Sudah terlalu sering kita dengar dan maklumi jika terjadi tabrakan atau kecelakaan maka yang akan berlaku di tempat perkara pada awalnya sudah sangat jelas dan pasti, yaitu "hukum rimba". Akan terjadi kuat-kuatan argumentasi, jika perlu otot. Selain adu argumentasi atau otot, biasanya aturan dasar juga berlaku yakni "Yang kecil selalu lebih benar dari yang besar". Alhasil, jika anda adalah pengendara motor menabrak pejalan kaki, maka pejalan kaki selalu benar dan harus diberi kompensasi. Begitu pula jika anda mengendarai mobil atau truk, maka jika anda menabrak pengendara motor atau mikrolet, maka mereka pasti benar dan wajib disantuni. Hukum rimba ini juga menyiratkan bahwa yang kelihatannya lebih mampu atau kaya harus memberi kompensasi kepada yang kelihatannya lebih miskin. Absurd bukan? Tapi itulah hidup di jalanan Indonesia dan itulah aturan yang umum berlaku di TKP.
Kondisi pelaksanaan aturan di TKP ini menjadi menarik untuk disimak dan dicermati apabila suatu kecelakaan yang membawa korban meninggal ditempat terjadi. Seperti pagi ini Selasa (6/5/08) sekitar pukur 1016 WIB persis di atas jembatan kereta di dukuh atas di jalur busway dari arah Blok M menuju Bundaran HI. Saya yang berkendara disamping jalur busway sangat kaget ketika Busway arah HI mendadak berhenti sangat cepat sehingga ban depannya mengeluarkan asap persis sekitar 15 meter di depan kanan saya. Pada awalnya saya yang merayap pelan karena di HI ada demo menyangka bahwa pengemudi busway menghindari batu besar bekas pembatas yang samar saya lihat ada di pinggir kiri kolong bus. Semakin dekat, saya kaget luar biasa...astagafirullah...., itu bukan batu, tetapi adalah sepasang sepatu kets olah raga dari seseorang (gak tahu laki atau perempuan) dengan celana jins biru yang sudah tidak bergerak lagi. Perlahan saya pelankan kendaraan kijang saya, dan persis di depan busway saya saksikan kaca depan retak2 dan juga sebahagian depan mobil bus penyok. Kesimpulannya, busway yang naas itu telah menabrak seseorang di jalur busway yang kemudian tergeletak di bawah kolong. Kaki yang tidak bergerak sangat jelas terlihat dari pinggir mobil saya. Malangnya, saya yang biasa membawa kamera, hari itu apes karena kamera saya tinggal di rumah. Ketika itu saya juga sedang mendengarkan radio elshinta, dan langsung menepi sebentar menenangkan diri tanpa tahu harus berbuat apapun. Saya hanya sempat mengirimkan sms ke stasiun radio tersebut lalu buru-buru menuju kantor karena sudah ditunggu rapat. Mau membantu? macet dan bingung tidak menuntun saya untuk berhenti.
Menjadi pertanyaan sekarang, patutkah si pengemudi busway disalahkan? Jika sudah jelas-jelas penjalan kaki berjalan atau berada pada tempat yang salah...masihkah ia tetap benar? Masihkah hukum yang kecil harus menang? Kenyataannya di beberapa referensi dan UU yang terkait memang demikian, siapa saja yang menghilangkan nyawa orang lain di jalan raya wajib bertanggung jawab. Demikian penjelasan seorang rekan saya yang menjadi polisi lalulintas.
Mungkinkah peraturan tersebut di rubah? Tatkala seorang kenalan saya menabrak mati penyeberang jalan tol di wilayah jagorawi pada 2004 silam, maka ia harus habis2an menanggung renteng semua akibat kematian penyeberang jalan tadi. Sementara ybs telah membayar tol yang harusnya bebas hambatan.
Di tengah rendahnya disiplin di negeri ini, kiranaya hukum haruslah tetap adil dan memihak kepada kebenaran. Saya pernah membayangkan jika saja berbagai cara sudah tidak mempan dan berbagai jenis sosialisasi tidak berarti, maka pendekatannya memang harus pakai cara yang tidak biasa. Maka saya membayangkan ada Perda No sekian tahun sekian yang berbunyi sbb " Menabrak orang atau motor di jalur cepat, jalan tol, dan jalur busway anda boleh jalan terus!!"
Mungkinkah?
With all respect to every life.
Eddy
Link berita di detik.com Pejalan Kaki diseruduk bus trans jakarta di dukuh atas
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment