Showing posts with label Economy. Show all posts
Showing posts with label Economy. Show all posts

Tuesday, August 09, 2011

E-Budget Telat, Korupsi Anggaran Melesat!

http://hukum.kompasiana.com/2011/07/26/e-budget-telat-korupsi-anggaran-melesat/


Masih ingat dengan Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional atau disingkat DeTIKnas? DeTIKnas dibentuk melalui Keppres 20/2006 pada tanggal 13 November 2006. Ia diluncurkan secara resmi langsung dari Istana Kebun Raya, Bogor, Jawa Barat dengan tujuan antara lain untuk menyiapkan menyiapkan bangsa kita menjadi bangsa maju yang salah satu pilarnya adalah TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) atau dikenal juga dengan Information and Communication Technology yang disingkat dengan ICT.
Salah satu flagship programnya dulu adalah E-Budget, yang bertujuan untuk memperlancar proses pelaksanaan APBN dan mengikis praktek KKN yang mungkin menyertai mulai dari proses usulan, perencanaan, pembahasanan, penetapan alokasi dan pelaksanaan APBN itu sendiri. APBN yang menjadi salah satu komponen utama untuk menggerakan ekonomi nasional, khususnya ekonomi riil memang harus dijauhkan dari praktek KKN yang sudah terkenal jahat dan merugikan rakyat.
Sebagai ilustrasi, ada baiknya kami uraikan kembali sekilas praktek-praktek KKN yang sering terjadi seputar APBN. Berkaca ke masa lalu, yaitu ke era orde baru, tidak bisa dimungkiri lagi bahwa dalam mata rantai usulan suatu proyek hingga ke pelaksanaannya, bahkan pada tahap revisi - jika memang proyek memerlukan- memang terjadi proses KKN. KKN yang merupakan singkatan dari Kolusi, Kolusi, dan Nepotisme memang sudah menjadi praktek sehari-hari ketika itu.
Suatu proyek ketika itu dimulai dengan adanya usulan pembangunannya dari satu unit terkecil, bisa di daerah bisa di pusat. Untuk proyek milik atau yang dikerjakan dan berlokasi di daerah, maka unit terkecil katakanlah Bagian X di suatu Dinas Y di Provinsi Z yang akan melaksanakan harus bekerja ekstra keras. Dari awal hingga akhir. Bagian X itu harus beradu argumentasi dengan proyek-proyek lain yang jumlahnya bisa ratusan di dalam suatu kabupaten/kota, lalu ditingkat provinsi. Karena itu, untuk mengawal usulan proyek itu diperlukan dana dan upaya tersendiri.
Biasanya dana yang diperlukan untuk mengawal itu bisa merupakan uang kas pelaksana proyek yang sudah disiapkan dari proses “persiapan” anggaran tahun sebelumnya. Namun kerap terjadi dana untuk menggolkan proyek itu merupakan dana “talangan” dari calon kontraktor atau konsultan yang nantinya akan direkayasa memenangkan tender.
Dana untuk mengawal itu biasanya akan keluar untuk berbagai tempat atau pos, yang  jumlahnya sangat banyak dan berjenjang. Jika usulan proyek, dulu disebut DUP (Daftar Usulan Proyek) dimaksud bisa lolos untuk tingkat kabupaten/kota, maka tiba saatnya DUP itu bersaing lagi dengan proyek2 lain di dalam suatu sektor tertentu yang melibatkan Bappeda dan Sektor dimaksud. Kemudian usulan yang lolos ditingkat provinsi, harus diadu lagi dengan ribuan DUP lain di dalam sektor yang sama. Proses ini biasanya dibahas di tingkat Biro Perencanaan sektor terkait, yang kemudian ditetapkan oleh Sekjen Kementerian atau Departemen di zaman lalu.
Menariknya, proses penetapan usulan di tingkat eselon 1 Kementerian tersebut, biasanya ditetapkan oleh Sekjen, juga sangat ketat. Hanya Pimpro -sekarang di kenal dengan Pejabat Pembuat Komitmen (P2K)- yang benar2 menguasai medan dan rimba peranggaran inilah yang akan mampu menggolkan usulan itu untuk tingkat yang lebih tinggi nantinya. Dulu dibahas dan diusulkan lagi ke Bappenas dan Depkeu (Kemkeu). Setelah disetujui oleh Keuangan dan Bappenas, maka masing2 proyek yang sudah menjadi bagian terkecil untuk di eksekusi, masih harus melalui proses pembahasan yang terkadang“intelectually harrasing” di Kantor Ditjen Anggaran. Dulu pembahasan ini melibatkan pejabat Bappenas dan Depkeu, sekarang peran Bappenas telah digantikan oleh DPR, sementara Depkeu tetap menjalankan fungsi mereka dalam pembahasan dan penetapan nilai akhir proyek.
Jika dalam pelaksanaannya, proyek mengalami masalah dan atau mengalami perubahan, maka harus pula dilakukan revisi proyek yang melibatkan 3 pihak tadi, Sektor, Kemkeu (dulu Depkeu) dan DPR.  Demikian seterusnya, suatu siklus yang tidak mudah memang. Sangat melelahkan dan akhirnya sering  ”dibereskan” dan “dipercepat” dengan fulus berupa uang suap. Uang ini sering dibungkus dengan berbagai istilah, seperti uang transport - kalau kecil- dan tentu saja suap dalam jumlah besar jika membutuhkan pembelokan sasaran, jumlah atau ruang lingkup, dan lokasi.
Sekali lagi, siklus ini sangat panjang dan di setiap tingkatan berpotensi untuk diselewengkan.
****
Kembali ke E-Budget, maka proyek E-Budget yang menjadi tanggung jawab Kemkeu telah ditetapkan menjadi salah satu flagship program dari DeTIKnas. Diharapkan pelaksanaan E-Budget di setiap sektor atau Kementrian dan puluhan kantor pemerintah lainnya, termasuk komisi-komisi dan badan-badan yang dibentuk untuk menjalankan roda pembangun akan dapat memangkas praktek KKN tadi.
Ketika program E-Budget itu dicanangkan dan disiapkan, maka Kemkeu yang bertanggung jawab ketika itu masih harus membereskan sistem anggaran mereka terlebih dahulu. Namun setelah ditunggu hingga tahun 2009 -ketika itu masih dibawah Menkeu Ibu Sri Mulyani Indrawati (SMI), hingga kini program E-Budget ini belum berhasil direalisasikan oleh Kemkeu.
Kita bukan mau berandai-andai. Namun kenyataan yang kita hadapi memang memilukan. Ketiadaan E-Budget telah mempercepat dan mempermarak terjadinya jual beli proyek. Bukan hanya berbagai kasus yang terakhir melibatkan Bendahara Umum Partai Demokrat Moh. Nazaruddin, namun ratusan kasus yang bermuara dari penyelewengan anggaran untuk proyek APBN, telah menjadi berita sehari-hari. Ada gubernur, bupati, anggota DPR dan DPRD yang harus mendekam dipenjara atau menjadi buron.  Seandainya E-Budget telah konsisten dilakukan oleh Kemkeu, tentulah peluang dan ratusan kejadian dan kasus seputar APBN ini bisa dicegah.
APBN bukan hanya meliputi rupiah murni yang menjadi sumber investasi dan pembiayaan proyek pembangunan. Ia juga meliputi bantuan/pinjaman/maupun hibah dari negara donor. Biasanya total dana yang melibatkan pinjaman atau bantuan asing skala nya lebih gigantic. Dan inilah yang menyeret banyak Pimpro atau P2K ataupun pimpinan Kementerian masuk penjara. Kita menyaksikan mulai dari profesor doktor di Kementerian Kesehatan hingga petinggi partai politik dan pejabat biasa setingkat Dirjen atau Deputi. Termasuk mantan pejabat tinggi di lembaga lembaga tambahan yang baru dibentuk seperti KPPU, hingga purnawirawan yang seharusnya sudah bisa hidup tenang di usia pensiun mereka.
Sayangnya penyelewengan APBN ini bukannya berkurang, malah makin menggejala dan menggila. Namun ada hikmah besar yang tidak boleh kita lupakan. Jika program E-Budget dapat dilaksanakan dan dikombinasikan dengan e-procurement yang sudah dijalankan oleh LKPP yang dulu menjadi bagian Bappenas, maka jelas lah bahwa pada tahun 2030 nanti kita memang akan bisa menjadi The Best Ten Economy in the World. Tidak perlu menunggu hingga Republik ini berusia seratus tahun hingga tahun 2045. Paling tidak itulah hasil salah satu report terbaru Standard Chartered Bank. Mereka meramalkan India berada di posisi ketiga, dan Indonesia pada posisi ke 6, melampaui German, UK, Mexico dan Perancis. Kita hanya kalah dari CHina, US, Brazil, India dan Jepang.
Jika seorang Nazaruddin bisa memanfaatkan berbagai produk ICT, mulai dari SMS, Black Berry Mesanger, TElepon Interview via Media, hingga conference via Skype, maka sudah selayaknya pemerintah juga menegaskan kembali pentingnya E-Budget, dan melaksanakannya secepat mungkin baik via DeTIKnas ataupun tidak.
Pilihan ada pada kita, jadi buat apa menunda-nunda lagi. Only time will tell.
______

Tuesday, September 22, 2009

Open House, Open Heart, or Open-gen Injak-Injak Orang?




Sumber foto: Liputan6.com - kejadian serupa di Madiun, sept 09.

Untuk kesekian kalinya pembagian sembako atau pembagian bantuan meminta korban. Kali ini kejadian di Balaikota DKI, ketika warga berduyun-duyun datang di hari kedua lebaran untuk mendapatkan bantuan uang Rp 40,000,0 dan paket sembako.

Tentu tidak ada yang salah dengan niat Sang Gubernur membagikan bantuan itu di Balaikota DKI Jakarta. Begitu pula, tidak ada yang salah ketika rakyat berduyun-duyun mengharap mendapat bantuan tersebut di hari Lebaran. Tanpa ada lebaran pun, kesulitan hidup di kota besar seperti Jakarta rasanya telah menjadi pendorong masyarakat untuk aktif mencari informasi dimana ada pembagian serupa. Karena itu dapat dibayangkan dan diperkirakan dengan kondisi disiplin masyarakat dan aparat yang memang jauh dari kondisi ideal sebuah negara maju, pembagian paket dalam jumlah besar jelas akan mengandung resiko.

Ketidakbiasaan masyarakat kita menghargai orang lain dalam mengantre dan ketidakjelasan sistem antrian sudah sama-sama kita malkumi. Jangan kan untuk urusan seperti sembako. Urusan keluar dari parkir sebuah pusat perbelanjaan saja bisa mengundang keributan. Bukan hanya karena jalur antrian tidak jelas, terkadang kondisi diperburuk pula oleh petugas yang memang (maaf) kemampuan intelektual mereka sangat terbatas. Tidak jarang saya mengalami perlakuan buruk ketika petugas sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta selatan dengan seenaknya membuka dan menutup lajur tertentu, tanpa menghiraukan akibat tindakannya.

Sudah sewajarnya para Gubernur, walikota, atau pemimpin lainnya menyadari bahwa disiplin masyarakat kita sangat dibawah rata-rata, apalagi kalau dalam kondisi berkelompok dan kondisi tertentu di jalan raya. Sudah semakin tidak asig lagi setelah pak Harto lengser, orang dan pengendara sepeda motor dengan seenaknya melanggar aturan dan rambu lalu lintas, termasuk lampu lalin yang sangat vital dan berbahaya jika dilianggar. Ketiadaan sanksi tegas telah memicu dan mendorong masyarakat untuk terus meningkatkan kualitas pelanggaran mereka.

Kondisi serupa saya kira juga terjadi pada masyarakat lapisan bawah yang berdesakan mengantri paket lebaran di Balaikota Jakarta tadi pagi (21 Sept 09). Kelelahan dan rasa ketakutan tidak memperoleh jatah biasanya berpacu dengan informasi dan sentilan yang bersifat provokatif dari satu atau sekelompok orang. MEskipun panitia menyediakan paket lebaran jauh lebih banyak dari pengunjung, biasanya kondisi ini tidak berhasil dikomunikasikan dengan baik oleh pegawai atau humas yang bertugas untuk itu. Rendahnya kemampuan PR kantor-kantor pemerintah telah menjadi pemicu kondisi rawan dorongan ini terjadi.

Apalagi setelah Sang Gubernur atau pemimpin pergi meninggalkan area pembagian, maka biasanya peran dan fungsi petugas untuk pengamanan juga cenderung mengendor. Hal ini sudah menjadi ciri kh as di berbagai birokrasi pemerintah. Lihat saja, jika acara yang dibuka oleh seorang Menteri atau Gubernur/Walikota/Bupati, maka biasanya para pejabat teras lainnya akan ikut pasang muka serius dan berlomba memperlihatkan bahwa “Saya Hadir Pak!, Ini dada saya..!”. Namun begitu acara pembuakaan atau pengantar selesai yang biasanya juga diikuti dengan pulangnya atau perginya sang pemimpin, maka pejabat teras lainnya juga akan melakukan langkah “kabur diam-diam bergantian”. Kondisi ini biasanya juga diikuti dengan kendurnya penjagaan para petugas.

Karena itu, tanpa berusaha sok tahu, kondisi cederanya berapa pengunjung di Balaikota yang antri paket lebaran tersebut sudah dapat diramalkan. APalagi untuk kondisi Jakarta yang masih berada di musim kemarau yang panas, yang didorong dengan kebiasaan tidak menghargai orang lain dalam antrian, serta kurangnya rasa “tepo seliro” di kota besar, maka kondisi ricuh tersebut sudah dapat dipastikan akan terjadi.

Beruntung memang tidak sempat terjadi korban jiwa, hanya pingsan, cedara ringan dan luka-luka. Namun apapun kondisinya, jauh dari sekedar rendahnya kedisiplanan waraga masyarakat, kebijakan Open House perlu ditinjau ulang atau dibuatkan standar operating procedur (SOP) pelaksanaannya. Tergantung besarnya acara dan ruang lingkupnya, pemerintah dan pemda sudah harus lebih tegas lagi membuat aturan dan mensosialisasikan kepada masyarakat. Bisa saja cara pembagian kupon dilakukan per area tempat tinggal atau RT/RW. KEmudian pengambilan barangnya dititipkan ke beberapa gerai supermarket atau pasar rakyat.


Namun demikian, untuk kondisi berbeda, open house di kediaman pejabat tinggi mungkin perlu dikaji ulang manfaat dan mudaratnya. Karena terkadang acara tersebut juga cenderung hanya formalitas pertemuan seorang pejabat dengan bawahannya yang sebenarnya tidak bermanfaat apa-apa bagi tugas dan fungsi kantornya. Karena sangat banyak pejabat setingkat menteri atau eselon 1 mengadakan open house, tetapi di kantor sama sekali tidak pernah mengadakan kontak intensif dengan stafnya. Kondisi ini lah yang sangat memprihatinkan. Acara digelar terkadang dibiayai APBN atau NEgara, tetapi tidak bermanfaat banyak untuk jalannya birokrasi atau kelancaran pekerja.

Kalau untuk acara pembagian paket lebaran/sembako yang diadakan Gubernur Fauzi Bowo ini jelas sangat ceroboh dalam sistem pelaksanaan dan pengawasannya. Hal itu tidak terbantahkan lagi, ketika Fauzi di tempat, kondisi masih terkendali. Ketika ia pergi, semua menjadi kacau balau dan acara open house pun menjadi neraka bagi pengantri yang sudah berduyun datang dari pagi. APalagi untuk lansia dan balita.

Semoga tidak terulang (lagi), meski saya masih sangat mengkhawatirkannya.
________

Friday, September 18, 2009

Parcel, KKN, dan KPK.

Dimuat di dalam Blog Kompasiana 18 Sept 2009

Gebyar-gebyar pemberantasan KKN beberapa tahun lalu mencapai puncaknya. Apapun dibabat. Korupsi besar, kecil, maupun yang remeh disikat. Tidak ada masalah sebenarnya dengan upaya itu. Apalagi jika dikaitkan dengan situasi negeri yang memang terus “nyungsep” dalam berbagai hal, termasuk daya saing yang tergerus oleh KKN. Namun ada beberapa korban. Salah satunya adalah budaya berkirim parcel ketika menjelang lebaran.

Berbagai fatwa dan larangan telah dikeluarkan guna mengurangi dampak KKN dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ajal lagiketika beberapa tahun lalu larangan serupa juga diterbitkan untuk menghabisi budaya berkirim parcel lebaran yang telah bertahun-tahun dijalankan oleh rakyat Indonesia, telah mengurangi pergerakan dan arus barang di sektor riil ekonomi rakyat. Meski berbagai protes ketika itu dilayangkan oleh sekelompok masyarakat dan pengusaha parcel, namun suara mereka hilang tak berarti ditelan riak dan gebyar kekuatan KPK dalam memberantas KKN. Sayangnya setelah beberapa tahun berjalalan, larangan itu tidak pernah dievaluasi. Persis mengikuti berbagai program yang bersifat dadakan, tidak pernah dianalisa dan diperksa lebih lanjut akan dampak yang ditimbulkan.

Entah sejak kapan budaya parsel muncul di negeri ini. Yang saya tahu, ketika saya SMP dulu pernah berlibur dirumah saudara. DI penghujung tahun 1970an itu saya melihat dan menyaksikan betapa senangnya anak2 seusia saya menikmati dan berebutan ke gudang yang penuh parcel. Ada SPrite, Cocacola, kue2, serta berbagai jenis makanan ringan lainnya. SUngguh, buat anak2 membuka parcel adalah salah satu kenangan yang cukup indah untuk dilupakan. Begitu pula ketika setelah saya bekerja, saya pun beberapa kali mendapat kiriman parcel. Meski tidak banyak, hanya sekitar 5-6 buah setiap lebaran, kenangan akan parcel ketika kecil kembali menyeruak indah. Apalagi ketika melihat anak2 setengah berebut (tidak seperti kami dulu), kegembiraan pun menyeruak dalam pikiran kami. Seingat saya, beberapa parcel yang kami terima memang dapatlah dikatakan sebagai pembuhul silaturahmi saja, tidak sampai menjadi penyebab pengubah keputusan dalam bekerja -atau berbau penyuapan.

Anda atau segelintir kita mungkin tetap berargumentasi bahwa, tetap saja parcel itu berbau penyuapan. SIlakan anda simpan pikiran itu baik-baik. Yang ingin saya utarakan adalah, betapa sebenarnya pemerintah telah telalu jauh dan secara sembrono membatasi dan bahkan menghabisi dengan enteng suatu budaya yang sudah cukup lama berlangsung dalam kehidupan rakyatnya.

KAlau kita lihat secara lebih seksama, pengiriman parcel menjelang lebaran ataupun hari-hari besar lainnya juga memiliki dampak kekuatan ekonomi riil yang tidak kecil. Bayangkan jika ada 2juta saja dari 4-5 juta PNS dikirimi parcel oleh rekanan mereka dan satu orang rata-rata mendapat 5 parcel, itu artinya ada sekitar 10 juta parcel yang harus disiapkan. Jika satu parcel berharga sekarang rata-rata Rp 500.000 itu artinya ada sekitar Rp 500.000 x 10.000.000 = Rp 5.000.000.000.000 atau Rp 5 Triliun yang beredar sebagai tambahan transaksi ekonomi kerakyatan.

JIka parcel tersebut juga bergerak dan dikirimkan bukannya hanya kepada PNS yang punya berbagai kelas jabatan, tetapi juga dikirimkan dari dan kepada para pejabat BUMN, swasta dan berbagai bidang usaha lainnya, jumlah Rp 5T di atas tentu saja akan berlipat ganda. Mungkin bisa mencapai Rp 15-20 T yang dipaksa berputar dalam waktu sekitar 20 hari saja. SUngguh suatu kekuatan ekonomi maha dahsyat yang akan memberikan multiplier effek sangat besar. SUngguh itu bukan hanya menguntungkan pejabat, karyawan atau siapapun yang dikirimi, tetapi menguntungkan buat ekonomi bangsa yang lagi sulit berkembang. APalagi untuk sektor riil, pemerintah sepertinya memang sudah kehabisan akal karena sulitnya modal murah diperoleh dari berbagai sumber seperti perbankan.

Bayangkankan Rp 20 T itu berputar mulai dari pasar tradisional atau gerai suatu supermarket. Sekelompok orang harus pergi membeli nya, membawanya pulang, membuatkan wadah dan hiasan, lalu mengirimkannya lagi kepusat pengiriman yang kemudian diteruskan pula oleh kurir hingga ke tujuan akhir. Rasanya tidaklah perlu membuka lembar pelajaran ekonomi mikro dasar untuk memahami mata rantai parcel ini. SUngguh suatu aktivitas ekonomi riil yang melibatkan banyak tenaga kerja, transportasi dan komunikasi. Jelaslah sudah kue Rp 20 T untuk tenggang waktu 15-20 hari adalah suatu kue yang besar yang dapat dijadikan sebagai mesin distribusi pendapatan yang efektif dan sangat efisien karena menghargai setiap pelaku ekonomi dengan tepat.

Ketika orang meributkan upaya pengusutan kasus Bank Century yang melibatkan dana sekitar Rp 7T, kita lupa betapa sektor riil menjelang lebaran sangat terpukul dengan kebijakan melarang parcel ini. Lihatlah di salah satu sentra parcel dijalan CIkini Raya, Jakarta Pusat. SUngguh kondisi nya sekarang sangat memprihatinkan di banding kan dengan 5-6 yahun lalu. Nyaris setiap pedagang parcel frustasi akan rendahnya order. Memang kita harus mengakui, bahwa sebagian pengiriman parcel memang bisa saja ditujukan untuk menyuap orang lain. Namun apakah dengan melarang parcel, budaya KKN berkurang? Jelas ternyata jawabannya tidak. Berbagai kasus membuktikan bahwa justru penyalahgunaan wewenang terjadi dilapisan lebih tinggi. Singkat kata, memperhatikan perilaku KKN bbrp tahun belakangan ini, dapatlah dikatakan bahwa praktek KKN makin canggih dalam kualitas dan justru bertambah marak.

Lalu menjadi pertanyaan, apakah masih perlu melarang pengiriman parcel untuk hari-hari mendatang? Saya jelas mengambil posisi bahwa sebaiknya budaya parcel digalakkan lagi oleh pemerintah. Bukankah di berbagai negara di dunia budaya parcel, pemberian cindera mata, dan sejenisnya justru menjadi budaya yang sangat didorong untuk pengembangan ekonomi kecil dan menengah. Ia praktis namun taktis dipraktekkan untuk mengurangi pengangguran.

Larangan berkirim parcel dan kebijakan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) yang tidak jelas telah “menyengsarakan” sebagian rakyat kecil, termasuk pegawai rendahan. Kalau dulu mereka sering membawa pualng parcel yang langsung dibagi pimpinan nya karena banyak juga parcel yang dikirim ke kantor. Kalau dulu mereka juga mendapat jatah THR dengan pasti, sekarang semuanya tidak jelas juntrungannya.DI samping itu, parcel yang datang kerumah pejabat atau karyawan tidak jarang pula menjadi sarana untuk berbagi dengan tetangga. SUngguh tidaklah mungkin tetangga yang terkadang “ketitipan” datangnya parcel hanya dibiar kan melongo melihat parcel itu lewat begitu saja. Sudah menjadi tradisi pula biasanya disuatu komplek perumahan seperti yang kami miliki, terkadang anak2 tetangga juga ikut menikmatinya bersama dengan anak2 kita.

Bisa kah anda bayangkan kalau pemerintah mendorong pelaksanaan parcel untuk tahun depan? SUngguh ia akan menjadi sarana berbagi yang cukup ampuh untuk rakyat kecil. Bukan hanya berbagi parcel, tapi jelas berbagi mata rantai ekonomi mulai dari pembelian komponen pengisi parcel, biaya pengiriman, pengepakan dan re-distribusi kembali parcel itu hingga ke alamat akhir. Bisakah anda bayangkan dampak uang sekitar Rp 20 T harus diputar dalam 15-20 hari ? Jika pemerintah dengan mudah memberikan begitu saja Rp 7 T untuk membantu pengusaha dan bankir nasabah bank CEntury, mengapa tidak dipikirkan uang yang berasal dari masyarakat sendiri bisa memutar roda ekonomi dengan baik itu untuk digalakkan lagi. DIlegalkan, bukan lagi dilarang.

Bukankah budaya bertukar cendera mata dan membawa oleh2 orang Jepang telah mampu membuat sektor rril mereka bertahan dari berbagai serangan krisis. Bukan kah negara maju terkadang menyediakan voucher atau food stamp untuk rakyatnya hanya sebagai cara memutar roda ekonomi riil dengan taktis. Bukankah terkadang negara maju memberikan pinjaman dan hibah kepada negara berkembang, lalu meminta negara berkembang tadi mendorong rakyatnya membelanjakan kembali hibah itu demi pengembangan ekonomi riil negara pemberi pinjaman dan hibah tadi.

Ketakutan akan sanksi yang mungkin diberikan KPK bukanlah tidak beralasan. Namun dengan apa yang terjadi saat ini terhadap lembaga baru tersebut mestinya juga menjadi bahan renungan dan mendorong kita untuk berpikir ulang secara bijak yang memberikan kemashalatan bagi rakyat banyak. Bukan hanya buat segelintir orang.

Jadi, sudah saat nya pemerintah mengevaluasi dampak pelarangan berkirim parcel itu kembali. APakah pengiriman parcel benar-benar merusak bangsa, atau justru pemerintah membuang sia-sia kesempatan emas memberikan lapangan pekerjaan dengan mudah kepada rakyatnya?

Jawabannya ada dihati nurani kita. Bukan di bibir tuan-tuan dan nyonya yang bergincu mewah dan mahal itu.

Eddy Satriya.

Monday, June 23, 2008

Friday, April 11, 2008

Sekilas Laporan Hasil Rakor Bidang Perekonomian di Depkominfo

(Catatan: Laporan ini adalah versi pribadi, sebagai bentuk tanggung jawab kepada komunitas ICT di Indonesia. Laporan lengkap mestinya bisa didapat dari Depkominfo atau Humas Menko Bidang Perekonomian. Mudah2-an tidak melanggar UUITE)

Selengkapnya.....

Monday, May 30, 2005

Ekonomi Kemunafikan

Oleh: Eddy Satriya*)

Catatan: Artikel ini telah diterbitkan dalam Majalah Warta Economi Edisi 30 Mei 2005

Kebebasan pers dan kemajuan TI memberikan kontribusi yang besar bagi masyarakat dalam memperoleh dan menyebarkan informasi. Informasi dengan mudah diperoleh melalui media cetak, elektronik, situs Internet, dan bahkan telepon seluler. Namun, akibat terpaan jutaan bit informasi, kita sering luput justru pada beberapa informasi penting. Salah satunya adalah berita berjudul ”APBN 2005 Catat Surplus Sebesar Rp 17,90 Triliun” (Kompas, 27 April 05).

Terus terang saya sempat bingung ketika membaca berita itu. Kebingungan saya kian membuncah setelah beberapa hari kemudian. Bukan karena semata-mata isi berita, tetapi justru karena minimnya reaksi dan perhatian pemuka masyarakat.
Dalam berita itu diuraikan bahwa Dirjen Perbendaharaan Negara merasa arus kas negara sangat aman karena hingga akhir Maret 2005 surplus anggaran tercatat sebesar Rp 17,90 Triliun. Sang Dirjen menganggap angka ini jauh lebih baik dibanding tahun sebelumnya yang defisit sebesar Rp 6,17 Triliun. Dengan demikian, kita benar-benar aman menjaga anggaran sesuai dengan target-target APBN. Beliau juga membandingkan saldo rekening pemerintah di Bank Indonesia (BI) yang mencapai Rp 25,38 Triliun, dengan saldo tahun lalu yang hanya berjumlah Rp 16,30 Triliun. Pada bagian lain diuraikan pula betapa penerimaan negara dari bea masuk dan pajak semakin membaik. Khusus untuk pajak bahkan disebutkan bahwa penerimaannya hingga April 2005 tercatat 20% lebih tinggi dari tahun sebelumnya.

Beberapa pertanyaan berputar-putar dalam benak saya. Ada apa ini? Mengapa para Dirjen di bawah Departemen Keuangan (Depkeu) tiba-tiba memainkan ”paduan suara” yang melenakan?

Informasi yang tersirat dari pemberitaan tersebut sungguh sangat sayang untuk dilewatkan. Ada beberapa hal yang harus dicermati sehubungan dengan berita pelaksanaan APBN 2005 yang telah memasuki bulan kelima.

Pertama, betapa ganjil dan aneh rasanya ketika seorang pejabat tinggi dengan bangga memaparkan bahwa APBN 2005 surplus! Padahal banyak pelaku bisnis baik kalangan pemerintah, swasta dan lapisan masyarakat tahu bahwa hingga pertengahan Mei 2005 ini nyaris belum ada proyek atau kegiatan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang cair atau telah dilaksanakan. Singkat kata, tentu saja APBN surplus. Penerimaan terus digenjot, sementara pengeluaran nihil. Parahnya lagi, kondisi keterlambatan ini sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Padahal di zaman orde baru, bagaimanapun rumitnya persiapan dan pembahasan anggaran di Depkeu, penyerahan Daftar Isian Proyek (DIP) kepada pemerintah daerah dan kantor departemen selalu dapat ditepati pada setiap tanggal 1 April sebagai awal tahun anggaran.

Kedua, sebagai konsekuensi logis dari minimnya pengeluaran pemerintah (government spending) maka hal ini akan mengancam kelangsungan ekonomi masyarakat di sektor riil. Lihatlah hotel-hotel sepi dari berbagai acara seminar dan pembahasan program pembangunan. Para pengusaha katering sudah mulai mengurangi jumlah pegawai mereka. Restoran menegah dan kecil, warung, serta usaha jasa seperti foto copy dan transportasi banyak yang tutup sementara karena proyek- proyek yang belum jalan. Para pegawai negeri sipil (PNS) dan swasta yang berpenghasilan tetap dan mengharapkan honor tambahan dari pelaksanaan proyek pemerintah semakin ”mantab” (makan tabungan) dan ”matang” (makan utang), sebagaimana diselorohkan salah seorang rekan saya yang sedang menunggu gaji pertama di salah satu Komisi di Jakarta. Keterlambatan turunnya anggaran ini juga akan berpengaruh terhadap kinerja beberapa Badan dan Komisi bentukan pemerintah yang tugasnya mempercepat perbaikan iklim investasi dan kepastian hukum. Beberapa kantor terpaksa harus gelap gulita karena sambungan listriknya diputus PT. PLN setelah menunggak 5 bulan. Rendahnya pengeluaran pemerintah memperlambat roda ekonomi yang pada akhirnya menurunkan pendapatan dan daya beli masyarakat.

Ketiga, belajar dari berbagai pengalaman dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, maka sisa waktu sekitar tujuh bulan dirasa tak cukup untuk merealisasikan suatu proyek atau kegiatan besar seperti aktivitas konstruksi, rehabilitasi, dan penelitian suatu sistem terpadu. Kondisi ini berpotensi besar untuk menciptakan ”mark-up”, ”kongkalingkong”, dan KKN- yang justru sedang gencar-gencarnya dibasmi pemerintah. Keterbatasan waktu dan keharusan”menghabiskan” anggaran yang sudah disetujui Depkeu dan DPR, sekali lagi, sangat berpotensi untuk diselewengkan, baik secara individu, segelintir personil proyek, ataupun ”berjamaah”.

Terakhir, jika dalam 5 bulan anggaran berjalan sudah berhasil diraih penerimaan bea dan cukai sekitar 30% dari target APBN, dan penerimaan pajak yang relatif tinggi, maka sesungguhnya ekonomi kita sangat menakjubkan. Jika tanpa pengeluaran pemerintah ekonomi sudah berjalan bagus seperti terlihat dari indikator bea masuk dan pajak tersebut, berarti potensi ekonomi swasta tentulah sangat besar dan bagus. Betulkah? Dalam kondisi yang masih didera krisis multidimensi ini, saya agak meragukan itu. Apalagi berbagai fakta tentang kredit macet, hengkangnya beberapa perusahaan multinasional besar ke negeri tetangga, tingginya penyelundupan, merebaknya berbagai kasus KKN, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan besarnya subsidi, hilangnya bahan baku beberapa industri mebel di pasaran dan lain-lain sebagainya sungguh berpotensi menegasikan pertumbuhan yang ada di sektor swasta.

Lantas, bagaimana kita menyikapi kesemuanya itu? Rentetan fakta dan analisis tadi, serta perkembangan terakhir politik ekonomi di dalam negeri, kelihatannya makin menggiring kita kepada suatu bentuk ekonomi yang saya sebut saja: ekonomi kemunafikan. Ini suatu bentuk yang mungkin hanya ada di Indonesia, yaitu ekonomi yang menafikkan kaedah-kaedah dasar yang diajarkan dalam buku-buku teks ekonomi dan nalar sederhana, seperti diuraikan empat poin analisis tadi - yang dimulai dengan permainan kata-kata tentang APBN dan diakhiri dengan permainan angka-angka tentang pencapaian.

Semuanya itu hendaklah segera diakhiri, jika kita memang ingin menjadi suatu bangsa mandiri dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara hakiki. Reformasi pada dasarnya adalah mengikis kemunafikan, tak terkecuali dalam bidang ekonomi.
________

*)Ekonom, bekerja di Bappenas. Tulisan ini adalah pendapat pribadi (eddysatriya.blogspot.com )