Oleh: Eddy Satriya*)
Catatan: Telah diterbitkan di Majalah Biskom Edisi Februari 2005
Pertemuan Puncak Infrastruktur (Infrastructure Summit) telah berlangsung meriah di Jakarta pada tanggal 17-18 Januari 2005 lalu. Pertemuan yang dibuka oleh Presiden RI itu merupakan salah satu ajang terbesar yang pernah digelar di Republik Indonesia dalam rangka menggalang kesepahaman, kerjasama dan langkah tindak lanjut rencana pengembangan infrastruktur Indonesia. Pertemuan itu dihadiri sekitar 600-an anggota delegasi dari berbagai negara dan lembaga keuangan dunia. Salah satu butir Declaration of Action on Developing Infrastructure and Public Private Partnership yang disepakati oleh delegasi yang mewakili 22 negara tersebut berbunyi “Committed to revise law 36/1999 for Telecommunication, to strengthen the legal basis for independent regulation”.
Butir nomor enam deklarasi tersebut adalah satu-satunya langkah aksi (action plan) menyangkut sektor telekomunikasi secara langsung. Beberapa butir lainnya yang terkait membahas masalah keuangan, kerangka managemen untuk mendorong investasi swasta, pengembangan kemampuan keuangan pemerintah daerah, pasar modal untuk pendanaan infrastruktur, penyempurnaan regulasi untuk pengikutsertaan swasta, mekanisme tarif, badan pengatur, serta managemen resiko.
Para pelaku, pengamat, dan investor di bidang telematika (termasuk telekomunikasi tentunya) yang kritis tentu akan bertanya apa maksud deklarasi tersebut? Apakah semata-mata merevisi UU Telekomunikasi No 36/1999 atau lebih memfokuskan kepada perkuatan peran regulator dan regulasi yang independen. Ataukah kedua-duanya baik secara bertahap ataupun paralel? Serta bagaimana sebaiknya sikap pemerintah dan stakeholder telekomunikasi tentang UU Telekomunikasi pasca summit?
Menyikapi pertanyaan-pertanyaan di atas, kita tentu tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa pada akhir tahun 2004 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan UU Ketenagalistrikan No 20/2002 dan meminta pemerintah merevisi UU Minyak dan Gas No. 22/2001. Seperti pernah saya tuliskan, pembatalan UU Ketenagalistrikan tersebut sesungguhnya tidak merupakan sinyal yang positif dalam menyongsong Infrastructure Summit (The Jakarta Post, 3/1/05). Kenyaataan ini sedikit banyaknya mempengaruhi kelompok masyarakat yang menginginkan perubahan terhadap UU Telekomunikasi No 36/1999. Dengan demikian, kita tentu tidak bisa pula mengabaikan pendapat yang menginginkan pembatalan atau perubahan UU Telekomunikasi. Di sisi lain, timbul pula pertanyan apakah mereka yang menginginkan perubahan tersebut, terutama investor asing, betul-betul telah memahami kondisi pertelekomunikasian nasional secara utuh.
Menurut hemat saya ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan percepatan pembangunan infrastruktur, revisi UU Telekomunikasi, dan BRTI. Pertama, walaupun sektor telekomunikasi dan listrik yang berumpun kepada satu disiplin ilmu pada awalnya memiliki kondisi monopoli alamiah, saat ini kedua sektor tersebut memiliki kondisi yang jauh berbeda dalam memberikan pelayanan publik. UU Ketenagalistrikan No 20/2002 (pasal 38) secara umum memberikan keleluasaan lebih besar kepada pasar dan kompetisi yang dianggap tidak sejalan dengan UUD 1945. Sementara UU Telekomunikasi masih menekankan bahwa telekomunikasi dikuasai oleh negara (pasal 4) dan beberapa pasal lainnya masih mendukung serta tidak berseberangan dengan konstitusi.
Kedua, hasrat dan kebutuhan masyarakat bertelekomunikasi mempunyai saluran yang lebih banyak dibandingkan dalam memperoleh listrik. Walaupun PT. Telkom dan PT. Indosat tidak terlalu serius menggarap segmen layanan telepon tetap, masyarakat masih memiliki jasa telekomunikasi lainnya sebagai alternatif seperti telepon seluler dan fixed wireless dengan harga yang kompetitif dan bahkan kualitas layanan yang lebih baik. Berbeda sekali halnya dengan listrik. Masyarakat hingga saat ini tidak memiliki alternatif untuk memperoleh listrik secara kompetitif dan layanan yang lebih baik. Hal ini membuat penggalangan pendapat masyarakat untuk membatalkan UU Ketenagalistrikan tersebut menjadi lebih mudah.
Ketiga, kondisi kesehatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telekomunikasi juga berbeda dengan BUMN di bidang ketenagalistrikan. Tidak bisa dipungkiri PT.Telkom telah memberikan kontribusi cukup besar kepada pendapatan negara. Demikian pula PT. Indosat ketika masih berstatus BUMN. Kedua perusahaan tersebut secara berkesinambungan telah menyetorkan laba kepada pemerintah secara teratur dan juga menjadi penyetor pajak yang termasuk besar. Tanpa mengecilkan peran PT. PLN dalam menyediakan kebutuhan listrik masyarakat, kita menyaksikan BUMN di sektor ketenagalistrikan masih harus berjuang keras agar tetap untung dan memperbaiki neraca keuangan yang mencerminkan tingkat kesehatan perusahaan.
Keempat, bentuk, fungsi, dan pertanggungjawaban organisasi BRTI seharusnya tidaklah menjadi perdebatan lagi. Karena jelas sekali bahwa mantan Menteri Perhubungan Agum Gumelar dalam keputusannya membentuk BRTI telah menyatakan bahwa BRTI yang ada saat ini adalah bentuk sementara alias masih transisi. Dengan demikian menjadi tugas pemerintah yang ada sekarang serta seluruh stakeholder telekomunikasi untuk mendorong secara terus menerus terbentuknya BRTI yang benar-benar independen. Bukan BRTI yang dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal dan bertanggung jawab kepada Menterinya.
Dengan memperhatikan butir-butir di atas, bisa diambil kesimpulan agar kita sebaiknya menghindari langkah-langkah yang dapat menggiring kepada pembatalan UU Telekomunikasi. Karena disampaing pertimbangan yang telah diuraikan, pembatalan UU Telekomunikasi sebagaimana UU Ketenagalistrikan akan membawa kita kembali kepada UU Telekomunikasi No 3 /1989 yang tentu saja sudah tidak terlalu cocok dengan kondisi sekarang. Lantas bagaimana kalau direvisi saja?
Pernyataan untuk merevisi UU Telekomunikasi seperti di cantumkan dalam deklarasi menurut hemat saya juga bukan langkah yang tepat. Banyaknya masalah telekomunikasi yang berkembang dewasa ini baik yang diakibatkan lambannya pemerintah dalam mengantisipasinya dengan regulasi dan aturan pelaksana UU ataupun karena cepatnya kemajuan teknologi telekomunikasi, tidaklah akan mampu diselesaikan dengan merevisi UU Telekomunikasi saja. Menyiapkan draft UU baru yang mampu mengantisipasi permasalah telekomunikasi, teknologi informasi (IT) dan sekaligus untuk menyiapkan infrastruktur telematika menyambut Knowledge Based Economy (KBE), mungkin merupakan salah satu langkah yang lebih baik. Persiapan untuk itu tidaklah harus dilakukan buru-buru, tetapi dapat dimulai dari sekarang dan diikuti dengan proses penyusunan yang transparan. Draft UU ini diharapkan mampu mengantisipasi perkembangan teknologi telematika paling tidak untuk lima atau enam tahun mendatang. Langkah ini diharapkan dapat dimulai tanpa menghiraukan ada atau tidaknya perubahan struktur pemerintahan/ kabinet yang bertanggungjawab mengurusi telekomunikasi.
Disamping menyiapkan draft UU yang baru, pemerintah tentu diharapkan dapat terus melanjutkan restrukturisasi sektor telekomunikasi dan mereformasi regulasi yang menghambat kompetisi agar masyarakat dapat menikmati jasa telematika secara lebih mudah, murah dan andal. Semoga!
______
*) Senior Infrastructure Economist, bekerja di Bappenas.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment