pula kenyataan bahwa hingga saat ini belum terdengar langkah konkret dari pihak kepolisian, Departemen Perhubungan, hingga Komisi Penyiaran Indonesia terhadap insiden ini.

Berlandaskan etika
Pemberitaan yang mengumbar kesedihan berlebihan serta berita tragis, seperti kasus Adam Air, bukan hanya sekali ini terjadi. Sudah sering. Dahulu ketika musibah tsunami melanda Aceh, jelas kita menyaksikan reporter dari sebuah stasiun teve berhasil ”menggiring” seorang korban yang kehilangan anak gadis dan belasan anggota keluarga lainnya untuk menyanyikan lagu kesayangan sang anak. Belum puas, reporter tersebut masih membujuk sumber berita itu untuk menyanyikan satu bait lagu lagi yang tentu saja tak mampu dilanjutkan oleh sang ayah.

Di tengah kebebasan pers yang harus dijunjung tinggi, tidak ayal lagi rentetan kupasan kejadian musibah pesawat di Indonesia ini tentu saja patut diduga berkorelasi dengan dijatuhkannya berbagai travel ban oleh beberapa negara, bahkan hingga larangan terbang maskapai penerbangan nasional—tanpa kecuali—ke Benua Eropa.

Menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana seharusnya media massa dan insan pers menyikapi suatu bahan pemberitaan? Apakah memang sudah tidak ada lagi pertimbangan yang berlandaskan etika, kepatutan, hingga hukum tentang suatu kebenaran isi berita sebelum disebarluaskan?

Alasan pembenaran
Kemajuan dunia telematika atau sekarang dikenal juga dengan teknologi komunikasi informasi) memang menjanjikan berbagai kemudahan dan ketersediaan aplikasi yang sangat canggih. Saking canggihnya, terkadang bisa menggiring orang untuk lupa diri akan waktu, tanggung jawab, hingga kepatutan.

Kemudahan berselancar di internet serta tersedianya berbagai search engine dan portal berita media massa modern dunia di layar komputer, selain mempermudah tugas para wartawan, juga meningkatkan persaingan dalam bisnis berita ini.

Namun, ketatnya tingkat persaingan dan kemampuan berinovasi yang berkaitan erat dengan rating dan jumlah iklan, tentu saja tidak pantas menjadi alasan pembenaran untuk menyebarluaskan berita yang kurang pada tempatnya.

Saya mengalami kejadian cukup menegangkan pada Februari 2001 dalam penerbangan malam Jakarta-Singapura menggunakan Singapore Airlines (SQ). Meski tidak banyak penumpang di baris belakang yang melihat langsung percikan api di mesin sebelah kiri, proses berlangsungnya kebakaran yang dimulai ledakan itu jelas sangat menakutkan.

Jerit histeris seorang ibu kepada suaminya yang panik di depan saya ketika melihat percikan dan bunga-bunga api membuat suasana semakin mencekam, hingga akhirnya terdengar suara pilot yang mengumumkan bahwa mesin yang terbakar tersebut berhasil dipadamkan. Meski pesawat terlambat sekitar 30 menit dari jadwal, saya sendiri mengalami shock berat pertama kali yang membuat saya mematung di Bandara Changi sekitar 20 menit menunggu bagasi. Padahal, sudah lebih dari setengah jam koper yang saya cari-cari itu tergeletak dihadapan saya.
Namun, sungguh menakjubkan. Nyaris tidak ada pemberitaan menghebohkan tentang insiden terbakarnya mesin pesawat SQ itu keesokan harinya, apalagi tayangan berulang-ulang ala televisi di Indonesia.

Pembodohan
Bukan perkara mudah menyikapi kemajuan telematika yang bisa disalahgunakan tanpa mempertimbangkan rasa kemanusiaan di tengah kebebasan pers saat ini. Kemajuan telematika secara psikologis menggiring penggunanya untuk malas berpikir ulang serta melakukan check dan recheck karena semuanya serba mudah dan serba cepat.

Untuk kasus ”black box” Adam Air seperti diuraikan di atas, bukan pribadi atau keluarga korban yang dirugikan, melainkan juga ekonomi dan martabat bangsa. Berbagai usaha perbaikan yang dilakukan Garuda Indonesia ataupun pemerintah menjadi sia-sia.
Pasar penumpang domestik dan luar negeri menjadi sasaran empuk berbagai penerbangan asing dengan kualitas layanan tidak selalu jauh lebih baik daripada Garuda atau maskapai penerbangan nasional lainnya.

Jebolnya ruangan penumpang pesawat Qantas yang terpaksa mendarat darurat di Manila serta jatuhnya Spanair sehabis tinggal landas baru-baru ini mengingatkan kita bahwa kecelakaan bisa mengintai dan terjadi di mana pun, baik di Medan, Yogyakarta, Madrid, atau di atas udara Hongkong. Di atas itu semua, nasionalisme sebaiknya tetap menjadi pertimbangan yang tidak boleh dilupakan dalam implementasi berbagai kebijakan.

Telematika dengan berbagai perangkat regulasi yang ada sekarang, termasuk Undang-Undang Penyiaran dan keberadaan Dewan Pers, hendaknya mampu meluruskan berbagai pelanggaran yang berlindung di balik kedok kebebasan pers.
Terkadang, seperti sering dihujat masyarakat, kebebasan itu juga sangat kental dengan pembodohan hingga usaha-usaha penipuan berupa undian melalui telepon atau SMS yang entah kapan akan ditertibkan. Semoga telematika bisa digunakan untuk kemajuan ekonomi dan meningkatkan martabat bangsa, bukan sebaliknya.

Eddy Satriya Asdep Telematika dan Utilitas di Menko Perekonomian.
Dapat dihubungi di eddysatriya.wordpress.com

Saturday, August 16, 2008

Profesor, Jabatan, dan Bui

Masih belum hilang dari ingatan kita ketika beberapa guru besar -demikian kita gelari mereka atau bahasa mulia akademis nya adalah Profesor- di negeri yang indah ini "memilih" jalannya sendiri menuju bui. Adalah era reformasi yang menjadi saksi. Sebut saja nama Nazarudin, Rokhmin, dan beberapa nama lainnya. Pengadilan telah memastikan dan memutuskan mereka bersalah, apapun alasannya. Tidak kurang pula beberapa Doktor yang menjadi penggiat LSM atau lembaga yang membela masyarakat, juga kena batunya. Jalan pengabdian melalui perguruan tinggi ditinggalkan hanya untuk "mencicipi" enaknya birokrasi. "Sawang Si Nawang", begitu kalimat bijak Jawa mengingatkan. Namun nasi telah jadi bubur. They all end up in jail!

Sekarang dunia dan masyarakat Indonesia, nyaris seluruh lapisan masyarakat seperti bermain tebak manggis. Apakah para orang-orang yang terlibat penyalahgunaan Triliunan Rupiah dana BLBI dan Yayasan akan juga divonis sesuai hukum berlaku? Beberapa teman saya di luar negeri sangat sering menanyakan status mereka, khususnya "Pendekar Di Sarang Penyamun" Profesor Anwar Nasution yang sekarang justru pada posisi sebagai Ketua BPK.

BUkan hanya teman-teman dan profesor saya di US sana yang resah, saya sendiri sudah tidak sabar. Where all of these issues end up to. Kesaksian demi kesaksian silih berganti. Dari proses pengadilan terdakwa BLBI dan saksi yang membuat pernyataan dibawah sumpah menyatakan Sang Profesor menyuruh mereka menghancurkan dokumen terkait, Sang Profesor balas membantahnya (Pikiran Rakyat, 15/8/08, hal 2 dan koran2 lain).

JIka kasus yang melibatkan Anwar Nasution ini sebagai saksi menggulir ke arah yang dikhawatirkan banyak pihak, termasuk saya, yaitu menggiring beliau kepada kondisi carut marut birokrasi di zaman lalu yang nyaris tidak ada pejabat yang bisa benar-benar bersih karena sistem yang tidak mendukung, maka tentu tidak ajal lagi wajah bopeng negeri ini akan semakin hancur babak belur. Kemana muka kita mau disurukkan? Untuk sementara kita berandai Sang Profesor kita memang bersih dari kasus BLBI.

Menjadi pertanyaan kemudian, mengapa manusia Indonesia begitu mudahnya silau? SIlau akan harta, akan tahta dan jabatan yang terkadang jauh, jauh dari keahliannya sekalipun. Memang ada yang dekat atau sesuai dengan keahliannya, misalnya beberapa Profesor dari PTN terkenal dahulu dari UI kemudian ditarik ke pemerintahan SUharto untuk membangun ekonomi. That's fine, karena waktu itu masih sangat sedikit rakyat ini yang pintar. Tapi sekarang? Kondisinya jelas jauh berbeda. Triuliunan RUpiah juga sudah digelontorkan melalui hutang dan berbagai cara untuk menyekolahkan SDM di dalam dan luar negeri, khususnya dari birokrasi ke ratusan universitas di berbagai kota dunia. Mengapa kemudian sedikit sekali dari mereka yang diberdayakan dan di pakai pemerintah sendiri. Kebanyakan dari mereka malah enggan pulang atau pindah ke negara tetangga.

Sekali lagi, apakah karena materi, gengsi, atau memang cara untuk membina karir ke lebih tinggi dengan mudah daripada hanya seorang akademisi? APakah memang seorang politisi atau birokrat lebih mulia dipandang mata? Saya pernah berseloroh kepada seorang guru besar dari ITB almamater saya, agar beliau tidak ikut-ikutan latah melamar salah satu posisi Dirjen. PAda awalnya beliau "tersinggung", tetapi bulan lalu saya mendapat telepon. PRofesor ini sangat berterima kasih atas "sentilan" saya. Saya hanya jawab, bahwa pada waktu itu saya sebenarnya setengah guyon. Sungguh bahagia jika "sentilan" itu mengingatkan beliau.

Kejadian demi kejadian dilingkaran praktek KKN negeri ini sudah dapat dipastikan adalah siklus alami yang tak akan berhenti atau mampu dihentikan jika tidak ada keinginan serius pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia. Berbagai "kejutan" akan terus terjadi. Namun saya setiap saat, setiap detik, setiap menit, setiap jam, dan setiap hari akan tetap "tidak dikagetkan" dengan berbagai kasus korupsi yang ternyata juga melibatkan orang-orang yang tergolong "mulia" dan terhormat, mulai dari akademisi, pengusaha terhormat, kepala sekolah, rektor, hingga pemuka agama sekalipun. Karena mengguritanya KKN yang telah berlangsung lama, dapat dipastikan telah merasuki berbagai sela kehidupan manusia Indonesia tanpa . Nyaris sulit mencari birokrat yang benar-benar bersih, sangat sulit, karena semuanya telah menikmati bertopeng kemunafikan.

Sungguh saya tidak pernah heran itu akan terus terjadi selagi tidak ada aksi konkrit yang mendasar. Berbagai nama yang pernah terhormat secara pelan dan pasti akan terbukti melakukan "abuse of power" untuk "sesuap berlian" dan sebuah "kursi". Tentu jika KPK memang punya determinasi dan tahan uji. Only time will tell!
-----------
TUlisan terkait:
  1. Jabatan Rangkap benarkah sebuah dilema?
  2. Dosen, Peneliti, dan Birokrat

Friday, July 25, 2008

Krisis Listrik Indonesia: Sebuah karma, bukan buah simalakama!

Oleh: Eddy Satriya, selaku pemerhati masalah energi.

Banyak orang sekarang saling menyalahkan atas terjadinya krisis listrik yang akhirnya melanda ibukota. Bukan hanya daerah atau pelosok saja. Bukan pula di Medan dan SUmut yang telah menggulung berbagai perusahaan besar seperti industri sepatu dan sarung tangan karet. Bukan pula di Banjarmasin, PAlangka Raya dan Balik Papan yang menjadi daerah penghasil energi dengan berbagai jenis sumber. Tetapi juga sampai hingga Palembang yang listriknya juga ikutan mati dilumbung energi. Singkat kata, krisis listrik nyaris terjadi di semua wilayah.

Kerugian tidak perlu dibahas lagi, hanya menghabiskan waktu dan menyiratkan ketololan kita jika masih berdebat. Lalu apa sebenarnya yang terjadi?

Yang pasti krisis listrik bukanlah masalah baru, tetapi sudah barang lama. Dan agar kita tetap ingat, sebaiknya dituliskan disini bahwa keputusan seluruh rakyat Indonesia lah (lewat Mahkamah Konstitusi -MK) yang membatalkan UU listrik dan berbagai perangkat pelaksananya seperti PP tentang Bapeptal (regulator untuk sektor listrik). Alhasil, kita harus kembali lagi ke UU lama yaitu UU 15 tahun 1985 yang sangat kental mempertahankan "monopoli" PT.PLN yang sudah tidak sesuai lagi dengan zamannya. Sementara itu, tugas yang diembankan agar pemerintah segera menerbitkan UU listrik yang baru sebagai revisi tidak pernah dikerjakan dan ataupun ditagih DPR.

Alhasil...terima lah karma itu. (maaf memang terasa kasar, tapi itulah fakta sebenarnya). Sementara itu, ketika Presiden SBY sudah memerintahkan agar seluruh kontrak jual beli gas yang habis masa lakunya pada tahun 2009/2010, tidak diperbolehkan untuk diperpanjang. Dengan kata lain, kontrak itu harus dihentikan. Pernyataan ini disampaikan langsung presiden SBY dihadapan peserta Kongres GMNI pada 2006 lalu. Hal ini disampaikan beliau mengingat gejala kekurangan pasokan energi sudah sangat mengkhawatirkan. Tetapi apa mau dikata, akhirnya para otoritas dibidang nya tetap bernegosiasi dan melanjutkan kontrak lama, dan bahkan juga membuat kontrak baru dengan Jepang, Korea dan Taiwan.

Jadi...memang sudah seharusnya krisis listrik itu terjadi. Kita melalaikannya. Juga kita perlu ingat, disamping telah masuknya bbrp rekan petinggi PLN ke dalam penjara, tidak banyak yang peduli kalau hingga hari ini PT. PLN pernah menghapus direktorat perencanaan untuk masa yang cukup panjang, sekitar 6-7 tahun. Nah...kalau begini..memang lengkaplah penderitaan rakyat Indonesia (termasuk saya lho...). Gas nya terus dijual keluar, pembangkit combined cycle nya sekitar 3500 MW dipaksa membakar BBM (gasnya kagak ada...karena di ekspor terus-2an), Direktorat Perencanaan PLN baru dibentuk lagi tahun ini, dan Permen nya tentang jual beli listrik / energi alternatif no 1122 justru menguntungkan PLN dan merugikan pengembang yang harus menjual listriknya dibawah HPP PLN.

Kesemuanya itu diperburuk dengan rendahnya energy efficiency (penghematan).

So....selamat datang blackout dan brownout!!
Ini Karma Bung, bukan simalakama. Jangan diputarbalikkan.

-----

Bahan Bacaan terkait:
1. COurt RUlling raises uncertainties in energy sektor;
2. Hemat Energi yang terlupakan;
3. Phenomena Magic Jar:
4. Open SOurcing oil and gas sector

Tuesday, July 15, 2008

Acungan Jempol Untuk PSB-Online.

Oleh : Eddy Satriya
(hanya untuk online publishing)

Keberhasilan di Republik ini memang sulit untuk didesiminasikan. Sebaliknya, permasalahan dalam berbagai bentuk telah menjelma menjadi momok menakutkan dan selalu diperbincangkan sehingga tanpa disadari secara mudah dikomunikasikan kepada setiap orang.

Kebebasan pers telah banyak dimanfaatkan, tetapi tidak untuk berita yang menyenangkan dan menghibur masyarakat yang sudah haus akan berita keberhasilan dan keteduhan.Karena itu jangan heran jika berita tentang aplikasi telematika di bidang pendidikan seperti Sistem Penerimaan SIswa Baru yang secara langsung, real-time, on-line disediakan oleh Depdiknas dan jajarannya ini, juga luput dari pemberitaan positif. Keberhasilan PSB-Online (kita singkat saja demikian) malah langsung tertelan berita negatif tentang mahalnya harga buku yang menjadi kepala berita di beberapa surat kabar hari ini (Kompas, 15/7/08).

Tdak bisa dimungkiri, Ditjen Dikmeneti dan Dikdasmen serta DInas Pendidikan DKI telah memberikan sumbangan yang besar terhadap majunya PSB yang beberapa waktu lalu masih manual. Berbagai proses yang berlandaskan transparansi, keadilan, dan pelayanan prima telah menggantikan proses PSB yang manual, bertele-tele, penuh resiko kesalahan kalkulasi dan pemeringkatan. SIngkat kata, selain tidak mengenakan biaya, PSB-Online secara nyata telah memberikan sumbangan yang sangat besar kepada orang tua murid dalam hal biaya dan efisiensi waktu. PSB-Online ini bisa dicermati di URL : http://dikmentidki.psb-online.or.id .

Bayangkan, hanya dengan mendatangi salah satu sekolah negeri penyelenggara terdekat orang tua atau siswa telah bisa mendaftar dengan praktis untuk memilih sekolah yang diinginkannya. Disesuaikan dengan jumlah nilai UAN yang diperoleh dan jarak tempuh dari rumah ke sekolah, siswa dan orang tua murid bisa membidik sekolah yang diinginkan. Pilihan juga diberikan lebih dari satu, yaitu lima pilihan yang memungkinkan siswa diterima di salah satu sekolah.

Pentahapan pun diberikan dua kali. Tahap I ditujukan untuk semua siswa dari kota bersangkutan dan 5% siswa dari luar kota. Sedangkan tahap II disediakan bagi siapa saja untuk kembali memilih 5 sekolah yang diinginkan jika tidak diterima pada tahap I.Informasi tentang sekolah dan berbagai informasi lain disediakan pula secara langsung di seluruh sekolah negeri (SMP/K maupun SMA/K) negeri dan juga online di website yang ditunjuk Depdiknas.Sungguh, sebagai orang tua kita dapat merasakan betapa kemajuan pesat telah berhasil di mulai dan diteruskan untuk sekolah tingkat SMP dan SMA.

Bukan hanya untuk Jakarta, PSB-Online juga telah dijalankan di kota PAdang, Yogya, Bojonegoro, TUban, dan Malang.Membiasakan untuk menyediakan sistem online bukanlah hal yang terlalu sulit. Asalkan pimpinan tertinggi daerah, apakah itu Gubernur, BUpati, atau Walikota, sudah memiliki keinginan untuk melaksanakan reformasi pelayanan publik, maka akan banyaklah sistem sejenis yang dapat di implementasikan. Jelas sistem online yang berdasarkan pemanfaatan aplikasi telematika ini bisa dan terus akan berkembang ke sektor-sektor lain.

Karena itu, sebelum berita sukses ini tenggelam oleh berita negatif lainnya disektor pendidikan seperti mahalnya harga buku, susahnya mendownload buku elektronik, atau berbagai iyuran yang menjerat orang tua, sudah selayaknya kita bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada para aparat Pemda terutama Dinas Pendidikan terkait di beberapa kota seperti diuraikan diatas.

Sekali lagi, acungan jempol pantas diberikan untuk PSB-Online ini, dan tentu besar harapan kita cara ini bisa ditularkan untuk Penerimaan Mahasiswa Baru yang juga setiap tahun membutuhkan kompilasi data dengan variabel yang lebih kompleks. Semoga Ditjen Dikti bisa belajar dari "adiknya" Ditjen Dikdasmen.

Semoga.

Monday, June 23, 2008

Monday, June 02, 2008

Penertiban DKI Hambat Teknologi Komunikasi



Menara Seluler
Penertiban DKI Hambat Teknologi Komunikasi

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/02/01032484/penertiban.dki.hambat.teknologi.komunikasi

Kompas/ Senin, 2 Juni 2008

Percepatan pembangunan infrastruktur yang digalakkan pemerintah akan mengalami hambatan lagi. Kali ini hambatan justru datang dari pemerintah daerah. Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 89 Tahun 2006 tentang Menara Bersama, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memerintahkan pembongkaran sekitar 1.700 menara seluler di wilayah Jakarta (Kompas, 28/5).

Sementara itu, pembangunan sektor teknologi komunikasi informasi, khususnya telekomunikasi, terus dipacu mengingat Indonesia memang tertinggal dalam hal penetrasi. Keterbatasan infrastruktur telekomunikasi telah mengurangi akses masyarakat terhadap informasi dan pengetahuan yang diperlukan dalam menghadapi globalisasi.

Ketika internet menyediakan potensi tak terbatas dalam mengakses informasi dan pengetahuan, Indonesia baru memiliki pelanggan internet sekitar 2 juta orang dan hampir 20 juta pengguna. Suatu jumlah yang tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain yang setara.

Namun, rakyat Indonesia dan pemimpinnya sudah selayaknya bersyukur mengingat kekurangan infrastruktur telekomunikasi selama ini telah dapat dikejar melalui pengembangan sistem telekomunikasi bergerak atau yang lebih dikenal dengan seluler, baik melalui platform GSM, CDMA, dan jenis lainnya.

Stagnasi pembangunan telepon tetap, yang hanya mampu sampai angka 10 juta satuan sambungan hingga akhir tahun 1999, dijembatani dengan pembangunan sistem seluler hingga mencapai total sekitar 100 juta pengguna pada kuartal ketiga 2007. Lompatan penetrasi yang menakjubkan guna menyambut datangnya era ekonomi baru.

Demi efisiensi

Percepatan pembangunan tersebut memungkinkan rakyat memiliki berbagai jenis perangkat telekomunikasi dalam genggaman mereka. Meski sebarannya masih belum merata, di samping untuk berkomunikasi, dewasa ini kita saksikan pula berbagai lapisan masyarakat telah menggunakan telepon seluler untuk kegiatan ekonomi.

Sebut saja petani, pedagang sayur atau sembako yang dengan cepat telah mampu mengetahui perubahan harga di pasar tanpa jeda waktu. Begitu pula penjual bakso, siomay, nasi goreng keliling, hingga berbagai jenis makanan dari restoran cepat saji berskala internasional telah memanfaatkan fasilitas komunikasi canggih ini untuk melayani pelanggan mereka.

Karena itu, turunnya perintah pembongkaran 1.700 menara seluler dari Pemprov DKI tentu saja akan merugikan konsumen. Meski akhirnya beberapa menara harus digabungkan demi efisiensi, transisi masa pembangunannya dipastikan akan menimbulkan masalah.

Menjadi pertanyaan, apakah langkah pembongkaran tersebut memang alternatif yang harus dilakukan? Dan mengingat peraturan tersebut diterbitkan tahun 2006, apakah menara yang harus dibongkar adalah menara yang dibangun setelah peraturan gubernur itu diterbitkan? Ataukah semua yang melanggar keindahan dan perizinan?

Kita memahami keinginan Pemprov DKI menata bangunan. Namun, kita juga menyaksikan sendiri banyak bangunan lama, baru, dan yang sedang berjalan, secara kasatmata juga mengganggu keindahan ataupun memiliki izin yang mungkin bermasalah.

Apalagi banyak bangunan yang sangat mengganggu dan menghambat lalu lintas yang merugikan masyarakat dalam jumlah dan skala ekonomi jauh lebih besar tanpa sedikit pun upaya penertiban, apalagi pembongkaran oleh Pemprov DKI.

Belum hilang ingatan ketika sebuah hotel mewah di Jakarta Selatan bermasalah dengan jumlah lantainya, pembangunan pusat perbelanjaan di jantung kota yang justru mengganggu fungsi jembatan Semanggi yang berujung kepada makin parahnya kemacetan, atau pembangunan underpass sekaligus overpass di sebuah pusat perbelanjaan terkenal di Jakarta Selatan justru tidak memberikan fasilitas penyeberangan bagi pejalan kaki.

Kita menyaksikan bangunan baru pengganti Hotel Indonesia yang telah berhasil menyulap lapangan tenis, kolam renang, dan fasilitas olahraga menjadi pertokoan mewah, justru diberikan izin menggunakan entrance dan exit di jalur protokol utama yang membuat pengendara mobil atau roda dua di jalur lambat harus ekstra hati-hati.

Mengambil kesempatan

Memerhatikan situasi terakhir ini, diperkirakan penertiban menara seluler akan berdampak buruk bagi pelayanan jaringan ponsel. Sekarang saja—setelah perang tarif—sudah terdengar banyak keluhan akan tingkat keberhasilan panggil (succesfull call ratio) dari pengguna jasa.

Jika pembongkaran dan perbaikan fisik perangkat menara baru memakan waktu rata-rata dua bulan saja, bisa dibayangkan kerugian yang harus ditanggung konsumen dan operator.

Sekali lagi, kita memahami maksud penertiban dari Pemprov DKI. Adalah bijak untuk mengurangi jumlah menara tersebut di samping kemudian membatasi pengeluaran izin baru yang tidak mempertimbangkan keindahan dan efisiensi penggunaan menara bersama.

Dikhawatirkan penertiban oleh Pemprov DKI ini dapat menyulut keinginan serupa beberapa pemprov atau pemkot di daerah, terutama di beberapa kota besar yang telanjur pula menjadi rimba menara seluler.

Jika DKI mengambil alasan estetika dan keindahan, pemprov atau pemkot lain bisa saja mengambil kesempatan dengan berbagai alasan berbeda. Kalau ini terjadi, bisa dibayangkan hambatan dan kerugian yang akan menghadang saat kita harus bergerak cepat membangun infrastruktur telekomunikasi menyongsong ekonomi baru.

Memang diperlukan sinkronisasi, koordinasi, dan kerja sama yang baik melaksanakan pembangunan yang mengatasnamakan kepentingan publik. Semoga keinginan yang betapa pun benar secara konseptual bisa diserasikan dengan kebutuhan riil masyarakat dan disesuaikan dengan kondisi nyata di lapangan.

Eddy Satriya Mantan Sekdekom PT Telkomsel, Sekarang Bekerja di Kantor Menko Perekonomian. Blog: eddysatriya.blogspot.com Email: satriyaeddy@gmail.com

Tuesday, May 27, 2008

Telah Terbit Versi Digital Buku "DARI DISKUSI AKHIR TAHUN TELEMATIKA INDONESIA"

Dear all,

Dengan ini diberitahukan bahwa telah terbit versi digital buku "DARI DISKUSI AKHIR TAHUN TELEMATIKA INDONESIA" sebagai rangkuman diskusi yang telah kita selenggarakan pada tanggal 27 Desember 2007 yang lalu.

Mohon maaf, karena berbagai keterbatasan kami maka buku tersebut baru bisa sampai ke "hard disk" anda sekarang.

Semoga bermanfaat. Kritik, saran, koreksi atau umpatan silakan layangkan ke alamat atau email seperti tertera di halaman pengantar buku tersebut.

Terima kasih atas partisipasi anda semua, tanpa kecuali.

Wassalam,

Eddy Satriya

Saturday, May 17, 2008

Permen Kominfo Menara Telekomunikasi: Keengganan Berkoordinasi yang Harus Dibayar Mahal

Sehubungan dengan ribut-ribut tentang menara telekomunikasi tempo hari, saya infokan bahwa telah terbit Surat Menko Perekonomian selaku Ketua Harian Timnas PEPI No S-46/M.EKON/ 04/2008 tertanggal 28 April 2008 Perihal "Permohonan Peninjauan Kembali Peraturan Menkominfo No.02/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan Menara Bersama Telekomunikasi" yang isinya pada intinya meminta Menkominfo menyesuaikan Permen khususnya pasal 5 ayat 1 dan 2 dengan UU 25/2007 dan Perpres 111/2007.

Sungguh suatu niat baik dari Kominfo (Ditjen Postel) yang ingin "memproteksi" bagian "civil-work" dari pekerjaan menara dari pihak asing, yang akhirnya kandas karena keengganan berkoordinasi sesuai tata cara birokrasi yang sudah ada selama ini.

Saya sendiri ikut prihatin masalah koordinasi diselesaikan dengan cara "talk show" yang akhirnya mendorong institusi yang berada pada posisi lebih kuat menutup diri dan cepat-cepat mengeluarkan surat keputusan yang sepertinya bersifat final. Seandainya pun ingin coba di "appeal" pastilah costnya bagi industri menjadi lebih besar karena ketidakpastian akan transisi peraturan berarti delay perencanaan yang harus dibayar mahal.

Sekali lagi, sunggu sebuah pil pahit bagi kita semua yang masih mengabaikan koordinasi di tingkat birokrasi, meski niatnya sangat mulia. Seperti saya sampaikan dalam diskusi di Bidakara yang dilaksanakan Indef (14/5), masih banyak hal sejenis dengan ruang lingkup pekerjaan jauh lebihbesar seperti pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus, Pembangunan JEmbatan Suramadu, dan Pembangunan Papua, bisa diselesaikan dengan baik (meski bukan tanpa masalah) jika kita memang mau berkoordinasi dengan niat baik dan prasangka baik.

Salam prihatin,

ES

Friday, May 16, 2008

PERJALANAN PANJANG TIK NASIONAL MENUJU EKONOMI BARU

Draft-1 dari sebuah cerita panjang yang coba saya ringkas untuk memperingati momentum seabad Harkitnas. Banyak yang terlewat, tapi lebih baik ada dan nyata dari pada menunggu sempurna dalam pikiran saja.

Your prompt comment is highly appreciated!

Selengkapnya.......

Draft-2...................

Friday, May 09, 2008

Gates Addresses 3000 people in Jakarta

Technology Leads to Prosperity

Published in Ohmynews Intl.
Microsoft founder Bill Gates opened his speech to a crowd of 3,000 people in Jakarta, Indonesia, on Friday by exploring the rapid changes of Information and Communication Technology (ICT).

Gates cited the global growth in the number of personal computers (PCs) available, up from 241 million in 1996 to 1.1 billion in 2008, in the number of broadband bandwidth subscribers, up from 0.1 million in 1996 to 264 million in 2006, and in the percentage of cellular subscribers, up from only 1 percent in 1994 to 41 percent in 2006.

He also mentioned how the capacity and the capability of PCs have doubled every two years over the last decade. He underlined that these advances in ICT would not slow down.

Gates then illustrated his speech with slides, showing how the next wave of business productivity would involve unified communication, social computing, enterprise search and business intelligence. He also congratulated President Susilo Bambang Yudhoyono for improving ICT infrastructure in Indonesia but reminded the country of the need for improving skills and continuing to prepare the national plan for economic development.

As for Microsoft advances, Gates told the crowd that his giant company was now preparing natural user interface software that could make four systems available through speech recognition, pen, vision or watching, and gestures. In addition, Gates assured the audience that in the next decades TV development would be Internet driven.

Before closing his speech, Gates showed the crowd of how his company has been trying to make a combined satellite-telescope system with specially designed software to explore the universe. Gates ended his presentation by giving an example of how an elementary student can explore the stars and use the software to learn more planet Earth.

President Yudhoyono introduction addressed them basic questions to Gates: 1) How will the world change? 2) How do we employ technical stuffs to resolve the issues of our time, such as poverty and global warming? And 3) how do we fit humanity issues into today's rapid changes.

The lecture also provided a half hour question and answer session. Six participants, including businesspeople, journalists, regular citizens and university students addressed questions to Gates and Yudhoyono.

When a student asked about the recipe for progress in a giant software business, gates just remind the audience not to quit school as he had done. He underlined that students should finish their studies first in order to have a broader vision for their future.


Tuesday, May 06, 2008

"Menabrak orang atau motor di jalur cepat, jalan tol dan jalur busway anda boleh jalan terus!". Mungkinkah?

Sudah terlalu sering kita dengar dan maklumi jika terjadi tabrakan atau kecelakaan maka yang akan berlaku di tempat perkara pada awalnya sudah sangat jelas dan pasti, yaitu "hukum rimba". Akan terjadi kuat-kuatan argumentasi, jika perlu otot. Selain adu argumentasi atau otot, biasanya aturan dasar juga berlaku yakni "Yang kecil selalu lebih benar dari yang besar". Alhasil, jika anda adalah pengendara motor menabrak pejalan kaki, maka pejalan kaki selalu benar dan harus diberi kompensasi. Begitu pula jika anda mengendarai mobil atau truk, maka jika anda menabrak pengendara motor atau mikrolet, maka mereka pasti benar dan wajib disantuni. Hukum rimba ini juga menyiratkan bahwa yang kelihatannya lebih mampu atau kaya harus memberi kompensasi kepada yang kelihatannya lebih miskin. Absurd bukan? Tapi itulah hidup di jalanan Indonesia dan itulah aturan yang umum berlaku di TKP.

Kondisi pelaksanaan aturan di TKP ini menjadi menarik untuk disimak dan dicermati apabila suatu kecelakaan yang membawa korban meninggal ditempat terjadi. Seperti pagi ini Selasa (6/5/08) sekitar pukur 1016 WIB persis di atas jembatan kereta di dukuh atas di jalur busway dari arah Blok M menuju Bundaran HI. Saya yang berkendara disamping jalur busway sangat kaget ketika Busway arah HI mendadak berhenti sangat cepat sehingga ban depannya mengeluarkan asap persis sekitar 15 meter di depan kanan saya. Pada awalnya saya yang merayap pelan karena di HI ada demo menyangka bahwa pengemudi busway menghindari batu besar bekas pembatas yang samar saya lihat ada di pinggir kiri kolong bus. Semakin dekat, saya kaget luar biasa...astagafirullah...., itu bukan batu, tetapi adalah sepasang sepatu kets olah raga dari seseorang (gak tahu laki atau perempuan) dengan celana jins biru yang sudah tidak bergerak lagi. Perlahan saya pelankan kendaraan kijang saya, dan persis di depan busway saya saksikan kaca depan retak2 dan juga sebahagian depan mobil bus penyok. Kesimpulannya, busway yang naas itu telah menabrak seseorang di jalur busway yang kemudian tergeletak di bawah kolong. Kaki yang tidak bergerak sangat jelas terlihat dari pinggir mobil saya. Malangnya, saya yang biasa membawa kamera, hari itu apes karena kamera saya tinggal di rumah. Ketika itu saya juga sedang mendengarkan radio elshinta, dan langsung menepi sebentar menenangkan diri tanpa tahu harus berbuat apapun. Saya hanya sempat mengirimkan sms ke stasiun radio tersebut lalu buru-buru menuju kantor karena sudah ditunggu rapat. Mau membantu? macet dan bingung tidak menuntun saya untuk berhenti.

Menjadi pertanyaan sekarang, patutkah si pengemudi busway disalahkan? Jika sudah jelas-jelas penjalan kaki berjalan atau berada pada tempat yang salah...masihkah ia tetap benar? Masihkah hukum yang kecil harus menang? Kenyataannya di beberapa referensi dan UU yang terkait memang demikian, siapa saja yang menghilangkan nyawa orang lain di jalan raya wajib bertanggung jawab. Demikian penjelasan seorang rekan saya yang menjadi polisi lalulintas.

Mungkinkah peraturan tersebut di rubah? Tatkala seorang kenalan saya menabrak mati penyeberang jalan tol di wilayah jagorawi pada 2004 silam, maka ia harus habis2an menanggung renteng semua akibat kematian penyeberang jalan tadi. Sementara ybs telah membayar tol yang harusnya bebas hambatan.

Di tengah rendahnya disiplin di negeri ini, kiranaya hukum haruslah tetap adil dan memihak kepada kebenaran. Saya pernah membayangkan jika saja berbagai cara sudah tidak mempan dan berbagai jenis sosialisasi tidak berarti, maka pendekatannya memang harus pakai cara yang tidak biasa. Maka saya membayangkan ada Perda No sekian tahun sekian yang berbunyi sbb " Menabrak orang atau motor di jalur cepat, jalan tol, dan jalur busway anda boleh jalan terus!!"

Mungkinkah?

With all respect to every life.

Eddy

Link berita di detik.com Pejalan Kaki diseruduk bus trans jakarta di dukuh atas

Thursday, April 24, 2008

MASIH SEPUTAR KONTROVERSI MENARA TELEKOMUNIKASI

Meluruskan berita di DETIKINET dibawah guna menghindari kesimpangsiuran atau kontroversi yang tidak perlu, kami sampaikan tanggapan sebagai berikut:
  1. Permen Kominfo ttg Menara Telekomunikasi seperti tertuang dalam Permen No 2 tahun 2008 mempunyai salah satu tujuan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional mendapat pekerjaan konstruksi menara telekomunikasi. Hal tersebut bertujuan baik yang mencerminkan keberpihakan pemerintah ditengah gencarnya investasi asing di sektor telematika.
  2. Di sisi lain, sudah ada beberapa paket kebijakan ekonomi yang salah satunya adalah Peningkatan Ekspor, Peningkatan Investasi (PEPI) yang dijalankan oleh al: Depdag dan BKPM juga telah mengeluarkan beberapa PerPres (111 dan 77 /2007) terkait dengan daftar investasi yang tertutup dan terbuka bagi asing.
  3. Jika aturan dari kedua instansi ini ingin disandingkan dalam suasana ego sektoral masing-masing, maka akan sulit diperoleh titik temunya. Pengalaman menunjukkan demikian, karena masing-masing biasanya memiliki argmentasi yang sama-sama valid.
  4. Oleh karena itu, jika ingin dicari titik temu, maka alangkah baiknya kedua belah pihak bertemu secara resmi dalam suatu rapat instansi yang memang diadakan untuk mencari penyelesaian. Bukan melalui acara talk show atau sejenisnya, karena keterbatasan waktu dan bahan rapat akan sulit diperoleh hasil yang diinginkan. Hal ini sejalan dengan arahan Bapak Menko yang memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada instansi ybs untuk berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan permasalahan yang ada. Jika di kemudian hari tidak diperoleh titik temu dimaksud, maka bisa saja rapat di angkat ke tingkat lebih tinggi untuk dikoordinasikan di Kantor Menko atau Rakortas, jika pandang perlu.

Demikian penjelasan kami semoga berguna dan dapat menenangkan beberapa pemberitaan yang beredar di berbagai media cetak atau elektronik. Berita terkait yang memuat pendapat saya sesuai wawancara wartawan Antara dapat dilihat disini : PENUTUPAN MENARA BAGI INVESTOR ASING PICU KETIDAKPASTIAN USAHA.

Sedangkan berita dari Bisnis Indonesia (28/4) dapat diklik disini.

Catatan: Kami kemaren memang di datangi dua wartawan pada sekitar pukul 14.30 WIB (Rabu/23 april), yaitu wartawan Antara (ROike SInaga) dan wartawan majalah trust (Qolby), bukan dari detikinet.

Wassalam,

Eddy Satriya
Selaku
Asdep Telematika dan Utilitas
Kantor Menko Bidang Perekonomian
================================
Kamis, 24/04/2008 17:08 WIB
'Aturan Menara Secara Hierarki Tidak Sah'
Achmad Rouzni Noor II -

detikinet

Jakarta - Menko Perekonomian baru mengetahui ada pasal pelarangan bisnis menara telekomunikasi bagi investor asing dalam Peraturan Menkominfo No.2/2008.Asdep Telematika dan Utilitas Deputi V Menko Perekonomian, Eddy Satriya, merasa tidak pernah berkoordinasi soal perumusan pelarangan itu dan menganggap masalah ini harus segera diluruskan sehingga tidak membuat bingung pelaku usaha."Kami tidak pernah merasa ada koordinasi soal pasal tersebut, tidak ada informasi," kata Eddy ketika ditemui wartawan di kantornya, Jakarta, Kamis (24/4/2008).Seharusnya, kata dia, untuk menutup sektor tertentu bagi asing harus terlebih dulu melakukan koordinasi dengan kantor Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan dan pihak terkait seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).Kemudian, setiap sektor yang diatur untuk masuk atau keluar dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) harus melalui tim Peningkatan Ekspor Peningkatan Investasi (PEPI) di Depdag, untuk selanjutnya disetujui oleh Presiden dengan cara membuat Perpres yang baru.Menurut Eddy, Peraturan Menkominfo No. 2/2008 yang melarang asing untuk berbisnis di sektor penyediaan menara telekomunikasi juga dinilainya telah menyalahi Peraturan Presiden No. 111/2007."Jadi secara hierarki, Peraturan Menkominfo No. 2/2008 tidak sah. Namun bisa diberi tenggat waktu untuk mendudukkan kembali permasalahan yang dihadapi," ujarnya cepat.Eddy mengakui ada unsur positif memproteksi menara, namun tetap harus ada penetapan batasan di sektor mana yang tidak boleh dimasuki asing supaya tidak ada kebijakan yang saling berbenturan."Hal ini harus cepat diselesaikan supaya tidak menganggu jalannya industri telekomunikasi. Saya tidak tahu apakah masalah ini sudah berdampak pada layanan operator, karena saat ini sering komunikasi seluler yang saya alami kerap terputus," keluhnya.Menurut dia, masalah aturan menara tersebut sudah dipertanyakan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu saat Rapat Koordinasi Kabinet di Kantor Menkominfo baru-baru ini. Mendag juga sempat mengutarakan kepada Menkominfo agar aturan tersebut ditinjau ulang.Pro kontra soal kebijakan menara bersama? Diskusikan di detikINET Forum.( rou / ash )

Saturday, April 19, 2008

Merah, Kuning, HIjau : Itukah Buah Indonesia?



Tergelitik setelah beberapa tahun ini memperhatikan hidangan buah-buahan di berbagai hotel di Indonesia, dalam kesempatan ini saya ingin mengupas masalah hidangan buah-buahan di hotel berbintang. Nyaris di hampir seluruh hotel berbintang 4 ke atas, hidangan buah-buahan di dominasi oleh warna Merah (Semangka), Kuning (Nanas atau Pepaya) dan Hijau (Melon). Sangat sulit menemukan buah-buahan lain yang juga tumbuh dan dipanen hampir sepanjang tahun. Bisakah anda bayangkan lezatnya buah lain seperti sawo, markisa, pisang, mangga, sirsak, duku, srikaya, rambutan, hingga durian?

Memang terkadang kita bisa menemukan beberapa buah lain, tapi itu hanya di beberapa hotel tertentu yang memang sadar akan diversifikasi dan potensi buah-buahan yang kita miliki. Mungkin situasi ini bukan semata-mata oleh terbatasnya anggaran atau dana yang dialokasikan oleh manager, tapi menurut pengamatan saya lebih banyak karena budaya praktis. Lama-kelamaan kondisi yang menuntut kepraktisan ini berujung kepada budaya malas dan tidak kreatif, meski terkadang musim buah sudah berganti tidak terpikirkan lagi untuk menghidangkan buah yang sedang musim.

Sederhana memang, tetapi bukankah segala sesuatu dimulai dari hal yang sederhana? Menyedihkan lagi adalah kondisi dimana daerah tertentu memiliki buah lokal yang telah bertahun-tahun menjadi favorit. Masih ingatkah anda akan buah salak dari Padang Sidempuan (Sumut), Nanas dari Palembang dan SUbang, Jeruk dari Pontianak, Kesturi dari Kalimantan dan sekarang juga banyak strawberry dari Ciwidey, jika ingin menyebut beberapa jenis buah.

Lelah setelah seminggu melaksanakan perjalanan dinas yang berakhir di Bandung, telah memaksa saya untuk menginap satu malam di sebuah hotel ternama di kota kembang tersebut. Singkat cerita setelah selesai sarapan saya pun seperti biasa menutup menu saya dengan buah-buahan. Yang saya dapat, adalah tiga jenis buah seperti foto di atas. Semangka-Nenas-Melon. That's it.

Dengan sopan saya tanyakan kepada pelayan, apakah dia tahu dari mana nenas yang dihidangkan tersebut berasal. "Dari Lembang pak", jawabannya. Saya tidak percaya begitu saja, karena sejak lama saya mencurigai bahwa nenas Lembang dan Subang yang terkenal itu gak pernah dapat tempat di berbagai hotel di Bandung dan Jawa Barat, sehingga terpaksa dijual eceren di sepanjang jalan Cirendeu, Tangerang dan di jalan-jalan di daerah sekitar Lebak Bulus, Jakarta Selatan. "Tolong ditanyakan dan cek ke Chef-nya Mas, saya pengen tahu", pinta saya.

Tidak beberapa lama, ketika saya tengah menyeruput tetesan terakhir teh manis saya, pelayan tersebut kembali ke meja . "Pak, dari Palembang Pak" ujarnya yang saya sambut tanpa rasa kaget karena memang tidaklah mungkin nenas SUbang memiliki diameter sekitar hanya 8 cm. Yang saya tahu Nenas Subang yang paling kecil sekalipun memiliki diameter sekitar 12 -15 cm. Bahkan tidak jarang nenas subang berdiameter 20-25 cm per biji nya.

***
Pengabaian atau ignorance terhadap kondisi seperti buah nenas di atas ternyata memang semakin menggejala di masyarakat kita. Tidak perduli untuk hal yang sepele apalagi untuk hal yang lebih serius. Memang ada beberapa hotel tertentu yang cukup mengerti dan pandai memaninkan selera lokal atau ciri setempat. Beberapa hotel di Semarang, Yogya, dan Padang cukup mahir mempertahankan ciri khas makanan setempat. DIsana tersedia lumpia, gudeg, hingga bubur kampiun yang merupakan ciri khas setempat, Mereka memahami bahwa makanan dan minuman lokal memang akan bisa memberikan rasa kenangan yang lebih berarti. Tapi kembali lagi, jumlah mereka bisa dihitung jari.

"Local Taste" inilah yang selalu dipertahankan di beberapa hotel di berbagai kota di dunia. Termasuk di Asia Timur yang selalu menyediakan makanan khas mereka seperti Kimchi di Korea dan berbagai jenis makanan khas Jepang di berbagai hotel di setiap kota mereka, di samping menyediakan menu barat dan continental lainnya. Makanan lokal tetap disediakan, tanpa peduli apakah memang banyak pengunjung yang suka atau sempat menikmatinya.

Kembali ke nenas SUbang, saya merasa kondisi seperti ini jika dibiarkan berlarut-larut akan berakibat jelek terhadap petani dan ekonomi lokal. Bisa dibayangkan kalau DInas Pariwisata di daerah mengeluarkan anjuran atau himbauan (bukan paksaan atau kewajiban) yang disertai dengan contoh dan mutu yang bagus, niscaya pangsa pasar buah lokal seperti nenas SUbang tersebut akan lebih banyak terserap di kota Bandung dan kota-kota lain di Jawa Barat. KOndisi ini juga akan meringankan beban dan ongkos transportasi yang tidak perlu. Bisa dibayangkan betapa repot dan mahalnya ongkos transportasi yang harus dikeluarkan oleh pelaku bisnis jika hanya untuk nenas harus didatangkan jauh-jauh dari luar pulau. Memang sah-sah saja hotel tertentu memilih makanan atau buah dari luar pulau untuk membedakan pelayanan mereka. Tapi bukankah juga jauh lebih bijaksana jika menggunakan bahan lolal terlebih dulu dan menggunakan sumber lain sebagai tambahan atau alternatif saja.

Bijaksana? yah....inilah yang langka di negeri kita dewasa ini.

Merah-Kuning-Hijau...hanya itukan buah Indonesia?

(For Web Only)

Friday, April 11, 2008

Sekilas Laporan Hasil Rakor Bidang Perekonomian di Depkominfo

(Catatan: Laporan ini adalah versi pribadi, sebagai bentuk tanggung jawab kepada komunitas ICT di Indonesia. Laporan lengkap mestinya bisa didapat dari Depkominfo atau Humas Menko Bidang Perekonomian. Mudah2-an tidak melanggar UUITE)

Selengkapnya.....

Sunday, March 16, 2008

“Call Center” atau “Cash Center”?

No Call Center baru..susah dihafal dan Mahal...! Rp 900/menit


No Call Center Lama.... lucu kan? Mudah diingat dan Murah (local rate)
Petugas Loket di Bandara Juanda, Surabaya, ikut2-an Bingung ganti Call Center
(Kurang sosialisasi ni ye...!)

Kepedulian pemimpin, pengusaha, maupun rakyat Indonesia terhadap manfaat dan peran telematika -atau sekarang dikenal dengan TIK- dalam pembangunan memang tergolong rendah. Kondisi ini bisa dipahami karena sebagai negara berkembang kita masih mengalami kesulitan untuk memprioritaskannya dibandingkan berbagai sektor lain dalam infrastruktur seperti kebutuhan terhadap transportasi yang aman, tenaga listrik yang andal, dan pasokan air minum yang higienis. Apalagi jika dibandingkan dengan sektor sosial seperti pendidikan dan kesehatan.

Sayangnya lagi, berbagai upaya pengembangan telematika yang bertujuan, antara lain, untuk memudahkan terjadinya komunikasi dan pertukaran informasi, meningkatkan transparansi, serta mengurangi biaya transportasi, tidak jarang justru dimanfaatkan pula untuk membodohi masyarakat. Baik untuk mengeruk keuntungan material atau manipulasi lainnya. Alhasil, di samping berbagai kemajuan yang telah dicapai, terkadang upaya pengembangan telematika mengalami kemunduran dan terkendala oleh berbagai kebijakan bodoh yang tidak perlu.

Pergantian nomor Call Center sebuah penerbangan terbesar nasional baru-baru ini adalah salah satu contoh tentang gagalnya manajemen BUMN ini memahami manfaat aplikasi telematika dalam bisnis penerbangan yang semakin kompetitif. Nomor Call Center 0 807 1 XYZ XYZ yang sangat bagus diubah menjadi 0 804 1 XYZ XYZ. Nomor yang sudah termemori dengan sangat baik di otak saya dan jutaan pelanggan lain ini diubah manajemen dalam rangka meningkatkan pelayanan e-ticket, sebagaimana diumumkan dalam buku penerbangan versi November 2007.

Nomor Call Center yang elok tersebut dengan serta merta diubah setelah sekitar tiga tahun ini dimanfaatkan dengan baik oleh pengguna jasa penerbangan. Sebagai pengguna jasa, banyak orang tertolong dengan call center ini karena mudah menggunakannya, relatif cepat tersambung dengan successful call ratio tinggi, serta aman. Proses booking dan perubahan jadwal bisa dengan mudah dilakukan dimana saja di seluruh Indonesia. Begitu pula proses pembayaran, sejauh ini dapat dilakukan dengan aman, baik melalui ATM ataupun langsung dengan kartu kredit.

Lalu mengapa perusahaan penerbangan pelat merah ini menggantinya? Jelas tidak mudah memahami penggantian nomor tersebut. Berbagai alasan teknis maupun non-teknis bisa saja diberikan manajemen mereka. Namun dari sisi pelanggan, perubahan nomor tersebut sulit dinalar. Selain alasan eloknya nomor yang lama dan mudah diingat, penggantian nomor lama dengan tarif lokal ke nomor baru dengan tarif Rp 900 per menit jelas tidak profesional dan kurang memahami akan masih rendahnya daya beli masyarakat. BUMN lain seperti PT. PLN (Persero) yang masih merugi dan berbagai produsen makanan dan minuman ringan dengan skala usaha yang jauh lebih kecil saja, masih mampu mempertahankan call center gratis dengan toll-free number 0 800 1 XXX XXX.

Penggunaan call center baru ini dapat pula menguras isi kantong, apalagi jika dilakukan dari telepon seluler atau langsung dari hotel. Seperti saya alami beberapa hari lalu, ketika harus membayar tambahan tagihan sebesar Rp 48.636,0 untuk biaya menelpon call center tersebut selama 7 menit 57 detik dari sebuah hotel di Bali. Padahal sebelumnya dari ponsel GSM biayanya tak lebih dari RP 4.000,0. Singkat kata, penggantian nomor call center dengan biaya yang lebih besar bisa saja dilihat pelanggan sebagai upaya untuk mengeruk keuntungan secara tidak transparan. Jelas suatu langkah yang dapat memperburuk citra penerbangan nasional yang masih harus berjuang keras dari larangan terbang Uni Eropa.

Di samping itu, perubahan nomor tersebut juga terlihat kurang sosialisasi, baik untuk konsumen ataupun di lingkungan perusahaan penerbangan itu sendiri. Tanggal 11 November 2007 lalu, saya tertawa geli dan terpaksa memberitahu petugas sales counter mereka di bandara Surabaya ketika membaca pengumuman bahwa call center telah berubah, tapi masih menggunakan nomor lama 0 807 1 XYZ XYZ.

Seyogyanya para Chief Executive Officer (CEO) perusahaan penerbangan nasional ini merubah call center mereka menjadi toll free number setelah sekian lama mengoperasikan nomor dengan tarif lokal. Mengenai biaya percakapan, bisa saja tetap di bebankan kepada pelanggan dengan tarif pass trough ketika membeli tiket. Tambahan sebesar Rp 5.000,0 hingga Rp 10.000,0 per tiket elektronik yang dipesan melalui Call Center rasanya tidaklah terlalu mahal asal diumumkan secara transparan. Lagi pula, jika langkah ini diambil akan terasa lebih elegan dan jauh dari prasangka bahwa Call Center telah berubah menjadi ”Cash Center”.

Kentalnya pemanfaatan aplikasi telematika untuk membodohi sekaligus menguras kantong masyarakat juga masih marak akhir-akhir ini. Sebut saja nomor-nomor telepon premium yang menawarkan aneka ”nada desah” dan sms selebriti seronok yang menguras pulsa masih saja ramai diiklankan. Juga berbagai aneka undian SMS berhadiah yang terus diiklankan banyak operator. Semuanya itu mencerminkan betapa rendahnya kepedulian (awareness) kita akan manfaat yang seharusnya diambil dari sekian banyak kemajuan telekomunikasi dan teknologi informasi bagi kemajuan bangsa.

Kondisi ini jelas menjadi salah satu tantangan yang tidak bisa dianggap remeh oleh Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Detiknas) yang baru saja memperingati ulang tahun pertamanya pada bulan November lalu. Sudah waktunya berbagai kemudahan yang ditawarkan telematika dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk pembangunan nasional dan kemajuan bangsa. Sekali lagi, kepedulian atau awareness pemanfaatan telematika masih harus diletakkan sebagai prioritas utama dalam berbagai program pembangunan telematika, bukannya hanya untuk masyarakat, tetapi juga untuk mereka yang menyebut dirinya kaum profesional dan penentu kebijakan.
________
(For Web Edition Only)

Friday, January 18, 2008

Diskusi ICT ke Depan di Press Talk

Courtesy of Press Talk

Sebagai salah satu hasil Diskusi Akhir Tahun Telematika Indonesia yang diselenggarakan di Kantor Menkno Bidang Perekonomian tanggal 27 Desember 2007 yang lalu, telah dilangsungkan pula diskusi di media TV. Saksikanlah diskusinya yang akan ditayangkan pada tanggal Senin 21 Jan 08 jam 23.00; atau Rabu 23 Jan 08 jam 07.00 di QTV. Tambahan disiarkan pada Jumat 25 Jan 08 jam 14.00 di SWARA.
Selamat menyaksikan dan kami tunggu komentarnya, tentang apa saja. For further detail pls click here.



Wassalam,



Eddy