Tuesday, September 22, 2009

Open House, Open Heart, or Open-gen Injak-Injak Orang?




Sumber foto: Liputan6.com - kejadian serupa di Madiun, sept 09.

Untuk kesekian kalinya pembagian sembako atau pembagian bantuan meminta korban. Kali ini kejadian di Balaikota DKI, ketika warga berduyun-duyun datang di hari kedua lebaran untuk mendapatkan bantuan uang Rp 40,000,0 dan paket sembako.

Tentu tidak ada yang salah dengan niat Sang Gubernur membagikan bantuan itu di Balaikota DKI Jakarta. Begitu pula, tidak ada yang salah ketika rakyat berduyun-duyun mengharap mendapat bantuan tersebut di hari Lebaran. Tanpa ada lebaran pun, kesulitan hidup di kota besar seperti Jakarta rasanya telah menjadi pendorong masyarakat untuk aktif mencari informasi dimana ada pembagian serupa. Karena itu dapat dibayangkan dan diperkirakan dengan kondisi disiplin masyarakat dan aparat yang memang jauh dari kondisi ideal sebuah negara maju, pembagian paket dalam jumlah besar jelas akan mengandung resiko.

Ketidakbiasaan masyarakat kita menghargai orang lain dalam mengantre dan ketidakjelasan sistem antrian sudah sama-sama kita malkumi. Jangan kan untuk urusan seperti sembako. Urusan keluar dari parkir sebuah pusat perbelanjaan saja bisa mengundang keributan. Bukan hanya karena jalur antrian tidak jelas, terkadang kondisi diperburuk pula oleh petugas yang memang (maaf) kemampuan intelektual mereka sangat terbatas. Tidak jarang saya mengalami perlakuan buruk ketika petugas sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta selatan dengan seenaknya membuka dan menutup lajur tertentu, tanpa menghiraukan akibat tindakannya.

Sudah sewajarnya para Gubernur, walikota, atau pemimpin lainnya menyadari bahwa disiplin masyarakat kita sangat dibawah rata-rata, apalagi kalau dalam kondisi berkelompok dan kondisi tertentu di jalan raya. Sudah semakin tidak asig lagi setelah pak Harto lengser, orang dan pengendara sepeda motor dengan seenaknya melanggar aturan dan rambu lalu lintas, termasuk lampu lalin yang sangat vital dan berbahaya jika dilianggar. Ketiadaan sanksi tegas telah memicu dan mendorong masyarakat untuk terus meningkatkan kualitas pelanggaran mereka.

Kondisi serupa saya kira juga terjadi pada masyarakat lapisan bawah yang berdesakan mengantri paket lebaran di Balaikota Jakarta tadi pagi (21 Sept 09). Kelelahan dan rasa ketakutan tidak memperoleh jatah biasanya berpacu dengan informasi dan sentilan yang bersifat provokatif dari satu atau sekelompok orang. MEskipun panitia menyediakan paket lebaran jauh lebih banyak dari pengunjung, biasanya kondisi ini tidak berhasil dikomunikasikan dengan baik oleh pegawai atau humas yang bertugas untuk itu. Rendahnya kemampuan PR kantor-kantor pemerintah telah menjadi pemicu kondisi rawan dorongan ini terjadi.

Apalagi setelah Sang Gubernur atau pemimpin pergi meninggalkan area pembagian, maka biasanya peran dan fungsi petugas untuk pengamanan juga cenderung mengendor. Hal ini sudah menjadi ciri kh as di berbagai birokrasi pemerintah. Lihat saja, jika acara yang dibuka oleh seorang Menteri atau Gubernur/Walikota/Bupati, maka biasanya para pejabat teras lainnya akan ikut pasang muka serius dan berlomba memperlihatkan bahwa “Saya Hadir Pak!, Ini dada saya..!”. Namun begitu acara pembuakaan atau pengantar selesai yang biasanya juga diikuti dengan pulangnya atau perginya sang pemimpin, maka pejabat teras lainnya juga akan melakukan langkah “kabur diam-diam bergantian”. Kondisi ini biasanya juga diikuti dengan kendurnya penjagaan para petugas.

Karena itu, tanpa berusaha sok tahu, kondisi cederanya berapa pengunjung di Balaikota yang antri paket lebaran tersebut sudah dapat diramalkan. APalagi untuk kondisi Jakarta yang masih berada di musim kemarau yang panas, yang didorong dengan kebiasaan tidak menghargai orang lain dalam antrian, serta kurangnya rasa “tepo seliro” di kota besar, maka kondisi ricuh tersebut sudah dapat dipastikan akan terjadi.

Beruntung memang tidak sempat terjadi korban jiwa, hanya pingsan, cedara ringan dan luka-luka. Namun apapun kondisinya, jauh dari sekedar rendahnya kedisiplanan waraga masyarakat, kebijakan Open House perlu ditinjau ulang atau dibuatkan standar operating procedur (SOP) pelaksanaannya. Tergantung besarnya acara dan ruang lingkupnya, pemerintah dan pemda sudah harus lebih tegas lagi membuat aturan dan mensosialisasikan kepada masyarakat. Bisa saja cara pembagian kupon dilakukan per area tempat tinggal atau RT/RW. KEmudian pengambilan barangnya dititipkan ke beberapa gerai supermarket atau pasar rakyat.


Namun demikian, untuk kondisi berbeda, open house di kediaman pejabat tinggi mungkin perlu dikaji ulang manfaat dan mudaratnya. Karena terkadang acara tersebut juga cenderung hanya formalitas pertemuan seorang pejabat dengan bawahannya yang sebenarnya tidak bermanfaat apa-apa bagi tugas dan fungsi kantornya. Karena sangat banyak pejabat setingkat menteri atau eselon 1 mengadakan open house, tetapi di kantor sama sekali tidak pernah mengadakan kontak intensif dengan stafnya. Kondisi ini lah yang sangat memprihatinkan. Acara digelar terkadang dibiayai APBN atau NEgara, tetapi tidak bermanfaat banyak untuk jalannya birokrasi atau kelancaran pekerja.

Kalau untuk acara pembagian paket lebaran/sembako yang diadakan Gubernur Fauzi Bowo ini jelas sangat ceroboh dalam sistem pelaksanaan dan pengawasannya. Hal itu tidak terbantahkan lagi, ketika Fauzi di tempat, kondisi masih terkendali. Ketika ia pergi, semua menjadi kacau balau dan acara open house pun menjadi neraka bagi pengantri yang sudah berduyun datang dari pagi. APalagi untuk lansia dan balita.

Semoga tidak terulang (lagi), meski saya masih sangat mengkhawatirkannya.
________

No comments: