Monday, May 31, 2004

JABATAN RANGKAP: BENARKAH SEBUAH DILEMA?

Oleh: Eddy Satriya*)
satriyaeddy@yahoo.com

Telah diterbitkan di Portal Ikatan Alumni ITB bulan September 2003

===Seri Reformasi===

Gonjang-ganjing perkara mundurtidaknya para anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang juga berstatus dosen pada saat bersamaan masih menjadi perbincangan didalam berbagai pertemuan. Permasalahan ini muncul kepermukaan pada awal Maret 2003 lalu setelah Pasal 18 Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilu yang akan disetujui menjadi UU Pemilu juga mensyaratkan bahwa anggota KPU (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota) harus tidak sedang menduduki jabatan politik, struktural dan fungsional serta harus menyediakan diri untuk berkerja penuh.

Berbagai media telah membahas masalah yang dihadapi oleh para dosen tersebut dalam beberapa headlines, editorial dan tajuk rencana. Sebagian media cetak dan elektronik mendukung mereka untuk mundur dari KPU dan kembali mengabdi di perguruan tinggi. Sebagian lainnya menyayangkan rencana mundur para dosen tersebut dari KPU. Bahkan ada pula yang menyebutkan UU Pemilu tersebut tidak memperhatikan kondisi di lapangan dan proses penyelesaian peraturan perundangannya dibuat asal jadi (Pembaruan, 5/03/03).

Pada kurun waktu yang bersamaan, masalah dugaan rekayasa finansial penggembosan aset Bank Lippo juga menjadi sorotan. Selain alasan “penggorengan” harga saham, juga karena seorang dosen dari Universitas Gajah Mada (UGM) yang menjadi wakil pemerintah sebagai komisaris perusahaan di bank tersebut berpendapat bahwa laporan ganda keuangan yang dikeluarkan oleh Bank Lippo tidaklah merupakan kesalahan fatal. Pernyataan yang ditolak mentah-mentah oleh pengamat pasar modal Lin Che Wei mengingat besarnya potensial kerugian negara (Kompas, 21/2/03).
Berkaitan dengan jabatan rangkap, kelihatannya eforia berdemokrasi serta saking susahnya merubah pola pikir kearah proses reformasi yang sebenar-benarnya telah menggiring banyak pihak menjauh dari rel reformasi itu sendiri. Kita memahami bahwa pekerjaan di KPU adalah suatu pekerjaan yang sangat mulia dengan tugas dan tantangan berat untuk melayani masyarakat memberikan suaranya. Hal ini dapat terlihat dari uraian tugas dan kewenangan KPU seperti tertera di website KPU (www.kpu.go.id) yang meliputi: merencanakan dan menyiapkan pelaksanaan Pemilu; menetapkan partai-partai yang berhak ikut Pemilu; membentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI); menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan; menetapkan seluruh hasil Pemilu di semua daerah pemilihan, mengkompilasi data hasil Pemilu dan memimpin tahapan kegiatan Pemilu. Jelas suatu rangkuman tugas yang tidak dapat disebut gampang. Dari sebelas anggota KPU termasuk Ketua dan Wakil Ketua, hanya satu orang yang tidak berstatus dosen, yaitu Anas Urbaningrum. Sepuluh anggota KPU lainnya menyatakan pekerjaannya sebagai dosen yaitu sebagai berikut: Nazaruddin Syamsuddin - UI; Ramlan Surbakti –Unair; Mulyana W. Kusumah - UI; Daan Dimara – Uncen; Rusadi Kantaprawira – Unpad; Imam Prasodjo – UI; Chusnul Mar’iyah – UI; Mudji Sutrisno – STF Drikarya dan UI; Hamid Awaludin – Unhas; dan Valina Subekti – UI.

Walaupun belum sampai tenggat waktu, dua orang anggota KPU yaitu Mudji Sutrisno dan Imam Prasodjo telah menjatuhkan pilihannya untuk mundur dari KPU. Pilihan yang sangat melegakan menurut saya. Pilihan yang lebih mencerminkan hati nurani ketimbang silau dengan berbagai fasilitas dan kesempatan yang mungkin menjadi hak orang lain. Sementara itu, Prof. Nazaruddin Syamsudin selaku Ketua KPU sendiri telah mengisyaratkan untuk cuti dari tugas utamanya sebagai dosen dengan alasan pekerjaan di KPU saat ini sangat cocok dengan bidang keahliannya. Suatu teladan yang termasuk langka dilakukan di dalam negeri, namun merupakan prosedur baku dan lumrah bagi seorang dosen untuk menjabat suatu jabatan birokrasi di negara maju seperti Amerika Serikat. Tentu timbul pertanyaan kepada para anggota KPU lainnya yang juga berstatus dosen. Apakah mereka akan mundur atau tetap sebagai moonlighter? Jawabannya tentu terpulang kepada nurani masing-masing. Sebagai orang dewasa yang “melek” hukum dengan kemampuan intelektual di atas rata-rata, tentu mereka punya alasan masing-masing dan diharapkan dapat mengambil sikap yang benar.
***

Sebenarnya phenomena jabatan rangkap adalah sebuah “penyakit” akut yang diwariskan dari zaman orde baru yang tanpa disadari telah melumpuhkan nalar dan membutakan mata, termasuk mata hati. Sejarah perjalanan bangsa ini telah mengajarkan betapa mahalnya harga yang harus dibayar karena “kekeliruan” yang mengizinkan seseorang merangkap berbagai jabatan sekaligus pada era tersebut. Ironisnya kekeliruan itu pula yang masih sulit ditinggalkan dalam era reformasi sekarang ini, bahkan untuk hal tertentu cenderung semakin menjadi-jadi.Bagaimanapun juga manusia punya keterbatasan. Jarum jam saja berdetak maksimal 86.400 kali setiap harinya. Hal ini menunjukkan bahwa betapapun pintarnya seseorang sangatlah sulit mengerjakan berbagai tugas sekaligus secara efisien dan efektif karena pasti akan terkendala oleh jarak dan waktu. Apalagi jika tugas dan jabatan itu menyangkut hajat hidup orang banyak.

Penegakan hukum telah pula menjadi agenda nasional. Kalau dua butir terakhir Pasal 18 UU Pemilu sebagai produk hukum utama telah jelas melarang jabatan rangkap dan menegaskan keharusan berkerja penuh bagi seluruh anggotanya, hal apa lagi yang harus menjadi kerancuan? Menjadi dilema? Sesungguhnya kerancuan dan dilema itu ada pada diri kita. Apakah bijak membiarkan atau mendorong seorang dosen utama berkerja rangkap dan serabutan? Padahal mereka sangat diperlukan untuk memperbaiki sektor pendidikan yang carut marut. Tulisan saya berjudul “Dosen, Peneliti, dan Birokrat” (Sinar Harapan, 11/1/03) menegaskan betapa tidak mudahnya jabatan birokrasi bagi seorang dosen, karena sangat rentan terhadap kemungkinan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan bahkan terkadang tergolong intellectually harassing jika sudah menyentuh “zona” keproyekan.

Dengan berbagai keterbatasan sumber daya yang ada, diperkirakan kegiatan KPU akan sarat dengan proyek dan berbagai kegiatan outsourcing lain yang membutuhkan jam terbang. Terlebih lagi jika alokasi dana Pemilu yang relatif besar itu “harus” dihabiskan dalam waktu yang terbatas. Situasi yang tentu saja mempertaruhkan kemuliaan intelektual seorang dosen yang menjadi anggota KPU. Sementara sukses tidaknya Pemilu 2004 adalah sangat kritikal dan tidak layak dipertaruhkan untuk suatu jabatan rangkap.

Disamping kasus jabatan rangkap dosen UI di lembaga KPU serta dosen UGM yang juga menjadi Staf Ahli Menteri Keuangan, Pelaksana Tugas suatu Badan di Departemen Keuangan, dan komisaris pemerintah untuk Bank Lippo di atas, kiranya telah banyak contoh disekitar kita tentang peliknya jabatan rangkap ini dalam kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia yang benar-benar mendambakan perbaikan disegala bidang. Misalnya, tersendatnya proses penyelesaian RUU Advokat yang sangat ditunggu dalam rangka pelaksanaan reformasi bidang hukum menurut Atur Toto, seorang pemerhati masalah hukum dan politik, tidak lepas dari tarik ulur tentang pasal RUU Advokat yang juga secara tegas melarang adanya pejabat publik termasuk anggota DPR merangkap menjadi advokat. Permasalahannya, sebagian anggota Komisi II DPR juga berprofesi sebagai advokat (Swara.Net, 25/11/02). Menteri Perhubungan Agum Gumelar akhir-akhir ini juga terpaksa menginstruksikan salah seorang Dirjennya untuk mundur dari komisaris PT. Telkom guna mempercepat pembentukan badan regulasi yang sudah lama ditunggu masyarakat dan pelaku bisnis telematika. Kenaikan tarif listrik yang secara perlahan tapi pasti menyulitkan, sangat menyulitkan, kehidupan rakyat berpenghasilan tetap tanpa kecuali juga menarik dicermati. Dari sisi kemasyarakatan, kenaikan tarif listrik ini juga menyiratkan suatu ironi. Betapa tidak, kepala sebuah lembaga penelitian ekonomi dan kemasyarakatan dari sebuah universitas negeri terkemuka di Jakarta yang biasanya membela “wong cilik” justru ternyata juga menjadi komisaris di PT. PLN (Persero).
***

Dari kasus jabatan rangkap di KPU dan Bank Lippo serta beberapa contoh lain seperti diuraikan di atas, rasanya sangat sulit untuk menerima jabatan rangkap itu sebagai sebuah dilema. Karena rangkapnya tidak hanya dua, tapi bisa tiga, empat dan terkadang lima atau lebih. Sekaligus. Juga hendaknya jangan diibaratkan makan buah simalakama. Lebih tepat kiranya kita sebut tawaran jabatan rangkap sebagai pilihan untuk mencukupi hidup, menimba ilmu dan berkarir. Karena hidup memang sering harus memilih, kita doakan para dosen dan siapapun yang mendapat tawaran jabatan rangkap untuk mampu memilih yang terbaik bagi dirinya, keluarga dan bangsanya. Mengharapkan turunnya berbagai peraturan hanyalah menunda momentum perbaikan bangsa. Selayaknya pula dimulai membiasakan budaya malu dan “tepo seliro” terhadap sekitar 40 jutaan orang penganggur yang juga harus menghidupi anggota keluarganya. Saya hanya bisa berdoa agar langkah yang telah diambil Prof. Syamsudin, Mudji Sutrisno dan rekan saya Imam Prasodjo bisa membuka mata hati anggota KPU yang lain. Mereka jelas tidak mungkin bolak-balik tanpa keringat dengan kecepatan cahaya dari Depok, Surabaya, Makassar, Bandung, dan Papua ke Jalan Imam Bonjol, Jakarta. Karena mereka juga manusia biasa seperti kita, bukan superman.
_________

*) PNS biasa, tinggal di Sawangan - Depok.

No comments: