Sekarang dunia dan masyarakat Indonesia, nyaris seluruh lapisan masyarakat seperti bermain tebak manggis. Apakah para orang-orang yang terlibat penyalahgunaan Triliunan Rupiah dana BLBI dan Yayasan akan juga divonis sesuai hukum berlaku? Beberapa teman saya di luar negeri sangat sering menanyakan status mereka, khususnya "Pendekar Di Sarang Penyamun" Profesor Anwar Nasution yang sekarang justru pada posisi sebagai Ketua BPK.
BUkan hanya teman-teman dan profesor saya di US sana yang resah, saya sendiri sudah tidak sabar. Where all of these issues end up to. Kesaksian demi kesaksian silih berganti. Dari proses pengadilan terdakwa BLBI dan saksi yang membuat pernyataan dibawah sumpah menyatakan Sang Profesor menyuruh mereka menghancurkan dokumen terkait, Sang Profesor balas membantahnya (Pikiran Rakyat, 15/8/08, hal 2 dan koran2 lain).
JIka kasus yang melibatkan Anwar Nasution ini sebagai saksi menggulir ke arah yang dikhawatirkan banyak pihak, termasuk saya, yaitu menggiring beliau kepada kondisi carut marut birokrasi di zaman lalu yang nyaris tidak ada pejabat yang bisa benar-benar bersih karena sistem yang tidak mendukung, maka tentu tidak ajal lagi wajah bopeng negeri ini akan semakin hancur babak belur. Kemana muka kita mau disurukkan? Untuk sementara kita berandai Sang Profesor kita memang bersih dari kasus BLBI.
Menjadi pertanyaan kemudian, mengapa manusia Indonesia begitu mudahnya silau? SIlau akan harta, akan tahta dan jabatan yang terkadang jauh, jauh dari keahliannya sekalipun. Memang ada yang dekat atau sesuai dengan keahliannya, misalnya beberapa Profesor dari PTN terkenal dahulu dari UI kemudian ditarik ke pemerintahan SUharto untuk membangun ekonomi. That's fine, karena waktu itu masih sangat sedikit rakyat ini yang pintar. Tapi sekarang? Kondisinya jelas jauh berbeda. Triuliunan RUpiah juga sudah digelontorkan melalui hutang dan berbagai cara untuk menyekolahkan SDM di dalam dan luar negeri, khususnya dari birokrasi ke ratusan universitas di berbagai kota dunia. Mengapa kemudian sedikit sekali dari mereka yang diberdayakan dan di pakai pemerintah sendiri. Kebanyakan dari mereka malah enggan pulang atau pindah ke negara tetangga.
Sekali lagi, apakah karena materi, gengsi, atau memang cara untuk membina karir ke lebih tinggi dengan mudah daripada hanya seorang akademisi? APakah memang seorang politisi atau birokrat lebih mulia dipandang mata? Saya pernah berseloroh kepada seorang guru besar dari ITB almamater saya, agar beliau tidak ikut-ikutan latah melamar salah satu posisi Dirjen. PAda awalnya beliau "tersinggung", tetapi bulan lalu saya mendapat telepon. PRofesor ini sangat berterima kasih atas "sentilan" saya. Saya hanya jawab, bahwa pada waktu itu saya sebenarnya setengah guyon. Sungguh bahagia jika "sentilan" itu mengingatkan beliau.
Kejadian demi kejadian dilingkaran praktek KKN negeri ini sudah dapat dipastikan adalah siklus alami yang tak akan berhenti atau mampu dihentikan jika tidak ada keinginan serius pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia. Berbagai "kejutan" akan terus terjadi. Namun saya setiap saat, setiap detik, setiap menit, setiap jam, dan setiap hari akan tetap "tidak dikagetkan" dengan berbagai kasus korupsi yang ternyata juga melibatkan orang-orang yang tergolong "mulia" dan terhormat, mulai dari akademisi, pengusaha terhormat, kepala sekolah, rektor, hingga pemuka agama sekalipun. Karena mengguritanya KKN yang telah berlangsung lama, dapat dipastikan telah merasuki berbagai sela kehidupan manusia Indonesia tanpa . Nyaris sulit mencari birokrat yang benar-benar bersih, sangat sulit, karena semuanya telah menikmati bertopeng kemunafikan.
Sungguh saya tidak pernah heran itu akan terus terjadi selagi tidak ada aksi konkrit yang mendasar. Berbagai nama yang pernah terhormat secara pelan dan pasti akan terbukti melakukan "abuse of power" untuk "sesuap berlian" dan sebuah "kursi". Tentu jika KPK memang punya determinasi dan tahan uji. Only time will tell!
-----------
TUlisan terkait:
No comments:
Post a Comment