Friday, March 09, 2007

Proyek Pipa Gas Kaltim-Jateng: ”Sui Generis”

JAKARTA, Investor Daily 16/11/2006 /
http://www.investorindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=19035&Itemid=32


Oleh: Eddy Satriya*)

Energy Security atau jaminan keamanan pasokan energi, khususnya gas alam, semakin terasa penting dalam konteks ekonomi nasional. Kekurangan pasokan gas untuk pembangkit listrik, pabrik pupuk, pabrik baja, industri keramik dan berbagai industri lainnya di Pulau Jawa dan Sumatera telah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Sementara itu, keterbatasan infrastruktur telah menunda distribusi gas ke rumah tangga.

Karena itu, wajar sekali apabila seorang peserta sesi Business Dialog dengan jajaran Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) dalam Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition(IICE) 2006 awal November lalu menanyakan kepada pemerintah tentang kelanjutan proyek pipa gas Kalimantan Timur – Jawa Tengah (Kalija) sepanjang 1.220 km. Pertanyaan itu muncul di tengah kegalauan praktisi dan industri migas terkait dengan rencana pembangunan terminal Liquified Natural Gas (LNG) di Jawa Barat, munculnya pernyataan Presiden SBY akan menata ulang kebijakan gas, serta adanya protes dari sebagian masyarakat di kota Bontang yang mengandalkan pemasukan daerah dari ekspor LNG. Pertanyaan itu juga menggelitik mengingat proyek pipa gas Kalija ini sudah ditawarkan dalam Infrastructure Summit 2005 lalu.

Penjelasan yang disampaikan langsung Menteri DESDM terkesan normatif yang menyerahkan kelanjutan pelaksanaan pembangunan pipa gas Kalija kepada badan usaha pemenang Lelang Hak Khusus yang telah ditunjuk 17 Juni 2006 lalu. Ditambahkan pula bahwa pelaksanaan pembangunan pipa gas Kalija sangat tergantung kepada gas reserve and deliverability, tarif dan keekonomian proyek.

Lalu, bagaimana pembagian kerja sama dan peran yang harus dimainkan oleh pemerintah dan swasta? Bagaimana pula dengan masalah otonomi daerah yang tidak bisa dibebankan kepada swasta semata? Dan, apakah BP Migas memang memprioritaskan alokasi gas untuk proyek Kalija?

Tidak bisa dimungkiri bahwa devisa negara telah dihamburkan guna mengimpor produk bahan bakar minyak (BBM) untuk kebutuhan domestik, termasuk untuk membangkitkan listrik. Kerugian juga dialami rakyat Indonesia karena besarnya potensi penghasilan yang hilang dengan diekspornya LNG tanpa henti selama tiga dekade. Ekspor LNG juga menurunkan daya saing industri nasional karena aneka industri di Jepang, Korea Selatan dan Taiwan justru memperoleh sumber energi bersih, murah, aman, dan terjamin dengan kontrak jangka panjang.

Rencana penghentian perpanjangan kontrak ekspor gas dan pengutamaan penggunaan gas domestik yang ditargetkan minimal 25% merupakan tonggak sejarah baru kebijakan energi nasional. Namun belum terlihat tindak lanjut kebijakan strategis yang sangat ditunggu pengguna gas di dalam negeri.

Tarik Ulur

Silang pendapat terus terjadi mengiringi berbagai kepentingan seperti peneliti, pengamat, lembaga swadaya masyarakat, berbagai komponen masyarakat di Kaltim, termasuk dari sektor dan instansi pemerintah terkait. Namun untuk proyek sebesar Kalija yang membutuhkan biaya tidak kurang dari US$ 1,3 miliar, berbagai gejala tersebut wajar saja terjadi seiring dengan transisi regulasi yang tengah berlangsung, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Sebenarnya sejak semula telah mencuat empat masalah utama yang memerlukan keputusan politik ekonomi. Pertama, ketidaktegasan dalam mengalokasikan besaran pasokan gas. Kedua, adanya keinginan kuat PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang telah ”membidani” proyek ini untuk mendapatkan perlakuan khusus. Sementara lelang hak khusus akhirnya dilakukan secara terbuka oleh Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas). Ketiga, munculnya ketakutan sebagian masyarakat Bontang dan warga Kaltim lainnya akan masa depan kilang LNG. Keempat, berkembangnya kekhawatiran di kalangan masyarakat yang melihat rencana pembangunan pipa gas ini hanya akan menguntungkan sekelompok pengusaha yang dekat kekuasaan.

Mencermati dampak ekonomi akibat besarnya ketergantungan energi nasional pada BBM, telah ditunjuknya badan usaha pemenang lelang hak khusus, serta mempertimbangkan perlunya menjaga iklim investasi yang kondusif, proyek pipa gas Kalija ini sebaiknya diselesaikan sesuai rencana. Ia menjadi ujian sukses tidaknya perubahan kebijakan gas nasional yang berorientasi ke dalam negeri dan sekaligus akan menjadi saksi sejarah ketatnya tarik ulur reformasi kebijakan di bidang migas.

Tanpa bermaksud latah membanding-bandingkan, jika Malaysia telah berhasil membangkitkan listrik dengan sumber energi yang didominasi gas serta membangun jaringan pipa gas sekitar 1.600 km untuk penduduk mereka, mengapa kita harus terus menunggu lebih lama? Mengapa kita tega pula membiarkan sebagian besar rakyat bersusah payah membeli gas ketengan dengan harga berlipat-lipat dibandingkan sebagian masyarakat kota dan yang tinggal di beberapa apartemen dengan pasokan gas berlimpah berharga sangat murah.

Di sisi lain, rencana penggelaran pipa gas Kalija juga telah menjadi bagian Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional yang telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri ESDM pada 30 Mei 2005.

Sui Generis

Memperhatikan ketatnya tarik ulur, pro dan kontra terhadap proyek Kalija ini, membayangkan tantangan besar yang mengadang pelaksanaan proyek maupun dorongan akan tingginya keinginan mereformasi sektor migas, serta mempertimbangkan manfaatnya di kemudian hari, maka proyek pipa gas Kalija ini layak disebut sebagai proyek yang berjalan sesuai keperluannya sendiri atau biasa dikenal juga dengan istilah ”Sui Generis”.

Bukan hanya diharapkan untuk memasok kebutuhan gas di Jawa, keberadaan pipa gas Kalija ini juga akan mampu mencegah daerah yang dilalui pipa dari pemutusan hubungan listrik bergilir yang masih terus terjadi setiap tahun karena sangat tergantung kepada pembangkit listrik tenaga air dan diesel. Di samping itu, pipa gas Kalija akan mengintensifkan eksplorasi lapangan gas baru di Kaltim dan sekitarnya serta memulai era City Gas yang sudah lama diidam-idamkan banyak pihak.

Semoga gas memang bisa menjadi salah satu energi alternatif di Republik ”BBM” ini. (*)

*) Senior Infrastructure Analyst, Mantan Kasubdit Energi di Bappenas.
Berita Terkait :

2 comments:

Anonymous said...

Saya dukung Pak. Saya juga bingung kemarin membaca kalau PLN bisa menghemat Rp 5 Trilyun karena bisa mengkonversi BBM ke BBG untuk pembangkit mereka

E Satriya said...

tks mas, sorry baru liat comment nya.