Monday, December 06, 2004

Mendesak, Reformasi Birokrasi

Suara Karya , Des 2004

Oleh Eddy Satriya

Saat ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang telah dipilih rakyat secara langsung dan demokratis sedang gencar menyusun program yang hendak direalisasikan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) dalam 100 hari mendatang. Program prioritas, saya lebih suka menyebut demikian, pada masa-masa awal kerja KIB itu dipersiapkan oleh semua Kantor Kementerian yang membawahi Departemen dan Kementerian Negara. Singkat kata, seluruh mesin birokrasi bekerja keras untuk menyusun program yang sangat diharapkan dapat memulai langkah terobosan perbaikan kondisi negara yang memang sangat terpuruk dalam 6 tahun terakhir ini.

Memburuknya kondisi saat ini dan rendahnya daya saing bangsa dalam berbagai kancah internasional sungguh sulit untuk ditampik. Beberapa kondisi itu, antara lain terlihat dari: belum bergesernya negara kita dari kelompok miskin (lower income country); tingginya angka pengangguran; minimnya infrastruktur ekonomi seperti memburuknya kondisi jalan dan krisis listrik di luar Jawa; rendahnya mutu pelayanan sosial seperti kesehatan dan pendidikan yang tercermin dari rendahnya nilai Human Development Index (HDI); masih adanya ancaman disintegrasi bangsa; bertahannya posisi Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia; serta semakin parahnya tingkat kerusakan lingkungan.

Di sisi lain, berbagai peluang dan momentum yang ada juga gagal dimanfaatkan sebaik-baiknya, seperti: menurunnya produksi minyak mentah justru pada saat harga minyak dunia terus mencapai rekor tertinggi; terseoknya pelaksanaan desentralisasi; serta gagalnya pemahaman dan pemanfaatan teknologi maju seperti telematika untuk hal-hal produktif dalam era new economy yang berbasiskan informasi dan ilmu pengetahuan.

Menjadi pertanyaan sekarang, mengapa proses pemburukan dan ketidakmampuan memanfaatkan momentum yang sangat berharga bagi kehidupan berbangsa itu terus terjadi? Akankah berbagai prestasi tingkat dunia yang telah sukses diukir, seperti berjalannya proses Pemilu langsung Presiden dan Wakil Presiden juga akan terbuang percuma?

Terus terang, jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas akan sangat beragam, tergantung sudut pandang dan ketertarikan (interest) yang dimiliki seseorang. Saya memberanikan diri untuk menyatakan bahwa kondisi tersebut -- terjadinya pemburukan dan kegagalan memanfaatkan berbagai momentum perbaikan -- utamanya disebabkan oleh tidakberjalannya mesin birokrasi pemerintahan secara maksimal.

Dalam kurun waktu enam tahun dilanda krisis, dana pembangunan dan belanja rutin pemerintahan tidak pernah turun jumlahnya. Artinya, pembangunan terus dilaksanakan di segala bidang. Pinjaman luar negeri juga belum sepenuhnya ditinggalkan. Berbagai instansi atau badan baru dan komisi yang membutuhkan dana operasional cukup besar terus dibentuk memenuhi tuntutan pasar dan semangat reformasi tanpa skenario yang jelas. Alhasil, jumlah jabatan bukannya diciutkan untuk menuju efisiensi, malah bertambah jumlahnya. Ini terjadi di pusat maupun di daerah. Akibatnya, pengeluaran pemerintah untuk berbagai kegiatan non-fisik semakin membesar. Kesemuanya itu membuat berbagai pengeluaran pemerintah (government spending) untuk belanja barang dan jasa tidak mampu memberikan rangsangan yang berarti untuk sektor riil serta tidak optimal perannya untuk meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat.

* * *
Keinginan memperbaiki kondisi birokrasi secara nyata sebenarnya bukanlah tidak ada. Pada masa awal pemerintahannya, Gus Dur telah memperlihatkan pemahaman yang sangat mendasar akan keharusan untuk memperbaiki kondisi birokrasi. Beliau telah memulainya dengan langkah nyata, yaitu meningkatkan besarnya tunjangan jabatan bagi PNS yang menduduki jabatan tertentu. Namun kenaikan tunjangan yang dapat merangsang sekitar 4 juta PNS (pegawai negeri sipil) untuk bekerja lebih baik itu, setelah berjalan dua bulan kemudian diturunkan lagi ke tingkat yang hanya cukup mengejar tingkat inflasi dalam satu tahun. Setelah itu nyaris tidak pernah ada lagi perbaikan berarti untuk kalangan birokrat, kecuali edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) yang menghimbau penghematan kertas dan stationary lain serta larangan pejabat memakai jas dan berbagai larangan lain yang tidak terlalu prinsipil.

Memburuknya kondisi birokrasi setelah 32 tahun di bawah bayang-bayang kaku kekuasaan dan dilanjutkan enam tahun berikutnya tanpa perbaikan berarti, harus segera diakhiri jika memang menginginkan berjalannya program perbaikan bangsa. Berbagai langkah reformasi birokrasi dapat dilaksanakan secara bertahap. Langkah-langkah itu bisa berupa penyesuaian kompetensi dengan jabatan, rasionalisasi jumlah PNS, perbaikan tingkat gaji dan tunjangan jabatan yang diiringi dengan sanksi tegas bagi pelanggar aturan, penonaktifkan pejabat yang pernah atau diduga sedang terlibat KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), pergantian pejabat yang memang tidak berprestasi dan lebih memikirkan kepentingan pribadi/golongan, dan sebagainya.

Pemerintahan SBY bisa saja sukses menyusun program-program pembangunan terbaik untuk diimplementasikan, namun kondisi birokrasi yang tidak sehat akan menggerogotinya dengan seribu satu cara sehingga menjadi mubazir. Dari draft Program 100 Hari KIB yang telah dibahas dalam Sidang Kabinet tanggal 28 Oktober lalu memang dicantumkan program kerja untuk memperbaiki kondisi birokrasi guna menjalankan good governance, tetapi tidak terlihat rincian mendasar yang berkaitan dengan permasalahan utama birokrasi saat ini.

Di atas segalanya, penyehatan kondisi birokrat sangat diperlukan mengingat mereka bukanlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) biasa dengan tingkat pendidikan yang rendah atau pas-pasan. Bahkan ribuan PNS saat ini sudah mengenyam pendidikan hingga tingkat pasca sarjana (Graduate School), baik Doktoral atau Master di universitas-universitas terkenal di AS, Inggris, Australia, Jepang dan negara-negara maju lainnya. Sepatutnya pula pemerintahan baru SBY-JK mulai memperbaiki "birokrasi ala keranjang sampah", seperti pernah dikeluhkan oleh mantan Presiden Megawati Soekarnoputri di masa awal pemerintahannya.
* * *
Jika menyusun program prioritas 100 hari diibaratkan dengan mempersiapkan diri untuk berkendaraan pulang mudik lebaran, maka reformasi dan penyehatan birokrasi adalah upaya yang harus terlebih dulu dilakukan seperti tune-up mesin, pergantian oli, pemeriksaan kondisi aki, dan juga pergantian ban yang sudah gundul. Sungguh sulit membayangkan suatu perjalanan mudik yang penuh tanjakan, turunan, tikungan tajam, bahkan terkadang dibayangi kemacetan, akan dapat berjalan mulus tanpa persiapan total termasuk menyiapkan kondisi mobil dalam keadaan prima. Analogi yang sama kiranya berlaku pula untuk kesuksesan KIB.
Semoga tulisan ini dapat memberikan pandangan lain kepada Presiden SBY tentang betapa birokrasi yang selama ini banyak dituding sebagai penyebab berbagai kegagalan, juga menuntut perhatian Sang Presiden terpilih. Bukan hanya perhatian, tetapi juga mulai melaksanakan langkah-langkah perbaikan yang mendasar dan prinsipil secara nyata. Sungguh, betapapun profesionalnya Pembantu Presiden yang ditunjuk, mereka diperkirakan akan sulit berjaya jika mesin birokrasinya tidak tokcer. ***

(Penulis adalah Deputy Director for Energy Bappenas --National Development Planning Agency).

SUara Karya

Thursday, November 11, 2004

MEMBANGUN TELEMATIKA DALAM KABINET BARU


Oleh: Eddy Satriya *)
satriyaeddy@yahoo.com

Telah diterbitkan dalam Majalah Biskom Edisi November 2004

Harapan saya, anda, sebahagian besar praktisi dan masyarakat telematika untuk menyaksikan kemajuan pembangunan telematika dalam Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009) kelihatannya masih akan terkendala. Teka teki bentuk dan struktur instansi pemerintah yang mengurusi telematika terjawab sudah. Nyaris tidak ada perubahan. Dengan kata lain, masukan yang telah diberikan oleh berbagai kelompok stakeholder telematika baik sebelum maupun pasca Pemilu Presiden masih belum mampu merubah pendekatan dan cara pandang elite pimpinan bangsa terhadap peranan telematika dalam pembangunan nasional.

Sementara itu, dari hari ke hari, berbagai masalah telematika banyak yang belum terjawab. Pembangunan telepon tetap masih stagnan. Perkembangan dan peningkatan layanan telekomunikasi kepada masayarakat di daerah terpencil dan di Kawasan Timur Indonesia juga terasa lamban karena berbagai alasan. Penyediaan alternatif infrastruktur untuk dapat ber-Internet dengan harga murah dan terjangkau masih susah direalisasikan. Singkat kata, kesenjangan digital (digital divide) kelihatannya masih belum bisa diatasi secara lebih berarti.

Layanan telepon bergerak memang telah memperlihatkan kemajuan. Namun ironisnya, ditengah semarak pertumbuhan bisnis telekomunikasi bergerak seluler yang sudah hampir mencapai 25 juta pelanggan, ternyata industri telekomunikasi kita seakan “menghitung hari” menuju kebangkrutan. Negara kita terbukti kembali hanya menjadi pasar barang-barang import. Begitu pula jasa konsultasi nasional di bidang telematika mengalami penurunan jika dibandingkan dengan masa-masa sebelum krisis. Beberapa program pembangunan yang telah dicanangkan dan dilaksanakan pemerintah seperti electronic government (e-gov), pengenalan komputer ke sekolah-sekolah (OSOL), dan e-learning baru berjalan pada tahap dasar dan belum memberikan nilai tambah yang diinginkan.

Dengan masih terpisahnya pengelolaan telekomunikasi yang berada di bawah Kementerian Perhubungan dan pengelolaan Teknologi Informasi (IT) yang lebih banyak di garap Kantor Kementrian Komunikasi dan Informasi (Menneg Kominfo), maka diperkirakan tantangan untuk mensinergikan keduanya masih tetap besar. Di sisi lain, bergesernya paradigma pembangunan dari ekonomi industri kepada ekonomi informasi (information economy) dan ekonomi berbasiskan ilmu pengetahuan (knowledge based economy) semakin membutuhkan pendekatan yang lebih peka terhadap kemajuan teknologi telematika.

Memperhatikan pidato pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setelah pelantikan Presiden tanggal 20 Oktober lalu, terlihat bahwa prioritas pembangunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) masih akan terfokus kepada masalah ekonomi termasuk pengangguran dan utang, penyelesaian daerah konflik, dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Walaupun struktur kabinet tidak ada pembaharuan, pembangunan telematika diperkirakan masih dapat dipercepat dan ditingkatkan jika saja stakeholder terkait mampu dengan jeli memanfaatkan segala potensi yang ada dan menyusun prioritas pembangunan yang akan ditargetkan oleh pemerintahan baru. Terbatasnya dana pembangunan yang tersedia memaksa kita untuk membuat pendekatan pembangunan yang berbeda dengan kabinet sebelumnya. Selayaknyalah agenda pembangunan telematika diselaraskan dengan fokus pembangunan yang disampaikan dalam pidato Presiden SBY serta disesuaikan untuk prioritas jangka menengah.

Menjadi pertanyaan sekarang, apa yang sebaiknya diperbuat untuk memajukan telematika nasional? Berikut ini adalah beberapa usulan fokus kegiatan yang sebaiknya menjadi bagian agenda pembangunan telematika nasional dalam KIB.

Pertama, segera merealisasikan sistem informasi dan database yang terintegrasi untuk kependudukan yang mampu menggabungkan beberapa keperluan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), identitas untuk urusan pajak, keimigrasian dan jaminan sosial. Di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, sistem ini dikenal juga dengan Social Security Number (SSN) yang berfungsi untuk identitas penduduk namun menjadi referensi untuk berbagai urusan seperti surat izin mengemudi (SIM), pajak, pasport, jaminan kesehatan dan keperluan pendidikan, termasuk pelanggaran hukum dan lalu lintas.
Kedua, melanjutkan pembangunan infrastruktur telematika baik telepon tetap, telepon seluler termasuk fixed wireless, maupun penambahan kecepatan dan bandwidth untuk penyelenggaraan Internet diseluruh wilayah Indonesia. Hal ini hendaklah dilakukan secara lebih serius mengingat infrastruktur selama ini telah menjadi hambatan utama pengembangan telematika, baik di kota besar, kota kecil, maupun perdesaan. Cobalah anda mendatangi beberapa daerah kabupaten atau kota baik di pulau Jawa apalagi diluar Jawa, niscaya akan sangat sulit menemukan Warung Internet. Sementara sambungan Internet melalui jasa layanan yang ditawarkan operator seperti Telkomnet Instan dari rumah atau hotel, kualitasnya masih belum memuaskan.
Selanjutnya, memprioritaskan aplikasi telematika yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki kondisi investasi seperti e-banking, e-commerce, e-procurement, maupun berbagai usaha telematika yang dapat memberdayakan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) maupun kalangan ekonomi lemah. Sebaiknya pula aplikasi yang dipilih diselaraskan dengan kemampuan industri telematika dan konsultansi nasional.
Keempat, meneruskan pelaksanaan program e-government ke tingkat yang lebih tinggi sehingga terjadi kesinambungan program untuk berbagai jenis pelayanan masyarakat di seluruh wilayah nusantara. Pelayanan publik menggunakan jasa telematika seperti yang telah dilaksanakan di Takalar, Kebumen dan beberapa kota lain di Indonesia sangat menunjang pelaksanaan pemerintahan yang bersih dari nuansa KKN.
Kelima, adalah penyusunan Undang-Undang (UU) baru dan penyempurnaan berbagai kebijakan dan regulasi yang terkait dengan telematika. Antara lain adalah penyempurnaan Cetak Biru Telekomunikasi dan UU Telekomunikasi No. 36/1999 yang dirasakan sudah mulai ketinggalan dengan perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat. Penyelesaian Rancangan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan berbagai UU lain yang dapat mendorong pertumbuhan aplikasi IT sangatlah diharapkan dapat direalisasikan dalam waktu dekat. Termasuk dalam kerangka regulasi ini adalah mempercepat terlaksananya proses kompetisi yang sebenar-benarnya dalam penyediaan jasa telekomunikasi sehingga dapat memberikan perbaikan kondisi layanan, kemudahan bagi pengguna jasa, serta harga yang ekonomis.
Terakhir, dengan masih terpisahnya pengelolaan telematika dalam KIB membuktikan bahwa telematika masih perlu disosialisasikan secara lebih intensif kepada semua lapisan masyarakat tanpa kecuali. Karena itu program-program yang bertujuan untuk meningkatkan awareness masyarakat dan pemimpin bangsa akan peran telematika dalam perekonomian nasional, regional dan internasional haruslah diutamakan. Program ini kelihatannya sepele dan tidak begitu menarik dilakukan, tapi justru disinilah salah satu kunci keberhasilan pembangunan telematika di sebuah negara berkembang seperti Indonesia.

Sebenarnya keenam fokus kegiatan jangka pendek dan menengah dalam industri telematika di atas bukanlah merupakan program baru. Keenam program tersebut sudah pernah digagas dalam berbagai pertemuan dan sebagian sudah pernah ditindaklanjuti. Sayangnya ketidakseriusan dan ketidaksinambungan program telah menyebabkan terbengkalainya pelaksanaan beberapa kegiatan terkait secara utuh. Disamping keenam fokus di atas, masih ada beberapa hal lain yang tidak bisa diabaikan seperti peningkatan kapasitas (capacity building), penyusunan kurikulum telematika di sekolah-sekolah, penyempurnaan kebijakan tentang Kewajiban Pelayanan Universal (USO), promosi industri telematika, pembukaan kawasan pusat teknologi telematika, serta penyempurnaan badan regulasi independen.

Sekarang bukan saatnya pula untuk muluk-muluk dan membuat banyak program. Diharapkan dengan memulai keenam fokus kegiatan tersebut maka tantangan pembangunan telematika dalam jangka pendek dan menengah dapat dipenuhi. Dan yang lebih penting tidak terjadi kemubaziran. Semoga!

_________
*) Penulis adalah Senior Infrastructure Economist, bekerja di Bappenas.

Tuesday, November 02, 2004

BAU YANG PALING BERBAHAYA

==========seri tulisan reformasi===========

Oleh: Eddy Satriya *)
satriyaeddy@yahoo.com

Catatan: Tulisan ini telah diterbitkan di Majalah "Forum Keadilan" No 28/7
November 2004


Ketika pertanyaan "Bau apa yang paling berbahaya?" diajukan kepada beberapa
orang, bisa diperkirakan bahwa jawaban yang diperoleh akan beragam. Seorang
bupati dari sebuah kabupaten yang bertetangga dengan DKI Jakarta mungkin
akan menjawab bahwa bau yang paling berbahaya baginya adalah bau sampah yang
dikirim penduduk Jakarta. Bagi Sang Bupati, bau berjuta kubik sampah yang
tidak tertangani dengan baik dapat membahayakan kedudukannya. Sementara itu,
seorang mahasiswi kedokteran tingkat pertama mungkin menjawab bau yang
paling berbahaya adalah amisnya darah. Ketidakmampuan beradaptasi dengan
amis darah bisa menyebabkan ia drop-out dan menyia-nyiakan masa depan serta
puluhan juta yang telah disetorkan ke fakultas.

Jika pertanyaan itu mendadak diajukan kepada seorang dokter gigi yang sangat
higienis mungkin akan menjawab bau yang paling berbahaya bagi Sang Dokter
adalah bau mulut seorang lelaki perokok. Karena bau yang tidak bisa
ditangkalnya dengan "masker" dapat mengganggu mutu kerja dan merusak
citranya. Sedangkan untuk seorang Kiyai atau Buya yang disegani dari sebuah
pondok pesantren atau surau, mungkin jawabannya adalah bau kentut yang
sangat mengganggu ditengah berlangsungnya pengajian. Sang Buya bisa saja
tidak terlalu terganggu dengan bau kentut, tetapi justru lebih sewot dan
sangat marah ketika tidak ada santri yang mengaku dan meminta maaf. Bagi
Sang Buya berlaku pepatah "tangan mencincang, bahu memikul" yang perlu
dihayati para santri.
***

Membahas perihal bau yang paling berbahaya ini, ada baiknya kita menyimak
Andrew Tobias, seorang pakar internasional dibidang investasi. Tobias,
penulis buku-buku terkenal seputar "Invesment Guide" menuliskan "There is no
smell more dangerous or costly than the new car smell". Bau mobil baru
ternyata yang paling berbahaya baginya. Pernyataan tersebut secara tersirat
menghimbau untuk tetap hidup sederhana dan cerdik berinvestasi. Paham yang
sama juga dianut oleh Robert W. Bly, seorang pengajar marketing dan writing
di New York University yang berhasil menjadi millionaire pada usia 30 tahun.
Ia tetap memilih mengendarai mobil Chevrolet Chevette-nya yang telah berumur
11 tahun dan dibelinya hanya dengan beberapa US$ ribu pada tahun 1984.

Sejalan dengan globalisasi, sindrom mobil-mewah sebagai simbol status memang
telah menjalar ke seluruh penjuru dunia. Perilaku orang-orang yang
menjadikan mobil sebagai simbol statusnya dengan menarik telah dikupas
Thomas J. Stanley dan Willian D. Danko dalam buku "The Millioniaire Next
Door". Stanley dan William juga mengungkapkan bahwa orang-orang yang berasal
dari rakyat biasa dan berhasil memiliki banyak harta, justru cenderung lebih
memilih hidup sederhana, mampu mengalokasikan waktu, energi dan uangnya
secara lebih efisien, dan berpendapat bahwa "financial independence" jauh
lebih penting dibandingkan dengan memamerkan status sosial yang tinggi.
Sindrome mobil-mewah juga tidak luput melanda Indonesia yang masih tergolong
negara miskin. Nafsu tinggi masyarakat lapisan atas Indonesia memamerkan
mobil mewah juga terlihat jelas setiap pagi dan petang di jalanan ibukota
yang macet. Seliweran Mercedes Benz, Lexus, Infiniti, BMW, Land Rover,
Jaguar, dan Audi seri terbaru telah menjadi pemandangan biasa di sepanjang
jalan tol dan protokol.

Pada tahun ini kegilaan masyarakat Indonesia akan mobil mewah untungnya
luput dari pemberitaan pers karena tersaput berita ledakan bom mobil
Kuningan di depan Kedutaan Besar Australia 9 September 2004 yang lalu. Saya
sebut kegilaan karena pada posisi tanggal yang sama dalam Jakarta Motor Show
2004 di Senayan, sudah belasan orang tercatat sebagai pembeli mobil super
mewah Bentley dengan harga satuan sekitar Rp 5 Milyar! Belum terhitung mobil
mewah dengan kelas dibawahnya yang berharga dari Rp 1 hingga Rp 3 milyar.
Kegilaan, karena mobil seharga Rp 5 milyar tidaklah mungkin akan sepuluh
kali lipat lebih baik dari mobil seharga Rp 500 juta dari sisi kenyamanan
dan kinerja. Selisih harganya yang mencapai Rp 4,5 Miliar hanyalah untuk
mencerminkan status mengendarai mobil mewah.
***

Namun perilaku sebagian masyarakat Indonesia untuk memenuhi garasinya dengan
mobil mewah atau bahkan terkadang malah ada yang saya saksikan menumpang
parkir di rumah orang lain, diperkirakan akan terkendala. Pasalnya,
kematangan pemikiran, kesederhanaan gaya hidup atau mungkin juga pemahaman
tentang tentang berbahayanya bau mobil mewah dan mobil baru, telah mendorong
pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menolak menggunakan
sedan Volvo sebagai kendaraan dinas mereka. Hidayat Nur Wahid yang terpilih
secara demokratis menjadi Ketua MPR periode 2004-2009 telah memberikan
teladan dengan menyampaikan niatnya serta pimpinan MPR lainnya untuk menolak
Volvo pada tanggal 13 Oktober lalu di Gedung DPR/PMR Senayan (Detikcom,
14/10/04).

Walaupun beberapa pejabat tinggi negara lainnya ada yang skeptis dan tidak
melihat penolakan mobil mewah sebagai penghematan yang berarti, sikap Ketua
MPR itu telah membuat angin segar perubahan bertiup ditengah masyarakat
Indonesia. Sungguh suatu hal yang menyejukkan hati melihat salah satu
pimpinan lembaga tinggi negara mampu memulai langkah teladan yang sudah
sangat lama ditunggu-tunggu rakyat Indonesia.

Menjadi pertanyaan sekarang, seberapa jauhkah langkah yang telah dimulai
pimpinan MPR ini dapat ditiru para pejabat lainnya? Kita optimis, perubahan
demi perubahan akan terus terjadi. Dalam pelantikan Kabinet Indonesia
Bersatu pada tanggal 21 Oktober lalu terlihat bahwa banyak Menteri yang
datang dan pergi dari istana dengan kendaraan yang tidak tergolong mewah.
Hal ini terus berlanjut dan terlihat ketika menghadiri Sidang Kabinet
pertama esok harinya.

Jika dilihat kebelakang, masuknya mobil mewah dengan cc besar memang
memuncak pada pemerintahan setelah Presiden Suharto meletakkan jabatan.
Justru di dalam masa orde reformasilah impor mobil mewah secara built-up
makin menjadi-jadi setelah diizinkan Deperindag waktu itu. Akibatnya, bau
mobil mewah ini bukan hanya mewabah di Jakarta dan kota-kota besar, tetapi
juga sampai ketingkat kabupaten dan kota sejalan dengan semaraknya otonomi
daerah. Tidak hanya mobil mewah yang baru, ratusan mobil mewah bekas pun
masuk menyerbu ke berbagai pelosok negeri, baik secara legal ataupun melalui
usaha penyelundupan.
***

Pemahaman akan berbahayanya bau mobil baru nan mewah memang baru diangkat
lagi ke permukaan. Kita memahami adalah hak asasi setiap orang untuk bebas
membelanjakan hartanya. Agak terlalu dini menilai apakah gerakan ini akan
bisa ditularkan kepada berbagai lapisan pejabat maupun masyarakat. Namun
sudah selayaknya kita optimis, serta terus mendorong bergulirnya gerakan
untuk menyadari bahwa negara ini lebih memerlukan investasi yang efektif dan
efisien, membutuhkan pemasyarakatan pola hidup sederhana, dan tidak
menjadikan pembelian durable goods seperti mobil sebagai cara berinvestasi
yang dapat memancing kecemburuan sosial ditengah masyarakat yang tengah
dililit krisis multidimensi.

Terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memimpin negara ini
tentu saja diikuti berbagai harapan untuk memperbaiki kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat. Karena itu tidaklah salah rasanya Presiden SBY
juga diandalkan untuk mendukung pola hidup sederhana dan menjauhi penggunaan
mobil mewah bagi aparat pemerintah, termasuk militer. Sudah menjadi rahasia
umum, bahwa selain para profesional, pengacara, dan pejabat sipil, maka
sebagian pejabat militer juga sangat dimanjakan dengan fasilitas mobil dinas
yang tergolong mewah. Sekali lagi, "There is no smell more dangerous or
costly than the new car smell". Semoga harapan ini tidak salah tempat dan
sia-sia.
_________
*)Pemerhati Reformasi, menetap di Sawangan-Depok..

Tuesday, September 14, 2004

Telkom di Tengah Industri yang Berubah

Telah diterbitkan di Harian Bisnis Indonesia, 12 September 2004.

RESENSI BUKU

Judul: On Becoming A Customer-Centric Company. Transformasi TELKOM Menjadi Perusahaan Berbasis Pelanggan.

Pengarang: Hermawan Kartajaya, Yuswohady, dan Dewi Madyani.

Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

Cetakan: I- Maret 2004, II- April 2004.

Tebal: xii + 374 halaman
Harga: Rp 75.000,0
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Oleh : Eddy Satriya

Senior Infrastructure Economist, Bekerja di Bappenas.
(eddysatriya.blogspot.com)

“……Biar suatu saat operator asing masuk kita sudah terbiasa menggebuki dan digebuki, tinggal lihat saja siapa pemenangnya, nanti pasar yang menentukannya!”

Demikian pendapat salah seorang pejabat PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom) dalam menyongsong perubahan atmosfir bisnis telekomunikasi yang terekam dengan jelas dalam buku yang ditulis oleh Hermawan Kertajaya, Yuswohady, dan Dewi Madyani.

Buku ini menguraikan langkah-langkah yang telah diambil oleh management Telkom hingga awal tahun 2004 dalam menyiapkan perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia ini menjadi sebuah perusahaan yang berorientasi kepada pelanggan. Hermawan dkk menjelaskan perubahan visi, misi, dan strategi Telkom sejalan dengan bergesernya tuntutan pelayanan telekomunikasi dari hanya sekedar perusahaan penyelenggara Plain Old Telephone Service (POTS) menjadi suatu perusahaan yang mampu memberikan berbagai layanan telekomunikasi modern yang meliputi Phones, Mobile, View, Internet dan Service yang kemudian lebih disederhanakan menjadi Phone, Mobile dan Multimedia disingkat dengan PMM. Perubahan demi perubahan atau restrukturisasi portofolio bisnis mau tidak mau harus dilakukan Telkom mengingat telah terjadi perubahan fundamental dalam bisnis telekomunikasi dan teknologi informasi (TI) yang meliputi konvergensi teknologi, konvergensi perusahaan, dan konvergensi layanan.

Penulis menyatakan bahwa Telkom sudah on the right track dalam menapaki langkah untuk menjadi suatu Full Network Services Provider (FNSP) yang didukung lima pilar bisnis yaitu: telepon tetap; fixed wireless; telepon selular (mobile); multimedia; dan interkoneksi. Pendapat mereka didasarkan kepada situasi bahwa sudah dijalankannya budaya baru perusahaan yang merupakan suatu perjalanan panjang sejak Telkom masih dinakhodai Cacuk Sudariyanto (alm) hingga sekarang dibawah pimpinan Kristiono. Budaya perusahaan tersebut terangkum dalam konsep The Telkom Way 135 (TTW 135) yang resmi diluncurkan tanggal 26 Maret 2003.TTW 135 ini memuat satu asumsi dasar yaitu Committed 2 U, tiga nilai inti yaitu: Customer Value, Exellent Service, dan Competent People, serta lima langkah perilaku, yaitu: Stretching the Goal; Simplify; Involve Everyone; Quality is my job; dan Reward the Winner.

Sebelumnya pimpinan Telkom telah melakukan langkah strategis yang berhasil merumuskan visi baru Telkom “To Become a Leading InfoCom Player in the Region”. Adapun rumusan misinya, pertama ialah, “Telkom menjamin bahwa pelanggan akan mendapatkan pelayanan terbaik, berupa kemudahan, kualitas produk, kualitas jaringan, dengan harga yang kompetitif”. Sedangkan misi kedua adalah “Telkom akan mengelola bisnis melalui praktek-praktek terbaik dengan mengoptimalisasikan SDM yang unggul, penggunaan teknologi yang kompetitif, serta membangun kemitraan yang menguntungkan secara timbal-balik dan saling mendukung secara strategis”.

Faktor Kristiono
Disamping budaya baru TTW 135, faktor pendukung lainnya adalah sosok Direktur Utama (Dirut) saat ini, Kristiono, yang sudah berhasil menjadikan dirinya sebagai role model bagi seluruh karyawan di Telkom. Kristiono dianggap sudah mampu mengobarkan semangat “peperangan” dalam menyongsong era kompetisi di bisnis telekomunikasi. Bahkan semangat “peperangan” tersebut telah dibuatkan wadahnya yaitu melalui program War Room. Bukan hanya itu, dalam safari ke berbagai daerah para penulis menyaksikan sendiri bahwa para Kepala Divisi Regional (Kadivre) telah memperlihatkan antusiasme dan komitmen tinggi jajarannya di daerah dalam menjalankan budaya perusahaan yang baru.

Dalam buku yang sarat dengan berbagai jargon managemen pengembangan sumber daya dan management pemasaran ini, diungkapkan pula keberhasilan pimpinan teras Telkom dalam mengarahkan transformasi yang diinginkan kedalam suatu rujukan yang mengikat seluruh managemen termasuk jajaran direksi dan komisaris berupa Rencana Jangka Panjang Telkom (Corporate Strategic Scenario 2003-2007). Rencana jangka Panjang tersebut juga berisikan panduan gaya kepemimpinan yang harus dijalankan yang memiliki 5 ciri-ciri yaitu: Link & Friendly; Empowered and Accountable; Managing Anytime, Anywhere; Serving to Customers, Peers and Partners; Respect to Quality; and Contribution.Disamping mengupas sekilas perbedaan perhatian pimpinan terhadap budaya perusahaan sejak dari zaman Willy Munandir, Cacuk Sudariyanto, Setyanto P. Santosa, Mohammad Nazif dan Kristiono, buku ini juga menuliskan kembali secara ringkas proses, konsep, dan permasalahan di seputar Kerjasama Operasi (KSO) yang pelaksanaannya di lapangan ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Bagian akhir menekankan pentingnya pengukuran pelaksanaan excellent performance dengan menggunakan kriteria Malcolm Bridge yang sebenarnya telah pernah dirancang di Telkom melalui Program T-2001 ketika memasuki millenium baru dulu.

Kesimpulan yang disampaikan Hermawan dkk menarik untuk disimak. Meski cukup yakin dengan landasan dan perangkat menuju kompetisi seperti visi, misi, budaya perusahaan daan struktur organisasi yang telah disiapkan Kristiono maupun pendahulunya, ketiga penulis ini tetap menekankan pentingnya keseriusan management Telkom dalam mengeksekusi dan mengimplemntasikannya menjadi kenyataan dilapangan. Melaksanakan dan mengimplementasikan TTW 135 akan menjadi suatu pekerjaan besar yang memiliki 3 tantangan utama, yaitu perubahan politik internal perusahaan, perubahan teknis, dan perubahan budaya perusahaan itu sendiri.Secara keseluruhan, Hermawan dkk telah berhasil mendokumentasikan perubahan dan perbaikan struktur organisasi Telkom yang memang harus disiapkan menghadapi dibukanya keran kompetisi sektor telekomunikasi di Indonesia.

Kompetisi yang bukan hanya antara Telkom dengan Indosat dan perusahaan swasta dalam negeri saja, tapi juga kompetisi terbuka dengan perusahaan asing yang telah lama mengincar potensi pasar yang besar di persada Indonesia.Bagi pembaca yang awam dengan perkembangan telekomunikasi, sebagian besar bab-bab awal buku ini mengulas berbagai kecenderungan (trend) yang terjadi di dunia telekomunikasi dan TI baik di dalam negeri maupun di dunia internasional. Penulis memasukkan berbagai ulasan tentang konvergensi, perubahan fokus bisnis dari POTS kepada sistem telekomunikasi bergerak, Universal Service dan Universal Access, peranan badan regulator independen, dan terjadinya kompetisi penyelenggaraan telekomunikasi. Ulasan tersebut sebagian besar disarikan dari berbagai dokumen populer yang dikeluarkan secara berkala berdasarkan topik pembangunan oleh Badan Telekomunikasi Dunia atau Internasional Telecommunication Union (ITU) yang bermarkas di Geneva.

Penyempurnaan
Disamping telah mampu memberikan gambaran transformasi internal Telkom menyambut perubahan bisnis telekomunikasi dalam era globalisasi, buku ini memiliki bagian-bagian yang membutuhkan penyempurnaan. Pertama, terjadi pengulangan beberapa topik bahasan pada banyak bab yang cukup mengganggu dan mubazir. Kedua, pencetakan beberapa gambar atau tabel menghasilkan tulisan yang terlalu kecil dan tidak mudah untuk mengerti sehingga menyulitkan pembaca yang ingin menggali keterangan atau penjelasan lebih rinci.

Selanjutnya, kelihatannya proses penulisan buku yang berawal dari proyek konsultasi yang ditugaskan kepada para penulis telah memasung penulis untuk mendokumentasikan pandangan dari nara sumber lain atau kelompok karyawan yang bisa saja tidak sejalan dengan arah kebijakan yang diambil pimpinan perusahaan saat ini.

Keempat, langkah-langkah yang dituliskan dalam buku ini untuk mentransformasikan Telkom menjadi perusahaan berbasis pelanggan didominasi oleh pengetahuan dan praktek bisnis yang bersumber dari luar Indonesia semata. Sepantasnya pula “resep” tersebut dikombinasikan dengan praktek bisnis yang telah dilaksanakan oleh Telkom dan telah mengakar sebagai bagian nilai budaya lokal yang baik. Hal ini sangat penting mengingat Telkom merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia yang telah beroperasi sejak zaman perjuangan dulu, dan merupakan salah satu BUMN besar yang termasuk paling awal mendapat predikat “Wajar Tanpa Syarat” dari badan pemeriksa.

Membaca visi baru Telkom “To Become a Leading InfoCom Player in the Region” mengingatkan saya akan banner sejenis yang berbunyi “To Become a Cyber Leader” yang dipampang di Human Resource Development Center, Korea Telecomm (KT) di kota Daejon, Korea Selatan. Slogan tersebut juga dipampang dihampir semua pelosok kantor perusahaan telekomunikasi tersebut secara besar-besaran sejak tahun 2001. KT saat ini telah mewujudkan impiannya menjadi Cyber Leader bersama Canada. Akankah Telkom mampu mewujudkan visi dan mimpi-mimpi mereka?

Perjalanan Telkom kelihatannya masih penuh jurang terjal dan ujian. Kompetisi sesungguhnya bukan hanya masalah digebuk dan menggebuki. Hanya kerja keras dan waktu yang akan menjawabnya. Mari kita doakan agar management Telkom mampu mewujudkannya.
_________

Monday, August 30, 2004

Kwik, Bertindaklah Mulai di Kantor Sendiri

27 Agustus 2004/Sinar Harapan

Oleh Eddy Satriya

Acungan jempol sangat layak diberikan kepada Kwik Kian Gie (KKG) atas kegigihannya untuk terus menyuarakan betapa berbahayanya KKN, serta betapa mubazirnya berbagai upaya pembangunan yang akan dilaksanakan jika KKN tidak pernah dikurangi secara serius dan nyata. Namun yang menjadi penting saat ini sesungguhnya bukan lagi berdiskusi akan jahatnya KKN, tetapi adalah menyusun langkah nyata untuk mengikisnya dari berbagai sendi kehidupan.

Jika ditelusuri ke belakang, perjuangan KKG melawan KKN terlihat sudah cukup panjang. Bukan hanya ketika beliau menjabat Menteri PPN/Kepala Bappenas saat ini dan Menko Perekonomian pada pe-merintahan lalu, tetapi juga ketika masih di luar kabinet. Sulit melupakan tulisan-tulisan KKG yang menentang berbagai ketidakadilan dalam ekonomi nasional, termasuk kegigihannya membongkar borok-borok konglomerat jahat. Perjuangan KKG melawan KKN nyaris tidak pernah berhenti.

Namun di sisi lain, kita juga menyaksikan betapa KKN semakin merajalela, mewabah dan merata. Situasi yang membuat orang menjadi terbiasa dan bahkan mengandalkan KKN untuk bertahan hidup atau mempertahankan gaya hidupnya. Di lain pihak, prestasi nyata pengungkapan KKN dan sanksi terhadap pelakunya masih sangat sedikit. Kondisi ini pada akhirnya banyak membuat para pejuang antikorupsi merasa lelah dan seperti kehilangan arah. Lelah berteriak, lelah berharap, dan akhirnya bersikap apatis. Bahkan, KKG sendiri terkadang harus takluk kepada kelompok yang saya sebut saja sebagai "gerombolan globalisator".

Ketidakberdayaan KKG itu telah diulas Tempo (20/6/04) dalam laporan berjudul "Kwik Menolak, Utang Jalan Terus" dan "Oke, Dengan Catatan". Tragisnya, ketidakberdayaan KKG dalam menghadang berbagai pinjaman luar negeri yang ditengarainya bermasalah justru terjadi ketika beliau menjabat Kepala Bappenas yang merupakan salah satu institusi yang berwenang menentukan layak tidaknya suatu pinjaman luar negeri diimplementasikan.

Skor 3-0
Jadi, jika diibaratkan dengan suatu pertandingan sepakbola maka kedudukan sekarang antara KKN dan KKG adalah 3-0. "Gol" pertama terjadi ketika beliau masih sebagai pengamat ekonomi di luar lingkar kekuasaan. Berbagai upaya beliau membongkar modus operandi pembobolan BUMN, ekspor fiktif, hingga pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) belum memperoleh hasil yang berarti. Kedua, ketika beliau mengajukan kritik pedas terhadap partainya yang juga partai berkuasa beberapa waktu lalu.

"Gol" yang paling menyakitkan terjadi ketika beliau sedang memiliki kekuasaan yang besar sebagai Menteri. Menyakitkan, karena KKG yang sangat lantang melawan International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia dan "gerombolan globalisator" harus mengalami kekalahan justru ketika borok-borok IMF dan Bank Dunia sudah dikupas habis-habisan oleh pakar internasional.
Kita mengetahui, tidak kurang dari peraih Nobel Joseph Stiglitz membeberkan akibat globalisasi yang keliru dalam dua bukunya "Globalization and Its Discontents "(2002) dan "The Roaring Nineties. Seeds of Destruction "(2003). Begitu pula Peter Griffith, ekonom dan mantan konsultan Bank Dunia, telah membuka mata dunia betapa menyengsarakannya kebijakan pangan yang dipaksakan Bank Dunia melalui buku "The Economist’s Tale. A Consultant encounter Hunger and the World Bank" (2003). Dampak globalisasi yang malah berujung kepada ketidakstabilan global telah diuraikan lugas oleh Amy Chua (2003) dalam best seller-nya: "World On Fire. How Exporting Free-Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability."

Dalam situasi seperti itulah KKG terus berjuang melawan KKN di negerinya. Perjuangan yang mestinya mendapat dukungan penuh dari sesama menteri, elite politik, dan masyarakat yang menginginkan suatu pemerintahan berwibawa dan bersih dari KKN. Namun yang terjadi saat ini, KKG seperti orang yang berteriak sendirian di gurun yang mahaluas.

Dalam diskusi bisnis yang disiarkan radio di Jakarta bulan Juli lalu, KKG mengungkapkan suatu berita menarik. Menurut beliau, Bank Dunia telah mengirimkan sebuah surat confidential kepada Menteri Keuangan berisikan hasil investigasi konsultan internasional yang mengindikasikan bahwa telah terjadi praktik-praktik KKN oleh staf Bappenas dalam mengelola salah satu bantuan yang disalurkan Bank Dunia. Seandainya berita itu benar, betapa memprihatinkannya kondisi saat ini. Kemasan surat confidential bisa diartikan sebagai suatu "serangan balik" terencana yang mematikan dari pihak-pihak yang selama ini dikritisi KKG.

Lalu apa yang harus dilakukan KKG? Menurut pendapat saya, mungkin inilah saatnya KKG menuntaskan perjuangannya memberantas KKN. Bukan hanya di atas kertas, tapi dalam suatu tindakan nyata. Bukankah langkah terbaik pemberantasan KKN bisa dimulai dari diri dan lingkungan kantor sendiri? Secara teknis, seharusnya tidak ada kendala untuk bertindak lugas dalam memeriksa dugaan KKN yang dilakukan anak buahnya di Bappenas.

"Injury Time"
Sebagaimana halnya dengan anggota kabinet lain, masa jabatannya KKG juga hampir habis. Jika diibaratkan kembali dalam permainan sepakbola, maka pertandingan telah memasuki injury time. Sudah seharusnya waktu yang tersisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk membuat skor, paling tidak "pecah telor". Syukur-syukur perjuangan di menit-menit akhir justru bisa membalikkan keadaan.

Namun demikian, jika langkah tegas akan diambil KKG perlu diingat pula bahwa rendahnya tingkat kesejahteraan aparatur negara yang berkombinasi dengan lemahnya penegakan sanksi hukum dan tipisnya moral telah mempersubur KKN di hampir seluruh lini kehidupan, termasuk kantor pemerintah. Menurut Ignas Kleden, jika ada orang yang ingin berbuat benar dalam suatu lingkungan yang korup, maka ia justru akan dianggap kriminal.

Di lain pihak, pemberi pinjaman ataupun hibah terkadang punya agenda sendiri dan ketidakdisiplinan terhadap aturan main. Pengalaman saya berurusan dengan pinjaman luar negeri menunjukkan bahwa sering bantuan tersebut disalurkan kembali kepada konsultan mereka atau pihak lain yang diinginkan.

Caranya, antara lain, melalui kondisi penunjukan konsultan asing yang tidak bisa dikompromikan, kerangka acuan (TOR) yang kaku dan sulit diubah, memperlambat pemberian No Objection Letter (NOL), dan berbagai trik lain. Keadaan ini diperparah pula oleh keterlambatan dokumen Daftar Isian Proyek (DIP) untuk mencairkan pinjaman yang beberapa tahun ini baru bisa terbit setelah bulan April atau Mei. Kesemuanya itu akhirnya membuat Pemimpin Proyek harus "berakrobat" dan terkadang terpaksa melanggar prosedur.
Apa pun bentuk dugaan korupsi ataupun pelanggaran prosedur yang dituduhkan kepada kantor yang dipimpin KKG, menurut perkiraan saya, tidaklah akan melibatkan dana yang besar. Upaya itu hanyalah salah satu cara menghantam balik KKG.

Sejak reformasi bergulir staf Bappenas tidak lagi ikut membahas dokumen proyek di Departemen Keuangan. Peran Bappenas telah digantikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang bersama-sama dengan Staf Ditjen Anggaran dan Departemen Teknis menyusun DIP sebagai dokumen akhir proyek untuk dibiayai dari RAPBN. Namun penyelidikan tuntas atas tudingan Bank Dunia seperti diucapkan KKG tentu masih diperlukan.

Kedudukan saat ini sudah 3-0 untuk KKN. Apakah Pak Kwik Kian Gie mampu mengubahnya? Kita tunggu saja dan mari kita doakan agar beliau mengambil keputusan dan bertindak tepat dalam injury time. Siapa tahu, keadaan bisa berbalik.

Penulis adalah pemerhati Reformasi, tinggal di Sawangan-Depok.

______

Monday, August 09, 2004

Salahkah Telkom Mendominasi?

==========
MajalahTrust No. 45, Edisi 9-15 Agustus 2004

Eddy Satriya
Senior Infrastructure Economist, bekerja di Bappenas*)
satriyaeddy@yahoo.com

Jasa telepon tetap dengan mutu layanan yang baik dan biaya terjangkau masyarakat luas tampaknya masih sulit terwujud dalam waktu dekat. Dengan demikian berbagai kemudahan, inovasi, dan ilmu pengetahuan yang bisa diperoleh dari berbagai sumber informasi di seluruh dunia melalui Internet hanya akan dinikmati oleh segelintir penduduk Indonesia. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, digital divide atau kesenjangan digital akan terus melebar antara kelompok masyarakat yang memiliki akses informasi dan yang tidak memilikinya.

Salah satu penyebab kesenjangan ini adalah belum berjalannya kompetisi penyelenggaraan jasa telekomunikasi seperti yang diharapkan. P.T. Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom) semakin mendominasi pasar telepon tetap, jauh meninggalkan PT. Indonesian Satellite Corp. Tbk (Indosat). Jasa layanan Telkom semakin lengkap, ketika izin penyelenggaraan Sambungan Langsung Internasional (SLI) yang telah lama dinanti-nanti akhirnya keluar. Wujud kegembiraan jajaran Telkom dipertontonkan secara langsung melalui blocking time lima stasiun TV nasional dalam peluncuran jasa SLI Telkom 007 “The Real Connection” pada 7 Juni 2004 lalu yang berlangsung mewah di kawasan Garuda Wisnu Kencana, Nusa Dua, Bali.

Singkat kata, Cetak Biru Telekomunikasi dan UU tentang Telekomunikasi tahun 1999 belum memperlihatkan hasil yang diinginkan. Simak saja, pembangunan sambungan baru masih sedikit, tarif masih tergolong mahal dan cenderung untuk terus dinaikkan, serta ketersediaan dan keandalan layanan untuk daerah terpencil masih terbatas. Kalaupun ada tambahan pembangunan fasilitas telepon tetap di beberapa desa melalui program Universal Service Obligation (USO), ini jelas-jelas bukan hasil dari suatu kompetisi. Program USO yang dilaksanakan melalui penunjukan langsung itu dibiayai dari RAPBN.

Berat sebelahnya kompetisi yang berjalan sejak efektifnya UU Telekomunikasi pada bulan September 2000 yang lalu, dapat dilihat dari beberapa contoh kasus dan kejadian berikut. Pertama, pengaduan beberapa wartel tentang dugaan terjadinya pemblokiran akses SLI 001 dan 008 oleh Telkom telah berujung pada persengketaan yang harus diselesaikan melalui Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU). Dirut Telkom pun telah menegaskan kesiapannya jika KPPU memerlukan pemeriksaan lanjutan kasus itu (lihat Sinar Harapan, 8 Juni lalu).

Kedua, diduga telah terjadi pengalihan Warung Telekomunikasi menjadi Warung Telkom secara sistematis di berbagai wilayah di seluruh Indonesia. Berbagai media di daerah telah melaporkan kejadian ini. Sebagai contoh, seorang pengusaha wartel dari Pontianak menyatakan keheranan dan kegusarannya akan edaran Telkom yang mengharuskan pengusaha wartel untuk ber-PKS (Pola Kerja Sama) dengan Telkom. Jika wartel itu tidak mau, maka sambungan teleponnya akan dicabut dan harus membayar harga pasang baru serta dikenakan abonemen. Berita ini dimuat Pontianak Post, “Mengapa Harus Warung Telkom?”, edisi 1 Juli tahun lalu.

Ketiga, perang harga jasa layanan Internet yang diselenggarakan beberapa ISP dengan harga produk Telkomnet Instan telah membuat resah para pengusaha ISP nasional. Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) bahkan pernah mengancam untuk menutup akses Internet di Indonesia dua tahun lalu. Tahun 2002 juga diwarnai ditutupnya layanan Wasantara Net produk PT. Posindo di 40-an kota di seluruh Indonesia. Kenaikan tarif telepon lokal baru-baru ini juga dirasakan semakin menyudutkan ISP yang menggunakan dial-up ke telepon lokal.

Keempat, dalam bisnis Voice Over Internet Protocol (VOIP) Telkom kelihatannya juga tidak tertahankan. Kualitas jasa layanan VOIP 017 milik Telkom juga sangat bagus dengan harga bersaing. Sebagaimana dilansir Jakarta Post, 5 Oktober tahun lalu: “Many suspect that Telkom has deliberately used the low compression to enable its 017's voice quality to reach nearly the same level as that of the 001 or 008. For many, this constitutes a serious violation against VoIP criteria….”

Beberapa contoh kasus di atas memperlihatkan dominasi pasar oleh satu operator baik di sisi backbone, jasa Internet, retail, dan VOIP. Pihak yang paling dirugikan dalam hal ini tentu saja pelanggan jasa telekomunikasi, di samping pengusaha sektor telekomunikasi baik yang besar maupun kelompok Usaha Kecil Menengah.

Lantas menjadi pertanyaan sekarang, salahkah kalau Telkom menjadi besar, kuat dan mendominasi sektor telekomunikasi Indonesia? Bukankah Telkom sudah mendeklarasikan visi barunya “To Become a Leading InfoCom Player in the Region”? Semua itu akan diwujudkan dengan konsep “The Telkom Way 135”, ditambah semangat “perang” yang tinggi melalui program “War Room”. Bukankah Telkom juga sudah berkorban banyak untuk telekomunikasi negeri ini sejak masa PN Telekomunikasi, Perumtel, hingga sekarang? Lalu, apa pula yang harus dilakukan pemerintah dan otoritas regulasi telekomunikasi?

Menuruh hemat saya ada tiga pilihan yang tersedia.
Pertama, membiarkan saja situasi yang ada saat ini. Hal ini mungkin saja diambil karena berbagai kasus yang terjadi di atas bisa dianggap sebagai hal yang wajar dan sudah menjadi konsekuensi transisi dari era monopoli ke era kompetisi. Kalau langkah ini yang diambil, diperkirakan Telkom tetap bisa menjadi besar. Namun itu berjalan secara perlahan karena akan terjadi “perlawanan berdarah-darah” dari operator lain yang pada akhirnya merugikan kedua belah pihak.

Kedua, mengarahkan Telkom menjadi sebuah perusahaan besar, menjadi “National Champion”, yang nantinya diharapkan mampu bersaing dalam era pasar bebas dengan perusahaan asing yang sudah siap-siap menyerbu masuk pasar domestik. Ini sebenarnya bukanlah hal baru, pernah diwacanakan di komisi terkait di DPR. Jika langkah ini yang dipilih, Telkom bisa menjadi perusahaan telekomunikasi yang besar di Asia, bukan hanya Indonesia. Tentu, pilihan ini tidak menguntungkan bagi operator lain. Perlu dicatat, konsep “National Champion” ini juga dianut beberapa negara seperti Korea Selatan dengan Korea

Telecomm-nya, dan banyak negara Eropa.
Ketiga, menyusun suatu terobosan regulasi dan kebijakan yang mampu membesarkan Telkom sekaligus operator lain secara bersamaan. Hal ini bisa dilakukan dengan memperbaharui Cetak Biru Telekomunikasi dan menyempurnakan UU Telekomunikasi. Misalnya dengan membagi-bagi segmen jasa layanan telekomunikasi sesuai dengan bisnis inti masing-masing, membatasi Telkom terjun sampai ke “retail”, memberlakukan persaingan bebas di jasa seluler GSM, melakukan regionalisasi dan pemberdayaan perusahaan-perusahaan daerah untuk melaksanakan layanan fixed wireless dan Internet, membentuk Perusahaan Umum (Perum) daerah untuk melayani wilayah USO, serta berbagai kemungkinan kombinasi lain yang pada akhirnya akan menguntungkan secara nasional.

Langkah manapun yang akan dipilih atau disepakati oleh seluruh stakeholder telekomunikasi, pemerintah juga tidak bisa menunda berbagai penyelesaian peraturan dan kebijakan yang terkait dengan kompetisi sehat seperti interkoneksi, pembentukan badan regulasi yang benar-benar independen, serta menyusun kode etik penyelenggaraan jasa telekomunikasi secara nasional di samping beberapa kebijakan lain yang terkait dengan Internet dan transaksi elektronis.
_____
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi


Wednesday, July 28, 2004

Availability dan Reliability Dalam Telekomunikasi

Majalah Bisnis Komputer Edisi No 7, 20 Agustus 2004
=================Seri Tulisan ICT===================
 
Oleh: Eddy Satriya *)

Availability dan Reliability (A&R) adalah dua kata acuan yang sering digunakan dalam dunia rekayasa (engineering) untuk menyatakan ketersediaan dan keandalan suatu rancangan sistem yang akan dimanfaatkan masyarakat pengguna jasa. Sektor infrastruktur ekonomi, termasuk telekomunikasi, juga telah lama menggunakan kedua indikator ini untuk menyatakan bagus tidaknya tingkat pelayanan jasa bagi pengguna. A&R suatu jasa publik digolongkan bagus apabila bisa melayani penggunanya kapan saja. Artinya, pengguna jasa di wilayah yang memang sudah terlayani dapat menggunakan jasa tersebut 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu. Namun ketersediaan harus diiringi pula oleh keandalan. Keandalan suatu layanan disebut sempurna apabila setiap kali menggunakannya, maka sipengguna jasa terlayani dengan baik tanpa mengalami kegagalan layanan.

Sektor telekomunikasi termasuk jenis jasa yang menuntut tingkat A&R tinggi. Idealnya bisa mencapai tingkat 99.999 persen untuk ketersediaan dan keandalan. Artinya suatu operator telekomunikasi, misalnya operator telepon tetap atau seluler, hanya diizinkan 0,001 persen mengalami kegagalan dalam penyediaan jasanya. Dalam hitungan waktu, operator tersebut dikatakan mempunyai kinerja baik apabila mengalami kegagalan menyediakan jasanya tidak lebih dari 5.26 menit (0.001 x 0.01 x 365 x 24 x 60) dalam setahun. Sektor telekomunikasi biasanya menuntut tingkat ketersediaan yang cukup tinggi, yaitu minimal 99.99 persen. Demikian pula keandalan sistem juga diharapkan sebaik mungkin.

Mengapa A&R penting dan dituntut setinggi mungkin? Karena memang suatu keharusan. Idealnya, tidak bisa ditawar-tawar, mutu layanan suatu jasa haruslah mendekati sempurna. Bisa anda bayangkan seseorang yang dalam bahaya maut karena ancaman perampok  yang sangat ganas didalam rumah atau tokonya, kemudian berhasil meraih gagang telepon untuk menghubungi “emergency line” 112 (kalau di USA 911). Tetapi akhirnya terpaksa kehilangan harta benda dan bahkan nyawa anggota keluarga atau anak buahnya karena sambungan telepon tidak berfungsi sehingga gagal memperoleh pertolongan. Seandainya telepon berfungsi, sambungan sering pula tidak berhasil tersambung dengan baik. Juga, sebagian kita mungkin pernah mengalami peristiwa darurat lainnya seperti kecelakaan, opersi mendadak, kematian, ataupun kelahiran, yang harus dikomunikasikan kepada anggota keluarga melalui ponsel namun harus kecewa karena tiba-tiba saja sambungan ponsel anda tidak memperoleh sinyal di area yang tadinya tidak punya masalah sinyal. Contoh peristiwa di atas tidaklah mengada-ada, tapi itulah gambaran betapa pentingnya para operator telekomunikasi untuk memperhatikan A&R sesuai standard of procedure.

Dalam era kompetisi yang semakin ketat di sektor telekomunikasi saat ini, para operator semakin tidak dapat mengabaikan faktor A&R ini. Menjadi pertanyaan sekarang, bagaimanakah kondisi A&R operator telekomunikasi kita? Hal ini tidaklah mudah dijawab. Kelihatannya regulator telekomunikasi saat ini masih belum maksimal memantau dan memacu A&R yang tinggi kepada operator. PT. Telkom sebagai operator telepon tetap terbesar di Indonesia sejak lama terus berjuang keras agar mereka benar-benar bisa menjadi World Class Operator yang memiliki tingkat A&R tinggi, disamping harus mencapai indikator lain seperti efisiensi sumber daya manusia (SDM), kecepatan perbaikan gangguan, dan lain-lain. Successful Call Ratio (SCR) sebagai salah satu varian untuk mengukur keandalan sambungan suatu operator, diperkirakan baru mencapai sekitar 80% atau bahkan lebih rendah, baik untuk incoming call maupun outgoing call.

A&R yang akurat dan tinggi juga berarti pendapatan (revenue). Operator seluler terlihat cukup menyadari hal ini dan terus meningkatkan keandalan sistem mereka. Karena itu kita saksikan ekspansi besar-besaran yang terus dilakukan oleh para operator seluler seperti Telkomsel, Indosat group (IM3 dan Satelindo), Excelcom, dan lain-lain guna meningkatkan ketersediaan jasa mereka. Sekarang sangatlah mudah bagi pelanggan untuk berpindah-pindah operator. Jasa layanan sambungan prabayar yang telah menjadi salah satu penyumpang pendapatan utama operator, terus berlomba memberi berbagai kemudahan untuk memanjakan pelanggan mereka agar tidak pindah ke operator lain.

Perilaku pelanggan jasa telekomunikasi Indonesia menarik pula untuk dicermati. Sebagian besar pelanggan mungkin belum memahami benar arti A&R ini. Namun dalam keseharian mereka tanpa sadar telah mempraktekkan bahwa mereka harus memiliki A&R setinggi mungkin. Kalau bisa lebih dari 100 persen. Karena itu sampai sekarang sangat banyak pengguna jasa telekomunikasi yang kemana-mana menenteng lebih dari satu pesawaat ponsel dari operator atau jenis layanan yang berbeda. Tanpa sadar mereka telah “mengakali” kondisi belum bagusnya tingkat A&R yang ada saat ini. Dengan memiliki dua operator seluler berbeda, mereka merasa aman dalam mendapatkan layanan telekomunikasi seluler. Bukan lagi 100%, tetapi bahkan mungkin 150% atau lebih. Jika kondisi ini terus dibiarkan berlangsung tentu merupakan pemborosan yang cukup besar, baik dari sisi penyedia jasa ataupun dari sisi konsumen.

Gejala yang sama juga terjadi dalam ber-Internet. Banyak pengguna Internet yang tidak merasa aman jika hanya menggunakan satu email account. Rata-rata kebanyakan kita tidaklah merasa tenang kalau hanya menggunakan email account dari ISP langganan domestik. Karena itu kita masih merasa perlu memiliki lagi email account  seperti dari Yahoo, Hotmail dan lain-lain. Memang belum ada penelitian yang akurat tentang perilaku ini. Namun dari pengamatan sehari-hari, kiranya hal tersebut dapat dilihat secara kasat mata.

Menghadapi situasi seperti diuraikan di atas, sudah seyogyanya operator telekomunikasi ataupun penyedia jasa Internet terus memperhatikan tingkat A&R jasa layanan mereka disamping terus menerus melakukan ekspansi dan penambahan area layanan (aksesibilitas). Di sisi lain, pengguna jasa sudah sepatutnya pula mulai menyadari hal ini dan mampu memilih jenis jasa yang memang diperlukan. Penggunaan perangkat telekomunikasi yang hanya untuk pamer kekayaan atau untuk suatu kegiatan yang tidak ekonomis sudah selayaknya dikurangi. Sebagaimana halnya dengan sektor energi dan sumber daya mineral yang semakin terkuras cadangannya, otoritas pengelola sektor telekomunikasi juga sudah sewajarnya mulai memperhatikan hal ini. Bagaimanapun frekuensi radio, alokasi bandwidth, dan slot orbit satelit komunikasi merupakan sumber daya bernilai ekonomis tinggi yang tidak tak terbatas yang harus digunakan secara hemat dan efisien.

________
*) Senior Infrastructure Economist, bekerja di Bappenas ( eddysatriya.blogspot.com )

Tuesday, July 27, 2004

Pemerintah Diminta Buat Cetak Biru TI

Tuesday, 20 Jul 2004  / Bisnis Indonesia

Jakarta - Pemerintah dinilai perlu menyusun cetak biru teknologi informasi (IT) mengenai pemberdayaan sektor industri dan perdagangan dengan melibatkan semua unsur agar bisa bersaing dalam perdagangan internasional.

Rudy Rusdiah, pengamat masalah telematika mengatakan tim koordinasi telematika Indonesia (TKTI) yang merupakan gabungan dari unsur pemerintah dan swasta perlu memfokuskan pada pemanfaatan penggunaan teknologi telematika bagi kesejahteraan bangsa, terutama untuk memberdayakan sektor industri dan perdagangan.

"Cetak biru IT untuk industri dan perdagangan yang berorientasi ekspor seharusnya dimiliki sebuah negara. Bahkan cetak biru itu harus selalu diperbarui sesuai dengan tren teknologi dan perkembangan ekonomi global," katanya kepada Bisnis kemarin.

Pemerintahan baru mendatang, tambah Rudy, perlu meningkatkan koordinasi pada sektor telematika antara kementerian portofolio dan nonportfolio mengingat banyaknya masalah yang tidak bersifat sektoral seperti single ID system.

Rudy mengatakan kendala dalam menyusun cetak biru IT industri dan perdagangan biasanya datang dari perusahaan besar yang tidak menginginkan perubahan. Padahal, lanjutnya, selama krisis ekonomi berlangsung, industri skala kecil menengah justru lebih berperan dibandingkan perusahaan besar.

Salah satu contoh aplikasi IT dalam industri dan perdagangan, kata dia, adalah barcoding system menggunakan teknologi wireless fidelity (Wi-Fi). Dengan teknologi nirkabel tersebut, data dalam barcode bisa dikirim secara online ke pusat workgroup application server dan langsung masuk database server sebagai executive information system.

"Wireless coding (RFID) merupakan salah satu teknologi yang banyak dipakai pada supply chain dan industri ekspor di negara maju sehingga Indonesia perlu menyiapkan hal itu. RFID bersifat sektoran terutama untuk industri makanan dan elektronika."

Sementara itu Onno W Purbo, pakar telematika mengatakan cetak biru IT untuk industri dan perdagangan dirasa belum terlalu mendesak. "Yang jauh lebih penting adalah bagaimana supaya 100 juta pekerja Indonesia memiliki ponsel dan 5.000 kecamatan di Indonesia telah terhubung sambungan telepon agar terjadi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berbasis IT bukannya mengutamakan ekspor," katanya.

Eddy Satriya, pengamat IT juga mengungkapkan rencana penyusunan cetak biru IT untuk industri dan perdagangan untuk saat ini masih kurang tepat.

"Sektor telematika, khususnya IT, saat ini sedang dalam tahap konsolidasi. Jadi kurang tepat jika harus menambah regulasi atau kebijakan baru sementara beberapa regulasi yang telah terbit masih banyak yang belum diimplementasikan." (02) 

Monday, July 26, 2004

KETIKA KAUM INTELEKTUAL BERPESTA

Forum Keadilan Edisi 14, 1 Agustus 2004
==========seri tulisan reformasi============

Oleh:  Eddy Satriya *)

Denny JA sebagai salah seorang intelektual muda Indonesia - kita sebut saja begitu sesuai dengan istilah yang digunakannya - menjelang Pemilu Presiden lalu terlihat seperti "orang kebakaran jenggot". Bukan karena kesibukan barunya mendampingi salah satu pasangan Capres dan Cawapres, tetapi karena harus memberikan berbagai penjelasan terhadap tuduhan pengkhianatan intelektual atas dirinya. Tercatat antara lain Arvan Pradiansyah dari Jakarta (Tempo, 13/06/04) dan Eman Rahman dari Bekasi (Tempo, 27/06/04) yang mengutarakan tuduhan tersebut sekaligus meragukan indepedensi Denny. Tuduhan-tuduhan itu ditangkis Denny baik melalui Lembaga Survey Indonesia - LSI (Tempo, 20/06/04) ataupun langsung melalui dua artikel sejenis dengan judul berbeda yang terbit pada hari yang sama. (Media dan Pembaruan, 28/06/04).
Denny membela diri antara lain dengan menyatakan bahwa kaum intelektual sebenarnya tidaklah mungkin terus-terusan "berumah di atas angin", berdiri di atas semua golongan, dan pada saatnya nanti sesuai perkembangan politik mereka harus mengambil posisi yang tegas. Sementara staf LSI mencoba memberikan klarifikasi tentang penggunaan hasil survey dan independensi Denny.
Tuduhan dan sanggahan yang silih berganti tersebut sangatlah menarik untuk ditelaah lebih dalam, sehingga bisa didapat suatu benang merah persoalan yang merupakan bagian dari puluhan permasalahan nasional saat ini.
Pengkhianatan intelektual dari berbagai sudut pandang telah sering dibahas. Dalam tulisan ini saya ingin membahasnya dari sudut praktis di lapangan, khususnya terkait dengan aspek kehidupan berbangsa dan bernegara kita dalam enam tahun terakhir ini. Phenomena intelektual memanfaatkan ilmu dan keahliannya untuk memperoleh imbalan, baik berupa kepuasan kerja karena gagasannya bisa diwujudkan ataupun imbalan materi, sesungguhnya bukanlah phenomena baru. Tidak ada yang salah disitu. Masalah baru muncul jika para intelektual lupa dengan alur dan patut. Yaitu ketika mereka menggunakan ilmu pengetahuannya yang tidak sesuai dengan alur atau melanggar nilai kepatutan yang berlaku di tengah masyarakat.
***
Semakin tingginya intensitas dan kualitas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) tidak pelak lagi telah menjadi salah satu sebab utama keterpurukan bangsa Indonesia setelah terbebas dari rezim otoriter. Selain lemahnya hukum, KKN juga disebabkan oleh rendahnya gaji resmi birokrat atau aparatur negara yang diserahi mandat kekuasaan. Rendahnya gaji atau tingkat upah ini telah memaksa mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup atau mempertahankan gaya hidup yang sudah diraih sebelumnya dengan berbagai cara.
Ada yang memilih cara yang benar sehingga menghasilkan tambahan penghasilan yang halal, tapi lebih banyak lagi yang menggunakan cara-cara berbau KKN yang sangat merusak. Mental KKN yang berdayarusak maha hebat ini disadari atau tidak juga telah merambah banyak kaum intelektual: baik yang muda atau yang tua; di lingkungan swasta, birokrasi maupun akademisi; dan di pusat maupun di daerah. Ketika krisis ekonomi tidak kunjung reda dan teratasi, maka alternatif utama yang dijadikan objek KKN adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), baik rutin ataupun pembangunan. APBN telah menjelma menjadi "shabu-shabu" bagi sebagian besar mereka yang bersinggungan dengannya. Semakin dihisap, semakin mencandu, dan semakin tinggi pula tingkat ketergantungan mereka.
Pucuk dicinta ulam tiba, hajatan besar pesta demokrasi datang tepat pada waktunya. Karena itulah dalam Pemilu 1999 kita lihat banyak sekali kaum intelektual dari berbagai kalangan tampil mengaktualisasikan dirinya dalam kancah politik, baik secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi. Ujung-ujungnya jelas, tidak harus duit, tetapi kesempatan "kerja" di berbagai posisi pemerintahan. Karena itu di awal pemerintahan Megawati, banyak Departemen, Kantor Menteri Negara, dan Lembaga Non Departemen yang "ketitipan" kaum intelektual sebagai Staf Ahli dan lain-lain. Jika posisi struktural sudah penuh, mereka diangkat sebagai staf khusus. Dalam prakteknya staf khusus ini sering lebih dominan daripada staf resmi yang ada di Kementerian, Kantor Wakil Presiden, maupun di lingkungan Istana. Jika ada kunjungan Presiden atau Menteri keluar negeri, kaum intelektual biasanya lebih berkibar. Maklum, namanya juga intelektual. Ada pula intelektual yang memilih karir politik, baik coba-coba alias "kutu loncat" ataupun secara serius menekuninya.
***
Kelihatannya pengalaman Pemilu 1999 terulang lagi. Apalagi suasana dan sistem Pemilu untuk Capres dan Cawapres 2004 sangatlah kondusif. Karena itu sekarang banyak kita saksikan kaum intelektual kembali memainkan peran yang sama dengan skala yang lebih dahsyat dan terkadang nyaris tanpa memperlihatkan rasa malu.
Saya pernah merasa geli sendiri ketika memenuhi undangan diskusi yang mengambil tema mengatasi pengangguran dan pemberantasan kemiskinan di Gedung The Habibie Center, Jakarta Selatan pertengahan Juni 2004 lalu. Dari lima pembicara yang direncanakan, ternyata hadir tiga pembicara yang diperkenalkan moderator sebagai Tim Ahli pasangan Capres-Cawapres tertentu. Geli karena mereka menyampaikan progam untuk mengatasi pengangguran, tapi sehari-harinya mereka malah mengambil kesempatan kerja orang lain. Kebetulan ketiga pembicara tersebut tanpa sungkan juga sempat bercanda menunjukkan bahwa mereka pernah atau sedang merangkap sebagai komisaris di tiga Bank berbeda, disamping sebagai Tim Ahli pasangan Capres-Cawapres di musim kampanye, serta jabatan lainnya.
Disamping geli, juga timbul rasa heran dan iba saya. Betapa seorang akademisi dari sebuah universitas terkenal dari Yogyakarta yang selama ini cukup independen dan sering mengajukan koreksi atau kritik terhadap berbagai kebijakan ekonomi pemerintah, ternyata juga tidak mampu menahan daya tarik politik. Jika beberapa bulan lalu dia masih mengkritisi kebijakan ekonomi pemerintah, maka sekarang justru menjadi tim ahli Capres dari partai yang berkuasa.
Pembicara lainnya tidak jauh berbeda. Serasa baru kemaren mereka "menghakimi" kebijakan pemerintah tentang privatisasi, penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan lain sebagainya. Sekarang tiba-tiba saja mereka sudah "pasang badan" menjadi Tim Ahli Capres-Cawapres tertentu.
***
Rangkap jabatan - mulai dari akademisi, menjadi birokrat, ditawari posisi komisaris, merangkap direktur lembaga penelitian, Ketua Tim "ABCD", pembina LSM, anggota komisi, dan yang paling "gres" menjadi Penasihat Dewan Komisaris BUMN - adalah pola baku yang diwariskan orde baru. Lika-liku rangkap jabatan ini pernah saya uraikan secara rinci dalam "Dosen, Peneliti, dan Birokrat" (Sinar Harapan, 11/1/03) serta "Jabatan Rangkap: Benarkah Sebuah Dilema?" di portal Ikatan Alumni ITB (2/8/03) yang bisa juga diakses di situs eddysatriya.blogspot.com .
Sekarang jelas bahwa masalah utamanya bukan lagi sekedar pengkhianatan intelektual. Menjadi pertanyaan kemudian, "Adilkah kita menyalahkan intelektual muda dalam kondisi memprihatinkan seperti ini?" Di satu sisi jalan pintas tersedia, senior berbuat serupa, bisnis pers dan kemajuan multimedia sangat mendukung untuk "menjual" figure intelektual guna menaikkan rating stasiun radio dan televisi, faktor jam terbang diabaikan, rasa hormat kepada pemimpin dan orang tua semakin terkikis. Di sisi lain, aturan tidak jelas.
Jika Denny mengambil contoh praktek intelektual di Amerika Serikat, maka ada baiknya kita melihat ke Timur. Seorang akademisi di Kyoto University, Jepang, untuk sementara terpaksa melepaskan tugas profesornya. Ia memilih mempertahankan jabatan sebagai Direktur di salah satu pusat penelitian ketika menerima tawaran menjadi Direktur Jenderal dalam kabinet baru. Keputusan itu harus diambilnya karena di universitasnya hanya diperbolehkan menyandang maksimal dua jabatan.
Lantas apa yang harus dilakukan? Sudah sebaiknya kita segera mengakhiri status quo ini dalam arti nyata. Tingkat upah atau gaji, termasuk untuk profesi yang banyak diemban oleh para intelektual, harus segera diperbaiki. Selain itu, rangkap jabatan harus dibatasi misalnya maksimal dua atau tiga posisi dengan aturan, pengawasan, dan sanksi yang jelas. Adalah ironi - maaf sudah sering saya ulang - tatkala TNI sudah melakukan reposisi dan mengakhiri Dwi Fungsi ABRI, pemerintahan sipil justru "melanggengkan" multi fungsi dan jabatan rangkap.
Rasanya tidaklah perlu menghentikan aktivitas Denny JA seperti dikeluhkan Bung Arvan dan Erman, ataupun menyetop "pesta" kaum intelektual lainnya yang sudah terlanjur berjalan dalam ajang kampanye Capres-Cawapres yang kini memasuki babak baru untuk pertama kalinya. Menjadi apapun seorang intelektual adalah pilihannya untuk bertahan hidup, mempertahankan gaya hidup atau belasan alasan lainnya. Sementara aturan yang tegas belum ada, kita hanya bisa meminta mereka untuk kembali memahami alur dan patut, serta lebih jujur mendengarkan nuraninya. Bak kata pepatah "Janganlah tongkat yang membawa rebah!"
Mau dan mampukah anda intelektual Indonesia? Semoga.

Wednesday, July 14, 2004

G-8, Indonesia, dan Telematika

SUARA PEMBARUAN, 14  Juli 2004
=======Seri Tulisan ICT========

Oleh Eddy Satriya

PERTEMUAN puncak para pemimpin kelompok negera maju (G8) di Sea Island, Georgia, Amerika Serikat (AS), yang berlangsung tanggal 8 - 10 Juni 2004 lalu, mengagendakan penghapusan utang bagi negara miskin, peran Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Irak, dan kerangka kesepakatan perdagangan global. Pertemuan puncak tersebut juga telah merekam saling sindir antara Presiden AS George W Bush dan beberapa pemimpin negara Eropa tentang pertumbuhan ekonomi. Namun ada satu wacana yang menggugah saya, yaitu pandangan yang disampaikan oleh pemimpin Italia.

Dalam pertemuan itu, PM Italia Silvio Berlusconi menyampaikan niatnya untuk mengundang Cina dan India dalam pertemuan G-8 selanjutnya. Berlusconi berpendapat bahwa membicarakan prospek ekonomi global di masa depan tidaklah masuk akal tanpa melibatkan kedua negara besar di Asia tersebut. Usulan PM Italia ini sudah seharusnya kita cermati dan antisipasi dalam menyongsong era globalisasi dan kompetisi yang sebenar-benarnya.

Meski banyak ekonom meragukan statistik ekonomi kedua negara, khususnya Cina, tidak bisa dimungkiri bahwa potensi ekonomi dan pasar yang besar memang telah membuat keduanya semakin tidak bisa diabaikan. Usulan Berlusconi tersebut saya katakan menggugah, karena di samping kemajuan di berbagai sektor ekonomi, Cina dan India sebenarnya masih merupakan negara yang tergolong middle dan lower income country. Namun keduanya telah berhasil memanfaatkan kemajuan dalam bidang Information and Communication Technology (ICT) untuk mendorong pertumbuhan ekonominya.

ICT yang saat ini sering didefinisikan sebagai konvergensi dari telekomunikasi, teknologi informasi (IT), multimedia dan penyiaran, telah menjadi alternatif industri baru bagi Cina dan India pasca-serangan teroris 11 September 2001. Dalam Bahasa Indonesia, ICT dikenal juga dengan istilah telematika.

Menariknya, kemajuan yang telah diraih Cina dan India dalam telematika sebenarnya dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana, bukan dari suatu program besar pemerintah. Cina mengalami booming kegiatan outsourcing beberapa industri komputer besar AS pada awal 1990-an. Bermula dari tingginya kebutuhan akan tenaga programmer dan operator Electronic Data Processing untuk memproses data dalam penyusunan perangkat lunak, seperti kamus dan ensiklopedi.

Kemampuan sumber daya manusia Asia yang di atas rata-rata untuk bidang eksakta telah sangat membantu perkembangan telematika di daratan Cina. Ditambah lagi banyaknya tenaga muda lulusan universitas di Amerika Serikat dan Eropa yang memilih kembali pulang kampung. India, di sisi lain, sedikit lebih beruntung.

Seorang rekan saya warga negara India yang juga menjabat sebagai senior economist di Asia Development Bank, pada bulan Juni 2001 membuka rahasia di balik sukses India memajukan industri telematika, khususnya dalam menumbuhkembangkan pusat-pusat riset dan industri IT lokal, baik untuk hardware maupun software.

Ia mengungkapkan bahwa bersamaan dengan booming industri IT di AS pada pertengahan 1990-an, India secara kebetulan baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi secara besar-besaran khusus untuk tenaga di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai universitas terkenal di dunia. Persis seperti program yang pernah dilaksanakan mantan Menristek BJ Habibie dalam merekrut lulusan terbaik SMA dikurun waktu 1980-1990, untuk disekolahkan keluar negeri lalu kemudian ditempatkan dalam beberapa industri strategis ataupun instansi pemerintah.


Faktor SDM

Faktor SDM di Cina dan coincidence yang sangat menguntungkan di India, telah mampu membuka tambahan lapangan kerja baru. Anjloknya harga saham perusahaan IT dan rontoknya perusahaan dotcom pasca WTC New York, juga telah memaksa profesional IT India dan China untuk mencari pekerjaan keluar AS, dan mengambil langkah B to B dan B to C. Bukan Business to Business atau Business to Citizien/Consumer, tapi "Back to Bengalore" dan "Back to Chinnai". Kesemua itu telah memberikan kontribusi besar bagi ekonomi kedua negara.

Bila dilihat perbandingan makro ekonomi dan kondisi telematika, Cina dan India telah maju pesat dalam penyediaan prasarana telekomunikasi yang terlihat dari total pelanggan telepon, maupun dalam hal investasi telekomunikasi, serta aksesibilitas Internet dan TV Kabel. Meskipun sama-sama tergolong negara miskin, Cina dan India jauh meninggalkan Indonesia.

Total pelanggan telepon Cina pada tahun 2001 sudah mencapai 323 juta satuan sambungan (ss), India 40 juta ss, sedangkan kita baru 13 juta ss. Jika menggunakan data awal 2004, pelanggan telepon selular memang meningkat pesat hingga memberikan angka total pelanggan telepon menjadi sekitar 30 juta ss. Namun Cina dan India telah meningkat dengan lebih cepat lagi. Dari sisi pengguna Internet pun kita tertinggal cukup jauh, terutama dari Cina.

Memperhatikan kemajuan India dan Cina, sudah sewajarnya kita melihat pula perkembangan yang telah dicapai Indonesia. Walaupun belum maksimal, Indonesia telah menikmati lumayan banyak peluang bisnis di sektor telematika.

Sebut saja peningkatan jumlah penggunaan komputer di rumah tangga, sekolah dan perkantoran, kemajuan dunia multimedia dan hiburan yang membutuhkan perangkat telematika cukup besar, ritel aksesori telepon selular yang menjamur, dan kebutuhan berbagai jenis perangkat komputer dan telekomunikasi untuk memenuhi hasrat berkomunikasi data yang murah.

Tidak ketinggalan pula manfaat yang telah dinikmati media masa cetak/elektronik dan sektor riil lainnya yang menyerap banyak tenaga kerja. Menjadi pertanyaan sekarang, akankah kemajuan tersebut dapat ditingkatkan, atau setidaknya dipertahankan setelah terbentuknya pemerintahan baru perioda 2004-2009? Mungkinkah suatu saat nanti kita juga menjadi negara yang dipertimbangkan sebagaimana halnya Cina dan India?

Pertanyaan bernada kekhawatiran tersebut sudah sewajarnya mencuat. Walaupun banyak kemajuan yang telah dicapai, masih ada beberapa kendala yang membatasi sampainya jasa telematika dengan mutu layanan yang baik, aksesibilitas yang luas dan harga yang terjangkau kepada seluruh lapisan masyarakat.

Sebut saja kendala geografis, rendahnya daya beli sebagian besar masyarakat, kebijakan yang masih belum pro-kompetisi sesuai amanat Undang-Undang Telekomunikasi No 36 Tahun 1999, mahalnya biaya investasi, rendahnya awareness masyarakat dan pejabat akan potensi telematika, tarif yang belum menunjang, serta belasan kendala lainnya yang tidak akan habis-habisnya dibahas. Kesemuanya itu membuat usaha memperkecil digital divide semakin tidak mudah.

Maju tidaknya telematika Indonesia sesungguhnya selain tergantung kepada upaya pengembangan sektor itu sendiri, juga sangat ditentukan oleh sasaran pembangunan masyarakat (society) seperti apa yang akan dituju dalam jangka menengah dan jangka panjang. Diperkirakan program pembangunan pemerintah mendatang masih akan difokuskan kepada usaha-usaha mempertahankan Negara Kesatuan RI, meneruskan program reformasi kepemerintahan dan kehidupan berpolitik, mengatasi pengangguran, dan meningkatkan pelayanan sosial dasar kepada masyarakat.

Sayangnya setelah meneliti berbagai program pembangunan yang ditawarkan lima pasang capres dan cawapres, kita memang terpaksa mengurut dada karena nyaris tidak ditemukan kata-kata "telekomunikasi", "informasi", apalagi "telematika" dalam rangkaian program mereka.

Namun kondisi itu tidak harus membuat kita pesimistis. Kita juga salah satu bangsa besar dan pernah berjaya dibidang telematika, khususnya telekomunikasi satelit. Kemampuan SDM dibidang eksakta juga tidak kalah dibandingkan Cina dan India. Karena itu semakin menjadi tantangan bagi seluruh stakeholder telematika di Indonesia untuk memberikan masukan kepada pemerintahan baru terpilih nanti.


Penulis adalah pemerhati telematika dan knowledge based economy, bekerja di Bappenas.


Tuesday, July 13, 2004

Keledai Paling Unggul

Majalah Forum Keadilan No. 12, 18 Juli 2004
=======serial tulisan reformasi========

Oleh: Eddy Satriya *)

Syahdan, seluruh penghuni kebun binatang di sebuah kota sedang riuh rendah menyelenggarakan suatu hajatan besar. Hajatan itu adalah pemilihan Raja Kebun yang akan menjadi tumpuan harapan seluruh warga binatang agar bisa segera lepas dari berbagai belenggu keterbelakangan. Warga binatang menyadari sekali bahwa kebun mereka sudah semakin kumuh dan sepi pengunjung. Karena itu, ketika hari pemilihan semakin dekat seluruh warga binatang terlihat makin antusias menyambut pemilihan Raja Kebun.

Para kontestan calon raja sudah berhasil dijaring melalui proses yang cukup melelahkan. Ada utusan dari macan tutul dan ada pula utusan dari kelompok singa yang terus didorong oleh pendukungnya untuk tetap menjadi raja. Menariknya lagi, kelompok kancil sudah menyiapkan pula Jago Kancil yang sangat cerdik dan berilmu tinggi. Sementara itu, ada pula kelompok akar rumput (grassroot) yang sudah menyiapkan jagonya yaitu Mbah Gajah yang sangat anggun penampilan dan tutur bahasanya. Unggas pun ingin pula agar kelompoknya bisa menikmati posisi tertinggi di kebun itu. Untuk itu mereka kirimkan wakilnya seekor burung beo berbulu hijau metalik dengan noktah-noktah hitam disekitar mata. Terakhir, ada pula binatang yang sampai sekarang belum diketahui spesiesnya yang juga tercatat sebagai kontestan. Walaupun tidak diketahui jenisnya, eksistensi binatang ini terasa sekali.

Kesadaran yang sangat tinggi untuk segera mereformasi kehidupan, telah membawa warga kebun binatang itu kepada keputusan untuk menyerahkan proses pemilihan raja kepada kelompok keledai. Keledai diberi kehormatan dan kepercayaan melimpah karena konon kelompok keledai di kebun itu tergolong binatang yang paling cerdas dan cekatan. Bukan sembarang keledai, tetapi keledai terpilih yang telah lulus dari berbagai proses penyaringan. Ada yang berasal dari Perguruan Mamiri, Perguruan Cenderawasih, Perguruan Jembatan Merah, Perguruan Sangkuriang, dan Perguruan Janur Kuning. Pokoknya kelompok keledai itu dianggap laksana Dewa-Dewi dari negeri Yunani yang sangat diandalkan untuk memperbaiki mutu pemilihan Raja Kebun.

Sebelumnya, pelaksanaan proses pemilihan dilaksanakan oleh sekelompok tikus. Tikus-tikus ini dianggap tidak profesional lagi, suka mengerat kotak suara dan isinya, terkadang juga dituding merekayasa tabel hasil perhitungan. Karena itu secara aklamasi dan seperti babi buta, warga kebun binatang bersepakat mencabut mandat pelaksanaan pemilihan dari kelompok tikus dan memberikan kepercayaan kepada keledai.

Proses pengambilan suara tahap awal telah berlangsung di seluruh pelosok kebun dengan relatif tenang, tertib dan lancar. Namun kericuhan akhirnya pecah juga ketika memasuki tahap penghitungan suara. Ternyata rancangan surat suara yang terbuat dari daun pisang itu bisa menyesatkan pemilih atau tergolong “poorly designed ballot”. Kasusnya mirip dengan yang terjadi di Kebun Binatang disebuah negeri Adidaya pada tahun 2000 lalu. Alhasil, hampir sepertiga surat suara dianggap bermasalah karena coblosan terjadi diluar kotak yang disediakan.

Sungguh suatu kejadian yang bisa membahayakan proses pemilihan raja. Banyak binatang menyalahkan kelompok keledai karena dinilai lalai melaksanakan tugas. Para keledai kelihatannya terlalu sibuk tampil di berbagai panggung pertunjukan dan tidak maksimal melakukan simulasi serta mensosialisasikan tata cara pencoblosan surat suara. Namun banyak juga yang sudah malas memprotes karena keledai di kota itu terkenal paling pintar “ngeles”. Warga hanya bisa mengurut dada, apalagi keledai tersebut berilmu tinggi.

Menyadari kekeliruan tersebut beberapa keledai dengan sigap mengeluarkan maklumat kepada wakil-wakil keledai yang tersebar diseluruh penjuru kota. Pada prinsipnya, semua surat suara yang bermasalah itu harus dihitung ulang dan dinyatakan sah. Tidak lupa, Ketua Para Keledai menyatakan bahwa mereka tidak perlu meminta maaf atas edaran tersebut. Padahal kondisi di lapangan jauh berbeda.

Ada warga binatang yang menyandera kotak suara jika tidak diberi tambahan ransum, ada pula yang tidak mau melaksanakan hitung ulang karena mereka sudah terlanjur mengambil keputusan atas surat suara yang bermasalah. Bahkan ada pula yang merasa takut kalau-kalau kontestan mereka yang sudah menang tipis, bisa-bisa berbalik menjadi kalah.

Para penghuni kebun juga sangat mengkhawatirkan jika ada provokator-provokator yang memanfaatkan situasi kisruh ini untuk kepentingan kontestan tertentu, ataupun untuk memperburuk keadaan kota. Bisa-bisa pekerjaan yang telah menghabiskan ongkos sangat besar itu terancam gagal. Namun untunglah seluruh warga kebun binatang itu tergolong binatang yang berbudaya. Mereka memang lebih mendahulukan kepentingan umum.

Ada seekor burung Cucakrowo yang masih penasaran mengapa keledai yang ditunjuk melaksanakan peristiwa besar itu dan kenapa tidak minta tolong saja pada manusia yang ada diluar kebon. Ketika hal itu ditanyakannya kepada keledai, dengan ringan sang keledai memperlihatkan keunggulannya:”Keledai tidak mau masuk lobang yang sama, tapi manusia sering mengulanginya!”

Dasar keledai.
_________
*)Pemerhati Reformasi, menetap di Sawangan-Depok

&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

Monday, July 12, 2004

'Kaji tarif flat telepon lokal'

Teknologi Informasi

Bisnis Indonesia, 12 Juli 2004

JAKARTA (Bisnis): Pemerintah perlu mengkaji alternatif pemberlakuan tarif flat telepon lokal untuk mempercepat pertumbuhan Internet di pedesaan sebagai salah satu terobosan dalam mengembangkan bidang telematika di Indonesia.
Senior Infrastructure Economist Bappenas dan penulis masalah telematika nasional, Eddy Satriya, mengatakan potensi Internet yang begitu besar dalam berbagai sektor perlu ditingkatkan penyebarannya dengan cara pemberlakuan tarif flat untuk telepon lokal.

"Dengan adanya pemberlakuan tersebut maka akan mendorong beberapa Internet Service Provider [ISP] untuk membuka cabangnya di daerah mengingat potensi Internet yang cukup besar. Potensi tersebut antara lain dalam hal penyebaran ilmu pengetahuan, teknologi, riset, e-governance dan ekonomi," ujarnya kepada Bisnis akhir pekan lalu.

Selama ini, lanjut dia, berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dalam hal restrukturisasi dan informasi masih cenderung lambat dan belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat.

"Upaya tersebut antara lain terlihat dalam UU No. 36 tentang Telekomunikasi, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), kebijakan Duopoli dan cetak biru tentang Telekomunikasi," ujarnya.

Dia menambahkan, pemberlakuan tarif flat pada telepon lokal perlu dilakukan dengan sistem segmentasi pada perumahan, korporasi dan fasilitas masyarakat.

Pemberlakuan tarif flat tersebut, tambah Eddy, juga bisa memberdayakan unit Usaha Kecil Menengah (UKM), mengurangi pengangguran dan bisa mendorong masyarakat untuk berhadapan dengan informasi dari luar.

"Saat ini jumlah sambungan telepon tetap adalah sekitar 10 juta sementara pelanggan Internet sekitar satu juta orang, maka dengan adanya terobosan baru tersebut dapat meningkatkan jumlah pelanggan secara signifikan, sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat," tandasnya.

Sementara di tempat terpisah, Heru Nugroho, pengamat Internet dan telematika mengatakan pemberlakuan tarif flat telepon lokal belum bisa diwujudkan saat ini mengingat pengkajiannya memerlukan proses panjang, sementara regulasi, teknis dan kesiapan mental penyelenggara belum memadai.

"Bila tarif flat telepon lokal diberlakukan untuk mendorong perkembangan Internet, maka diharapkan fungsi telepon selain untuk komunikasi suara juga untuk Internet. Sementara saat ini penyelenggara jaringan belum mampu memberikan tarif flat untuk koneksi Internet," katanya.

Menurut Heru, sebagian besar keluarga di Indonesia hanya memiliki satu sambungan telepon, sehingga kurang memadai dalam hal memacu perkembangan Internet melalui pemberlakuan tarif flat lokal. (02)


Tuesday, July 06, 2004

SAPU CAMPUR DEBU ---------seri tulisan reformasi -----------

Oleh: Eddy Satriya *)


Catatan: Telah diterbitkan di Majalah Forum Keadilan 11 Juli 2004

“Mohon maaf, Bapak menyogok berapa untuk menjadi anggota KPK?”. Demikian pertanyaan saya kepada salah seorang anggota Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang hadir sebagai pembicara dalam sebuah diskusi tanggal 1 Juni 2004 lalu. Pertanyaan tersebut sudah ada dibenak saya dan terus bergelayutan selama hampir 9 bulan. Persisnya sejak membaca iklan Pengumuman Pendaftaran Calon Pimpinan KPK di berbagai media cetak bulan Oktober tahun lalu. Oleh karena itu saya merasa beruntung mendapat undangan dan berkesempatan hadir dalam diskusi bertemakan Pegawasan Anggaran dan Pemberantasan Korupsi Pasca Pemilu Legislatif yang diadakan di sebuah hotel di kawasan Jakarta Selatan itu. Selain pembicara dari KPK, hadir pula mantan Menteri zaman Orba yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), rekan pengamat politik yang sedang pulang kampung dari tugas belajarnya, dan wakil pimpinan dari Partai Keadilan Sejahtera.

Pertanyaan - mungkin lebih tepat unek-unek - tersebut cukup mengganggu saya. Betapa tidak, ditengah hingar-bingar berbagai slogan dan program pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah maupun himbauan berbagai komponen masyarakat, tidak terlihat terobosan yang dapat diandalkan. Malah sebaliknya korupsi yang diperkuat oleh dua komponen jangkar lainnya, kolusi dan nepotisme, telah menjelma menjadi sebuah trio KKN yang semakin “ngetop” dan mewabah di tengah masyarakat. Sifat permisif, ketidakpedulian, tingkat upah yang tidak sepadan, lemahnya penegakan hukum, pelecehan terhadap jam terbang, serta rangkap jabatan untuk peran yang sesungguhnya menjadi hak orang lain, telah semakin memperburuk keadaan.

Pertanyaan yang menggangu itu muncul tatkala membaca berbagai persyaratan yang diharuskan oleh Panitia Seleksi yang dibentuk Ditjen Peraturan Perundang-Undangan, Departemen Kehakiman dan HAM. Salah satu syarat yang mengusik saya adalah butir No. 7, yaitu keharusan pemohon melampirkan Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) dari Kepolisian. Disamping mengusik nalar, persyaratan tersebut terasa menggelikan. Kentara sekali persyaratan itu diambil begitu saja dari persyaratan administrasi yang telah menjadi standar keharusan di masa lalu. Tidak tersentuh reformasi, meski iklan seleksi tersebut ditandatangani oleh nama-nama yang disegani dalam percaturan hukum di Indonesia.

Dengan membuang jauh-jauh a priori bahwa berurusan dengan kepolisian sebaiknya dihindari, maka rasa keingintahuan saya jadi semakin memuncak. Saya jadi ingin tahu bagaimana calon-calon pimpinan KPK menghadapi dan memenuhi persyaratan tersebut. Apakah mereka mampu bertahan untuk tidak menyogok ketika harus menjadi pemberantas sogok-menyogok? Juga, apakah mereka mau menghindari jalan pintas ketika berhadapan dengan kerumitan birokrasi untuk selembar surat? Walaupun bisa menduga apa yang akan terjadi, tetap saja pikiran saya baru akan lega setelah mendengar jawaban langsung dari anggota KPK terpilih tersebut.

Pertanyaan di atas, selain diawali dengan permohonan maaf juga saya dahului dengan pertanyaan untuk memastikan bahwa pembicara tidak sedang menderita penyakit jantung. Setelah memberikan penjelasan, akhirnya pertanyaan itu pun dijawab dengan jujur oleh anggota KPK tersebut.
“Ya, tapi saya suruh supir saya!”, ujarnya menjelaskan bahwa ia memang memberikan bayaran lebih untuk mendapatkan SKKB. Ditambahkannya pula bahwa uang pelicin untuk SKKB tersebut relatif kecil dibandingkan dengan surat lain yang harus dimintanya dari sebuah kantor sesuai wilayah domisili. Untuk surat keterangan asli yang tidak diuraikan lebih rinci, ia harus membayar sekitar Rp 200 ribuan ditambah Rp 50 ribu untuk setiap rangkap yang dilegalisir. Segera saya ungkapkan rasa terima kasih yang dalam atas keterbukaannya.

Sore itu pikiran saya terasa lega karena pertanyaan yang terus membayangi selama sembilan bulan itu terjawab sudah. Setelah beramah tamah dengan pembicara dan peserta lain, sayapun segera mencari taksi dan kembali ke kantor menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tadi saya bengkalaikan. Kemacetan dan kepulan asap knalpot di kawasan Pasar Rumput, Manggarai mengingatkan saya kepada karya sastra “Deru Campur Debu” yang pernah saya baca ketika di SMA dulu. Hari ini saya meminjam judulnya dan menuliskan “Sapu Campur Debu!”
***
Argo taksi menunjukkan angka Rp 12 ribuan. Namun ketika menunggu kembalian uang Rp 20 ribuan yang saya berikan, sang supir dengan datar menjawab bahwa ia tidak punya uang receh. Sayapun segera bergegas turun. Padahal, sekelebatan terlihat uang lima ribuan tersembul di bawah bungkus rokok di dekat asbak mobil.

Mengambang dalam lift kantor membuat pikiran saya melayang. Sekarang gantian, kalau tadi pikiran saya dipenuhi pertanyaan, maka tiba giliran potongan lirik lagu pop yang dinyanyikan Utha Likumahua ditahun 1980-an yang terus mengiang, menyesaki dada dan pikiran saya. “Kita kan hidup di Indonesia, bukan disana……!”

_________
*)Pemerhati Reformasi, menetap di Sawangan-Depok ( eddysatriya.blogspot.com )

&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

Friday, July 02, 2004

'Semua sektor perlu gunakan ICT'

2 Juli 2004

JAKARTA (Bisnis) : Pemerintah dinilai perlu menerapkan teknologi komunikasi dan informasi (ICT) pada semua bidang dengan menitikberatkan sektor perekonomian guna terbentuknya sistem perekonomian baru yang disebut dengan ekonomi informasi.
Eddy Satriya, senior infrastructure economist BAPPENAS, mengatakan ICT harus menjadi tulang punggung bagi terbentuknya Ekonomi Informasi mengingat salah satu fokus pembangunan nasional saat ini adalah sektor perekonomian.

"ICT bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai tambah masyarakat, swasta dan Pemerintah melalui e-commerce dan pemberdayaan Internet," katanya kepada Bisnis, kemarin.

Menurut Eddy, ICT juga bisa menjadi sarana untuk mengurangi penyimpangan dana yang selama ini terjadi dalam kegiatan ekonomi, sehingga implementasi e-governance tidak dapat ditunda lagi.

Pemerintah, lanjut dia, perlu membenahi pola pikirnya terhadap ICT dengan melihat pentingnya peranan ICT dalam proses pembangunan ekonomi nasional.

"Untuk mewujudkan implementasi ICT dalam semua sektor pembangunan terutama masalah ekonomi, maka perlu dibentuk lembaga nondepartemen yang berisi para praktisi dan profesional yang tidak membawa kepentingan politik apapun," ujarnya.

Lembaga tersebut, lanjut Eddy, akan lebih leluasa bergerak dibandingkan bentuk departemen seraya meminta agar jangka waktu lembaga itu sebaiknya selama lima hingga sepuluh tahun saja.

Berkaitan dengan implementasi ICT setelah terbentuknya pemerintahan baru, dia mengkhawatirkan ICT diperkirakan masih belum mendapat perhatian serius mengingat pemerintahan mendatang masih konsentrasi meneruskan program reformasi kepemerintahan dan kehidupan berpolitik, mengatasi pengangguran dan meningkatkan pelayanan sosial dasar kepada masyarakat.

"Tapi dengan dibentuknya lembaga tersebut, ICT diharapkan bisa lebih berkembang seperti yang terjadi di Thailand dengan NECTEC-nya. Lembaga tersebut berfungsi menyatukan visi dan misi semua departemen tentang ICT sehingga melahirkan kebijakan yang sinergis dan berkelanjutan," tandasnya.

Eddy melanjutkan kalangan swasta tidak perlu terpengaruh dengan kebijakan pemerintah yang tidak mendukung perkembangan ICT. Pengurangan PPNBM (Pajak Pertambahan Nilai atas barang Mewah), tambahnya, merupakan salah satu langkah untuk menggerakkan ICT. "Pengurangan PPNBM dapat memacu impor komputer dan infrastruktur ICT lainnya," tandasnya.

Menurut dia, pembentukan operator telekomunikasi kecil berbiaya murah di beberapa daerah diyakini bisa meningkatkan perekonomian daerah setempat.

Sementara di tempat terpisah, Mujiono, deputi telematika Kementerian Kominfo, mengatakan saat ini terdapat program Intra Government Information System (IGASIS) yang menghubungkan Departemen Ristek, Kominfo, Sumber Daya Mineral dan Energi, Pertanian dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan secara online dan terintegrasi.

"Kami mulai menerapkan ICT dalam sistem pemerintahan melalui IGASIS, sehingga dapat melahirkan kebijakan yang sinergis untuk mewujudkan e-governance," katanya. (02)



&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

Tuesday, June 29, 2004

Telematika, "Where Are You" ? -------- seri tulisan ICT --------


Oleh: Eddy Satriya *)

Catatan: Artikel ini telah diterbitkan di Majalah Bisnis Komputer Edisi No.06 20 Juni – 20 Juli 2004

Berulang kali saya menelusuri baris demi baris iklan salah satu pasangan Capres dan Cawapres yang dimuat di berbagai koran ibukota pada tanggal 9 Juni 2004. Iklan tersebut saya jadikan semacam sample untuk memenuhi hasrat keingintahuan tentang bagaimana elite partai politik mendudukkan telematika dalam program mereka. Tapi dua kata yang saya cari yaitu “telekomunikasi” dan atau “informasi” tidak saya temukan. Padahal program tersebut mereka namakan program ekonomi yang disiapkan untuk merebut simpati masyarakat pemilih dalam pemilihan presiden dan wakil presiden tanggal 5 Juli 2004 mendatang. Kekecewaanpun tak dapat saya tutupi kerena menjadi jelas bahwa rencana pembangunan dan pengembangan telematika tidak termasuk di dalamnya. Menyimak pidato dan diskusi dalam kampanye Capres dan Cawapres lainnya pun kita menemukan nuansa yang tidak jauh berbeda. Tulisan ini tidak bermaksud membahas sisi politis dari berbagai program Capres dan Cawapres yang akan berlomba untuk menjadi pimpinan bangsa, tapi semata membahas positioning telematika dimasa datang.

Lalu bagaimanakah prospek pembangunan telematika dalam pemerintahan baru nanti? Pertanyaan tersebut mungkin bergelayutan dibanyak pikiran pelaku telematika yang selama ini, walaupun belum maksimal, telah menikmati lumayan banyak peluang bisnis di sektor ini. Sebut saja peningkatan jumlah penggunaan komputer di rumah tangga, sekolah dan perkantoran, kemajuan dunia multimedia dan hiburan yang membutuhkan perangkat telematika cukup besar, retail aksesori telepon seluler yang berkembang biak dimana-mana, dan kebutuhan berbagai jenis perangkat komputer dan telekomunikasi untuk memenuhi hasrat berkomunikasi data yang murah. Tidak ketinggalan pula manfaat yang telah dinikmati media masa cetak dan elektronik melalui iklan produk-produk telematika dan sektor riil lainnya yang menyerap banyak tenaga kerja. Akankah berbagai kemajuan tersebut dapat meningkat, atau setidaknya dipertahankan?

Pertanyaan bernada kekhawatiran tersebut di atas sudah sewajarnya mencuat. Walaupun banyak kemajuan yang telah dicapai, masih ada beberapa kendala yang membatasi sampainya jasa telematika dengan mutu layanan yang baik, aksesibilitas yang luas dan harga yang terjangkau kepada seluruh lapisan masyarakat. Sebut saja kendala geografis, rendahnya daya beli sebagian besar masyarakat, kebijakan yang masih belum pro-kompetisi sesuai amanat Undang-Undang Telekomunikasi No. 36 Tahun 1999, mahalnya biaya investasi, rendahnya awareness masyarakat dan pejabat akan potensi telematika, tarif yang belum menunjang, serta belasan kendala lainnya yang tidak akan habis-habisnya dibahas. Kesemuanya itu membuat misi memperkecil digital divide semakin tidak mudah.
Maju tidaknya telematika di Indonesia sesungguhnya selain bergantung kepada upaya pengembangan sektor itu sendiri, juga sangat ditentukan oleh sasaran dan target pembangunan masyarakat (society) seperti apa yang akan dituju dalam jangka menengah empat atau lima tahun mendatang.

Diperkirakan program pembangunan pemerintah mendatang tentu akan lebih difokuskan kepada usaha-usaha mempertahankan Negara Kesatuan RI, meneruskan berbagai program reformasi kepemerintahan dan kehidupan berpolitik, mengatasi pengangguran dan meningkatkan pelayanan sosial dasar kepada masyarakat. Lalu apa yang bisa dikerjakan oleh seluruh stakeholder telematika saat ini, agar program pengembangan telematika tidak hilang atau tercecer di tengah perjalanan pembangunan bangsa kedepan?

Bagi anda yang termasuk pesimis dengan apa yang bisa disumbangkan pemerintah untuk telematika, maka pertanyaan di atas mungkin tidak terlalu penting. Tapi sikap itu bukanlah sesuatu yang salah. Pembangunan telematika yang bersifat lintas sektor memang banyak yang bisa digarap sendiri oleh para IT profesional. Namun bagi sebahagian orang yang masih membutuhkan peran telematika yang lebih besar dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan, pertanyaan tersebut sudah selayaknya dipikirkan ulang. Tidak bisa dipungkiri bahwa pembangunan telematika - tidak berbeda dengan sektor lain - banyak dinikmati oleh segelintir pelaku bisnis yang kebetulan punya akses dan berada dekat dengan lingkungan kekuasaan.

Perubahan pemerintahan akan berdampak cukup signifikan terhadap eksekusi program pembangunan, tidak kecuali telematika. Perubahan pemerintahan biasanya membawa perubahan lingkungan berusaha. Yang kemaren memperoleh pekerjaan dan porsi kegiatan, dimasa datang bisa saja akan gigit jari. Yang sekarang masih memiliki berbagai usaha seperti Wartel, Warnet, ataupun bisnis TI dari garasi rumah bisa saja gulung tikar atau harus berganti profesi.

Sebahagian kita mungkin tetap atau terpaksa pesimis melihat program kerja yang ditawarkan Capres dan Cawapres yang tidak memberikan prioritas dan ruang yang cukup untuk telematika. Kondisi ini juga harus dimaklumi. Bukankah Peter F. Drucker (2002) sendiri pernah menyampaikan dalam bukunya “Managing in the Next Society” bahwa “the new economy has not come yet”. Yang ada barulah upaya mendirikan usaha, kemudian menjualnya melalui IPO dan mekanisme lain ke pasar modal, belum mendirikan bisnis yang sebenar-benarnya.

Lalu bagaimana sikap kita sebaiknya? Saya lebih memilih kelompok optimis yang harus menyiapkan sesuatu, bukan berdiam diri. Sebahagian besar insan telematika saya pikir, memang harusnya demikian, akan memilih langkah ini. Pilihan optimis ini bukannya tanpa alasan, meski harus diakui pengembangan telematika oleh pemerintah masih terbatas. Alasan utamanya adalah bahwa teknologi telematika berkembang terus dengan percepatan yang tidak bisa diikuti oleh regulasi dan kebijakan. “Technology changes, economic laws do not” kata Varian dan Saphiro.

Karena itu sudah selayaknya seluruh stakeholder telematika seperti Masyarakat Telematika, seluruh asosiasi, BUMN, perguruan tinggi, maupun individu yang terlibat bisnis telematika duduk bersama dan mengumpulkan berbagai masukan untuk diteruskan kepada para wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat, Tim Sukses masing-masing Capres dan Cawapres, ataupun kepada kabinet pemerintahan baru terpilih nanti. Sudah semestinya pembangunan telematika memberikan kontribusi terbesarnya kepada masyarakat luas, bukan hanya kepada sekelompok orang. Waktu masih ada dan belum ada kata terlambat. Semoga nanti kita tidak bertanya-tanya lagi setelah pemerintahan baru terbentuk. Telematika, where are you?

__________

*) Penulis adalah Senior Infrastructure Economist. Berkerja di Bappenas. Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak harus mencerminkan kebijakan tempat penulis bekerja. Dapat dihubungi di esatriya@bappenas.go.id atau di eddysatriya.blogspot.com




&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&