http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=149692
Kemacetan secara perlahan namun pasti menjadi momok baru kehidupan di berbagai kota besar di Indonesia. Mendekati Lebaran, Oktober 2007, kemacetan dalam dan seputar Ibu Kota semakin menyiksa. Kemacetan yang tidak lagi membedakan hari kerja dan libur tersebut sudah menular ke Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan kota besar lainnya di Pulau Jawa. Pasca-Lebaran, kemacetan di Jakarta bukannya berkurang, melainkan semakin menjadi-jadi.
Kemacetan yang menyulitkan masyarakat dalam beraktivitas sosial dan ekonomi itu ditanggapi beragam. Berbagai solusi bermunculan, seperti pembatasan kendaraan berdasarkan jenis, tahun produksi, nomor pelat mobil, dan kepemilikan. Berbagai kebijakan diambil pemerintah, seperti pembangunan jalur bus khusus dan monorel hingga jalur angkutan air serta moda transportasi lain dengan kapasitas sarana dan prasarana transportasi massal. Pada pertengahan Oktober 2007, guna mengantisipasi kemacetan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Gubernur DKI Jakarta untuk mencari solusi kemacetan jangka pendek. Jika ada, apakah solusi jangka pendek tersebut? Bagaimana dengan kemacetan yang sehari-hari terjadi di jalan tol, baik di dalam kota ataupun antarkota?
Sebelum membahas solusi tersebut, kita bersepakat bahwa kemacetan
merugikan individu, kelompok masyarakat dan bangsa yang sedang membangun. Bangsa ini telah rugi besar. Mulai kehilangan waktu, terbuangnya bahan bakar, kehilangan berbagai kesempatan transaksi ekonomi, hingga penurunan produktivitas dan daya saing. Kerugian itu diperparah peningkatan tekanan mental (stres) di perjalanan, tingginya kecelakaan serta maraknya kriminalitas, termasuk menyuburkan praktik KKN.
Sesungguhnya kemacetan di Jakarta dan sekitarnya bukan masalah yang berdiri sendiri dan tiba-tiba muncul, melainkan merupakan aggregat kebuntuan berbagai kebijakan yang saling terkait, lalu menjadi benang kusut. Kebuntuan itu bukan hanya sektor yang terkait kemacetan, seperti transportasi, permukiman, dan pekerjaan umum, melainkan di berbagai kebijakan daerah dan regional, terutama penataan ruang.
Sulit menyikapi kebijakan pembangunan jalan raya dan jalan tol yang menggusur permukiman dan lahan subur. Bagaimana bisa diterima akal sehat jika kebijakan yang diambil malah menyemarakkan KKN? Mungkin luput dari perhatian betapa aparat pesta 'menilang' kendaraan karena melanggar three in one. Sementara itu, taksi tidak bebas beroperasi. Sebab, adakalanya dari arah dan jam tertentu, taksi tidak boleh berbelok ke jalan protokol di Bundaran Hotel Indonesia, bahkan dilarang keluar dari pintu belakang Bandara Soekarno-Hatta. Penumpang taksi harus membayar parkir ketika masuk pusat perbelanjaan, rumah sakit, dan perkantoran. Masih banyak kebijakan yang justru mendorong penggunaan kendaraan pribadi.
Bagaimana mencerna kebijakan yang mengizinkan berdirinya pusat perbelanjaan di kawasan Semanggi yang secara pelan dan pasti mengikis fungsi Jembatan Semanggi yang pernah menjadi kebanggaan nasional. Menjamurnya perumahan dan apartemen tanpa aturan juga memperparah kemacetan. Pemutarbalikan fungsi lahan dan tata ruang hingga ke Serang, Karawang, dan Bogor akan meningkatkan kemacetan yang mengepung pintu masuk dan keluar Jakarta.
Uraian tersebut hanya contoh betapa parahnya sebab dan akibat yang terkait dengan kemacetan di Jakarta. Karena itu, meski terus dicari, solusi jangka pendek mengatasi kemacetan menjadi kurang relevan.
Apa yang bisa dilakukan? Salah satu langkah tersisa adalah solusi jangka panjang yang memberikan kesempatan untuk cooling down dalam proses perencanaan. Kita sudah sering terjebak dalam solusi jalan pintas. Ide-ide penyelesaian cenderung hasil olah pikir sesaat namun sesat, yang justru menjauhkan kita dari sasaran yang dituju.
Memindahkan ibu kota seperti pernah direncanakan Presiden Soekarno kelihatannya perlu dipertimbangkan kembali untuk dapat menyelesaikan masalah kemacetan di Jakarta dan sekitarnya dan kota-kota besar di Pulau Jawa.
Pindah ke mana dan bagaimana? Memindahkan ibu kota ke kota lain di Pulau Jawa tidak akan menyelesaikan masalah, mengingat daya dukung Pulau Jawa yang semakin terbatas. Karena itu, pilihan hanyalah memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa. Alternatif itu bukan hanya untuk memecahkan masalah kemacetan, melainkan secara bersamaan menjadi solusi untuk berbagai sektor lain dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan infrastruktur, pelayanan jasa publik, dan tata kelola pemerintahan yang pada akhirnya akan memberikan kualitas kehidupan lebih baik. Janganlah dilupakan bahwa kehidupan dan kemerdekaan yang kita nikmati sekarang bukan hanya warisan generasi pendahulu kita, melainkan juga titipan generasi mendatang.
Memindahkan ibu kota ke Palangkaraya merupakan salah satu alternatif. Alternatif lain, ke kota-kota yang selama ini sudah menderita karena akumulasi berbagai konflik, seperti Poso (Sulawesi), Ambon (Maluku), dan Banda Aceh (Sumatra). Namun, guna menegakkan aspek pemerataan pembangunan, ada baiknya ibu kota dipindahkan setiap 40 atau 50 tahun.
Bukankah kita menginginkan pemerataan pembangunan yang lebih baik sehingga dapat mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat? Tuntutan percepatan realisasi otonomi daerah juga diharapkan akan terjawab. Di sisi lain, pengurangan beban pembangunan Pulau Jawa akan terjadi, lebih khusus lagi, Jakarta secara bertahap bisa ditata ulang dan disiapkan menjadi salah satu pusat bisnis di Asia Tenggara.
Pemindahan ibu kota secara berkala mungkin 'ide gila' jika dilihat dari kaca mata sekarang. Tapi, apakah kita tidak kalah gila membiarkan terus berdirinya rimba beton di sentra Jakarta dengan menggusur lahan hijau dan ruang terbuka? Bukankah kita juga sudah cukup gila membiarkan para pejabat menunda pembangunan, menyimpan dana dalam SBI, dan penyalahgunaan wewenang lainnya, untuk kemudian justru membelanjakan uang yang dihasilkan daerahnya antara lain untuk membeli properti di Jakarta? Masihkah kita bisa menalar ketika rumah demi rumah di daerah Menteng, Pondok Indah, Kemang dan beberapa lokasi strategis lainnya justru beralih kepemilikan ke tangan pengusaha dan pejabat daerah, atau pejabat pusat yang kembali ke Jakarta setelah 'panen' di daerah?
Kita telah melupakan bahwa salah satu sumber masalah nasional adalah tidak meratanya penyebaran penduduk yang diikuti perbedaan tingkat sosial. Jakarta dan Jawa jelas masih menjadi 'gula yang mengundang semut'. Jika memang mencari solusi kemacetan, mulailah dengan menyelesaikan akar permasalahan. Apalagi jika langkah yang diambil juga bisa membangun Indonesia seutuhnya untuk jangka panjang dan menyejahterakan generasi mendatang. Pemindahan ibu kota tidak harus serentak karena sangat sulit dari berbagai sisi. Tetapi bertahap. Bukankah kita sekarang sedang menyiapkan infrastruktur informasi dan komunikasi berupa rencana penggelaran serat optik Palapa Ring di wilayah timur Indonesia? Penggunaan infrastruktur informasi yang berkapasitas dan berkecepatan tinggi itu akan menurunkan biaya operasi dan memudahkan komunikasi dengan ibu kota baru. Kembali, masalahnya bukan bisa atau tidak bisa. Tetapi maukah kita? Semoga, bersama kita memang bisa maju dan jaya!
Penulis: Eddy Satriya, Senior Infrastructure Economist. Bekerja pada Menko Bidang Perekonomian
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
Oi, achei seu blog pelo google está bem interessante gostei desse post. Gostaria de falar sobre o CresceNet. O CresceNet é um provedor de internet discada que remunera seus usuários pelo tempo conectado. Exatamente isso que você leu, estão pagando para você conectar. O provedor paga 20 centavos por hora de conexão discada com ligação local para mais de 2100 cidades do Brasil. O CresceNet tem um acelerador de conexão, que deixa sua conexão até 10 vezes mais rápida. Quem utiliza banda larga pode lucrar também, basta se cadastrar no CresceNet e quando for dormir conectar por discada, é possível pagar a ADSL só com o dinheiro da discada. Nos horários de minuto único o gasto com telefone é mínimo e a remuneração do CresceNet generosa. Se você quiser linkar o Cresce.Net(www.provedorcrescenet.com) no seu blog eu ficaria agradecido, até mais e sucesso. If is possible add the CresceNet(www.provedorcrescenet.com) in your blogroll, I thank. Good bye friend.
Saya setuju untuk memindahkan ibukota. Sebaiknya di Kalimantan dan dibangun murni dari awal di lahan bekas HPH seluas 500 km2 sehingga kota tersebut benar2 bisa direncanakan dengan baik seperti lebar jalan harus 5 jalur untuk tiap arah ada trotoar dan jalur untuk sepeda, dsb. Kalau di kota lama fleksibilitas seperti ini agak sulit.
Pemerintah cukup memakai 10 km2 untuk gedung pemerintah. 100 km2 dipakai untuk hutan/taman kota dan 390 km2 bisa dijual untuk umum. Hasilnya bisa dipakai untuk membiayai pembangunan ibu kota.
COMMENT SAYA yg lama ngga masuk ya.
Pindah ibukota?udah pernah dicoba, pake keppres segala. Bubar dengan turunnya pak Harto.
Jaman sekarang aturannya lebih ketat. Ada PP tentang pemekaran juga aturan tentang pindah ibukota.
CH
//CHRISCITYPLAN.BLOGS.FRIENDSTER.COM/CHRISCITYPLAN
Post a Comment