Tuesday, November 02, 2004

BAU YANG PALING BERBAHAYA

==========seri tulisan reformasi===========

Oleh: Eddy Satriya *)
satriyaeddy@yahoo.com

Catatan: Tulisan ini telah diterbitkan di Majalah "Forum Keadilan" No 28/7
November 2004


Ketika pertanyaan "Bau apa yang paling berbahaya?" diajukan kepada beberapa
orang, bisa diperkirakan bahwa jawaban yang diperoleh akan beragam. Seorang
bupati dari sebuah kabupaten yang bertetangga dengan DKI Jakarta mungkin
akan menjawab bahwa bau yang paling berbahaya baginya adalah bau sampah yang
dikirim penduduk Jakarta. Bagi Sang Bupati, bau berjuta kubik sampah yang
tidak tertangani dengan baik dapat membahayakan kedudukannya. Sementara itu,
seorang mahasiswi kedokteran tingkat pertama mungkin menjawab bau yang
paling berbahaya adalah amisnya darah. Ketidakmampuan beradaptasi dengan
amis darah bisa menyebabkan ia drop-out dan menyia-nyiakan masa depan serta
puluhan juta yang telah disetorkan ke fakultas.

Jika pertanyaan itu mendadak diajukan kepada seorang dokter gigi yang sangat
higienis mungkin akan menjawab bau yang paling berbahaya bagi Sang Dokter
adalah bau mulut seorang lelaki perokok. Karena bau yang tidak bisa
ditangkalnya dengan "masker" dapat mengganggu mutu kerja dan merusak
citranya. Sedangkan untuk seorang Kiyai atau Buya yang disegani dari sebuah
pondok pesantren atau surau, mungkin jawabannya adalah bau kentut yang
sangat mengganggu ditengah berlangsungnya pengajian. Sang Buya bisa saja
tidak terlalu terganggu dengan bau kentut, tetapi justru lebih sewot dan
sangat marah ketika tidak ada santri yang mengaku dan meminta maaf. Bagi
Sang Buya berlaku pepatah "tangan mencincang, bahu memikul" yang perlu
dihayati para santri.
***

Membahas perihal bau yang paling berbahaya ini, ada baiknya kita menyimak
Andrew Tobias, seorang pakar internasional dibidang investasi. Tobias,
penulis buku-buku terkenal seputar "Invesment Guide" menuliskan "There is no
smell more dangerous or costly than the new car smell". Bau mobil baru
ternyata yang paling berbahaya baginya. Pernyataan tersebut secara tersirat
menghimbau untuk tetap hidup sederhana dan cerdik berinvestasi. Paham yang
sama juga dianut oleh Robert W. Bly, seorang pengajar marketing dan writing
di New York University yang berhasil menjadi millionaire pada usia 30 tahun.
Ia tetap memilih mengendarai mobil Chevrolet Chevette-nya yang telah berumur
11 tahun dan dibelinya hanya dengan beberapa US$ ribu pada tahun 1984.

Sejalan dengan globalisasi, sindrom mobil-mewah sebagai simbol status memang
telah menjalar ke seluruh penjuru dunia. Perilaku orang-orang yang
menjadikan mobil sebagai simbol statusnya dengan menarik telah dikupas
Thomas J. Stanley dan Willian D. Danko dalam buku "The Millioniaire Next
Door". Stanley dan William juga mengungkapkan bahwa orang-orang yang berasal
dari rakyat biasa dan berhasil memiliki banyak harta, justru cenderung lebih
memilih hidup sederhana, mampu mengalokasikan waktu, energi dan uangnya
secara lebih efisien, dan berpendapat bahwa "financial independence" jauh
lebih penting dibandingkan dengan memamerkan status sosial yang tinggi.
Sindrome mobil-mewah juga tidak luput melanda Indonesia yang masih tergolong
negara miskin. Nafsu tinggi masyarakat lapisan atas Indonesia memamerkan
mobil mewah juga terlihat jelas setiap pagi dan petang di jalanan ibukota
yang macet. Seliweran Mercedes Benz, Lexus, Infiniti, BMW, Land Rover,
Jaguar, dan Audi seri terbaru telah menjadi pemandangan biasa di sepanjang
jalan tol dan protokol.

Pada tahun ini kegilaan masyarakat Indonesia akan mobil mewah untungnya
luput dari pemberitaan pers karena tersaput berita ledakan bom mobil
Kuningan di depan Kedutaan Besar Australia 9 September 2004 yang lalu. Saya
sebut kegilaan karena pada posisi tanggal yang sama dalam Jakarta Motor Show
2004 di Senayan, sudah belasan orang tercatat sebagai pembeli mobil super
mewah Bentley dengan harga satuan sekitar Rp 5 Milyar! Belum terhitung mobil
mewah dengan kelas dibawahnya yang berharga dari Rp 1 hingga Rp 3 milyar.
Kegilaan, karena mobil seharga Rp 5 milyar tidaklah mungkin akan sepuluh
kali lipat lebih baik dari mobil seharga Rp 500 juta dari sisi kenyamanan
dan kinerja. Selisih harganya yang mencapai Rp 4,5 Miliar hanyalah untuk
mencerminkan status mengendarai mobil mewah.
***

Namun perilaku sebagian masyarakat Indonesia untuk memenuhi garasinya dengan
mobil mewah atau bahkan terkadang malah ada yang saya saksikan menumpang
parkir di rumah orang lain, diperkirakan akan terkendala. Pasalnya,
kematangan pemikiran, kesederhanaan gaya hidup atau mungkin juga pemahaman
tentang tentang berbahayanya bau mobil mewah dan mobil baru, telah mendorong
pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menolak menggunakan
sedan Volvo sebagai kendaraan dinas mereka. Hidayat Nur Wahid yang terpilih
secara demokratis menjadi Ketua MPR periode 2004-2009 telah memberikan
teladan dengan menyampaikan niatnya serta pimpinan MPR lainnya untuk menolak
Volvo pada tanggal 13 Oktober lalu di Gedung DPR/PMR Senayan (Detikcom,
14/10/04).

Walaupun beberapa pejabat tinggi negara lainnya ada yang skeptis dan tidak
melihat penolakan mobil mewah sebagai penghematan yang berarti, sikap Ketua
MPR itu telah membuat angin segar perubahan bertiup ditengah masyarakat
Indonesia. Sungguh suatu hal yang menyejukkan hati melihat salah satu
pimpinan lembaga tinggi negara mampu memulai langkah teladan yang sudah
sangat lama ditunggu-tunggu rakyat Indonesia.

Menjadi pertanyaan sekarang, seberapa jauhkah langkah yang telah dimulai
pimpinan MPR ini dapat ditiru para pejabat lainnya? Kita optimis, perubahan
demi perubahan akan terus terjadi. Dalam pelantikan Kabinet Indonesia
Bersatu pada tanggal 21 Oktober lalu terlihat bahwa banyak Menteri yang
datang dan pergi dari istana dengan kendaraan yang tidak tergolong mewah.
Hal ini terus berlanjut dan terlihat ketika menghadiri Sidang Kabinet
pertama esok harinya.

Jika dilihat kebelakang, masuknya mobil mewah dengan cc besar memang
memuncak pada pemerintahan setelah Presiden Suharto meletakkan jabatan.
Justru di dalam masa orde reformasilah impor mobil mewah secara built-up
makin menjadi-jadi setelah diizinkan Deperindag waktu itu. Akibatnya, bau
mobil mewah ini bukan hanya mewabah di Jakarta dan kota-kota besar, tetapi
juga sampai ketingkat kabupaten dan kota sejalan dengan semaraknya otonomi
daerah. Tidak hanya mobil mewah yang baru, ratusan mobil mewah bekas pun
masuk menyerbu ke berbagai pelosok negeri, baik secara legal ataupun melalui
usaha penyelundupan.
***

Pemahaman akan berbahayanya bau mobil baru nan mewah memang baru diangkat
lagi ke permukaan. Kita memahami adalah hak asasi setiap orang untuk bebas
membelanjakan hartanya. Agak terlalu dini menilai apakah gerakan ini akan
bisa ditularkan kepada berbagai lapisan pejabat maupun masyarakat. Namun
sudah selayaknya kita optimis, serta terus mendorong bergulirnya gerakan
untuk menyadari bahwa negara ini lebih memerlukan investasi yang efektif dan
efisien, membutuhkan pemasyarakatan pola hidup sederhana, dan tidak
menjadikan pembelian durable goods seperti mobil sebagai cara berinvestasi
yang dapat memancing kecemburuan sosial ditengah masyarakat yang tengah
dililit krisis multidimensi.

Terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memimpin negara ini
tentu saja diikuti berbagai harapan untuk memperbaiki kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat. Karena itu tidaklah salah rasanya Presiden SBY
juga diandalkan untuk mendukung pola hidup sederhana dan menjauhi penggunaan
mobil mewah bagi aparat pemerintah, termasuk militer. Sudah menjadi rahasia
umum, bahwa selain para profesional, pengacara, dan pejabat sipil, maka
sebagian pejabat militer juga sangat dimanjakan dengan fasilitas mobil dinas
yang tergolong mewah. Sekali lagi, "There is no smell more dangerous or
costly than the new car smell". Semoga harapan ini tidak salah tempat dan
sia-sia.
_________
*)Pemerhati Reformasi, menetap di Sawangan-Depok..

No comments: