Perubahan itu membuat saya sedikit memutar jalan. Setelah membeli pesanan roti unyil, saya jadi tergiur juga untuk masuk dan melihat beberapa outlet. Memang sudah lama tidak membeli celana atau baju barang satu atau dua. Muter-muter membuat saya tidak kuat menahan lapar, mana udara juga cukup sejuk yang membuyarkan rencana saya untuk makan di rumah saja (mau ngirit juga sih...karena honor konsineering belum cair..soalnya APBN nya masih ribet pencairannya - makanya jangan heran APBN banyak sisa setiap tahun, tapi tak pernah diperhatikan pengamat ekonomi-sorry Bang Faisal).
Rasa lapar menggiring saya untuk masuk kedai kecil di emperan parkir FO. Pilihan saya jatuh kepada Mie Ayam Ceker. Relatif kosong, saya memilih duduk di salah satu meja dari 3 meja kecil yang tersedia. Meja kedua di tengah di isi oleh seorang ibu dan anak laki-laki nya yang lagi menyantap mie. Si ibu kelihatan sewot ketika si anaknya masih menambahkan saos sambel ke mangkok mienya.
"Ntar mag kamu kambuh lagi!" bentaknya sayup saya dengar.
Tak berapa lama saya pun menyantap mie ayam ceker itu perlahan. Kemudian datang lagi sepasang suami isteri ingin bergabung. Tapi karena meja yang kecil dan sianak diseberang saya juga "meng-occupy" lahan di meja saya, pasangan tadi memilih masuk untuk duduk di dalam kios, dekat kompor. Tapi saya pikir akan tersiksa mereka. Panas dan Sempit.
Alhamdulillah kenikmatan mie tidak mematikan insting dan refleks saya bekerja. Saya geser duduk ke pinggir, lalu kantong plastik belanjaan berisikan kaos kaki Rp 20.000an tiga dan dua buah baju kaos -- malu aku, masih sempat juga belanja -- saya turunkan dekat kaki kanan saya dipinggir tiang penyangga gerobak.
"SIlakan pak kalau mau bergabung!" saya menawarkan.
"Oh ya mas, terima kasih, muat gak?" si ibu menjawab.
"Bisa lah ...tapi mungkin kena gerimis dikit...!" jawab saya sambil memperhatikan tudung penutup kios yang pas di atas kepala si bapaknya duduk.
Untung gerimis berhenti dan mereka pun bergabung dengan saya.
Keakraban semeja, membuat kami ngobrol layaknya orang udah lama kenal.
"Oh..sama-sama orang pemerintah juga ya ...kita ini" celetuk si Ibu setelah beberapa menit ngobrol. Mereka ternyata pegawai Pemda DKI. Pak Ihksan baru saja pensiun, sang isteri masih kerja.
"kami menengok cucu" lanjut mereka sambil menerima cucunya disodorkan oleh seorang anak muda yang baru datang.
Setelah mengumpat akan kondisi riil masyarakat saat ini ia pun bercerita sekilas tentang pemda DKI.
"NAh pucuk dicinta ulam tiba" pikir saya.
Teringat akan posting saya di FB beberapa hari lalu tentang kondisi taman di lapangan banteng yang merana. Kebetulan foto-foto tentang lapangan banteng itu masih ada di HP saya. Lalu saya perlihatkan. Mereka juga ternyata prihatin, dan mengingatkan bahwa baru kemaren gubernur juga "ngamuk" karena kondisi lapangan Monas yang tidak terawat. Setelah senang ngobrol, cerita juga tentang hal-hal lain, termasuk banyak pegawai yang takut jadi Pimpro di DKI, saya pun siap-siap pamit.
"Maaf pak, bu, saya mau cepat-cepat pulang" saya sudahi saja karena sudah kenyang dan juga sudah ngobrol cukup lama. Pak Ikhsan mengeluarkan hp dari kantongnya dan meminta nomor saya. Setelah saya berikan ia pun mensave nomor saya dan menambahkan nama saya dengan lengkap.
Sekelebatan muncul dipikiran saya, buat apa ia mencatat hp saya? Akh.. barang kali untuk bisnis seperti tawaran MLM dan sejenisnyayang mengandalkan komunikasi. Tapi saya rela, dan waktu memberikan nomor juga tidak berprasangka apapun.
"Mari pak, bu, saya duluan" saya pamit dan buru-buru bergegas kembali ke mobil yang saya parkir di FO sebelah.
Baru keluar parkiran saja, sudah mulai macet.
"Cilaka" pikir saya bisa tambah sore sampai dirumah kalau begini. Sesampai di lampu merah saya pas kebagian paling depan dilajur kanan. MEmang saya harus belok kanan dulu diperempatan tersebut, lalu nanti cari putaran dan berbalik arah ke arah Jambu Dua lalu menuju Parung.
Di lampu merah kebetulan ada polisi yang berdinas mengatur. Cukup padat, tapi tidak parah. Dari pada saya harus mutar jauh dan menambah kemacetan, saya pun minta izin.
"Pak boleh gak U-turn disini?" soalnya kalau ke kanan saya takut juga nyasar karena belum terlalu hapal daerah itu. Setelah melihat situasi, si pak polisi ternyata baik hati dan
"Silakan pak, mumpung kosong!", memang dari arah kiri yang giliran hijau tidak terlalu banyakkendaran yang lewat dan sudah habis. Sayapun buru-buru balik arah dan sambil mengucap terima kasih, saya sempat gak enak hati juga. Jangan-jangan karena mobil saya pelat merah ia "terpaksa" menyetujui, dan saya juga gak enak sama pengguna jalan lain. Tapi apa boleh buat..sudah terlanjur.
Setelah melewati kembali FO dan warung mie ceker tadi, saya harus berhenti di blok berikutnya karena ada lampu merah lain di dekat area hotel Pangrango (tapi saya lupa Pangrango berapa). Pas mau memilih lajur yang disesuai kan dengan arah, HP saya berdering. Biasanya saya tidak pernah mau mengangkat kalau suasana padat seperti di Bogor kali ini. namun insting saya cepat menyuruh saya untuk meraih hp itu.
"Pak Eddy ya...yang tadi makan mie ceker dengan kami" sekilas saya lihat nomornya memang sama dengan misscall ketika pak Ikhsan mencatat no hp saya tadi.
"Betul pak.." jawab saya cepat.
"Belanjaan bapak ketinggalan pak.." suaranya melanjutkan buru-buru.
"Astaga..terima kasih pak saya balik, minta tolong saja si masnya tukang mie ke pinggir jalan pak" pinta saya segera ambil keputusan
"Ya pak udah dipegang si mas (maksudnya pesuruh kios itu)" jawabnya.
Sontak saya pun ambil lajur kanan dan pas hijau saya buru-buru U-turn lagi, yang kalau biasanya mungkin tidak boleh. tapi saya tidak melihat rambu dilarang u-turn.
Akhirnya saya hanya perlu meniupkan klakson sekali saja di depan FO itu,karena si mas nya sudah siap memasukkan belanjaan saya lewat pintu depan. Setelah berterima kasih saya pun tancap gas.
Kembali harus berhenti di lampu merah yang sama dimana polisi tadi juga masih berdiri disitu. Tidak enak hati, sayapun belok kanan saja dan mencari putaran untuk mengatur arah kembali ke Jambu Dua. Tidak tega lagi membuat u-turn di tempat yang dapat mengganggu lalu lintas, meski si polisi mungkin mengizinkan. Tapi tak saya lakukan, takut ia mengira saya orang kurang waras, mutar-mutar di lampu merah di area kerjanya dia.
Alhamdulillah...untung masih belum jauh. Coba kalau sudah sampai Parung. Dan keakraban di meja makan mie ceker tadi telah menggerakan jari-jari pak Ikhsan untuk mencatatkan nomor saya di hp nya, dan juga telah menjadi jalan untuk menggerakan hatinya memberikan pertolongan kepada saya dalam waktu yang singkat tapi tepat.
Maka nikmat Tuhan mu yang mana lagi yang engkau dustakan Eddy?
=====
Tulisan ini adalah Notes di Facebook (published 1/2/09)
1 comment:
sangat bagus
http://indonesianadult.blogspot.com/
Post a Comment