Wednesday, November 21, 2007

Memindahkan Ibukota, Membangun Indonesia

http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=149692


Kemacetan secara perlahan namun pasti menjadi momok baru kehidupan di berbagai kota besar di Indonesia. Mendekati Lebaran, Oktober 2007, kemacetan dalam dan seputar Ibu Kota semakin menyiksa. Kemacetan yang tidak lagi membedakan hari kerja dan libur tersebut sudah menular ke Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan kota besar lainnya di Pulau Jawa. Pasca-Lebaran, kemacetan di Jakarta bukannya berkurang, melainkan semakin menjadi-jadi.

Kemacetan yang menyulitkan masyarakat dalam beraktivitas sosial dan ekonomi itu ditanggapi beragam. Berbagai solusi bermunculan, seperti pembatasan kendaraan berdasarkan jenis, tahun produksi, nomor pelat mobil, dan kepemilikan. Berbagai kebijakan diambil pemerintah, seperti pembangunan jalur bus khusus dan monorel hingga jalur angkutan air serta moda transportasi lain dengan kapasitas sarana dan prasarana transportasi massal. Pada pertengahan Oktober 2007, guna mengantisipasi kemacetan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Gubernur DKI Jakarta untuk mencari solusi kemacetan jangka pendek. Jika ada, apakah solusi jangka pendek tersebut? Bagaimana dengan kemacetan yang sehari-hari terjadi di jalan tol, baik di dalam kota ataupun antarkota?

Sebelum membahas solusi tersebut, kita bersepakat bahwa kemacetan
merugikan individu, kelompok masyarakat dan bangsa yang sedang membangun. Bangsa ini telah rugi besar. Mulai kehilangan waktu, terbuangnya bahan bakar, kehilangan berbagai kesempatan transaksi ekonomi, hingga penurunan produktivitas dan daya saing. Kerugian itu diperparah peningkatan tekanan mental (stres) di perjalanan, tingginya kecelakaan serta maraknya kriminalitas, termasuk menyuburkan praktik KKN.

Sesungguhnya kemacetan di Jakarta dan sekitarnya bukan masalah yang berdiri sendiri dan tiba-tiba muncul, melainkan merupakan aggregat kebuntuan berbagai kebijakan yang saling terkait, lalu menjadi benang kusut. Kebuntuan itu bukan hanya sektor yang terkait kemacetan, seperti transportasi, permukiman, dan pekerjaan umum, melainkan di berbagai kebijakan daerah dan regional, terutama penataan ruang.

Sulit menyikapi kebijakan pembangunan jalan raya dan jalan tol yang menggusur permukiman dan lahan subur. Bagaimana bisa diterima akal sehat jika kebijakan yang diambil malah menyemarakkan KKN? Mungkin luput dari perhatian betapa aparat pesta 'menilang' kendaraan karena melanggar three in one. Sementara itu, taksi tidak bebas beroperasi. Sebab, adakalanya dari arah dan jam tertentu, taksi tidak boleh berbelok ke jalan protokol di Bundaran Hotel Indonesia, bahkan dilarang keluar dari pintu belakang Bandara Soekarno-Hatta. Penumpang taksi harus membayar parkir ketika masuk pusat perbelanjaan, rumah sakit, dan perkantoran. Masih banyak kebijakan yang justru mendorong penggunaan kendaraan pribadi.

Bagaimana mencerna kebijakan yang mengizinkan berdirinya pusat perbelanjaan di kawasan Semanggi yang secara pelan dan pasti mengikis fungsi Jembatan Semanggi yang pernah menjadi kebanggaan nasional. Menjamurnya perumahan dan apartemen tanpa aturan juga memperparah kemacetan. Pemutarbalikan fungsi lahan dan tata ruang hingga ke Serang, Karawang, dan Bogor akan meningkatkan kemacetan yang mengepung pintu masuk dan keluar Jakarta.

Uraian tersebut hanya contoh betapa parahnya sebab dan akibat yang terkait dengan kemacetan di Jakarta. Karena itu, meski terus dicari, solusi jangka pendek mengatasi kemacetan menjadi kurang relevan.

Apa yang bisa dilakukan? Salah satu langkah tersisa adalah solusi jangka panjang yang memberikan kesempatan untuk cooling down dalam proses perencanaan. Kita sudah sering terjebak dalam solusi jalan pintas. Ide-ide penyelesaian cenderung hasil olah pikir sesaat namun sesat, yang justru menjauhkan kita dari sasaran yang dituju.

Memindahkan ibu kota seperti pernah direncanakan Presiden Soekarno kelihatannya perlu dipertimbangkan kembali untuk dapat menyelesaikan masalah kemacetan di Jakarta dan sekitarnya dan kota-kota besar di Pulau Jawa.

Pindah ke mana dan bagaimana? Memindahkan ibu kota ke kota lain di Pulau Jawa tidak akan menyelesaikan masalah, mengingat daya dukung Pulau Jawa yang semakin terbatas. Karena itu, pilihan hanyalah memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa. Alternatif itu bukan hanya untuk memecahkan masalah kemacetan, melainkan secara bersamaan menjadi solusi untuk berbagai sektor lain dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan infrastruktur, pelayanan jasa publik, dan tata kelola pemerintahan yang pada akhirnya akan memberikan kualitas kehidupan lebih baik. Janganlah dilupakan bahwa kehidupan dan kemerdekaan yang kita nikmati sekarang bukan hanya warisan generasi pendahulu kita, melainkan juga titipan generasi mendatang.

Memindahkan ibu kota ke Palangkaraya merupakan salah satu alternatif. Alternatif lain, ke kota-kota yang selama ini sudah menderita karena akumulasi berbagai konflik, seperti Poso (Sulawesi), Ambon (Maluku), dan Banda Aceh (Sumatra). Namun, guna menegakkan aspek pemerataan pembangunan, ada baiknya ibu kota dipindahkan setiap 40 atau 50 tahun.
Bukankah kita menginginkan pemerataan pembangunan yang lebih baik sehingga dapat mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat? Tuntutan percepatan realisasi otonomi daerah juga diharapkan akan terjawab. Di sisi lain, pengurangan beban pembangunan Pulau Jawa akan terjadi, lebih khusus lagi, Jakarta secara bertahap bisa ditata ulang dan disiapkan menjadi salah satu pusat bisnis di Asia Tenggara.

Pemindahan ibu kota secara berkala mungkin 'ide gila' jika dilihat dari kaca mata sekarang. Tapi, apakah kita tidak kalah gila membiarkan terus berdirinya rimba beton di sentra Jakarta dengan menggusur lahan hijau dan ruang terbuka? Bukankah kita juga sudah cukup gila membiarkan para pejabat menunda pembangunan, menyimpan dana dalam SBI, dan penyalahgunaan wewenang lainnya, untuk kemudian justru membelanjakan uang yang dihasilkan daerahnya antara lain untuk membeli properti di Jakarta? Masihkah kita bisa menalar ketika rumah demi rumah di daerah Menteng, Pondok Indah, Kemang dan beberapa lokasi strategis lainnya justru beralih kepemilikan ke tangan pengusaha dan pejabat daerah, atau pejabat pusat yang kembali ke Jakarta setelah 'panen' di daerah?

Kita telah melupakan bahwa salah satu sumber masalah nasional adalah tidak meratanya penyebaran penduduk yang diikuti perbedaan tingkat sosial. Jakarta dan Jawa jelas masih menjadi 'gula yang mengundang semut'. Jika memang mencari solusi kemacetan, mulailah dengan menyelesaikan akar permasalahan. Apalagi jika langkah yang diambil juga bisa membangun Indonesia seutuhnya untuk jangka panjang dan menyejahterakan generasi mendatang. Pemindahan ibu kota tidak harus serentak karena sangat sulit dari berbagai sisi. Tetapi bertahap. Bukankah kita sekarang sedang menyiapkan infrastruktur informasi dan komunikasi berupa rencana penggelaran serat optik Palapa Ring di wilayah timur Indonesia? Penggunaan infrastruktur informasi yang berkapasitas dan berkecepatan tinggi itu akan menurunkan biaya operasi dan memudahkan komunikasi dengan ibu kota baru. Kembali, masalahnya bukan bisa atau tidak bisa. Tetapi maukah kita? Semoga, bersama kita memang bisa maju dan jaya!

Penulis: Eddy Satriya, Senior Infrastructure Economist. Bekerja pada Menko Bidang Perekonomian

Friday, November 02, 2007

"Open Sourcing" oil and gas sector

Eddy Satriya, Jakarta

Jakarta Post 2 Nov 2007 http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20071102.E03

It is no big surprise that Indonesia's Upstream Oil and Gas Regulatory Body (BP Migas) is now struggling to select the best consultant to "fix" its financial report. Nor did we wonder when the Downstream Oil and Gas Regulatory Body (BPH Migas) and the Directorate General of Oil and Gas recently came into dispute over a tendering process.

What does really matter is that while the oil price has recently reached a historical high of US$93 per barrel, our government has been preoccupied with non-technical concerns instead of focusing efforts on increasing production back to 1.3 millions barrel per day. Sadly, the country fails again to maximize revenues from oil and gas production, and the government is still trapped by fuel and electricity subsidies.

The government said it had prepared several measures to cope with the impact of rising oil prices, but the question remains on how to get out of the oil price trap.

In fact, there are only two options left. First is to reduce oil-based energy consumption, and second is to increase oil production. The first option, however, is almost impossible due to gross energy efficiency.

The government should launch concerted efforts to increase oil production, which has long remained below one million barrels a day.
But increasing oil production quickly is not an easy task, since it often takes five to seven years before explorations lead to oil output. Moreover, we need unconventional ways to jack up our production.

Take Rob McEwen, for example, the chief executive officer of Goldcorp Inc., Canada. McEwen struggled to keep his Toronto-based gold mining company from bankruptcy due to a series of strikes, mountains of debt and an extremely high cost of production.

When most of the analysts assumed that the company was dying, McEwen borrowed a page from Linux, the computer operating system company that saw astonishing development after opening and sharing the source code for its computer programs.

In order to arrive at accurate estimates of gold's value and exact location, McEwen decided in March 2000 to put all of his company's geology data in a digital file and share it with the world. He unveiled "Goldcorp Challenges" with a total $575,000 in prize money to the winner with the best methods and estimates.

More than 1,400 scientists, engineers and geologists around the globe downloaded the company's data and completed a virtual exploration. The winners successfully developed a more powerful 3-D graphical depiction of the mine without ever visiting the site.
In short, by applying an open source approach McEwen successfully kept Goldcorp Inc. from bankruptcy while also showing the world that exposing super-secret data doesn't necessarily harm a company's interests.

In Indonesia, what really matters now is changing the mindset of the officials in charge of oil and gas development.

Despite the fact that Indonesia is no longer a net oil exporting country, the government should continue focusing efforts on improving governance in the hydrocarbon sector. Only with such new approaches will the national oil and gas industry regain their roles in the national economy. Failing to do so will destroy all opportunities to increase oil production and cash more dollars for the state budget.

Therefore, all stakeholders of the oil and gas industry have to work to identify and remove constraints while also introducing "more open" approaches to increase oil reserves and pump the production rate back at least 1.3 million barrels per day.
Since gas price is practically pegged to oil price, the same approach must also be applied to natural gas business and its product. This is the essence of sectoral reform in oil and gas industry.

The country has already suffered from an "oily" system. The reluctance in putting relevant information on the table -- such as the volume of gas reserves -- has halted the East Kalimantan-Java Gas Pipeline project. Also, a lack of openness in policy implementation on LNG usage priority has closed down tens of factories in Java and Sumatra at a time when we've renewed our commitment to Japanese industries by promising millions of tons of LNG cargoes for the next ten years.

Finally, I'm reminded of the question of one my macroeconomics professors in the U.S. During my first fall semester in 1995, he asked me about what the first Iraq war meant to me as an Indonesian. I replied, "Thank God, it improved my salary and the country cashed in on oil windfall for economic development". Indeed, rocketing oil prices are supposed to make Indonesia prosperous, not impoverished.

The writer is a senior infrastructure economist at the Coordinating Ministry for Economic Affairs. The views here are personal. He can be contacted at satriyaeddy@gmail.com.


=============================
Due to a very efficient editing process on The JP, I would be very happy to provide additional reference as the followings:
· It is not a big surprise to know that Indonesia’s Implementing Body for Oil and Gas Upstream Business (BP Migas) was now struggling to select the best consultant to ”fix” its financial report (Kompas, 25/08/07).
· As reported, the government might have taken several actions to anticipate consequences of the increase on oil price to the national economy (Media Indonesia, 24/10/07).
· Seeking the way out to increase oil production absolutely is not an easy task. Pumping up production capacity needs 5 to 7 years in practice as admitted by Minister Purnomo Yusgiantoro (Kompas, 27/10/07).
· For the case of Indonesia, and considering other socio-economic and recent political situation, the only way to do is to think from “out of the box” as Rob McEwen did. Rob McEwen, CEO of Goldcorp Inc. of Canada, has successfully found the way out in keeping his company exist. As Don Tapscott and Anthony D. Williams explain in “Wikinomics: How Mass Collaboration Changes Everything” (2006, p.7-9),


+++++++++++