Friday, September 18, 2009

Parcel, KKN, dan KPK.

Dimuat di dalam Blog Kompasiana 18 Sept 2009

Gebyar-gebyar pemberantasan KKN beberapa tahun lalu mencapai puncaknya. Apapun dibabat. Korupsi besar, kecil, maupun yang remeh disikat. Tidak ada masalah sebenarnya dengan upaya itu. Apalagi jika dikaitkan dengan situasi negeri yang memang terus “nyungsep” dalam berbagai hal, termasuk daya saing yang tergerus oleh KKN. Namun ada beberapa korban. Salah satunya adalah budaya berkirim parcel ketika menjelang lebaran.

Berbagai fatwa dan larangan telah dikeluarkan guna mengurangi dampak KKN dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ajal lagiketika beberapa tahun lalu larangan serupa juga diterbitkan untuk menghabisi budaya berkirim parcel lebaran yang telah bertahun-tahun dijalankan oleh rakyat Indonesia, telah mengurangi pergerakan dan arus barang di sektor riil ekonomi rakyat. Meski berbagai protes ketika itu dilayangkan oleh sekelompok masyarakat dan pengusaha parcel, namun suara mereka hilang tak berarti ditelan riak dan gebyar kekuatan KPK dalam memberantas KKN. Sayangnya setelah beberapa tahun berjalalan, larangan itu tidak pernah dievaluasi. Persis mengikuti berbagai program yang bersifat dadakan, tidak pernah dianalisa dan diperksa lebih lanjut akan dampak yang ditimbulkan.

Entah sejak kapan budaya parsel muncul di negeri ini. Yang saya tahu, ketika saya SMP dulu pernah berlibur dirumah saudara. DI penghujung tahun 1970an itu saya melihat dan menyaksikan betapa senangnya anak2 seusia saya menikmati dan berebutan ke gudang yang penuh parcel. Ada SPrite, Cocacola, kue2, serta berbagai jenis makanan ringan lainnya. SUngguh, buat anak2 membuka parcel adalah salah satu kenangan yang cukup indah untuk dilupakan. Begitu pula ketika setelah saya bekerja, saya pun beberapa kali mendapat kiriman parcel. Meski tidak banyak, hanya sekitar 5-6 buah setiap lebaran, kenangan akan parcel ketika kecil kembali menyeruak indah. Apalagi ketika melihat anak2 setengah berebut (tidak seperti kami dulu), kegembiraan pun menyeruak dalam pikiran kami. Seingat saya, beberapa parcel yang kami terima memang dapatlah dikatakan sebagai pembuhul silaturahmi saja, tidak sampai menjadi penyebab pengubah keputusan dalam bekerja -atau berbau penyuapan.

Anda atau segelintir kita mungkin tetap berargumentasi bahwa, tetap saja parcel itu berbau penyuapan. SIlakan anda simpan pikiran itu baik-baik. Yang ingin saya utarakan adalah, betapa sebenarnya pemerintah telah telalu jauh dan secara sembrono membatasi dan bahkan menghabisi dengan enteng suatu budaya yang sudah cukup lama berlangsung dalam kehidupan rakyatnya.

KAlau kita lihat secara lebih seksama, pengiriman parcel menjelang lebaran ataupun hari-hari besar lainnya juga memiliki dampak kekuatan ekonomi riil yang tidak kecil. Bayangkan jika ada 2juta saja dari 4-5 juta PNS dikirimi parcel oleh rekanan mereka dan satu orang rata-rata mendapat 5 parcel, itu artinya ada sekitar 10 juta parcel yang harus disiapkan. Jika satu parcel berharga sekarang rata-rata Rp 500.000 itu artinya ada sekitar Rp 500.000 x 10.000.000 = Rp 5.000.000.000.000 atau Rp 5 Triliun yang beredar sebagai tambahan transaksi ekonomi kerakyatan.

JIka parcel tersebut juga bergerak dan dikirimkan bukannya hanya kepada PNS yang punya berbagai kelas jabatan, tetapi juga dikirimkan dari dan kepada para pejabat BUMN, swasta dan berbagai bidang usaha lainnya, jumlah Rp 5T di atas tentu saja akan berlipat ganda. Mungkin bisa mencapai Rp 15-20 T yang dipaksa berputar dalam waktu sekitar 20 hari saja. SUngguh suatu kekuatan ekonomi maha dahsyat yang akan memberikan multiplier effek sangat besar. SUngguh itu bukan hanya menguntungkan pejabat, karyawan atau siapapun yang dikirimi, tetapi menguntungkan buat ekonomi bangsa yang lagi sulit berkembang. APalagi untuk sektor riil, pemerintah sepertinya memang sudah kehabisan akal karena sulitnya modal murah diperoleh dari berbagai sumber seperti perbankan.

Bayangkankan Rp 20 T itu berputar mulai dari pasar tradisional atau gerai suatu supermarket. Sekelompok orang harus pergi membeli nya, membawanya pulang, membuatkan wadah dan hiasan, lalu mengirimkannya lagi kepusat pengiriman yang kemudian diteruskan pula oleh kurir hingga ke tujuan akhir. Rasanya tidaklah perlu membuka lembar pelajaran ekonomi mikro dasar untuk memahami mata rantai parcel ini. SUngguh suatu aktivitas ekonomi riil yang melibatkan banyak tenaga kerja, transportasi dan komunikasi. Jelaslah sudah kue Rp 20 T untuk tenggang waktu 15-20 hari adalah suatu kue yang besar yang dapat dijadikan sebagai mesin distribusi pendapatan yang efektif dan sangat efisien karena menghargai setiap pelaku ekonomi dengan tepat.

Ketika orang meributkan upaya pengusutan kasus Bank Century yang melibatkan dana sekitar Rp 7T, kita lupa betapa sektor riil menjelang lebaran sangat terpukul dengan kebijakan melarang parcel ini. Lihatlah di salah satu sentra parcel dijalan CIkini Raya, Jakarta Pusat. SUngguh kondisi nya sekarang sangat memprihatinkan di banding kan dengan 5-6 yahun lalu. Nyaris setiap pedagang parcel frustasi akan rendahnya order. Memang kita harus mengakui, bahwa sebagian pengiriman parcel memang bisa saja ditujukan untuk menyuap orang lain. Namun apakah dengan melarang parcel, budaya KKN berkurang? Jelas ternyata jawabannya tidak. Berbagai kasus membuktikan bahwa justru penyalahgunaan wewenang terjadi dilapisan lebih tinggi. Singkat kata, memperhatikan perilaku KKN bbrp tahun belakangan ini, dapatlah dikatakan bahwa praktek KKN makin canggih dalam kualitas dan justru bertambah marak.

Lalu menjadi pertanyaan, apakah masih perlu melarang pengiriman parcel untuk hari-hari mendatang? Saya jelas mengambil posisi bahwa sebaiknya budaya parcel digalakkan lagi oleh pemerintah. Bukankah di berbagai negara di dunia budaya parcel, pemberian cindera mata, dan sejenisnya justru menjadi budaya yang sangat didorong untuk pengembangan ekonomi kecil dan menengah. Ia praktis namun taktis dipraktekkan untuk mengurangi pengangguran.

Larangan berkirim parcel dan kebijakan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) yang tidak jelas telah “menyengsarakan” sebagian rakyat kecil, termasuk pegawai rendahan. Kalau dulu mereka sering membawa pualng parcel yang langsung dibagi pimpinan nya karena banyak juga parcel yang dikirim ke kantor. Kalau dulu mereka juga mendapat jatah THR dengan pasti, sekarang semuanya tidak jelas juntrungannya.DI samping itu, parcel yang datang kerumah pejabat atau karyawan tidak jarang pula menjadi sarana untuk berbagi dengan tetangga. SUngguh tidaklah mungkin tetangga yang terkadang “ketitipan” datangnya parcel hanya dibiar kan melongo melihat parcel itu lewat begitu saja. Sudah menjadi tradisi pula biasanya disuatu komplek perumahan seperti yang kami miliki, terkadang anak2 tetangga juga ikut menikmatinya bersama dengan anak2 kita.

Bisa kah anda bayangkan kalau pemerintah mendorong pelaksanaan parcel untuk tahun depan? SUngguh ia akan menjadi sarana berbagi yang cukup ampuh untuk rakyat kecil. Bukan hanya berbagi parcel, tapi jelas berbagi mata rantai ekonomi mulai dari pembelian komponen pengisi parcel, biaya pengiriman, pengepakan dan re-distribusi kembali parcel itu hingga ke alamat akhir. Bisakah anda bayangkan dampak uang sekitar Rp 20 T harus diputar dalam 15-20 hari ? Jika pemerintah dengan mudah memberikan begitu saja Rp 7 T untuk membantu pengusaha dan bankir nasabah bank CEntury, mengapa tidak dipikirkan uang yang berasal dari masyarakat sendiri bisa memutar roda ekonomi dengan baik itu untuk digalakkan lagi. DIlegalkan, bukan lagi dilarang.

Bukankah budaya bertukar cendera mata dan membawa oleh2 orang Jepang telah mampu membuat sektor rril mereka bertahan dari berbagai serangan krisis. Bukan kah negara maju terkadang menyediakan voucher atau food stamp untuk rakyatnya hanya sebagai cara memutar roda ekonomi riil dengan taktis. Bukankah terkadang negara maju memberikan pinjaman dan hibah kepada negara berkembang, lalu meminta negara berkembang tadi mendorong rakyatnya membelanjakan kembali hibah itu demi pengembangan ekonomi riil negara pemberi pinjaman dan hibah tadi.

Ketakutan akan sanksi yang mungkin diberikan KPK bukanlah tidak beralasan. Namun dengan apa yang terjadi saat ini terhadap lembaga baru tersebut mestinya juga menjadi bahan renungan dan mendorong kita untuk berpikir ulang secara bijak yang memberikan kemashalatan bagi rakyat banyak. Bukan hanya buat segelintir orang.

Jadi, sudah saat nya pemerintah mengevaluasi dampak pelarangan berkirim parcel itu kembali. APakah pengiriman parcel benar-benar merusak bangsa, atau justru pemerintah membuang sia-sia kesempatan emas memberikan lapangan pekerjaan dengan mudah kepada rakyatnya?

Jawabannya ada dihati nurani kita. Bukan di bibir tuan-tuan dan nyonya yang bergincu mewah dan mahal itu.

Eddy Satriya.

1 comment:

ARZ Seo Blog said...

korupsi..
penyembunyian fakta...

harta padahal ga bakal di bawa mati yah..

sedih lihat negeriku yg seperti ini :(