Tuesday, July 12, 2005

Hemat Energi Yang Terlupakan

(Tulisan ini belum dipublikasikan selain di blog ini)

Oleh: Eddy Satriya*



Hari-hari ini adalah hari-hari krisis energi, terutama bahan bakar minyak (BBM). Sungguh beruntung bangsa Indonesia, karena akhirnya krisis itupun datang menyengat. Ia datang mengingatkan semua pihak bahwa selama ini kita memang telah melupakan betapa energi adalah salah satu barang ekonomi yang sangat berharga. Arti penting energi dalam kehidupan sebenarnya sudah lama dipahami dan terus diingatkan oleh banyak orang. Salah satunya adalah Jeremy Rifkin (2002) yang dalam “The Hydrogen Economy” mengungkapkan bahwa “societies collapse when energy flow is suddenly impeded”. Begitu pula Lutz Kleveman (2003) dalam “The New Great Game. Blood and Oil in Central Asia”, kembali mengingatkan betapa politik ekonomi tidak dapat dipisahkan dari sumber energi, terutama minyak dan gas (migas). Saking pentingya, untuk menguasai sumber energi jika perlu nyawa orang lain pun dikorbankan. Namun penduduk Indonesia memang tergolong pelupa dan lama terlena. Sekarang, seperti orang yang terbangun dari mimpi panjang, semua mendadak bicara tentang pentingnya hemat energi.

Seperti diketahui, kegagalan Pertamina memasok BBM ke pelosok negeri serta berbagai masalah terkait telah memaksa pemerintah menyerah. Tidak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakilnya Jusuf Kalla (JK) akhirnya memohon dan menghimbau agar masyarakat bisa melakukan penghematan energi, terutama BBM, dalam menjalankan berbagai aktivitas ekonomi mereka (Kompas, 23/06/05). Memang penghematan menjadi salah satu cara yang paling mungkin dilakukan saat ini mengingat proses peningkatan produksi membutuhkan waktu.
***

Kita memang tergolong bangsa yang boros dalam penggunaan energi. Intensitas Energi - indikator yang mengaitkan tingkat penggunaan energi dengan peningkatan GDP suatu negara - Indonesia memang tergolong masih besar. Meski bukan merupakan indikator yang paling sahih, karena jumlah populasi Indonesia yang tinggi, intensitas energi Indonesia tergolong buruk dibandingkan dengan sebagian besar negara ASEAN lainnya, apalagi jika dibandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat (AS).

Kesadaran akan pentingnya keberlanjutan suplai energi dalam kehidupan kadang memang terlupakan. Kita menyaksikan dan merasakan betapa pendingin udara (AC) di beberapa gedung di Jakarta memang jarang disesuaikan dengan standar kesehatan manusia. Tingkat dinginnya sering memaksa orang harus menyesuaikan pakaian, persis di negeri empat musim yang sedang dilanda musim dingin. Hotel-hotel besar dan pusat perbelanjaan menjadi serba tertutup dan masif sehingga pencahayaannya lebih mengandalkan cahaya lampu daripada tata cahaya alami. Supir-supir pun banyak yang menghidupkan AC jika menunggu majikannya. Singkat kata dari berbagai lapisan, kita memang boros energi.

Selain pelupa dan abai, kita juga tergolong pemalas. Dalam memasak nasi misalnya, sekarang orang lebih mengandalkan “magic jar”. Entah bagaimana ceritanya, rakyat bangsa ini telah dengan sadar mengimpor berjuta-juta magic jar untuk menopang gaya hidup malasnya. Pernah saya ulas dalam “Fenomena Magic Jar” betapa setiap hari rata-rata penduduk Indonesia mengonsumsi sekitar 12 Giga Watt Hour (GWh) hanya untuk memanaskan nasi (Majalah Trust, 30/5/05). Sering kali magic jar itu dibiarkan hidup 24 jam dalam sehari hanya untuk memanaskan sekepal nasi hingga menguning. Sementara itu di Filipina, Thailand, dan beberapa negara ASEAN lainnya, penduduknya masih tetap menggunakan rice cooker yang hanya dihidupkan seperlunya.

Cerita ini pernah saya utarakan pada bulan April 2005 lalu dalam suatu diskusi terbatas dengan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie. Beliau terlihat prihatin dan menambahkan pula dengan cerita betapa banyak hotel di pulau Bali yang tidak mengatur suhu minimal kamar. Alhasil, sering kali AC dihidupkan di bawah 18 derajat Celcius karena para tamu tidak mau terlalu kepanasan ketika menikmati hangatnya cuaca Bali. Mereka tetap menghidupkan AC, lalu membuka pintu kamar lebar-lebar untuk mengimbangi hangatnya pantai Bali. Sayangnya usulan untuk membuat paket khusus hemat energi pada waktu itu tidak terlalu dianggap suatu yang serius dan mendesak oleh peserta diskusi lain dan dikatakan telah tertampung dalam agenda konservasi energi.
***

Sekarang rakyat harus siap-siap dengan kondisi yang mungkin tidak pernah terbayangkan. Jika pemadaman bergiliran sudah menjadi suatu hal yang biasa, mulai minggu depan besar kemungkinan akan banyak kejutan. Himbauan hemat energi yang pernah dikeluarkan SBY dan JK besar kemungkinan akan berubah menjadi suatu instruksi atau aturan baru yang bisa saja berujung kepada suatu sanksi.

Masyarakat, termasuk seluruh elite pimpinan, memang seyogyanya merobah cara pandang dan tata cara penggunaan energi agar lebih hemat dan efisien. Namun sangat diharapkan penguasa juga mampu memberikan suri teladan, selain aturan yang masuk akal dan tidak kontra-produktif. Juga diharapkan aturan tersebut tidak menambah panik masyarakat yang justru sudah dalam kondisi sangat sulit. Hal itu hanya dapat dicapai jika kembali menggunakan langkah sosialisasi dan kampanye hemat energi terprogram yang dulu pernah sukses dilakukan namun kemudian terlupakan.

______
*) PNS di Bappenas. Menetap di Sawangan, Depok.
(satriyaeddy@yahoo.com )

2 comments:

Anonymous said...

Pak Eddy,
Saya kurang sependapat dengan pernyataan di bawah:
"Selain pelupa dan abai, kita juga tergolong pemalas. Dalam memasak nasi misalnya, sekarang orang lebih mengandalkan “magic jar”."

Kalo buat saya, gara-gara malas itulah muncul lah teknologi yang bertujuan meringankan hidup kita.

Lagipula, darimana Bapak bisa mengatakan bahwa hanya bangsa kita saja yang suka pake Magic Jar? Negara-negara ASEAN lainnya juga banyak yang pake. Malah mereka juga pake "Water Jar". Gak tau apa namanya yang jelas prinsipnya dia bisa "Boiling" and "Warming". Padahal kan kita bisa pake termos untuk keep warm. Tul gak? Saya bisa bilang seperti ini karena saya tinggal di negara asean lainnya :)

Itu saja....

Salam.

E Satriya said...

TErima kasih mas Rahmat atas infonya. Saya juga sudah cek dengan teman2 dari Manila, Bangkok, dan bbrp negara asean lainnya. Kelihatannya memang kita lebih kurang rasional. Tapi sekali lagi terima kasih atas info anda.

Wassalam,

ES