Monday, January 19, 2009

Memanfaatkan Infrastruktur Eksisting TIK dalam Menyongsong Knowledge Based Government

Sabtu, 27 Desember 2008 06:00 Wartaegov.com

Kiranya memang sangat pantas penulis dan penyair Thomas Sterns Eliot, kelahiran St. Louis, Missouri, Amerika Serikat, memenangkan hadiah Nobel bidang literatur pada 1948. Jauh-jauh hari melalui salah satu kumpulan puisinya, ia telah mengingatkan kita semua akan pentingnya rangkaian hubungan informasi (information), ilmu pengetahuan (knowledge), dan menjadi bijak (wisdom).

Karya lawas TS Eliot ini terasa semakin kontekstual dan relevan dalam proses pembangunan suatu bangsa, termasuk Indonesia, yang saat ini terus berupaya meningkatkan perannya di kancah internasional.

Karena itu, badai krisis finansial global yang terjadi akhir-akhir ini sudah selayaknya dijadikan sebagai “wake up call” yang dapat membangkitkan semangat kita mencari terobosan dalam melaksanakan pembangunan di berbagai bidang. Di samping itu, krisis tersebut seyogyanya dapat menambah keyakinan kita bahwa pada akhirnya Indonesia harus mampu “berdiri di atas kaki sendiri” karena sebagai sebuah bangsa yang besar, kita memang memiliki potensi sekaligus pasar yang besar pula.

Setelah berjuang dalam berbagai tahapan pembangunan sejak Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, hingga Orde Reformasi yang memberikan titik berat pembangunan kepada bidang yang berbeda-beda, maka sekarang sudah waktunya pula untuk mencari terobosan baru. Salah satu terobosan yang saat ini patut dicoba adalah pemanfaatan berbagai “gadget” atau fasilitas elektronika telekomunikasi yang sudah ada di sekitar kita. Khususnya pemanfaatan berbagai sarana dan prasarana yang telah kita miliki di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Tidak banyak yang menyadari betapa telah meningkatnya kapasitas telekomunikasi terpasang saat ini. Jika dibandingkan dengan kondisi akhir Pelita VI pada 1988/89, dimana kita baru memiliki kapasitas terpasang sekitar 8,5 juta satuan sambungan (ss), maka diperkirakan 10 tahun kemudian pada 2008 ini kita akan memiliki tidak kurang dari 110 juta ss sebagai kombinasi dari telepon tetap, telepon bergerak (GSM), dan fixed wireless access (FWA). Jelas ini suatu peningkatan signifikan yang memberikan penetrasi tidak kurang dari 50% jumlah penduduk Indonesia sendiri. Demikian pula dengan aksesibilitas internet yang mulai menyebar dengan harga yang lebih terjangkau.

Memperhatikan ketersediaan layanan telekomunikasi dan internet tersebut, yang kemudian juga didukung oleh terbitnya UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta berbagai kemajuan aplikasi TIK yang telah dicapai pihak swasta, maka sudah selayakya potensi yang tersedia di sektor TIK ini segera diberdayakan.

Menjadi pertanyaan sekarang, untuk apa sebaiknya dimanfaatkan? Pihak pro-ekonomi, tentulah lebih cenderung mengutamakan pemanfaatan fasilitas itu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Beberapa indikator TIK seperti kepadatan telepon dari dulu memang telah dipercaya mempunyai korelasi yang erat dengan pertumbuhan PDB suatu negara (Jipp, 1963).

Saat ini Indonesia telah memasuki era transisi dari ekonomi pertanian dan industri menuju ekonomi informasi dan pengetahuan. Meski memiliki keterbatasan dalam penguasaan teknologi secara umum, namun dalam hal pemanfaatan TIK untuk kegiatan ekonomi kita sesungguhnya tidaklah tertinggal jauh.

Bahkan sebagian masyarakat di kota besar tergolong lebih maju dan “melek” dengan teknologi dan “gadget” TIK. Sebagai contoh, pada 1997 masyarakat kita sudah terbiasa menggunakan e-Banking untuk berbagai keperluan seperti pembayaran kartu kredit, tagihan listrik dan telepon. Padahal ketika itu masyarakat di Amerika Serikat dan Eropa masih repot menuliskan check untuk tujuan yang sama.

Sedangkan keinginan untuk memanfaatakan TIK dalam proses demokrasi kelihatannya masih harus ditunda karena terbukti di bidang politik, giliran bangsa kita yang belum bisa mengubah budaya pemilihan manual ke pemilihan online atau e-Democracy.

Memperhatikan berbagai proses birokrasi dan ketatanegaraan yang terjadi sejak turunnya Presiden Suharto pada 1998, penulis cenderung mengoptimalkan pemanfaatan prasarana dan sarana TIK yang ada saat ini untuk melakukan terobosan dalam reformasi birokrasi. Dengan kata lain, kita harus segera memulai era Knowledge Based Government atau KBG. Karena sangat jelas terlihat bahwa setelah lebih dari 10 tahun melakukan reformasi, kualitas birokrasi dan mutu pelayanan publik kita semakin menurun.

Hal ini terbukti dengan makin banyaknya institusi ataupun pejabat yang masih terus melakukan pelanggaran birokrasi seperti melakukan praktek KKN yang tercela itu. Berbagai rentetan panjang praktek KKN terus berlangsung dan tidak terbendung seperti di Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2004 lalu; suap menyuap di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Kejaksaan; penyelewengan dana APBN di Departemen Kelautan dan Perikanan serta Depdagri; hingga terbongkarnya dugaan praktek penyelewengan dana Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Dephukham yang ironisnya, justru memanfaatkan fasilitas TIK melalui situs online www.sisminbakum.com.

Di samping penyelewengan, tercatat pula beberapa kali dana APBN tidak mampu dimanfaatkan dengan baik untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat di berbagai layanan publik. Fasilitas TIK masih sangat minim digunakan untuk melayani penyediaan informasi bagi petani dan nelayan, untuk pendidikan jarak jauh, hingga pelayanan kesehatan. Meski sudah mulai digunakan, prasarana TIK masih belum dimaksimalkan untuk suatu proses e-Budget, pelayanan KTP, dan paspor secara online. Masih tertutupnya pengelolaan sektor migas yang belum memanfaatkan web-based management system, telah mendorong terbitnya hak angket. Memang sebagian besar aktivitas birokrasi dan fungsi pelayanan pemerintah masih bersandarkan kepada cara-cara manual yang tidak efisien dan efektif dan rawan praktek KKN.

Jika kita memang ingin membuat terobosan dan lompatan yang ditunggu-tunggu rakyat sejak lama, maka sudah selayaknya berbagai langkah pemanfaatan konvergensi TIK untuk pelaksanaan kegiatan kepemerintahan (Knowledge Based Government) harus segera dirancang dan dilaksanakan.

“Dengan TIK kita bisa!”

Oleh: Eddy Satriya (Asdep Telematika dan Utilitas di Menko Perekonomian)

No comments: