Monday, April 04, 2005

Ekonomi Telekomunikasi (Memahami Hubungan Pembangunan Ekonomi dan Telekomunikasi)

Oleh: Eddy Satriya*)




Catatan: Telah diterbitkan di Majalah Biskom Edisi Maret 2005

“…….Sedangkan survey ITU menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 % kepadatan telepon di sektor telekomunikasi akan meningkatkan perekonomian sebesar 3 %….”, demikian suatu penggalan kalimat yang sering dan masih terus digunakan oleh banyak pejabat, pengamat dan pelaku bisnis telekomunikasi di Indonesia. Penggalan kalimat tersebut sering kita baca dan dengar di berbagai media cetak, media elektronik ataupun langsung menjadi bagian pidato dalam berbagai kesempatan. Menjadi pertanyaan, apakah hubungan antara kepadatan telepon dan ekonomi makro tersebut masih berlaku hingga saat ini? Tulisan ini membahas kaitan antara ekonomi suatu negara dengan kondisi infrastruktur telekomunikasi, vice versa, yang sering digunakan untuk keperluan perencanaan.

Penggunaan data terbaru, pemahaman karakteristik suatu sektor serta kaitannya dengan ekonomi suatu negara sangatlah penting dalam suatu proses perencanaan pembangunan. Tidak terkecuali di sektor telekomunikasi. Kaitan tersedianya fasilitas telekomunikasi dengan peningkatan pembangunan ekonomi suatu negara pertama kali dibahas secara akademis oleh A. Jipp dalam tulisannya berjudul “Wealth of Nations and Telephone Density” yang diterbitkan “Telecommunication Journal” edisi Juli 1963.

Model yang pakai Jipp ini kemudian digunakan oleh Communication Committee for International Telecommunication and Telegraph (CCITT) pada tahun 1965. Dengan menggunakan cross-sectional data diperoleh hubungan antara kondisi makro ekonomi dengan kepadatan telepon negara-negara di dunia, sebagai berikut:

Ln d = -3.1329 + 1,405 Ln g

dimana d adalah kepadatan telepon, g adalah GNP per kepala capita, dan Ln adalah natural log. Hubungan tersebut dapat diartikan bahwa untuk setiap tambahan 1 % kenaikan GDP per capita suatu negara akan memberikan kontribusi tambahan 1,4 % kepadatan sambungan telepon. Hubungan ini juga berlaku untuk kebalikannya, karena antara kepadatan telepon dan GNP memang terdapat hubungan kausalitas yang dalam ilmu ekonometrik dikenal juga dengan Granger Causality (Gujarati, 1995).

Menjadi menarik untuk melihat hubungan sebaliknya dengan menggunakan data yang lebih mutakhir. Sekedar memberikan gambaran sesuai dengan tujuan tulisan ini, penulis pernah melakukan penelitian dengan menggunakan data Bank Dunia yang ada dalam “World Development Indicators” untuk tahun 1998, 1999 dan 2003 dengan hasil sebagai berikut:

• Ln g = 6.1797 + 0.7847 Ln d (1998)
• Ln g = 5.9395 + 0.8176 Ln d (1999)
• Ln g = 5.0574 + 0.9239 Ln d (2003)

dimana semua koefisien adalah signifikan serta besaran keterwakilan R-square di atas 0.8.

Dari hasil regresi di atas terlihat bahwa setiap penambahan 1 % kepadatan telepon memang masih memberikan pengaruh positif kepada makro ekonomi suatu negara (peningkatan GNP per capita). Namun perlu dicatat bahwa peningkatan atau kontribusinya kedalam makroekonomi tidaklah sebesar pada kurun waktu 1965-1970 yang memberikan angka sebesar 3%, melainkan hanya mendekati angka 1 % persen saja. Hal ini bisa dimaklumi mengingat pertumbuhan ekonomi dunia mengalami krisis global yang diakibatkan dari krisis finansial yang berawal dari sebagian negara di Asia, termasuk Indonesia.

Dengan menggunakan hasil regresi diatas, cateris paribus, bisa dipahami sekarang bahwa setiap peningkatan 1 % kepadatan telepon sebagai bentuk investasi di sektor telekomunikasi, tidak lagi memberikan sumbangan peningkatan ekonomi makro berupa GNP per capita sebesar 3%. Penggunaan hubungan kausalitas antara kepadatan telepon dan GNP per capita haruslah dilakukan hati-hati karena hanya berlaku untuk tahun tertentu. Hubungan tersebut tidak dapat digeneralisir seperti sering diucapkan oleh banyak orang dalam berbagai pertemuan dalam pembahasan telekomunikasi.

Perlu dicatat kepadatan telepon yang digunakan dalam persamaan-persamaan di atas adalah untuk telepon tetap. Kajian antara telekomunikasi dan makroekonomi ini dapat diperluas untuk telepon selular, gabungan telepon tetap dengan selular (total) serta untuk jumlah pelanggan internet. Pendekatan ini pernah digunakan untuk menentukan jumlah satuan sambungan telepon tetap pada kurun waktu Repelita VI (1993-98) dahulu yang memberikan jumlah sambungan telepon yang akan dibangun mencapai 3.8 juta satuan sambungan. Namun angka tersebut kemudian ditingkatkan menjadi 5 juta ss setelah tercapai kesepakatan antara Bappenas, Depparpostel dan Depkeu melalui perencanaan jangka menengah lima tahunan. Kenyataan menunjukkan, sasaran pembangunan prasarana telekomunikasi Repelita VI memang bisa dicapai, walau terjadi penurunan komponen Kerja Sama Operasi (KSO) dari 2 juta ss menjadi hanya 1,2 juta ss.

Sekali lagi, sebagai penutup, hubungan antara kepadatan telepon tetap dengan kondisi makro ekonomi suatu negara memang bisa diprediksi dengan menggunakan cross-sectional data, namun harus terlebih dahulu melakukan regresi kedua besaran dengan menggunakan data terbaru. Pendekatan sederhana ini bisa digunakan dengan menggabungkan berbagai data telekomunikasi yang tersedia seperti telepon tetap, telepon seluler, termasuk pelanggan internet dan penggunaan personal computer (PC). Semoga pembaca tidak lagi terkecoh oleh pernyataan-pernyataan sejenis yang kurang didasari kepada data empiris.

________
*) Senior Infrastructure Economist, bekerja di Bappenas. (eddysatriya.blogspot.com)

No comments: