Senin, 1 September 2008 | KOMPAS
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/01/00571878/kebebasan.pers.telematika.dan.nasionalisme
Bisa juga dilihat di : http://www.scribd.com/doc/12772677/KOMPAS-Cetak-Kebebasan-Pers-Telematika-Dan-Nasionali
Menahan geram, saya terpaksa mengucapkan kata-kata yang tergolong kurang sopan sebagai jawaban getir atas pertanyaan seorang wartawan tentang penayangan rekaman percakapan yang diduga berasal dari kokpit pesawat Adam Air yang jatuh di Majene, awal tahun 2007.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/01/00571878/kebebasan.pers.telematika.dan.nasionalisme
Bisa juga dilihat di : http://www.scribd.com/doc/12772677/KOMPAS-Cetak-Kebebasan-Pers-Telematika-Dan-Nasionali
Menahan geram, saya terpaksa mengucapkan kata-kata yang tergolong kurang sopan sebagai jawaban getir atas pertanyaan seorang wartawan tentang penayangan rekaman percakapan yang diduga berasal dari kokpit pesawat Adam Air yang jatuh di Majene, awal tahun 2007.
Betapa tidak, rekaman teknis pilot dan kopilot yang semestinya digunakan kalangan sangat terbatas telah diberitakan sedemikian rupa di layar kaca tanpa menghiraukan dampaknya terhadap keluarga para penumpang dan awak pesawat. Ditambah dengan teknik editing dan kombinasi visual kepanikan di kokpit pesawat, tak pelak lagi tayangan itu semakin eyes catching, membuai penonton melupakan aspek kemanusiaan bagi keluarga korban. Apalagi, terhadap kepentingan umum yang lebih luas, seperti dampak ekonomi sanksi larangan terbang oleh Uni Eropa terhadap penerbangan nasional.
Seiring proses demokratisasi yang berjalan cepat, saat ini pers nasional memang sedang menikmati surga kebebasannya. Namun, selayaknya kebebasan itu juga disesuaikan dengan kepatutan dan hukum yang berlaku.
Penyebarluasan isi ”black box” Adam Air tersebut menegaskan tingkat profesionalisme pers kita. Yang cukup mengherankan pula kenyataan bahwa hingga saat ini belum terdengar langkah konkret dari pihak kepolisian, Departemen Perhubungan, hingga Komisi Penyiaran Indonesia terhadap insiden ini.
Berlandaskan etika
Pemberitaan yang mengumbar kesedihan berlebihan serta berita tragis, seperti kasus Adam Air, bukan hanya sekali ini terjadi. Sudah sering. Dahulu ketika musibah tsunami melanda Aceh, jelas kita menyaksikan reporter dari sebuah stasiun teve berhasil ”menggiring” seorang korban yang kehilangan anak gadis dan belasan anggota keluarga lainnya untuk menyanyikan lagu kesayangan sang anak. Belum puas, reporter tersebut masih membujuk sumber berita itu untuk menyanyikan satu bait lagu lagi yang tentu saja tak mampu dilanjutkan oleh sang ayah.
Di tengah kebebasan pers yang harus dijunjung tinggi, tidak ayal lagi rentetan kupasan kejadian musibah pesawat di Indonesia ini tentu saja patut diduga berkorelasi dengan dijatuhkannya berbagai travel ban oleh beberapa negara, bahkan hingga larangan terbang maskapai penerbangan nasional—tanpa kecuali—ke Benua Eropa.
Menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana seharusnya media massa dan insan pers menyikapi suatu bahan pemberitaan? Apakah memang sudah tidak ada lagi pertimbangan yang berlandaskan etika, kepatutan, hingga hukum tentang suatu kebenaran isi berita sebelum disebarluaskan?
Alasan pembenaran
Kemajuan dunia telematika atau sekarang dikenal juga dengan teknologi komunikasi informasi) memang menjanjikan berbagai kemudahan dan ketersediaan aplikasi yang sangat canggih. Saking canggihnya, terkadang bisa menggiring orang untuk lupa diri akan waktu, tanggung jawab, hingga kepatutan.
Kemudahan berselancar di internet serta tersedianya berbagai search engine dan portal berita media massa modern dunia di layar komputer, selain mempermudah tugas para wartawan, juga meningkatkan persaingan dalam bisnis berita ini.
Namun, ketatnya tingkat persaingan dan kemampuan berinovasi yang berkaitan erat dengan rating dan jumlah iklan, tentu saja tidak pantas menjadi alasan pembenaran untuk menyebarluaskan berita yang kurang pada tempatnya.
Saya mengalami kejadian cukup menegangkan pada Februari 2001 dalam penerbangan malam Jakarta-Singapura menggunakan Singapore Airlines (SQ). Meski tidak banyak penumpang di baris belakang yang melihat langsung percikan api di mesin sebelah kiri, proses berlangsungnya kebakaran yang dimulai ledakan itu jelas sangat menakutkan.
Jerit histeris seorang ibu kepada suaminya yang panik di depan saya ketika melihat percikan dan bunga-bunga api membuat suasana semakin mencekam, hingga akhirnya terdengar suara pilot yang mengumumkan bahwa mesin yang terbakar tersebut berhasil dipadamkan. Meski pesawat terlambat sekitar 30 menit dari jadwal, saya sendiri mengalami shock berat pertama kali yang membuat saya mematung di Bandara Changi sekitar 20 menit menunggu bagasi. Padahal, sudah lebih dari setengah jam koper yang saya cari-cari itu tergeletak dihadapan saya.
Namun, sungguh menakjubkan. Nyaris tidak ada pemberitaan menghebohkan tentang insiden terbakarnya mesin pesawat SQ itu keesokan harinya, apalagi tayangan berulang-ulang ala televisi di Indonesia.
Pembodohan
Bukan perkara mudah menyikapi kemajuan telematika yang bisa disalahgunakan tanpa mempertimbangkan rasa kemanusiaan di tengah kebebasan pers saat ini. Kemajuan telematika secara psikologis menggiring penggunanya untuk malas berpikir ulang serta melakukan check dan recheck karena semuanya serba mudah dan serba cepat.
Untuk kasus ”black box” Adam Air seperti diuraikan di atas, bukan pribadi atau keluarga korban yang dirugikan, melainkan juga ekonomi dan martabat bangsa. Berbagai usaha perbaikan yang dilakukan Garuda Indonesia ataupun pemerintah menjadi sia-sia.
Pasar penumpang domestik dan luar negeri menjadi sasaran empuk berbagai penerbangan asing dengan kualitas layanan tidak selalu jauh lebih baik daripada Garuda atau maskapai penerbangan nasional lainnya.
Jebolnya ruangan penumpang pesawat Qantas yang terpaksa mendarat darurat di Manila serta jatuhnya Spanair sehabis tinggal landas baru-baru ini mengingatkan kita bahwa kecelakaan bisa mengintai dan terjadi di mana pun, baik di Medan, Yogyakarta, Madrid, atau di atas udara Hongkong. Di atas itu semua, nasionalisme sebaiknya tetap menjadi pertimbangan yang tidak boleh dilupakan dalam implementasi berbagai kebijakan.
Telematika dengan berbagai perangkat regulasi yang ada sekarang, termasuk Undang-Undang Penyiaran dan keberadaan Dewan Pers, hendaknya mampu meluruskan berbagai pelanggaran yang berlindung di balik kedok kebebasan pers.
Terkadang, seperti sering dihujat masyarakat, kebebasan itu juga sangat kental dengan pembodohan hingga usaha-usaha penipuan berupa undian melalui telepon atau SMS yang entah kapan akan ditertibkan. Semoga telematika bisa digunakan untuk kemajuan ekonomi dan meningkatkan martabat bangsa, bukan sebaliknya.
Eddy Satriya Asdep Telematika dan Utilitas di Menko Perekonomian.
Dapat dihubungi di eddysatriya.wordpress.com
Seiring proses demokratisasi yang berjalan cepat, saat ini pers nasional memang sedang menikmati surga kebebasannya. Namun, selayaknya kebebasan itu juga disesuaikan dengan kepatutan dan hukum yang berlaku.
Penyebarluasan isi ”black box” Adam Air tersebut menegaskan tingkat profesionalisme pers kita. Yang cukup mengherankan pula kenyataan bahwa hingga saat ini belum terdengar langkah konkret dari pihak kepolisian, Departemen Perhubungan, hingga Komisi Penyiaran Indonesia terhadap insiden ini.
Berlandaskan etika
Pemberitaan yang mengumbar kesedihan berlebihan serta berita tragis, seperti kasus Adam Air, bukan hanya sekali ini terjadi. Sudah sering. Dahulu ketika musibah tsunami melanda Aceh, jelas kita menyaksikan reporter dari sebuah stasiun teve berhasil ”menggiring” seorang korban yang kehilangan anak gadis dan belasan anggota keluarga lainnya untuk menyanyikan lagu kesayangan sang anak. Belum puas, reporter tersebut masih membujuk sumber berita itu untuk menyanyikan satu bait lagu lagi yang tentu saja tak mampu dilanjutkan oleh sang ayah.
Di tengah kebebasan pers yang harus dijunjung tinggi, tidak ayal lagi rentetan kupasan kejadian musibah pesawat di Indonesia ini tentu saja patut diduga berkorelasi dengan dijatuhkannya berbagai travel ban oleh beberapa negara, bahkan hingga larangan terbang maskapai penerbangan nasional—tanpa kecuali—ke Benua Eropa.
Menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana seharusnya media massa dan insan pers menyikapi suatu bahan pemberitaan? Apakah memang sudah tidak ada lagi pertimbangan yang berlandaskan etika, kepatutan, hingga hukum tentang suatu kebenaran isi berita sebelum disebarluaskan?
Alasan pembenaran
Kemajuan dunia telematika atau sekarang dikenal juga dengan teknologi komunikasi informasi) memang menjanjikan berbagai kemudahan dan ketersediaan aplikasi yang sangat canggih. Saking canggihnya, terkadang bisa menggiring orang untuk lupa diri akan waktu, tanggung jawab, hingga kepatutan.
Kemudahan berselancar di internet serta tersedianya berbagai search engine dan portal berita media massa modern dunia di layar komputer, selain mempermudah tugas para wartawan, juga meningkatkan persaingan dalam bisnis berita ini.
Namun, ketatnya tingkat persaingan dan kemampuan berinovasi yang berkaitan erat dengan rating dan jumlah iklan, tentu saja tidak pantas menjadi alasan pembenaran untuk menyebarluaskan berita yang kurang pada tempatnya.
Saya mengalami kejadian cukup menegangkan pada Februari 2001 dalam penerbangan malam Jakarta-Singapura menggunakan Singapore Airlines (SQ). Meski tidak banyak penumpang di baris belakang yang melihat langsung percikan api di mesin sebelah kiri, proses berlangsungnya kebakaran yang dimulai ledakan itu jelas sangat menakutkan.
Jerit histeris seorang ibu kepada suaminya yang panik di depan saya ketika melihat percikan dan bunga-bunga api membuat suasana semakin mencekam, hingga akhirnya terdengar suara pilot yang mengumumkan bahwa mesin yang terbakar tersebut berhasil dipadamkan. Meski pesawat terlambat sekitar 30 menit dari jadwal, saya sendiri mengalami shock berat pertama kali yang membuat saya mematung di Bandara Changi sekitar 20 menit menunggu bagasi. Padahal, sudah lebih dari setengah jam koper yang saya cari-cari itu tergeletak dihadapan saya.
Namun, sungguh menakjubkan. Nyaris tidak ada pemberitaan menghebohkan tentang insiden terbakarnya mesin pesawat SQ itu keesokan harinya, apalagi tayangan berulang-ulang ala televisi di Indonesia.
Pembodohan
Bukan perkara mudah menyikapi kemajuan telematika yang bisa disalahgunakan tanpa mempertimbangkan rasa kemanusiaan di tengah kebebasan pers saat ini. Kemajuan telematika secara psikologis menggiring penggunanya untuk malas berpikir ulang serta melakukan check dan recheck karena semuanya serba mudah dan serba cepat.
Untuk kasus ”black box” Adam Air seperti diuraikan di atas, bukan pribadi atau keluarga korban yang dirugikan, melainkan juga ekonomi dan martabat bangsa. Berbagai usaha perbaikan yang dilakukan Garuda Indonesia ataupun pemerintah menjadi sia-sia.
Pasar penumpang domestik dan luar negeri menjadi sasaran empuk berbagai penerbangan asing dengan kualitas layanan tidak selalu jauh lebih baik daripada Garuda atau maskapai penerbangan nasional lainnya.
Jebolnya ruangan penumpang pesawat Qantas yang terpaksa mendarat darurat di Manila serta jatuhnya Spanair sehabis tinggal landas baru-baru ini mengingatkan kita bahwa kecelakaan bisa mengintai dan terjadi di mana pun, baik di Medan, Yogyakarta, Madrid, atau di atas udara Hongkong. Di atas itu semua, nasionalisme sebaiknya tetap menjadi pertimbangan yang tidak boleh dilupakan dalam implementasi berbagai kebijakan.
Telematika dengan berbagai perangkat regulasi yang ada sekarang, termasuk Undang-Undang Penyiaran dan keberadaan Dewan Pers, hendaknya mampu meluruskan berbagai pelanggaran yang berlindung di balik kedok kebebasan pers.
Terkadang, seperti sering dihujat masyarakat, kebebasan itu juga sangat kental dengan pembodohan hingga usaha-usaha penipuan berupa undian melalui telepon atau SMS yang entah kapan akan ditertibkan. Semoga telematika bisa digunakan untuk kemajuan ekonomi dan meningkatkan martabat bangsa, bukan sebaliknya.
Eddy Satriya Asdep Telematika dan Utilitas di Menko Perekonomian.
Dapat dihubungi di eddysatriya.wordpress.com
No comments:
Post a Comment