Tuesday, August 09, 2011

E-Budget Telat, Korupsi Anggaran Melesat!

http://hukum.kompasiana.com/2011/07/26/e-budget-telat-korupsi-anggaran-melesat/


Masih ingat dengan Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional atau disingkat DeTIKnas? DeTIKnas dibentuk melalui Keppres 20/2006 pada tanggal 13 November 2006. Ia diluncurkan secara resmi langsung dari Istana Kebun Raya, Bogor, Jawa Barat dengan tujuan antara lain untuk menyiapkan menyiapkan bangsa kita menjadi bangsa maju yang salah satu pilarnya adalah TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) atau dikenal juga dengan Information and Communication Technology yang disingkat dengan ICT.
Salah satu flagship programnya dulu adalah E-Budget, yang bertujuan untuk memperlancar proses pelaksanaan APBN dan mengikis praktek KKN yang mungkin menyertai mulai dari proses usulan, perencanaan, pembahasanan, penetapan alokasi dan pelaksanaan APBN itu sendiri. APBN yang menjadi salah satu komponen utama untuk menggerakan ekonomi nasional, khususnya ekonomi riil memang harus dijauhkan dari praktek KKN yang sudah terkenal jahat dan merugikan rakyat.
Sebagai ilustrasi, ada baiknya kami uraikan kembali sekilas praktek-praktek KKN yang sering terjadi seputar APBN. Berkaca ke masa lalu, yaitu ke era orde baru, tidak bisa dimungkiri lagi bahwa dalam mata rantai usulan suatu proyek hingga ke pelaksanaannya, bahkan pada tahap revisi - jika memang proyek memerlukan- memang terjadi proses KKN. KKN yang merupakan singkatan dari Kolusi, Kolusi, dan Nepotisme memang sudah menjadi praktek sehari-hari ketika itu.
Suatu proyek ketika itu dimulai dengan adanya usulan pembangunannya dari satu unit terkecil, bisa di daerah bisa di pusat. Untuk proyek milik atau yang dikerjakan dan berlokasi di daerah, maka unit terkecil katakanlah Bagian X di suatu Dinas Y di Provinsi Z yang akan melaksanakan harus bekerja ekstra keras. Dari awal hingga akhir. Bagian X itu harus beradu argumentasi dengan proyek-proyek lain yang jumlahnya bisa ratusan di dalam suatu kabupaten/kota, lalu ditingkat provinsi. Karena itu, untuk mengawal usulan proyek itu diperlukan dana dan upaya tersendiri.
Biasanya dana yang diperlukan untuk mengawal itu bisa merupakan uang kas pelaksana proyek yang sudah disiapkan dari proses “persiapan” anggaran tahun sebelumnya. Namun kerap terjadi dana untuk menggolkan proyek itu merupakan dana “talangan” dari calon kontraktor atau konsultan yang nantinya akan direkayasa memenangkan tender.
Dana untuk mengawal itu biasanya akan keluar untuk berbagai tempat atau pos, yang  jumlahnya sangat banyak dan berjenjang. Jika usulan proyek, dulu disebut DUP (Daftar Usulan Proyek) dimaksud bisa lolos untuk tingkat kabupaten/kota, maka tiba saatnya DUP itu bersaing lagi dengan proyek2 lain di dalam suatu sektor tertentu yang melibatkan Bappeda dan Sektor dimaksud. Kemudian usulan yang lolos ditingkat provinsi, harus diadu lagi dengan ribuan DUP lain di dalam sektor yang sama. Proses ini biasanya dibahas di tingkat Biro Perencanaan sektor terkait, yang kemudian ditetapkan oleh Sekjen Kementerian atau Departemen di zaman lalu.
Menariknya, proses penetapan usulan di tingkat eselon 1 Kementerian tersebut, biasanya ditetapkan oleh Sekjen, juga sangat ketat. Hanya Pimpro -sekarang di kenal dengan Pejabat Pembuat Komitmen (P2K)- yang benar2 menguasai medan dan rimba peranggaran inilah yang akan mampu menggolkan usulan itu untuk tingkat yang lebih tinggi nantinya. Dulu dibahas dan diusulkan lagi ke Bappenas dan Depkeu (Kemkeu). Setelah disetujui oleh Keuangan dan Bappenas, maka masing2 proyek yang sudah menjadi bagian terkecil untuk di eksekusi, masih harus melalui proses pembahasan yang terkadang“intelectually harrasing” di Kantor Ditjen Anggaran. Dulu pembahasan ini melibatkan pejabat Bappenas dan Depkeu, sekarang peran Bappenas telah digantikan oleh DPR, sementara Depkeu tetap menjalankan fungsi mereka dalam pembahasan dan penetapan nilai akhir proyek.
Jika dalam pelaksanaannya, proyek mengalami masalah dan atau mengalami perubahan, maka harus pula dilakukan revisi proyek yang melibatkan 3 pihak tadi, Sektor, Kemkeu (dulu Depkeu) dan DPR.  Demikian seterusnya, suatu siklus yang tidak mudah memang. Sangat melelahkan dan akhirnya sering  ”dibereskan” dan “dipercepat” dengan fulus berupa uang suap. Uang ini sering dibungkus dengan berbagai istilah, seperti uang transport - kalau kecil- dan tentu saja suap dalam jumlah besar jika membutuhkan pembelokan sasaran, jumlah atau ruang lingkup, dan lokasi.
Sekali lagi, siklus ini sangat panjang dan di setiap tingkatan berpotensi untuk diselewengkan.
****
Kembali ke E-Budget, maka proyek E-Budget yang menjadi tanggung jawab Kemkeu telah ditetapkan menjadi salah satu flagship program dari DeTIKnas. Diharapkan pelaksanaan E-Budget di setiap sektor atau Kementrian dan puluhan kantor pemerintah lainnya, termasuk komisi-komisi dan badan-badan yang dibentuk untuk menjalankan roda pembangun akan dapat memangkas praktek KKN tadi.
Ketika program E-Budget itu dicanangkan dan disiapkan, maka Kemkeu yang bertanggung jawab ketika itu masih harus membereskan sistem anggaran mereka terlebih dahulu. Namun setelah ditunggu hingga tahun 2009 -ketika itu masih dibawah Menkeu Ibu Sri Mulyani Indrawati (SMI), hingga kini program E-Budget ini belum berhasil direalisasikan oleh Kemkeu.
Kita bukan mau berandai-andai. Namun kenyataan yang kita hadapi memang memilukan. Ketiadaan E-Budget telah mempercepat dan mempermarak terjadinya jual beli proyek. Bukan hanya berbagai kasus yang terakhir melibatkan Bendahara Umum Partai Demokrat Moh. Nazaruddin, namun ratusan kasus yang bermuara dari penyelewengan anggaran untuk proyek APBN, telah menjadi berita sehari-hari. Ada gubernur, bupati, anggota DPR dan DPRD yang harus mendekam dipenjara atau menjadi buron.  Seandainya E-Budget telah konsisten dilakukan oleh Kemkeu, tentulah peluang dan ratusan kejadian dan kasus seputar APBN ini bisa dicegah.
APBN bukan hanya meliputi rupiah murni yang menjadi sumber investasi dan pembiayaan proyek pembangunan. Ia juga meliputi bantuan/pinjaman/maupun hibah dari negara donor. Biasanya total dana yang melibatkan pinjaman atau bantuan asing skala nya lebih gigantic. Dan inilah yang menyeret banyak Pimpro atau P2K ataupun pimpinan Kementerian masuk penjara. Kita menyaksikan mulai dari profesor doktor di Kementerian Kesehatan hingga petinggi partai politik dan pejabat biasa setingkat Dirjen atau Deputi. Termasuk mantan pejabat tinggi di lembaga lembaga tambahan yang baru dibentuk seperti KPPU, hingga purnawirawan yang seharusnya sudah bisa hidup tenang di usia pensiun mereka.
Sayangnya penyelewengan APBN ini bukannya berkurang, malah makin menggejala dan menggila. Namun ada hikmah besar yang tidak boleh kita lupakan. Jika program E-Budget dapat dilaksanakan dan dikombinasikan dengan e-procurement yang sudah dijalankan oleh LKPP yang dulu menjadi bagian Bappenas, maka jelas lah bahwa pada tahun 2030 nanti kita memang akan bisa menjadi The Best Ten Economy in the World. Tidak perlu menunggu hingga Republik ini berusia seratus tahun hingga tahun 2045. Paling tidak itulah hasil salah satu report terbaru Standard Chartered Bank. Mereka meramalkan India berada di posisi ketiga, dan Indonesia pada posisi ke 6, melampaui German, UK, Mexico dan Perancis. Kita hanya kalah dari CHina, US, Brazil, India dan Jepang.
Jika seorang Nazaruddin bisa memanfaatkan berbagai produk ICT, mulai dari SMS, Black Berry Mesanger, TElepon Interview via Media, hingga conference via Skype, maka sudah selayaknya pemerintah juga menegaskan kembali pentingnya E-Budget, dan melaksanakannya secepat mungkin baik via DeTIKnas ataupun tidak.
Pilihan ada pada kita, jadi buat apa menunda-nunda lagi. Only time will tell.
______

No comments: